Stigma negatif pada perempuan yang dilacurkan dan pengidap HIV/AIDS bahkan melekat kuat hingga akhir hayat mereka.
Bendera putih dengan simbol plus merah terpasang di ujung gang sempit di Kampung Pakis Sidokumpul, Surabaya, Jawa Timur. Suasana sunyi menyelimuti permukiman padat yang juga dikenal sebagai kawasan prostitusi tersebut. Sore itu, tidak ada anak-anak bermain atau ibu-ibu yang berkumpul, berbincang, sambil mencari kutu di kepala anaknya.
Suasana sunyi juga menjalar di rumah duka. Tidak banyak pelawat yang datang menyampaikan duka, memberi pelukan penghiburan, atau mendoakan yang berpulang. Jenazah akhirnya dimandikan sedikit orang, setelah tiga perempuan modin (pengurus jenazah) menolak memandikannya.
Setelah itu, shalat jenazah berlangsung dipimpin oleh Solihin, diikuti dua anak almarhumah dan seorang kerabat.
“Kita (relawan) memandikan dengan pengetahuan seadanya,” kata Rini (45), salah seorang relawan yang memandikan almarhumah.
Arak-arakan jenazah menuju pemakaman juga sepi. Hanya ada delapan orang di dalam rombongan, termasuk di antaranya adalah keluarga. Anak kedua dari almarhumah yang baru berusia 10 tahun, berjalan sambil melangsungkan tradisi sawur; menabur bunga, beras kuning dan uang receh ke jalan yang mereka lewati. Tradisi Jawa ini dilakukan dengan harapan agar jenazah dihapus dosa dan diterima ibadahnya.
Tiba di pemakaman, hujan turun. Beberapa orang melebarkan kain hijau pembungkus jenazah menutupi mayat yang sudah dikafani. Hujan terlampau deras menyebabkan air tergenang di dalam lubang kubur yang telah disiapkan. Rombongan tidak punya pilihan, jenazah tetap dikuburkan di dalam genangan air.
Pemakaman berlangsung cepat. Air mata kedua anak almarhumah bercampur hujan. Rano (bukan nama sebenarnya), anak sulung almarhumah, mengaku kecewa karena tidak ada rekan-rekannya dari perkumpulan karang taruna dan tetangga yang hadir bahkan sekadar untuk mengucapkan bela sungkawa. Padahal Rano adalah mantan ketua karang taruna yang baru saja lengser tahun ini.
Almarhumah ibu Rano adalah seorang pedila, atau perempuan yang dilacurkan. Menurut Rini, penolakan warga untuk terlibat dalam proses pengurusan hingga pemakaman untuk para pedila yang berpulang bukan baru ini terjadi.
“Sebelumnya sudah ada lima kali penolakan,” kata Rini, relawan dari lembaga nirlaba hak asasi manusia (HAM), Yayasan Orbit Surabaya.
“Kewajiban modin adalah memandikan jenazah, tidak peduli siapa atau bagaimana kondisinya, penolakan mereka cermin dari ketidakpahaman dan stigma yang masih kuat melekat di masyarakat kita.”
***
Rini sejak lama berhadapan dengan isu ini. Orang terdekatnya juga mengalami penolakan serupa. Ia paham bagaimana rasanya hidup dengan stigma dan beratnya upaya melawan itu semua.
Penolakan demi penolakan ini membuat dirinya memahami betapa sulitnya hidup di bawah bayang-bayang stigma. Peristiwa itu justru membuat Rini semakin bersemangat mengulurkan tangan kepada para perempuan dengan ODHA.
“Aku sudah melihat sendiri bagaimana mereka berjuang, dan aku tahu persis apa yang mereka alami. Mereka hanya butuh dipahami, bukan dihakimi,” katanya.
Modin, penjaga martabat di akhir hayat
Selesai sholat jenazah, Solihin mengangkat keranda dengan tangan kanannya dibantu tiga orang lainnya. Ia kemudian memberi aba-aba untuk meletakkan keranda di gerobak dorong. Ia mengatur tata cara pemberangkatan jenazah hingga tiba saatnya pemakaman.
Nama lengkapnya Haji Solihin Al Mursyadi (56), seorang modin di Kampung Pakis Sidokumpul, Surabaya. Solihin sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi modin. Tawaran menjadi pemandi jenazah datang dari ibu RW setempat karena tidak ada orang lain yang mau menjalankan tugas ini.
“Daerah ini adalah basis prostitusi. Jarak, Kembang Kuning, Sidokumpul, dan Dolly saling berdekatan. Jadi, jenis kematian di sini beragam, termasuk mereka yang meninggal karena HIV atau penyakit menular lainnya,” kata Solihin.
Keterlibatannya sebagai modin muncul karena rasa kemanusiaan. Menjadi modin di kawasan dengan risiko penyakit menular tentu saja bukan tugas yang mudah. Pada awalnya, Solihin merasa takut. Namun, ketakutannya sedikit demi sedikit memudar setelah mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan pada tahun 2017.
“Pelatihan ini mengajarkan cara menangani jenazah ODHA agar kita tidak gegabah. Kami dibekali pengetahuan tentang penggunaan alat pelindung yang aman,” jelasnya.
Di wilayah Pakis Sidokumpul, terdapat dua modin, satu laki-laki dan satu perempuan. Namun, modin perempuan di wilayah tersebut sudah sepuh dan sangat selektif dalam memilih jenazah yang akan dimandikan. Ini menyebabkan beban tugas lebih banyak jatuh pada Solihin, terutama ketika berhadapan dengan jenazah yang terjangkit penyakit menular.
Keadaan itu membuat Solihin kadang terpaksa melanggar kebiasaan yaitu dengan melihat jenazah perempuan guna membantu mengarahkan kerabat almarhum yang awam memandikan jenazah.
“Dalam Islam, jenazah harus dimandikan, disholatkan, dan dimakamkan. Itu hukumnya wajib. Jika tidak ada yang mau memandikan jenazah, maka satu kampung akan menanggung dosanya,” katanya.
Stigma terhadap ODHA di masyarakat masih sangat kuat, termasuk di kalangan modin. Kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak terlibat dalam proses pemakaman jenazah ODHA.
“Sekarang ini, jika ada jenazah ODHA, kami dibantu oleh tim dari Dinas Sosial. Mereka yang memandikan dan mengkafani jenazah, kami hanya memandu saja,” jelasnya.
Modin di Pakis Sidokumpul, seperti Solihin, harus selalu siap siaga. Kebanyakan Modin di sini adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut dan pensiun. Mereka menerima honor sebesar Rp800.000 per bulan. Namun, bagi Solihin, uang bukanlah motivasi utamanya.
“Tidak peduli bagaimana seseorang hidup, ketika meninggal, mereka berhak untuk dimandikan dan dimakamkan dengan layak. Itu adalah martabat terakhir yang harus dijaga,” tukasnya.
Pemakaman bagi Mr. X
Di Pemakaman Jarak, Surabaya, terdapat sebidang tanah lapang yang ditujukan khusus sebagai area bagi mereka yang tidak memiliki identitas dan ditolak keluarga atau warga karena mengidap ODHA.
Makam-makam tak bernama, atau Mr. X itu, tergantikan dengan nomor pada nisan kayu sederhana yang menandai kuburan mereka, menjadi satu-satunya penanda bagi siapa saja yang mencoba mencari kerabat mereka di sini.
Bagi mereka yang akhirnya dikenali oleh keluarga, kuburannya akan dipindahkan atau dibenahi, diberikan penghormatan yang lebih layak dengan dibuatkan nisan. Namun, bagi mereka yang terkubur tanpa identitas, takdir mereka adalah menjadi bagian dari lapisan-lapisan tanah yang suatu saat akan tertiban oleh makam baru ketika lahan pemakaman ini penuh.
Capung (59), penggali kubur yang sudah 10 tahun bekerja di sini mengatakan dalam satu hari, ia bisa menggali 8-10 liang kubur. Kedalaman kuburan berkisar 30 cm, lebih pendek dibandingkan syariat Islam yang umumnya sedalam 1-2 meter. Ketika hujan deras dan tanah menjadi longsor atau retak, sering kali tubuh-tubuh yang terkubur ini muncul kembali ke permukaan, kain kafan mereka terkoyak oleh alam.
Tapi pemandangan tersebut tidak dihiraukan oleh masyarakat setempat, sekumpulan anak-anak dengan penuh semangat bermain. Ada yang menyepak bola, latihan menari untuk persiapan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, bahkan tampak para lelaki remaja sedang mengikuti lomba 17 Agustus.
Para pemuda pun beradu layangan, seolah tak terganggu dengan bau busuk TPA disebelah atau kenyataan suram bahwa di bawah kaki mereka terkubur tubuh-tubuh yang terlupakan oleh masyarakat.
***