Tidak ada perempuan yang ingin berprofesi sebagai pekerja seks. Perempuan yang dilacurkan (pedila) adalah korban, baik karena eksploitasi, ekonomi, maupun ketimpangan akses terhadap hak-hak dasar hidup.
MUFIDA ATMADJA (Ida) masih berusia 14 tahun saat sang nenek menjodohkannya dengan seorang anak juragan tanah dari sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah.
Sedari kecil, Ida tinggal dan diasuh neneknya. Orangtuanya pergi merantau bekerja di Sumatra. Neneknya adalah sosok terpandang di desa: pengusaha batik dan juga pemilik sejumlah lahan sawah.
Kendati demikian, pendidikan bukan prioritas yang disiapkan sang nenek bagi cucu-cucunya. Ida hanya menempuh pendidikan sampai tingkat dasar. Padahal sewaktu sekolah, Ida adalah murid yang cekatan dan senang belajar. Ia pernah menjadi asisten gurunya untuk menyiapkan kebutuhan belajar-mengajar. Ida kecil bercita-cita menjadi astronot.
“Keluarga saya tidak peduli pentingnya pendidikan, tidak ada yang mendukung saya untuk sekolah,” kenang Ida yang kini berusia 52 tahun.
Pria yang dijodohkan dengan Ida berusia dua tahun lebih tua. Calon suaminya itu bukan sosok asing. Ia cukup mengenal polah sang calon suami yang suka membuat onar di kampung, termasuk kegemarannya bermain perempuan. Lokasi tempat tinggal mereka memang dekat dengan lokalisasi.
“Kalau sedang tak ada uang, dia curi ayam peternakan untuk diberikan ke mucikari dan ditukar perempuan,” kata Ida.
Karena paksaan sang nenek, Ida akhirnya menikahi si pria itu. Di usia pernikahannya ke tiga bulan, Ida dan suami memutuskan untuk tinggal terpisah dari sang nenek. Meski terpisah, Ida dan suami masih kerap mendapat bantuan dari sang nenek untuk sekadar membeli beras.
Selama menikah, suaminya tak kunjung memiliki pekerjaan. Setelah 3 tahun, Ida meminta cerai. Ia memberanikan hidup mandiri dan mencoba mencari pekerjaan ke kota demi menghidupi anak-anaknya yang masih berusia 3 dan 2 tahun.
***
Tidak mudah bagi Ida menjadi janda di usia 17 tahun dan memiliki dua balita. Tak lama setelah bercerai, mantan suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Ida memutuskan untuk menitipkan kedua anaknya ke mertuanya dan pergi dari desa untuk berjualan baju ke Lasem.
Di tengah perjalanannya, temannya, seorang istri aparat mengenalkannya dengan dunia malam. Oleh temannya itu, Ida dikenalkan dengan seorang laki-laki yang mengaku sebagai polisi.
Dari perkenalan itu, Ida diajak berjalan-jalan hingga ke Tuban, Jawa Timur. Ida lalu dibawa menginap di sebuah rumah. Ida terjebak di rumah yang belakangan ia baru ketahui adalah tempat pelacuran. Ida tertahan tak bisa melarikan diri dari rumah itu.
“Jujur, [saya] kesal, marah, dan takut karena teman saya, istri polisi itu, pergi meninggalkan saya,” katanya.
Setahun berlalu, Ida lalu diajak teman serumahnya itu pindah ke daerah Bangunsari, Surabaya, demi beroleh pendapatan yang lebih baik. Katanya, di Bangunsari, mereka bisa mendapat Rp50.000 per jasa seks. Kendati harga itu terbilang lebih rendah dibanding kawasan Dolly dengan kisaran Rp200.000 per jasa seks.
Jerat kelam sebagai pekerja seks membuatnya semakin jauh dari anak-anaknya. Ida tidak pernah lagi pulang karena malu dan takut. Ia memilih untuk menyembunyikan identitasnya.
Kehidupannya semakin tak karuan. Ida juga terjerat narkotika dan kecanduan alkohol. Hingga satu ketika, ia “naik status” menjadi simpanan seorang aparat. Ia tak lagi harus bekerja. Ia dibelikan rumah, mobil, dan dibuatkan warung. Tetapi, kemewahan itu tidak lantas membuatnya bahagia. Ia tetap merasa terkungkung, tidak merdeka.
Ida lalu memutuskan hubungan dengan aparat tersebut. Ia kembali menjalin hubungan dengan laki-laki, tetapi kini, ia menyodorkan syarat bahwa mereka harus bisa menyekolahkannya.
“Saya kursus Bahasa Inggris dan komputer di Yogyakarta,” katanya.
Modal kemampuan ilmu bahasa dan komputer, membuat Ida semakin percaya diri. Ia mulai bergaul dengan mahasiswa hingga akhirnya berkenalan dengan para pegiat dari Yayasan Hotline Surabaya. Ida diterima dengan baik tanpa harus menyembunyikan identitasnya sebagai korban perempuan yang dilacurkan atau pedila.
“Selama bergaul dengan teman-teman hanya saya seorang pedila, saya merasa inilah orang-orang yang saya cari,” katanya.
Berada di lingkungan yang tepat, Ida bertekad mengubah jalan hidupnya. Ida memutuskan untuk membantu korban dan penyintas lain melalui advokasi, penyuluhan, edukasi kesehatan reproduksi, dan upaya perlindungan pedila dari ancaman kekerasan fisik dan psikis.
Ida bergabung dengan Yayasan Hotline Surabaya sejak 1996 hingga 2007. Setelahnya, ia mendirikan Komppas, Kelompok Penanganan Perempuan dan Anak Korban Trafficking Surabaya. Saat ini Komppas memiliki 150 pengurus dan anggota yang sebagian besarnya adalah pedila di sejumlah titik lokalisasi di Jawa Timur.
“Saya selalu memposisikan diri saya sebagai teman, saudara bahkan ibunya. Komunikasi tiada batasan, bahasa dan cara penyampaian juga penting agar mereka nyaman sama saya,” katanya.
Penutupan Lokalisasi dan Hak Kesehatan Pedila
Penutupan lokalisasi Dolly pada sepuluh tahun silam, tak lantas membuat bisnis prostitusi dan eksploitasi perempuan muda menjadi redup di Surabaya.
Ria (38), bukan nama sebenarnya, perempuan asal Blitar yang juga seorang pedila, mengatakan saat ini bisnis itu semakin masif melalui transaksi daring.
“Lewat MiChat. Harga jasa seks kisaran Rp300.000, sewa kamar kisaran Rp30.000,” kata Ria, yang kini juga aktif bersama Ida menjadi koordinator di Komppas.
Maraknya bisnis prostitusi daring ini justru menyulitkan Ria, Ida dan komunitasnya untuk mengidentifikasi pedila karena kebanyakan dari mereka menggunakan nama palsu. Padahal, salah satu program yang mereka jalankan adalah memberikan pendampingan kesehatan untuk para pedila. Pasalnya, sejak kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu tutup, pemerintah setempat tidak lagi memberikan layanan pengecekan kesehatan untuk para pedila.
“Dulu sebelum [Dolly] ditutup, masih rutin dikontrol setiap seminggu sekali dan setiap bulan periksa darah dari petugas puskesmas yang langsung datang ke lokalisasi,” kata Ria.
“Pemerintah menganggap sudah tidak ada lokalisasi, kami dianggap tidak ada.”
***
Sore menjelang malam, suasana Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kembang Kuning yang sunyi mulai sedikit ramai dengan pria dan wanita pekerja seks. Cahaya temaram muncul dari lampu-lampu taman kecil sekitar makam.
Sekitar satu kilometer dari gerbang utama, Rosa (42) duduk di atas sebuah makam milik orang Tionghoa.
Rosa sudah ‘mangkal’ di Kembang Kuning sejak 2018, sebelumnya ia bekerja di Jarak – lokalisasi yang berada di kabupaten sama dengan Dolly. Ia pernah menikah, tahun 1999. Pernikahannya hanya bertahan dua tahun, setahun pasca-melahirkan putri satu-satunya.
Rosa tak punya pilihan lain selain ikut masuk dalam bisnis prostitusi. Pekerjaan ini yang paling mungkin dilakukan untuk bisa membuat ia dan putrinya tetap hidup. Dulu, sebelum pandemi Covid-19, Rosa bisa mendapatkan Rp1,5 juta – Rp1,75 juta per malam dari melayani sekitar 30 pelanggan. Pasca-pandemi, pendapatannya menyusut seiring menurunnya jumlah pelanggan.
“Setelah Covid, 4- 5 pelanggan saja sudah bersyukur,” katanya.
Sekitar tahun 2014, Ida merekrut Rosa sebagai salah satu koordinator di wilayah Kembang Kuning. Tujuannya untuk mengumpulkan data pedila di area itu. Sejak direkrut itu pula, Rosa menyadari pentingnya jaminan kesehatan untuk ia dan putrinya. Ia lalu mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan jalur mandiri. Tetapi, semakin sulit ia mendapat pelanggan, semakin berat baginya membayar iuran.
“Saya punya kartu BPJS yang mandiri untuk kelas 2 ‘kan. Terlalu berat buat saya jadi saya abaikan sejak 3 tahun terakhir. Sebenarnya meringankan, BPJS, tapi kalau mandiri masih terlalu berat buat saya,” kata Rosa.
Baru tiga bulan terakhir, pihak kecamatan setempat memberikan pelayanan kesehatan untuk para pedila. Bahkan, pihak kecamatan juga menetapkan larangan bekerja bagi pekerja yang enggan dites HIV/AIDS.
Rosa berharap pelayanan seperti ini muncul lebih banyak di lokalisasi-lokalisasi lainnya.
“Bila ada kontrol kesehatan yang rutin jadi mudah dipantau,” katanya, merujuk banyaknya teman-teman pedila yang meninggal dunia dan tidak diketahui sebab penyakitnya.
Di samping itu, kendati pemerintah daerah menyediakan layanan pemeriksaan kesehatan untuk para pedila, namun, banyak di antara mereka enggan mengaksesnya karena khawatir identitas yang terbongkar. Bagaimana pun, banyak dari pedila yang menyembunyikan pekerjaannya dari keluarga karenanya mereka memilih memanipulasi identitas.
“Masih banyak mereka yang merasa minder dan ada ketakutan jika penyakitnya mereka diberitahu ke orang lain,” katanya.
Rosa hanya bisa menaruh harapan pada setiap sosok pemimpin yang adil terhadap hak kesehatan pedila dan pekerja seks lainnya. Selama belasan tahun ia tinggal di Surabaya, Rosa mengaku tidak pernah mendapat bantuan sosial dalam bentuk apapun karena dianggap bukan warga asli.
“Beras secangkir pun tidak pernah dapat, alasannya kita itu pendatang,” katanya.
***
Bagi Ria, membuka kembali lokalisasi adalah opsi yang lebih baik ketimbang hak-hak hidup pedila dibatasi. Menurutnya, menjamurnya prostitusi daring justru membuat keselamatan pedila semakin rentan, begitu juga para pekerja yang harus mangkal di tempat-tempat seperti pemakaman.
“Lokalisasi dibuka kembali tapi jangan ada di dalam perkampungan, bisa diberi tempat khusus dengan iuran banyak pun tidak apa-apa tapi sesuai pelayanan, ada imbal baliknya,” katanya.
Senada, Ida mengatakan tidak ada lokalisasi memang tidak ada iuran, tetapi risiko keamanan lebih besar. Mulai dari penggerebekan, kekerasan fisik, kriminalitas, ditodong oknum yang mengancam lalu meminta uang tebusan bila tidak ingin ditangkap.
“Hal itu bisa terjadi karena tidak ada yang mengatur dan menjaga teman pedila,” kata Ida.
Selain terus mengadvokasi dan memberikan penyuluhan kepada para pedila, Ida saat ini juga berupaya mengedukasi publik tentang hak-hak pedila melalui kegiatan seni seperti pameran hingga teater.
“Membahasakan mereka dengan bahasa yang tidak langsung,” katanya seraya melanjutkan, “Supaya memotivasi dalam berbagai hal.”
Di luar perannya sebagai pegiat hak pedila, Ida saat ini juga tengah menikmati perannya sebagai nenek. Kepada anak-anaknya, Ida tidak pernah secara langsung menceritakan perjalanan dan pekerjaannya pada masa lampau. Akan tetapi, ia meyakini anak-anaknya sudah mengetahui dan bisa menerimanya.
Selain menjadi pendamping pedila, Ida kini juga menyibukkan diri sebagai penjual kue kering. Bulan Ramadan seperti saat ini, ia bisa menerima pesanan hingga ratusan toples, yang satuannya bisa dijual dengan harga berkisar Rp60.000 – Rp85.000.
“Perubahan atau berubah harus diawali dari diri sendiri,” tukasnya.