Perempuan Pulau Maringkik di Lombok Timur Berlayar Mencari Air Tawar

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
8 menit

“Pulau kami sudah dibaiat oleh beberapa ahli yang kami temui bahwa tidak ada sumber air tawar yang dapat ditemukan di sini. Tuan guru kami pun mengakui hal itu.”


PERTENGAHAN AGUSTUS 2023, saluran air bersih di Pulau Maringkik berhenti mengalir. Warga pulau kecil di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat itu, mendapat kabar pipa bawah laut yang biasa mengalirkan air bersih dari daratan terputus.

“Masih ada persediaan air bersih tapi jumlahnya sedikit,” kata Masnah (55), salah satu perempuan “pulao,” sebutan masyarakat Pulau Maringkik. “Katanya mau ada perbaikan.”

Bukan baru sekali saluran air bersih terputus. Warga biasanya menerima surat pemberitahuan dari Pemerintah Kabupaten Lombok Timur tentang gangguan pipa bawah laut dan estimasi waktu perbaikannya.

Begitu pula saat kerusakan terjadi pada medio Agustus itu. Tujuh hari sebelum ada surat edaran, warga berkata sudah tidak ada air yang mengalir ke rumah-rumah warga, sehingga banyak warga susah payah mendapatkan air bersih.

Dalam surat edaran itu tertera perbaikan pipa bawah laut butuh waktu hingga 27 Agustus 2023. Namun, kata Masnah, seringkali perbaikan makan waktu lebih lama.

Dalam kondisi ini, Masnah bersama perempuan Pulau Maringkik lain terpaksa mengambil air bersih ke Gili Ree, salah satu pulau terdekat dengan jarak 2,3 km.

Akan tetapi, persediaan air tawar di Gili Ree juga semakin menipis. Bila sudah begini, warga terpaksa membeli air dari Desa Tanjung Luar di pesisir Lombok Timur dengan membayar ongkos tambahan untuk menyewa perahu.

Setiap perjalanan menuju Gili Ree, para perempuan ini menggunakan perahu ketinting berukuran 2 m tanpa mesin. Mereka harus mengandalkan tenaga untuk mendayung perahu. Di atas perahu, masing-masing perempuan membawa tiga jeriken kosong isi 25 liter, mereka siap berangkat menerjang ombak.

Kepiawaian para perempuan mendayung muncul secara turun-temurun. “Awalnya saya ngeliat-liat dulu baru dicoba, tidak hanya mendayung, harus bisa berenang juga,” kata Masnah.

Pernah pada satu perjalanan pulang dari Gili Ree, Masnah dan perempuan lain mendapati cuaca buruk; gelombang air laut naik mengakibatkan perahu nyaris karam jika dipaksa membawa beban berat.

Hanya ada dua pilihan: pulang tanpa air bersih atau nekat menyeberang. Masnah bersama perempuan lain memilih untuk menyeberang dan mendayung perahu membawa jeriken berisi air bersih.

Satu per satu jeriken diikat tali ke perahu, tanpa dinaikkan. Dengan begitu, beban perahu sedikit lebih ringan. Nahas, salah satu perahu terbalik dihantam gelombang laut.

“Kita semua nolongin, syukur bisa berenang, jadi bisa diselamatkan dengan cepat,” ujar Masnah.

***

Hanya ada satu sumur yang menjadi sumber air tawar di Desa Maringkik. Biasanya, air tawar terisi dua kali dalam sehari; pagi atau sore. Namun, aliran air tawar tak selalu bisa diandalkan. Seringkali sumur hanya terisi air asin. Warga tak punya pilihan.

“Mau enggak mau tetap juga pakai air asin karena air bersih tidak ada,” kata Masnah. Jika masih ada sisa air tawar dalam jeriken, warga menggunakannya hanya untuk bilasan terakhir saat mandi.

Selain dari sumur, warga menampung air hujan di bak buatan yang tersambung talang air di atap rumah. Akan tetapi, musim hujan tidak selalu datang. Bahkan, sepanjang 2020, Maringkik mengalami kekeringan karena musim kemarau yang panjang.

Rapiah (35), perempuan Pulau Maringkik asal Desa Jerowaru, tak punya pilihan selain mengambil air dari sumur. Menurutnya, paling tidak air sumur tidak seasin air laut.

“Di sini satu-satunya tempat mengambil air yang kadar garamnya lebih sedikit,” katanya di saat mengambil air dari sumur.

Rapiah tinggal bersama empat orang dewasa dan dua anaknya yang masih balita, yang artinya “kebutuhan air saya banyak.”

Rapiah menikah dengan pria asli Pulau Maringkik. Usia pernikahannya sudah tahun kesepuluh. Ia tidak berniat pergi dari pulau meski menyadari krisis air bersih.

Di tengah krisis air bersih seperti saat ini, Rapiah lebih sering menitip untuk membeli air bersih lewat warga karena ia harus menjaga dua anaknya selama suaminya pergi pongkak. 

Pongkak berarti masa mencari ikan dalam jangka waktu panjang. Para nelayan Pulau Maringkik meninggalkan anak dan istrinya selama berbulan-bulan untuk mengasah hidup pada rahim laut.

Saat musim pongkak tiba, hanya tersisa perempuan, laki-laki tua, dan anak-anak di Pulau Maringkik. Biasanya para perempuan mengisi hari-harinya dengan menenun, sebagian lain berjualan. Saat suami mereka kembali melaut, para perempuan di pulau itu menjual hasil tangkapan ikan dengan perahu ke Tanjung Luar, tempat pemasaran ikan terbesar di Lombok Timur.

Dua minggu lagi, Masnah akan ditinggalkan suaminya melaut ke perairan Nusa Tenggara Timur. Ia memastikan segala macam kebutuhan suaminya agar bisa bertahan di tengah laut.

“Paling tidak Rp35 juta itu sudah berada di tangan, jadi modal bapak mencari ikan. Kita pinjam modal dulu, baru diganti pakai hasil tangkap yang dijual,” ujar Masnah sambil menggendong cucu.

Modal melaut itu terbagi untuk memasok bahan pangan, membeli bahan bakar, balok es batu untuk mengawetkan ikan, perbaikan perahu jika dibutuhkan, dan sedikit disisihkan untuk istri dan anak di rumah.

Warisan Bertahan Hidup

Usman (29) masih mengingat kejadian 15 tahun silam saat ikut mengambil air bersih ke Gili Ree.

Usman belia menaiki sampan kecil berukuran 2 m yang penuh jeriken berisi 20-35 liter. Tubuhnya yang mungil harus mengayuh dayung sampan sejauh 2,3 km.

Tiba di Gili Ree, Usman mengeluarkan satu per satu jeriken untuk diisi air bersih. Kaki ringkihnya berusaha sekuat tenaga menahan terjangan ombak. Sampan kecilnya tenggelam. Ia tidak mampu menopang jeriken-jeriken di atas sampan. Ia menyiasatinya dengan mengikat jeriken, dibiarkan mengambang di atas laut, sehingga ia bisa kembali ke Pulau Maringkik dengan selamat.

“Kami anak laut tidak akan pernah kehabisan akal. Situasi ini yang membuat kami jadi terbiasa bertahan hidup,” kata Usman.

Usman kini sudah berkeluarga dan punya seorang anak. Namun, nasibnya belum banyak berubah. Saat musim kemarau seperti sekarang, ia harus pergi membeli air seharga Rp65.000 per satu tangki isi 500 liter ke Desa Tanjung Luar.

Ia harus pintar menghemat air yang hanya cukup untuk mandi dan mencuci seadanya. Sedangkan untuk minum dan memasak, ia harus membeli air galon seharga Rp25.000 per galon.

“Pulau kami sudah dibaiat oleh beberapa ahli yang kami temui bahwa tidak ada sumber air tawar yang dapat ditemukan di sini. Tuan guru kami pun mengakui hal itu,” kata Usman.

Kepala Desa Pulau Maringkik, Mandai, berkata pipa bawah laut yang mengalirkan air tawar ke Maringkik pada dasarnya tidak bisa mencukupi kebutuhan warga dalam jangka panjang.

Sambungan pipa air tawar dari daratan Kabupaten Lombok Timur menuju Pulau Maringkik dipasang pada 1994-1995, kata Mandai. Pemerintah setempat menetapkan aliran air itu sebagai zona merah, yang berarti khusus untuk Mangkirik. Ukuran pipa bawah laut itu 5 cm, sehingga debit airnya sangat kecil. Belakangan, warga desa menyadari pipa itu tidak pernah diganti sejak pemasangan. Warga kemudian merawatnya secara mandiri dengan membayar Rp600 ribu ke penyelam untuk memperbaiki kerusakan pipa bawah laut.

Mandai bersama warga sudah berkali-kali mengeluhkan agar pipa itu diganti ke Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, tetapi tidak pernah direspons cepat.

“Jawabannya berulang kali ‘Kita akan usahakan’,” kata Mandai.

Bukan hanya itu, kelangkaan air di Maringkik dalam beberapa tahun terakhir juga disebabkan pembuatan cabang pipa menuju beberapa wilayah lain seperti Telong-Elong, Gili Ree, dan Gili Bleq. Buntutnya, debit air bersih semakin sedikit.

Direktur Perusahaan Daerah Air Minum Lombok Timur, Marhaban, berkata tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasi debit air yang sedikit itu. “Kita tunggu instalasi sistem penyediaan air minum Pantai Selatan dan lain-lain selesai,” katanya.

Proyek SPAM adalah proyek strategis nasional pemerintah pusat mengatasi kelangkaan air bersih di wilayah selatan provinsi Nusa Tenggara Barat. Proyek ini ditargetkan selesai pada 2024, tapi memicu protes warga Desa Kotaraja karena pengambilan air dari mata air di wilayah itu telah menimbulkan masalah kekeringan di hulu.

Dari Abrasi, Kekeringan, hingga Tawaran Newmont

Pulau Maringkik dihuni 629 keluarga. Rinciannya, 1.329 laki-laki dan 1.431 perempuan. Luasnya sekitar 8 ha. Pulau Maringkik nyaris jadi pulau terpadat di Indonesia setelah Pulau Bungin di Sumbawa, NTB.

Masyarakat yang mendiami Maringkik berasal dari beragam suku. Sasak, Bajo, Bugis, Mandar, Bima, dan Ende. Mereka adalah nelayan dari Sumbawa dan Sulawesi, yang tiba di masa pendudukan Jepang, yang awalnya singgah tapi kemudian menetap.

Sebagai pulau terluar dari Kabupaten Lombok Timur, warga serba terbatas mengakses fasilitas publik di daratan Lombok. Warga harus menumpang perahu, yang hanya berlayar pada pagi hari, dengan jarak tempuh 5 km atau 30 menit untuk mencapai daratan terdekat.

Beberapa tahun lalu, PT Newmont Nusa Tenggara, yang beroperasi di NTB, pernah menawarkan fasilitas air bersih di beberapa wilayah pesisir selatan Lombok. Di balik tawaran itu, perusahaan bermaksud membangun kawasan penangkaran mutiara sebagai bagian dari program pemanfaatan desa kawasan pesisir.

“Makanya di Telong-Elong Jerowaru itu punya tampungan air yang dibuat PT Newmont,” kata Usman, yang juga kepala lingkungan Desa Pulau Maringkik Selatan. Kawasan Telong-Elong juga jadi tujuan warga Desa Maringkik membeli air.

Hingga sekarang, warga Desa Pulau Maringkik tidak pernah menyetujui tawaran PT Newmont. Bagi mereka, kehadiran Newmont sudah menyulitkan para nelayan mencari ikan.

“Dulu mencari ikan jarang sampai ke Indonesia Timur, tapi sejak ada PT Newmont, banyak warga Pulau Maringkik yang mencari ikan hingga ke pulau-pulau di Indonesia Timur dan bahkan lebih jauh lagi,” kata Usman.


Esai foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
8 menit