Dampak dari rusaknya lahan basah Sungai Musi, seperti menurunnya populasi ikan air tawar, membuat perempuan-perempuan yang hidup di sekitar lahan basah kehilangan sumber pangan, ekonomi, dan tradisi bersama pengetahuannya.
Luas lahan basah Sungai Musi, di Sumatera Selatan mencapai tiga juta hektare. Terdiri dari perairan sungai 775.000 ha, danau 275.000 ha, rawa 375.000 ha, mangrove 142.681,40 ha, serta rawa gambut 1.475.165 ha. Sebanyak 620 jenis ikan air tawar hidup di sana.
Selama beberapa abad, ikan air tawar menjadi bagian penting dari kebudayaan bahari di Sumatera Selatan. Ikan melahirkan sejumlah tradisi, mulai dari teknologi perahu, alat tangkap, hingga kuliner.
Perempuan di masyarakat lahan basah Sungai Musi berperan penting pada berbagai tradisi tersebut. Bahkan pada tradisi kuliner, peran perempuan sangat dominan. Mereka mengolah ikan menjadi ikan asin, ikan asap (sale), pekasem (fermentasi ikan), serta penganan seperti kerupuk, kemplang, dan pempek. Ikan tidak hanya menjadi sumber pangan protein, tapi juga menggerakan ekonomi.
Sayangnya, kerusakan bentang alam lahan basah yang disebabkan perubahan sebagian wilayah menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri), perkebunan sawit, permukiman, dan infrastruktur,
Kehadiran HTI di rawa gambut dimulai tahun 2005. Permukiman transmigran dimulai tahun 1982, sementara perkebunan sawit dimulai tahun 1990-an awal. Tapi jauh sebelumnya hutan rimba di rawa gambut sudah dihabisi perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang beroperasi dari tahun 1970-an hingga 1990-an.
Berdasarkan data HaKI (Hutan Kita Institut), sekitar 1.123.119 hektare rawa gambut rusak atau berubah fungsi. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai sekitar 559.220 hektare, 70 perusahaan sawit menguasai seluas 231.741 hektare. Sekitar 332.158 hektare dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Dampaknya populasi ikan menurun dan sejumlah jenis ikan sudah sulit ditemui. Perempuan-perempuan di lahan basah Sungai Musi semakin hari semakin sulit mendapatkan ikan. Selain kehilangan sumber pangan dan ekonomi, mereka juga kehilangan tradisi bersama pengetahuan, khususnya kuliner. Hal ini sudah dialami sejumlah perempuan yang hidup di lahan basah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Ogan Ilir (OI).
Mereka terpaksa memanfaatkan “ikan sampah” sebagai sumber pangan dan ekonomi. Ikan sampah adalah ikan yang dulunya tidak memiliki nilai ekonomi atau tidak digemari masyarakat. Mereka tak punya banyak pilihan. Beberapa dari mereka bahkan mulai meninggalkan tradisi mengolah pangan dari ikan. Para perempuan itu menyuarakan kegelisahannya dalam video yang didukung Pulitzer Center on Crisis Reporting ini.