Prabowo sedang membawa kita menuju pemerintahan militer.
- Autogolpe: Bentuk kudeta oleh pemimpin politik yang terpilih secara absah tapi kemudian membentuk kekuatan (khususnya militer) sehingga memungkinkan dia dan para pendukungnya tetap berkuasa.
- Proses kudeta-diri ini berlangsung secara perlahan, tidak menonjol, dan didukung orang-orang yang pernah berjuang untuk menegakkan demokrasi tapi sekarang menjadi totem untuk mengelabui kematian demokrasi.
- Pemekaran organisasi militer secara besar-besaran oleh Prabowo akan membuat jumlah personel militer berlipat.
- Jika sesuai rencana, jumlah tentara bisa jadi mendekati 1 juta personel, dan 700 ribu personel Komponen Cadangan, pada akhir masa jabatan Prabowo pada 2029.
TIDAK banyak orang menyadari bahwa militer Indonesia sedang bertumbuh pesat. Di bawah administrasi Prabowo-Gibran, organisasi dan personel militer membesar dalam skala yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sesungguhnya, pertumbuhan ini bahkan tidak dimulai saat Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden. Serangkaian kebijakan untuk memperbesar militer Indonesia sudah dimulai sejak Prabowo menjadi Menteri Pertahanan. Akan tetapi, rangkaian kebijakan ini tidak pernah menjadi pembicaraan publik secara meluas.
Saat jadi menteri, Prabowo tidak pernah mengeluarkan buku putih pertahanan, yang menguraikan cetak biru pertahanan Indonesia. Yang sering kita dengar adalah TNI akan memperbaharui alutsista atau alat utama sistem senjata, khususnya bagi Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Alutsista kita memang sudah sangat ketinggalan zaman. Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 menyentak kesadaran publik mengenai betapa uzur dan tidak berfungsinya peralatan tempur militer Indonesia secara maksimal.
Sekalipun alutsista menjadi perhatian utama, Kementerian Pertahanan dan militer memiliki persepsi lain terhadap pertahanan Indonesia yang jarang sekali didiskusikan ke publik, yakni memperbesar organisasi dan melipatkan jumlah personel.
Paling tidak sejak awal 2023, Kementerian Pertahanan dan TNI mulai melontarkan ide untuk menambah jumlah Kodam. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 22 Kodam baru akan dibentuk. Saat ini hanya ada 15 Kodam sehingga jumlah total Kodam nantinya menjadi 37.
Pada 2022, Prabowo melontarkan ide untuk membentuk Komponen Cadangan (Komcad). Rencananya, Komcad akan dibentuk 25.000 personel pada 2022. Namun, hingga 2024, Kemenhan hanya mampu membentuk 9.776 personel Komcad.
Ide untuk membangun dan memodernisasi alutsista pelan-pelan mulai meredup.
Sebaliknya, pemerintahan Prabowo menjalankan program-program ambisius untuk membangun Indonesia seperti makan bergizi gratis, kemandirian pangan (food estate) dan energi, sovereign wealth funds (Danantara), 3 juta rumah, dan sebagainya. Sebagian program ini melibatkan militer dalam skala besar.
Pemerintahan Prabowo juga mengubah payung hukum untuk menjustifikasi keterlibatan militer yang lebih besar di ranah sipil. Itu dilakukan dengan mengubah UU No.34/2004 tentang TNI. Revisi UU TNI ini, yang dilakukan tanpa diskusi publik, sebenarnya hanyalah justifikasi dari kehadiran militer yang ternyata amat masif di ranah sipil.
Bahkan jauh sebelum UU ini disahkan, militer sudah hadir di berbagai bidang sipil, khususnya lewat nota-nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara institusi-institusi sipil dengan militer. Berbagai macam MoU ini seolah-olah mengesankan bahwa militer hadir di ruang-ruang sipil atas undangan pihak sipil.

Pengambilan peran militer ini boleh jadi karena keyakinan ideologis Prabowo Subianto bahwa Indonesia hanya akan bisa maju bila digerakkan oleh ekonomi komando dan kapitalisme negara (state capitalism) seperti yang dilakukan mendiang Deng Xiaoping di Republik Rakyat Tiongkok pada 1980-an.
Dalam bukunya, Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo menulis bahwa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam selalu menjadi korban negara-negara lain. Buku yang cetakan pertamanya terbit pada 2017 ini sudah bicara tentang sovereign wealth fund, yang bentuknya sekarang berwujud Danantara.
Semua tindakan pemerintahan Prabowo ini memancing pertanyaan: Apakah Prabowo sedang dalam proses melakukan autogolpe atau self-coup terhadap pemerintahannya sendiri?
Autogolpe adalah bentuk kudeta oleh pemimpin politik yang terpilih secara absah tapi kemudian membentuk kekuatan (khususnya militer) sehingga memungkinkan dia dan para pendukungnya tetap berkuasa. Hal ini ditandai menguatnya peran-peran militer dan melemahnya semua institusi sipil yang menjadi penyangga negara demokratis, termasuk parlemen, partai politik, pers, pemilihan umum, dan sebagainya.
Perluasan Organisasi Militer dan Pembengkakan Personel
Militer Indonesia, khususnya Angkatan Darat, sedang mewujudkan rencana pembentukan 22 Kodam. Jika segala sesuatu berjalan sesuai rencana, Kodam akan hadir di 37 dari 38 provinsi yang ada saat ini.
Setiap provinsi akan memiliki satu Kodam, sama seperti Kepolisian Daerah (Polda). Pembengkakan organisasi ini tentu akan menambah jumlah personel, anggaran, juga peralatan tempur mengingat Kodam adalah Komando Utama (Kotama) dalam TNI-AD.
Belum diketahui secara persis berapa besar penambahan personel yang dibutuhkan untuk membentuk satu Kodam, baik dari sisi staf maupun prajurit. Namun, pemekaran organisasi ini tentu akan membuat pemekaran organisasi di tingkat bawah.
Setiap Kodam memiliki 2-3 Korem (Komando Resort Militer); dan setiap Korem idealnya membawahi setidaknya 10 Kodim (Komando Distrik Militer) yang keberadaannya paralel dengan kabupaten/kota dalam birokrasi sipil. Setiap Kodim akan membawahi Komando Rayon Militer (Koramil) yang sejajar dengan kecamatan dalam birokrasi sipil. Koramil akan membawahi para Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang ada di setiap desa.
Bisa dibayangkan betapa besarnya organisasi tentara nantinya jika rencana ini terwujud. Walaupun ada juga argumen bahwa Kodam-kodam baru yang akan dibentuk hanya peningkatan status Korem Tipe A. Ada Kodam yang tidak memiliki Korem, seperti di Ibu Kota Nusantara (IKN), tapi sebagian besar Kodam yang akan dibentuk pastilah akan memiliki Korem yang dibentuk kemudian.
Sebagai Kotama, Kodam akan memiliki batalyon pemukul (infanteri), juga mungkin batalyon atau resimen kavaleri, zeni konstruksi (zikon), artileri pertahanan udara (arhanud), artileri medan (armed), dan lain sebagainya. Kekuatan ini tentu membutuhkan persenjataan seperti senapan, kendaraan angkut pasukan, tank, dan sebagainya.
Belum lagi staf sipil dan militer yang akan memenuhi kepentingan militer, mulai dari administrasi, lembaga-lembaga hukum dan peradilan, hingga ke kesehatan. Bisa dibayangkan besarnya infrastruktur, personel, dan pembiayaan yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah Kodam.
- Batalyon Teritorial Pembangunan
Dalam rapat kerja dengan DPR-RI hanya lima hari setelah Prabowo dilantik menjadi presiden, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsuddin membuka rencana kementerian yang dipimpinnya untuk membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP).
Sjafrie mengatakan, “Presiden menetapkan strategi nasional agar setiap kabupaten, sebanyak 514, dapat dijaga oleh satu batalyon infanteri teritorial pembangunan. Batalyon ini diperkuat oleh dua batalyon komponen cadangan.”
Satu batalyon teritorial pembangunan dan dua batalyon Komcad akan ditempatkan di setiap Kodim, yang akan dibentuk di 514 kabupaten/kota. Selain sebagai unit tempur, BTP memiliki kekhususan karena akan membantu program pemerintahan Prabowo dalam mencapai kemandirian pangan. Satu BTP akan memiliki kompi pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan.

Jika rencana ini benar-benar diwujudkan, alhasil ada 514 BTP di seluruh Indonesia. Tipikal satu batalyon infanteri pada militer Indonesia berkekuatan 700 personel. Jika rencana ini bisa diwujudkan dalam 4,5 tahun ke depan, bakal ada tambahan 359.800 personel pada TNI-AD. Ini tentu memakan biaya sangat besar untuk keuangan negara.
Seluruh personel ini adalah perennial. Artinya, dibiayai oleh negara dalam waktu lama: dari masa pendidikan hingga pensiun dari dinas. Karena usia pensiun prajurit dinaikkan, bisa diperkirakan beratnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk personel militer.
Sementara itu, kekuatan efektif fisik seorang tentara itu terbatas. Semakin tua, seseorang semakin jauh dari standar kebugaran fisik militer (military physical fitness standards). Mereka yang tidak memenuhi syarat fisik biasanya akan mendapat pekerjaan sebagai staf. Dengan naiknya usia pensiun, makin banyak posisi staf yang diperlukan. Bagaimana menyediakan posisi staf untuk para prajurit senior ini?
- Komponen Cadangan
Selain itu, ada juga rencana membentuk Komcad. Ini adalah komponen pertahanan negara yang bukan wajib militer tetapi orang-orang sipil yang secara “sukarela” mendaftar untuk mendapatkan keterampilan militer.
Mereka akan dimobilisasi oleh Presiden ketika negara menghadapi peperangan. Para personel Komcad adalah orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap seperti pegawai, buruh, petani, dan lain sebagainya. Untuk tahap awal, banyak pegawai BUMN dan sebagian ASN menjadi Komcad.

Personel Komcad tidak mendapat gaji tapi mendapatkan uang saku ketika mengikuti pelatihan. Umur untuk bisa mengikuti Komcad pun terbatas. Jika rencana untuk membentuk dua batalyon Komcad di setiap Kodim jadi dilakukan, maka akan ada setidaknya 700 ribu Komcad di seluruh Indonesia.
Secara diam-diam, militer Indonesia berlipat dengan sangat cepat. Anggaran belanja untuk Kementerian Pertahanan yang saat ini terbesar dari semua pos APBN, bisa jadi dipakai untuk mencetak para prajurit baru, baik untuk BTP maupun untuk mengisi personel Kodam yang baru.
Perluasan Peran Militer di Ranah Non-Militer
Kalangan aktivis masyarakat sipil, akademisi, maupun para pemerhati militer Indonesia pada umumnya mengarahkan perhatian mereka pada revisi UU TNI yang dianggap akan memperluas keterlibatan militer pada ranah sipil. Namun, ada satu hal yang tidak disadari: perluasan peran itu telah dan sedang terjadi dalam skala besar-besaran.
Kebanyakan pengamat mengkritisi peran militer di tingkat nasional tapi abai atas kenyataan bahwa peranan militer di wilayah tapak sudah terjadi sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pada 2015, Menteri Pertanian yang saat itu juga dijabat Amran Sulaiman, mengeluarkan peraturan tentang Upaya Khusus Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale). Salah satu poin penting dari kebijakan ini adalah melibatkan Babinsa (Bintara Pembina Desa) dalam pelaksanaan Upsus Pajale, persis seperti pada zaman Orde Baru.
Babinsa akan mengatur jadwal tanam, bibit, ketersediaan pupuk dan obat-obatan, serta penanganan panen dan pasca-panen. Hasilnya terlihat bahwa pada 2016-2017: Indonesia mengalami swasembada beras. Namun, tahun berikutnya program ini dihentikan karena sangat mahal.
- Peran Babinsa di Pertanian
Pelibatan Babinsa, yang sesungguhnya bukan ahli pertanian, kembali dilakukan ketika Prabowo mengangkat Amran Sulaiman menjadi Menteri Pertanian dalam kabinetnya. Pertanian bahkan menjadi skala prioritas dalam kabinet Prabowo.
Peranan Babinsa bahkan semakin besar karena program swasembada pangan Prabowo tidak hanya seperti Upsus Pajale.
Kementerian Pertanian juga memiliki Satgas BKO Ketahanan Pangan yang dipimpin oleh Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani. Satgas ini bertugas untuk memastikan terjaminnya ketahanan pangan.
Ia memiliki wilayah tugas di seluruh Indonesia. Namun, tampaknya fokusnya adalah pelaksanaan program pembangunan food estate di Merauke, Papua Selatan, di mana akan dibuka 1 juta hektar sawah serta 1,6 juta hektar tanaman hortikultura lainnya.

Kementerian Pertanian juga memiliki program Brigade Pangan. Program ini mengumpulkan sekitar 12-15 petani milenial. Mereka akan diberikan 200 hektare tanah untuk diolah.
Pemerintah akan menyediakan mesin-mesin pertanian, sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan), serta penyerapan hasil pertanian pasca-panen. Para petani milenial ini akan didampingi oleh Babinsa sebagai pendamping, pelatih, dan pemonitor.
Dalam banyak selebaran yang disebarkan pemerintah, para petani milenial yang bergabung dalam Brigade Pangan ini diproyeksikan akan memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp10 juta per bulan.
Pemanfaatan Babinsa dan Koramil juga terjadi pada urusan pembelian gabah dari petani.
Di bawah kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya, para petani dianjurkan menjual gabah ke Babinsa dan Koramil dengan harga Rp 6.500 per kg. Hal ini dilakukan untuk menjamin harga gabah tetap tinggi dan menguntungkan petani serta menghindarkan mereka dari tengkulak. Program ini tampak sangat populis karena Bulog menghapus persyaratan rafaksi atau kualitas gabah khususnya kadar air dan persentase gabah kosong.
- Satgas Penertiban Kawasan Hutan
Militer tidak hanya terlibat dalam dunia pertanian. Pada Januari, 2025, Presiden Prabowo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5/2025 tentang pembentukan Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan penandatangan MoU antara Mabes TNI dengan Kementerian Kehutanan.
Tugas Satgas PKH adalah “menertibkan” kawasan hutan yang tidak sesuai peruntukanya. Satgas Garuda PKH dipimpin oleh Kasum TNI Letjen TNI Richard Tampubolon.
Mudah diduga bahwa banyak kawasan hutan dirambah untuk membuka perkebunan sawit. Satgas Garuda mengaku sudah menyita sekitar 1,1 juta hektare dari perusahan perkebunan sawit. Luas ini hanya sebagian dari 3,3 juta ha perkebunan sawit di wilayah hutan.

Apakah perkebunan sawit yang disita ini kemudian dihutankan kembali? Jelas tidak.
Ini adalah perkebunan sawit produktif. Untuk itu, pemerintahan Prabowo membuat sebuah perusahan di bawah Kementerian BUMN, bernama PT Agrinas Palma Nusantara.
Perusahan ini semula mengelola 221 ribu ha perkebunan sawit milik Duta Palma Group yang disita Kejaksaan. Hingga akhir Maret 2025, Satgas Garuda PKH sudah berhasil menyita 538.868 ha perkebunan sawit yang akan dikelola PT Agrinas. Semua ini adalah perkebunan produktif.
- Program Makan & Koperasi
Keterlibatan militer paling besar sebagai eksekutor kebijakan pemerintahan Prabowo tentu saja pada program makan bergizi gratis (MBG). Pada awal program ini, Mabes TNI mengatakan bahwa sudah mempersiapkan 351 Kodim, 14 Lantamal, dan 41 Lanud untuk membuat dapur umum dalam rangka mensukseskan MBG.
Pelaksana program MBG yang sebenarnya adalah Badan Gizi Nasional (BGN). Namun, perlu waktu untuk membentuk sebuah lembaga dengan program yang sangat ambisius. TNI masuk untuk mengisi kekosongan ini.
BGN akan merekrut 30 ribu Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) untuk menjalankan MBG. Mereka mendapat latihan dasar militer selama dua bulan sebelum bekerja. Belum terlalu jelas apakah latihan ini juga mengkualifikasi SPPI sebagai anggota Komcad.

Program besar lain dari pemerintahan Prabowo adalah Koperasi Merah Putih.
Pemerintah berencana akan membentuk 80 ribu koperasi di tingkat desa. Koperasi ini adalah koperasi serba usaha yang bergerak di bidang produksi, konsumsi, penyediaan sarana pertanian, simpan pinjam, dan lain sebagainya.
Setiap koperasi akan bermodal Rp5 miliar. Modal ini akan diambil dari dana desa yang besarnya Rp1 miliar per tahun. Kekurangan modal akan disuntik oleh Himpunan Bank Milik Negara (Hiimbara). Diperlukan Rp400 triliun untuk membiayai koperasi ini.
Keterlibatan militer paling tidak lewat Babinsa atau Danramil, yang biasanya hadir dalam Musdesus (Musyawarah Desa Khusus), untuk membentuk Koperasi Merah Putih. Bahkan, pihak TNI sudah mempersiapkan produksi obat-obatan untuk mensuplai kebutuhan apotek-apotek yang menjadi salah satu unit kegiatan ekonomi Koperasi Merah Putih.
Pemerintahan Prabowo juga menghidupkan kembali Kementerian Transmigrasi yang ditutup sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Program ini banyak dikritik karena mengubah demografi kependudukan di daerah tujuan. Ia juga ditentang karena hanya memindahkan kemiskinan dari daerah padat penduduk di Jawa ke luar Jawa.
Kementerian Transmigrasi menawarkan program Transmigrasi Patriot kepada para pemuda Indonesia. Ini bukan program transmigrasi biasa melainkan program transmigrasi kaum terdidik.
Mereka yang menjadi peserta mendapatkan beasiswa dari LPDP Departemen Keuangan untuk melanjutkan studi S1, S2, atau S3 di berbagai perguruan tinggi. Mereka diharuskan tinggal selama tiga bulan di tengah masyarakat lokal dan memberikan bimbingan serta penyuluhan. Mereka juga harus menjalani pelatihan militer dan bersedia menjadi tentara cadangan.
Seperti disebutkan di atas, keterlibatan militer yang semakin jauh ke dalam segala macam aspek kehidupan non-militer terjadi karena berbagai macam nota kesepahaman dengan lembaga-lembaga sipil. Nota-nota kesepahaman ini dilakukan dengan berbagai universitas baik negeri maupun swasta serta dengan beberapa pemerintahan daerah.
Kerjasama antara militer dan instansi sipil ini menimbulkan kontroversi. Seperti kerjasama antara TNI-AD dan Pemerintah Provinisi Jawa Barat yang diteken pada Maret 2025.
Dalam MoU itu Pemprov Jawa Barat memberikan kekuasaan besar kepada TNI untuk terlibat dalam pembangunan di wilayah itu. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang disebut-sebut berambisi menjadi calon presiden atau wakil presiden 2029, memakai militer untuk segala macam hal. Dari pembangunan jalan, jembatan dan irigasi, hingga ke pendidikan militer anak-anak SMA yang nakal dan pendidikan orang dewasa yang kecanduan miras dan judi.

Kembali ke Titik Nol Reformasi?
Dalam waktu kurang dari enam bulan, kita sudah melihat bagaimana pemerintahan Prabowo-Gibran mengubah secara drastis hubungan sipil-militer sesudah Orde Baru. Susah untuk diingkari bahwa militer sekarang sudah menduduki kursi depan dalam berbagai program pemerintah.
Ada dua hal yang terjadi secara cepat. Pertama, perkembangan organisasi militer seperti penambahan 22 Kodam, pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP), dan pembentukan Komponen Cadangan (Komcad).
Alih-alih memodernisasi alutsista, pemerintahan Prabowo (dan juga Jokowi pada masa sebelumnya) memilih untuk menambah jumlah personel secara besar-besaran.
Penambahan personel militer Indonesia, jika sesuai rencana, akan membuat jumlah personel Indonesia berlipat bahkan bisa jadi mendekati 1 juta personel pada akhir masa jabatan Prabowo pada 2029.
Jumlah itu belum termasuk Komcad, yang bila dihitung dengan jumlah Kodim dan personel-personel yang dilatih di berbagai departemen, paling tidak akan berjumlah 700 ribu personel.
Mobilisasi besar-besaran seperti ini tampak seperti mobilisasi perang. Sekalipun tidak ada tanda-tanda akan meletus perang, Prabowo berkali-kali bicara bahwa perang nuklir dan Perang Dunia III akan terjadi dan Indonesia akan terkena imbasnya.
Kedua, keterlibatan militer dalam pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintahan Prabowo.
Pemakaian militer ini sangat intensif, khususnya di tingkat masyarakat, baik di desa-desa maupun perkotaan. Seperti yang kita lihat militer hadir dalam dunia pertanian, Koperasi Merah Putih, transmigrasi, hingga ke penertiban kawasan hutan.
Militer menjadi pelaksana kebijakan (policy executioner) dan memotong peranan birokrasi sipil yang selama ini mengemban peran tersebut. Ini dilakukan Prabowo karena ketidakpercayaan pada birokrasi sipil dan keinginan untuk menerapkan ekonomi komando yang dianggapnya lebih efisien.

Pemekaran organisasi militer secara besar-besaran ini akan membuat jumlah personel militer berlipat. Sementara, pemunduran usia pensiun akan membuat banyak personel militer ditempatkan sebagai staf. Kemanakah personel-personel ini akan dipekerjakan karena tampaknya tidak semua bisa ditampung di dalam organisasi militer?
Ketika organisasi militer Indonesia masih cukup ‘ramping’, kita melihat banyak perwira menengah dan perwira tinggi yang tidak mendapatkan posisi atau jabatan. Bahkan ketika organisasi militer dimekarkan, kabarnya masih ada ratusan perwira yang tidak memiliki jabatan. Mereka “disusupkan” ke BUMN, khususnya ke PT Agrinas Palma Nusantara yang menampung kebun-kebun sawit sitaan Satgas PKH Garuda.
Kenyataan ini membuat pertanyaan yang saya ajukan di awal menjadi logis: Tidakkah Prabowo sedang mengkudeta pemerintahannya sendiri (autogolpe) dengan membesarkan militer sedemikian rupa dan memakai personel-personel militer menjalankan kebijakan-kebijakan strategisnya?
Jika rencana menambah jumlah Kodam dan membentuk BTP itu berhasil dilaksanakan pada 2029, saat Prabowo menyelesaikan masa jabatannya, maka militer akan menjadi kekuatan politik yang sangat signifikan.
Sekalipun tidak menuntut untuk duduk pada jabatan legislatif atau eksekutif seperti saat dwifungsi Orde Baru, militer akan menjadi blok politik yang harus diperhitungkan semua pihak. Mereka bisa mendudukkan politisi sipil sebagai proxy dalam kekuasaan. Dan, politisi sipil yang tidak mampu berkuasa secara demokratis akan menyambut hangat ‘bantuan’ militer.
Jika kita memakai definisi autogolpe di atas, jelas sudah kita sedang menuju ke sana.
Prosesnya berlangsung secara perlahan, tidak menonjol, secara diam-diam dan bahkan dengan dukungan orang-orang yang pernah berjuang untuk menegakkan demokrasi dan sekarang menjadi totem untuk mengelabui kematian demokrasi.
Persoalannya sekarang bukan bagaimana kalau itu terjadi. Itu sudah terjadi dalam skala yang tidak pernah disadari oleh aktivis, akademisi, atau organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Kita tidak sedang mengalami kemunduran demokrasi (democratic regression). Kita sedang menunggu demokrasi yang sekarat (a dying democracy).
Made Supriatma, peneliti dan anggota Tim Majelis Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).