SATU MALAM pada akhir September, warga berkumpul di Posko Perjuangan. Mereka duduk melingkar di dalam bangunan semi permanen berdinding terbuka yang sebagiannya menghadap ke arah kebun di atas lahan sengketa.
“Nah, kira-kira kalo misalnya, nanya sekali lagi, menurut bapak-bapak, ibu-ibu, ini bagaimana?” tanya seorang perempuan berkerudung merah di salah satu sisi ruangan memecah perbincangan warga malam itu.
“Demo!” sahut para petani dari sisi ruangan, “Harus kita kawal!” ujar petani lain menyahuti.
Perempuan berkerudung merah itu adalah Sri Mariyati, akrab disapa Mar. Bapak Mar ikut dipenjara bersama dua petani lainnya karena berjuang mempertahankan tanah mereka yang dirampas perusahaan perkebunan swasta, Perseroan Terbatas (PT) Bumisari Maju Sukses.
Mar juga salah satu anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), sebuah paguyuban yang menaungi para petani Desa Pakel dan beberapa desa sekitarnya di Banyuwangi, Jawa Timur.
Senin pagi awal Oktober, menjelang pukul 09.00, belasan mobil bak terbuka berjajar di jalan kecil yang terletak tidak jauh dari Posko Perjuangan.
Ratusan petani mulai memadati tanah lapang bekas terminal desa, mereka membawa beragam atribut aksi. Bendera hijau terang berlabel organisasi petani, poster bertuliskan ‘Bebaskan Petani Pakel’, dan pita penanda massa aksi organisasi petani RTSP.
Ini adalah aksi kesekian kali sejak tiga orang petani Pakel, Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap polisi pada awal Februari 2023, karena tuduhan menyebarkan berita bohong. Tuntutan mereka sama, meminta Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi membebaskan ketiganya.
***
Mariyati adalah anak Suwarno, Kepala Dusun Durenan, Desa Pakel. Saat bapaknya ditangkap ia sedang tidak ada di rumah, karena pergi untuk kontrol jahitan operasi setelah melahirkan.
Penangkapan itu terjadi pada malam hari. Saat itu Suwarno dalam perjalanan menuju Desa Aliyan menjelang rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi. Seketika, mobil yang ditumpangi Suwarno dan empat rekannya diadang orang tak dikenal. Suwarno, Untung, dan Mulyadi, bersama sopir digiring berpindah mobil. Sementara satu warga lain, Ponari, diturunkan begitu saja.
“Pak Ponari tiba-tiba datang. Bilang kalau bapak dibawa orang,” Mar melanjutkan.
Mar lantas buru-buru mengabarkan pada petani Pakel lainnya yang berjaga di Posko Perjuangan. Kabar penculikan itu bikin malam menjadi mencekam.
Keesokan harinya, Mar dan kerabat keluarganya mendatangi Polresta Banyuwangi untuk mengecek adanya penangkapan. Pihak kepolisian menyatakan tak ada penangkapan.
Keterangan tersebut belawanan dengan penuturan sopir yang dipulangkan keesokan harinya. Ia membenarkan Suwarno, Untung, dan Mulyadi dibawa ke Polresta Banyuwangi. Bahkan, ketika Mar dan keluarganya mendatangi Polresta Banyuwangi, si sopir masih tertahan di sana.
Tiga hari setelahnya, seorang kurir mengetuk pintu rumah Mar dan mengantarkan surat penangkapan.
Pasca-penangkapan itu, hari-hari Mar dan orang-orang Pakel tak lagi sama seperti sebelumnya.
Mar berkali-kali memimpikan bapaknya.
“Biar nggak selalu inget terus, untuk mengalihkan fokus, aku buat baju pengantin. Dapat beberapa baju, aku mesti kayak gitu, harus ada sesuatu yang diciptakan,” kata Mar.
Mar mahir menjahit dan merias. Ia memiliki usaha penyewaan kostum acara dan pernikahan kecil-kecilan. Ia, dibantu sang adik, bisa menghabiskan waktu berjam-jam merangkai manik- manik untuk gaun pengantin yang ia kerjakan.
Dulunya Mar menggarap lahan dan turut berjaga di Posko Perjuangan, kini intensitasnya berkurang, sebab harus terlibat aktif mengawal proses persidangan tiga petani Pakel yang ditahan.
Sejak bapaknya ditangkap, ia menjadi semakin sering ke Kota Banyuwangi yang berjarak 45 km dari desanya. Jika tidak karena persidangan, ia pasti menjenguk bapaknya.
Tak jarang Mar harus begadang mengurus berkas persidangan. Biasanya ia begadang bersama Titin, anak Untung, petani yang juga ditahan bersama Suwarno dan Mulyadi.
“Harusnya di rumah ngurus anak, tapi kita (saya) sering ikut sidang terus besuk, jadi urusan rumah banyak tertinggal,” tutur ibu dua anak berusia 29 tahun itu.
Mar selalu ditemani kerabat dan petani Pakel selama proses persidangan bapaknya. Saat pembacaan nota pembelaan bagi tiga petani Pakel, 12 Oktober 2023, Mar datang ditemani 19 petani Pakel. Para petani rela meninggalkan sawahnya sejenak untuk mengawal proses peradilan.
“Seharusnya warga banyak bertani tapi karena mungkin warga ikut merasakan susahnya tiga orang, jadi misal pas sidang warga ikut sidang. Waktu bertani dibuat kayak gitu (aksi dan mengawal persidangan),” kata Mar.
Masalah lahan di Pakel berawal sejak tahun 1925, ketika para petani mengajukan permohonan pembukaan hutan kepada pemerintah kolonial Belanda. Permintaan itu dikabulkan, mereka berhasil mengantongi izin yang dikenal dengan nama “Akta 1929”.
Kendati demikian, petani Pakel tetap mendapat intimidasi dari pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Pasca-kemerdekaan, petani Pakel memperjuangkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang termuat dalam Akta 1929.
Pada tahun 1985, PT Bumisari mendapatkan konsesi perkebunan di desa Kluncing dan Songgon. Meski desa Pakel tidak masuk konsensi, PT Bumisari mengklaim Pakel masuk dalam bagian mereka. Konflik pun berlangsung hingga sekarang.
Perjuangan petani Pakel menuntut dibebaskannya tiga petani Pakel berakhir muram. Pada Kamis, 26 Oktober 2023, PN Banyuwangi menjatuhkan putusan pada Suwarno, Untung, dan Mulyadi dengan vonis 5 tahun 6 bulan penjara.
Petani Pakel dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD Garuda) menolak putusan tersebut. Mereka menilai vonis diambil dengan gegabah sebab hanya berdasarkan tuduhan dengan bukti yang tidak memadai di tengah konflik agraria antara petani Pakel dan PT Bumisari.
Membentengi Lahan dengan Tetap Bertani
Dari pintu samping rumah Mar, Suliswati masuk. Rumah Sulis, sapaannya, hanya berjarak 400 meter ke arah barat dari kediaman Mar.
“Besok pagi ke Pongkor (lokasi lahan sengketa), belum tahu berapa orang yang nanti datang,” sembari menimang-nimang anak kedua Mar, kerabatnya itu. Esok hari, Sulis berencana memanen jagung milik Mar.
Kini Sulis lebih banyak menghabiskan hari-harinya di lahan yang berhasil dikuasai kembali (reclaiming) oleh petani Pakel dari perusahaan pada tahun 2020. Ia menanam kelapa dan beberapa tanaman hortikultura seperti durian, manggis, terong, pisang, dan jagung.
Saban hari, saat matahari mulai naik, Sulis terbiasa menunggangi motor Jupiter Z keluaran tahun 2010, untuk berangkat ke lahan miliknya. Jika ia tak sempat membawa bekal makan siang, ia akan memasaknya di pondok kecil yang berada di tengah lahan yang tengah digarap.
Meski sudah memiliki lahan sendiri, Sulis dan suaminya kerap mengambil pekerjaan sampingan sebagai buruh tani. Berulang kali Sulis mengucap syukur. Pasalnya, dirinya dahulu adalah buruh tani yang harus merantau ke luar daerah.
“Mulai dari SD sampai anak saya SMA, saya masih kerja di Bali. Alhamdulillah sekarang sudah ada lahan, ndak pernah merantau, enak di rumah punya lahan sendiri,” terang Sulis.
Serupa dengan Sulis, Saniati juga melakoni peran yang sama. Dulu, Saniati pernah menjadi buruh petik kopi dan menanam kentang di lereng Gunung Ijen. Kini, ia punya lahan yang bisa diolah.
Jelang subuh, Saniati sudah berkutat di dapur. Ia memasak sarapan pagi untuk keluarganya sebelum menggarap sawahnya. Dengan mengenakan caping, sepatu bot, dan menjinjing tas berisi manggis hasil panen dan perbekalan lain, ia berangkat ke lahan.
Saniati dan keluarganya merasa cukup dengan hasil pertaniannya. Bahkan tak jarang menurutnya hasil itu berlebih untuk kebutuhan hari-hari.
“Kalau jual pisang bisa dapat Rp400 ribu. Saya sudah panen banyak, pisang, jagung, kacang, lombok. Banyak kopi yang tanam sendiri juga udah petik dipakai sendiri,” ujarnya sembari mengibas-ngibaskan kain putih pengusir burung yang memakan padi miliknya.
Di luar kesibukannya bertani, Saniati aktif berserikat. Sebagai Ketua Perempuan di RTSP, Saniati menganggap berserikat itu penting untuk saling bantu sesama petani demi keberlangsungan ruang hidup di desanya.
Saniati dan juga petani Pakel lainnya, sepakat menggarap lahan juga harus dilakukan secara gotong royong. Petani Pakel mengenal istilah ‘otosan’ atau menggilir jadwal menggarap lahan.
“Panennya juga dibantu tetangga, buat ngurangi dana, gantian gitu,” ucap Saniati.
Hasil panen juga tak disimpan sendiri. Petani Pakel kerap membaginya dengan tetangga. Dalam beberapa agenda kumpul dan hajatan warga, dapur umum di Posko Perjuangan selalu penuh dengan stok makanan yang dibawa dari hasil bertani.
Mereka urun panen, tak banyak tapi rata. Beras, sayur mayur, kopi, bumbu-bumbu terkumpul di atas meja dapur Posko Perjuangan. Lumbung pangan untuk menjamu siapa saja yang datang berkunjung.
Saniati percaya bahwa perjuangan merebut kembali ruang hidup yang petani Pakel lakoni akan berbuah manis. Tak ada gentar sedikitpun dalam keyakinannya.
Sembari terkekeh, Saniati menceritakan pengalamannya berhadapan dengan orang-orang perkebunan PT Bumisari.
“Meskipun konflik (agraria) masih berjalan, ya, ndak takut, meskipun sendiri saya ndak takut. Berani jalan terus. Yang perempuan galak-galak semua maju paling depan,” kata Saniati.
Di Pakel, para perempuan ikut berada di garda terdepan mempertahankan ruang hidup.
Mereka sudah terbiasa dengan tanggung jawab berlapis, sebagai istri, ibu, melakoni pekerjaan di lahan, dan tetap aktif berserikat.
Petani pakel memiliki caranya sendiri untuk menyambung garis perjuangan. Seperti Mar yang meyakini bahwa trauma tak boleh diwariskan, sehingga anak-anak perlu mengetahui apa itu perjuangan.
Dalam satu kesempatan bercerita, Mar bertutur panjang mengenai keterlibatan semua warga dalam perjuangan. Semua ikut berjuang mulai dari orang tua, pemuda, dan anak-anak.
“Dari situlah anak-anak belajar berjuang. Itulah salah satu cara bagi ibu-ibu untuk mewariskan perjuangan kepada anak-anaknya,” tukas Mar.
Cerita foto karya Alvina NA terpilih sebagai salah satu peserta lokakarya fotografi #SetaraBercerita yang diselenggarakan Project Multatuli. Cerita foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.
Mentor : Adrian Mulya