Perjuangan Masyarakat Awyu Menyelamatkan Kehidupan: Menolak Melepas Hutan Adat Papua untuk Perusahaan Sawit

Greenpeace Indonesia & Yayasan PUSAKA
Fahri Salam
25 menit
Perwakilan masyarakat adat Awyu (Papua Selatan) dan Moi (Papua Barat Daya) mengenakan pakaian adat, melakukan doa dan ritual serta pertunjukan tari tradisional saat berkunjung ke Mahkamah Agung di Jakarta, 27 Mei 2024. Mereka meminta MA mencabut izin dua perusahaan sawit yang mengancam hutan adat mereka dengan luas lebih dari separuh provinsi Jakarta. (Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno)
Hutan adat di selatan Papua seluas separuh luas Jakarta terancam dihilangkan oleh konsesi gelap perusahaan cangkang Malaysia. 
  • Hutan adat Suku Awyu di selatan Papua seluas separuh luas Jakarta terancam dihilangkan menjadi perkebunan dan pabrik kelapa sawit.
  • Perusahaan sawit itu, bernama PT Indo Asiana Lestari (IAL), adalah perusahaan cangkang asal Malaysia, bagian dari proyek lama yang penuh muslihat bernama Proyek Tanah Merah.
  • Proses analisis dampak lingkungan PT IAL menghilangkan suara penolakan dari marga Woro dan marga-marga lain di komunitas Suku Awyu. 
  • Hendrikus Woro telah menggugat izin lingkungan, kini menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung.

“KAMI DATANG menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke ibu kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang sekarang kami lawan,” Hendrikus Woro, Ketua Marga Woro Suku Awyu dari Boven Digoel, berkata dalam protes adat di depan gedung MA, Jakarta Pusat, 27 Mei 2024.

Kasasi yang disebut Hendrikus itu menyangkut izin lingkungan yang diberikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL). Luasnya mencapai 36.094,4 hektare, yang akan menghancurkan ekosistem kehidupan di antara wilayah Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Boven Digoel. 

Hendrikus telah menggugat izin lingkungan itu di PTUN Jayapura. Gugatannya ditolak. Ia lalu banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Manado, yang juga ditolak. 

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju,” ucapnya. “Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang Tete-Nene leluhur wariskan untuk saya.”

Tak banyak masyarakat adat korban perampasan lahan di Papua yang menempuh jalur hukum untuk menentang keputusan sepihak pemerintah. Hendrikus Woro memilih jalan ini setelah semua upaya marga Woro dan marga-marga lain yang menolak memberikan tanah untuk PT IAL, tak membuahkan hasil.

Hendrikus Woro, perwakilan Suku Awyu di Papua Selatan, memegang surat yang ditujukan kepada para hakim Mahkamah Agung di Jakarta. Ia meminta MA mencabut izin perusahaan sawit Indo Asiana Lestari di Boven Digoel yang mengancam hutan adat masyatakat Awyu. (Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno)

Hendrikus berasal dari Kampung Yare, Distrik Fofi. Dari Tanah Merah, ibu kota kabupaten, Hendrikus dan warga Kampung Yare biasa menempuh perjalanan kurang lebih sehari. Mereka menggunakan perahu motor melintasi Kali Digoel ke Kampung Ampera, lanjut perjalanan darat yang hanya bisa menggunakan motor ke pusat Distrik Fofi, lalu kembali menggunakan jalur sungai hingga tiba di Kampung Yare.

Wilayah ini merupakan hutan hujan dataran rendah yang masih utuh. Warga hidup sepenuhnya dari hasil alam. Mereka umumnya memancing, berburu, meramu sagu, hingga mencari gaharu. Menjual gaharu satu-satunya sumber uang.

 “Saya cari gaharu dan jual, jadikan uang di kios-kios terapung. Hasil gaharu saya pakai biaya anak-anak sekolah,” ujar Antonia Nouyagi, perempuan warga Kampung Yare. 

Hutan di tepi Kali Digoel yang terancam diubah jadi perkebunan sawit. Kali Digoel adalah jalur transportasi masyarakat dari pusat Boven Digoel menuju Distrik Mandobo dan Distrik Fofi. (Project M/Asrida Elisabeth)

Kios-kios terapung milik para migran itu membeli gaharu sekaligus menjual berbagai kebutuhan pokok warga yang tak bisa mereka ambil dari alam. 

Sejak suami Antonia meninggal pada 2004, ibu sembilan anak ini masih bisa membiayai sekolah anak-anaknya. Ada yang sudah bekerja, ada yang masih sekolah. Salah seorang anaknya saat ini menempuh pendidikan tinggi di Jakarta.

Antonia berkata tidak tahu sama sekali tentang PT IAL, tidak pernah melihat pengumuman PT IAL, ataupun diundang ke pertemuan terkait PT IAL. Ketika ditanya memilih hutan atau kebun sawit, Antonia menjawab: “Tetap pilih hutan karena kita harapkan alam.”

Muslihat Amdal Bermasalah

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, Solayen Murib Tabuni, memberikan izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari pada 2021. Tak hanya itu, Dinas Penanaman Modal sudah menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT IAL. 

Solayen berdalih menandatangani SK perizinan itu karena sudah melalui tahapan yang panjang. Ada persetujuan bupati setempat, rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Dinas Perkebunan.

“Kami di sini melayani apa pun yang disodorkan. Karena semua mereka sudah lalui, baru bawa ke sini,” ucapnya. 

Masalahnya, proses yang tampak legal ini menyembunyikan fakta bahwa ada penolakan dari masyarakat pemilik ulayat. 

Rekomendasi kelayakan lingkungan dibuat berdasarkan dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal). Dalam penyusunan dokumen Amdal, pemerintah dan perusahaan wajib melibatkan semua masyarakat terdampak.

Pegawai Dinas Kehutanan dan Provinsi Papua yang terlibat menyusun dokumen mengklaim sudah melibatkan semua pemilik ulayat saat konsultasi publik lingkungan PT IAL pada 2018. Namun, marga Woro menyatakan tidak pernah diundang atau mendengar informasi konsultasi publik tersebut. 

Tidak ada marga Woro dalam konsultasi publik terlihat dalam dokumen Amdal PT IAL. Dalam dokumen itu hanya ada 12 marga pemilik ulayat yang wilayahnya masuk konsesi PT IAL. Padahal, hasil tumpang susun peta wilayah adat marga Woro dan izin PT IAL menunjukkan wilayah adat marga Woro termasuk di dalamnya. 

Peta tanah adat dan hutan adat marga Moro memperlihatkan lahan seluas 2.014 ha wilayah adat marga Woro tumpang tindih dengan izin PT Indo Asiana Lestari. (Sumber: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Warga Kampung Yare, termasuk marga Woro, telah melakukan pemetaan wilayah adatnya. Pemetaan itu berjalan dari 2019 sampai 2021. Pemetaan partisipatif ini menghasil peta wilayah adat marga-marga yang dilengkapi berita acara kesepakatan batas. 

Peta ini yang kemudian ditumpang susun dengan konsesi PT IAL. 

“Hasil itu dikalkulasikan dan muncul angka 2.014 hektare,” ucap Arief Rossi, staf pemetaan partisipatif dari Yayasan Pusaka, yang mendampingi pemetaan wilayah adat di Kampung Yare.

Warga Kampung Yare memutuskan membuat peta wilayah secara mandiri karena khawatir wilayahnya diklaim sepihak oleh perusahaan. 

Hendrikus Woro bercerita pernah bertengkar dengan Fabianus Senfahagi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel. LMA adalah lembaga adat bentukan pemerintah yang berperan memfasilitasi komunikasi dengan masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan. 

Kala itu 19 Agustus 2017, Fabianus Senfahagi dan perwakilan PT IAL bertemu masyarakat pemilik ulayat di Kampung Ampera, Distrik Mandobo, untuk meminta tanah.

Meski tak diundang, Hendrikus merasa perlu hadir, curiga tanah adat marganya ikut masuk dalam konsesi perusahaan sawit itu. 

Di tengah pertemuan, sebuah peta ditunjukkan kepada masyarakat. Itu adalah peta konsesi 7 perusahaan yang dulunya dikuasai Menara Group. Total luasnya mencapai 280.000 ha.

“Wilayah kampung kami ada 16 marga. Semua kena. Saya lihat dan saya punya marga juga kena di PT Indo Asiana,” ceritanya.

Hendrikus langsung menyampaikan penolakan. “Saya bilang untuk saya punya (marga) tidak bisa.” 

Fabianus Senfahagi, yang memimpin pertemuan sosialisasi, tidak senang atas penolakan Hendrikus.

“Dia bilang begini, ‘Eh anak kecil, ko bisa kasi makan orang banyak ini ka?” Hendrikus meniru kembali pernyataan Fabianus kala itu.  

Hendrikus tetap menolak, yang menyulut emosi Fabianus. Ketua LMA yang merangkap Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Boven Digoel itu pun melayangkan tangan ke Hendrikus. 

“Pertama dia buang tangan, saya les (menghindar), tidak kena. Kedua, dia buang tangan, saya tangkap dia pu tangan.” 

Peta Proyek Tanah Merah di wilayah Suku Awyu di Boven Digoel. Paling atas adalah lokasi PT Indo Asiana Lestari. (Sumber: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Rikarda Ma, perempuan warga Kampung Ampera yang ikut dalam pertemuan itu, menyaksikan pertengkaran tersebut. Ia berkata selain perwakilan PT IAL, hadir juga seorang polisi dan sembilan orang Satpol PP. 

“Mereka bicara tentang kapan perusahaan datang. Perusahaan janji air bersih, pendidikan, dan perumahan kalau perusahaan masuk,” ceritanya.

Rikarda menyaksikan, di pertemuan itu, Fabianus Senfahagi yang lebih banyak bicara. Fabianus tak hanya marah kepada Hendrikus Woro tapi juga kepada warga lain yang menolak.

“Dia membentak adik saya dan bapak saya. Dia tekan masyarakat supaya bisa menerima. Dia sempat keluarkan kata-kata macam, ‘Ko bisa kasi makan banyak orang ka?’”

Hari itu Hendrikus mendengar Fabianus dan utusan perusahaan berjanji untuk melewati wilayah adat marga Woro dari rencana operasi perusahaan. 

Jalan Kaki Menagih Keterbukaan Informasi

Waktu berlalu, Hendrikus mendengar kabar PT Indo Asiana Lestari sudah mengantongi dokumen analisis dampak lingkungan. Ia lalu menyurati Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Perizinan, dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Boven Digoel. 

Surat pertama dikirim. Tidak ada tanggapan dari lembaga-lembaga itu.

“Saya cantumkan nomor HP saya dan diberikan kesempatan untuk mendapat informasi dalam waktu sepuluh hari.”

Dari tempat tinggal sementara di Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel, Hendrikus menunggu kabar. Ia menyambangi kantor-kantor dinas menunggu jawaban suratnya. Saat tak punya cukup uang untuk membayar kendaraan, ia pun berjalan kaki ke kantor-kantor itu.

“Jangkauan dari tempat kami di kota itu dengan dinas sangat jauh dan saya jalan kaki hampir 6 kilometer, berapa kali pergi-pulang jalan kaki, saya emosi. Saya sepak mereka punya meja tata usaha kasi pica.”

“Saya bilang, ‘Kamu ini, ada masyarakat, ada kamu. Kami datang, tolong layani kami. Ada informasi yang dikeluarkan seperti apa supaya kami bisa dengar seperti apa.’”

Gertakannya membuahkan hasil. Keesokan hari, kepala bidang yang menangani masalah ini bisa dijumpai. Dari pertemuan itu, Hendrikus mendapatkan informasi baru.

“Dia sampaikan bahwa bukan kami yang berikan izin itu tapi dari Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua. Dari situ baru saya mulai cek dan ternyata benar.”

Pada 26 Juli 2022, didampingi kuasa hukum dari LBH Papua, Hendrikus menyampaikan permohonan informasi ke Dinas Penanaman Modal serta Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. 

Dinas Penanaman Modal menolak memberikan informasi, sedangkan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup memberikan dokumen Amdal PT IAL. Marga Woro sempat mengajukan gugatan informasi publik terhadap Dinas Penanaman Modal, tapi gugatannya ditolak karena alasan administratif. 

Dari dokumen Amdal, mereka memperoleh informasi ada izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal.  

Dokumen sama juga menunjukkan peta konsesi PT IAL tak berubah; wilayah adat marga Woro masuk, tapi nama marganya tidak dituliskan sebagai salah satu pemilik ulayat.

Hendrikus lalu mengajukan permohonan pencabutan izin lingkungan PT IAL kepada Kepala Dinas Penanaman Modal maupun Gubernur Papua, tapi permohonannya tidak dikabulkan.

Hendrikus pun mengajukan gugatan di PTUN Jayapura. 

Proyek Lama Tanah Merah

PT Indo Asiana Lestari adalah satu dari tujuh perusahaan yang hendak menguasai lahan Proyek Tanah Merah di Boven Digoel. Proyek Tanah Merah berawal dari izin lokasi skala besar yang diberikan Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo pada 2007. Luasnya mencapai 280.000 ha atau 10% dari luas kabupaten. 

Lokasi Proyek Tanah Merah membentang di antara Kali Digoel hingga mendekati Kali Mappi. Ini adalah wilayah adat Suku Awyu. Perusahaan yang mendapat izin antara lain PT Usaha Nabati Terpadu, PT Trimegah Karya Utama, PT Manunggal Sukses Mandiri, PT Megakarya Jaya Raya, PT Kartika Cipta Pratama, PT Graha Kencana Mulia, dan PT Energi Samudra Kencana.

Investigasi The Gecko Project, Mongabay, Tempo, dan Malaysiakini menunjukkan kejanggalan dalam proses penerbitan izin-izin ini. 

Perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin di wilayah Proyek Tanah Merah adalah perusahaan cangkang. Para pelaku diduga mengurus izin-izin ini bukan untuk menanam sawit. Mereka menjual izin-izin ini kepada investor di bursa saham.  

Peran Fabianus Senfahagi sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel disebut dalam investigasi itu adalah mengamankan izin-izin perusahaan. Atas suratnya, ada empat perusahaan yang izinnya dicabut dan kemudian diberikan kepada empat perusahan baru. Satu di antaranya PT IAL yang kini berkonflik dengan marga Woro. 

Kantor Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Boven Digoel. (Project M/Asrida Elisabeth)

Empat bulan sebelum pertemuan di Kampung Ampera, pada 3 April 2017, Fabianus Senfahagi mengirim surat pernyataan kepada Bupati Boven Digoel. Isinya membatalkan dan mencabut izin usaha perkebunan (IUP) PT Energi Samudra Kencana (PT ESK) seluas 39.190 ha, dan memberikan lahan itu kepada PT IAL. 

Dalam suratnya itu, ia mengatakan hal itu aspirasi masyarakat adat pemilik ulayat. Pada 7 Juli 2017, terbit izin lokasi baru kepada PT IAL di lokasi yang sama dengan PT ESK.

Kasimilus Awe, tokoh adat Awyu yang bersama Hendrikus memimpin gerakan penolakan, menyatakan warga Awyu tidak pernah memberi kuasa kepada siapa pun untuk mendatangkan perusahaan.

“Kami tidak pernah, melalui siapa pun dengan cara apa pun, meminta datangkan perusahaan untuk mengelola kami punya dusun, kami punya tanah. Kami tidak pernah. Soal makan dan minum, kami cukup,” ujarnya. 

Suku Awyu di Boven Digoel terbagi ke dalam kelompok rumpun. Kelompok rumpun terbagi lagi ke dalam kelompok klan, lalu di dalam kelompok klan terdapat kelompok lebih kecil yaitu marga. Marga menguasai suatu wilayah secara komunal. Batas antara satu marga dan marga lain berupa batas-batas alam yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. 

Maka, konsesi perusahaan seperti PT IAL merupakan wilayah adat banyak marga. 

Banyak kelompok marga yang harus didekati untuk memastikan persetujuan melepas hak ulayat kepada perusahaan, diduga menjadi alasan di balik munculnya tokoh seperti Fabianus Senfahagi di pusaran Proyek Tanah Merah. 

Tigor Hutapea, seorang pemerhati hak-hak masyarakat adat dan pengacara Hendrikus Woro, menyatakan persetujuan lembaga masyarakat adat menjadi jalan pintas untuk mendapatkan persetujuan masyarakat pemilik ulayat.

“Pemerintah dan perusahaan malas berkoordinasi dengan masyarakat, mereka cari representasinya. Yang representatif itu LMA. Padahal LMA bukan pemilik tanah adat,” tegasnya. 

Salib Suci Penolakan

Sejak beredarnya informasi Proyek Tanah Merah, marga Woro dan marga-marga lain yang menolak melepaskan wilayah adat, sudah berulang-ulang menyampaikan aspirasi mereka. 

Pada 2014, mereka membentuk kelompok lintas marga dan mencoba memengaruhi masyarakat di kampung-kampung agar tidak serta merta melepas tanah mereka ke perusahaan. 

Hendrikus Woro semakin percaya diri melakukan konsolidasi karena dukungan marganya sendiri dan marga-marga lain menolak perusahaan. Mereka mendorongnya untuk memimpin konsolidasi. 

Ko tampil sudah, kami siap dukung dari belakang,” ceritanya.

Tahun 2014 konsolidasi dilakukan di kampung-kampung. Bagi Hendrikus dan timnya, memengaruhi pimpinan marga dan warga kampung adalah pekerjaan penting, sebab uang dan janji kesejahteraan yang disampaikan sering memengaruhi keputusan mereka untuk melepaskan tanah ulayat. 

Tanpa musyawarah internal dengan seluruh anggota marga, mereka menandatangani surat-surat pelepasan. Padahal, sistem kerja perkebunan sawit sulit menyerap tenaga kerja masyarakat adat.

Hendrikus bercerita, di kampung-kampung sekitar seperti Anggai dan Asiki yang tanah adat mereka sudah dilepas ke perusahaan, para ketua marga mendapat kompensasi bulanan Rp1,2 juta–jumlah yang sangat kecil untuk membiayai hidup seluruh anggota marga.

“Karena dusun itu bukan dusun perorangan. Jadi ketika saya ambil Rp1,2 juta, berarti saya sudah berdosa terhadap keluarga saya. Itu yang saya pikirkan.” 

Marga-marga Suku Awyu memasang patok-patok tanda larangan di batas-batas wilayah adat mereka, antara lain patok adat, patok bertuliskan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. (Dokumentasi Suku Awyu)

Pada 2016, marga-marga Suku Awyu mulai memasang patok-patok tanda larangan di batas-batas wilayah adat mereka, antara lain patok adat, patok bertuliskan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, salib merah, dan bendera merah putih. 

Warga di wilayah ini dominan beragama Katolik. Mereka menancapnya pada 14 September, yang dalam tradisi Katolik merupakan Hari Salib Suci. Tim yang sudah dibentuk di kampung-kampung secara serentak melakukan aksi ini. 

“Jam 3 sore tancap salib suci sebagai tanda sasi atau tanda larang untuk melindungi hak kami. Sesuai dengan iman dan kepercayaan kami, kami menghadirkan Tuhan untuk melindungi tanah kami.”

Hendrikus berharap kehadiran salib di tanah-tanah adat ini juga menjadi pengingat bagi warga agar tak melepaskan tanah adat. 

Pada 2016, marga-marga Suku Awyu yang mayoritas beragama Katolik menancapkan salib merah pada 14 September, yang dalam tradisi Katolik merupakan Hari Salib Suci, dimaknai sebagai tanda sasi atau tanda larangan demi melindungi hak atas tanah Suku Awyu. (Dokumentasi Suku Awyu)

Mereka juga menyampaikan aspirasi penolakan melalui Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke menyebarluaskan informasi penolakan ini. Sejak saat itu Suku Awyu dan Wambon yang menolak perusahaan, terhubung dengan lembaga-lembaga advokasi.

Aksi penolakan meningkat setelah mendengar masuknya PT IAL pada 2017. 

Hendrikus Woro, Kasimilus Awe, dan tokoh adat Awyu lain membentuk kelompok paralegal Cinta Tanah Adat Suku Awyu. 

Tak hanya bergerak di kampung, tim mengirim surat ke pemerintah, juga melakukan aksi demonstrasi di kantor pemerintah DPRD dan Bupati Boven Digoel.

“Tapi tidak ada tanggapan,” kesal Hendrikus. 

Mediasi antar-kelompok yang menolak dan menerima pernah dilakukan, tapi berakhir dengan pemaksaan tanda tangan persetujuan memasukkan perusahaan.

Pada akhir 2020, Hendrikus bersama marga-marga lain dari Suku Awyu dan Wambon pergi ke Jayapura. Mereka bertemu Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Gubernur Papua, Dewan Perwakilan Rakyat hingga Majelis Rakyat Papua. Pada kesempatan itu, Hendrikus meminta pemerintah tidak memproses izin PT IAL. 

Namun, upaya itu juga tidak membuahkan hasil. 

Perusahaan Cangkang Malaysia

Terletak di jalan utama Kota Boven Digoel, kantor PT Indo Asiana Lestari tak menampakkan banyak aktivitas. Di kantor yang sama pula menjadi kantor untuk tiga perusahaan lain, yaitu PT Indo Perintis Jaya, PT Pasti Makmur Indonesia, dan PT Green Energy Wood.

Riset internal Greenpeace pada April 2023 menunjukkan PT IAL dan PT Indo Perintis adalah anak usaha dari Whole Asia Group Sdn Bhd, yang juga memiliki saham minoritas di PT Pasti Makmur. Perusahaan ini dimiliki Tan Yao Zhu dan Tan Yao Zhong, warga negara Malaysia. 

Keduanya menjabat direktur dan komisaris di empat perusahaan Indonesia, dan salah satu di antara mereka merupakan direktur tunggal di masing-masing perusahaan induk Malaysia. Tan Yao Zhong merupakan pemegang saham mayoritas PT Green Energy secara perorangan.

Dari namanya keluarganya, Greenpeace menduga keduanya bersaudara. 

Keduanya berusia sangat muda. Tan Yao Zhu lahir pada Oktober 2000 dan Tan Yao Zhong pada Desember 1997. Ada dugaan lain kedua nama ini menyembunyikan nama lain yang tidak ingin muncul dalam dokumen legal perusahaan. 

Kantor PT Indo Asiana Lestari di Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel. (Project M/Asrida Elisabeth)

Dalam websitenya, PT Whole Asia Group mengklaim menguasai tanah seluas 100.000 ha di Indonesia.

“Whole Asia Group bertanggung jawab atas pengelolaan berkelanjutan lebih dari 100.000 hektare hutan di Indonesia, menjaga dan mengoptimalkan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan dari hutan, untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan,” tulisnya.

Tak ada satu pun informasi dalam website perusahaan yang menyebutkan bisnis minyak sawit.

Pada akhir 2020, PT IAL sempat membuka lahan area izinnya di tepi Kali Digoel, yang dilawan masyarakat pemilik ulayat.

Laurensia Yame adalah salah satu perempuan pemilik ulayat pada lokasi tempat penimbunan kayu (logpond) dibuka. Ia sendirian sambil membawa parang mengadang para pekerja perusahaan.

“Pergi,” teriaknya, “bilang kamu punya bos itu, tidak boleh datang lagi, tidak boleh ada perusahaan yang masuk di sini.”

Atas tindakannya, Laurensia Yame dilaporkan ke Polsek Mandobo di Tanah Merah. Ibu tujuh anak ini tidak gentar. Ia berpengalaman kerja di kebun sawit milik Korindo di Asiki dan melihat nasib pemilik ulayat yang tidak semanis janji perusahaan.

Menggugat ke PTUN Jayapura

Hendrikus Woro akhirnya memutuskan menggugat Kepala Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua. Ia didampingi kuasa hukum dari Koalisi Selamatkan Hutan Papua, yang terdiri dari LBH Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Satya Bumi, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan Perkumpulan HuMa Indonesia. 

Alasan utama gugatan ini adalah izin lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari terbit tanpa persetujuan awal pemilik ulayat sebagaimana amanat UU Otsus No. 2 Tahun 2021. 

“Bahwa sebelum penerbitan objek gugatan, tergugat tidak pernah melibatkan masyarakat adat Awyu khususnya penggugat dan komunitas Marga Woro dalam pembahasan-pembahasan sebelum diterbitkan objek gugatan,” bunyi salah satu poin alasan gugatan.

Sebagai pemilik ulayat, marga Woro juga tidak mengetahui ada kegiatan pengumuman atau konsultasi terkait rencana usaha PT IAL. 

Hendrikus Woro dan Kasimilus Awe, warga Suku Awyu, datang ke PTUN Jayapura untuk mendaftarkan gugatan terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua pada 13 Maret 2023. (Project M/Asrida Elisabeth)

Dokumen analisis dampak lingkungan yang jadi dasar izin perusahaan dinilai cacat prosedur dan substansi. Amdal cacat prosedur karena tidak memuat marga Woro sebagai pemilik wilayah adat. Meski marga Woro masuk dalam konsesi, tak ada nama marga Woro dalam dokumen tersebut. 

Dokumen ini hanya menyebut 12 marga, yakni marga Abugahagi, Aweyoho, Hamagi, Hapto, Keweo, Mukri, Nohyahagi Ampera, Nohyamagi Navini,  Sifirahagi Ampera, Sifirahagi Navini, Sifarahagi Suam, dan marga Tifahagi.  

Dokumen Amdal juga membatasi wilayah studi dampak tanpa pelibatan utuh masyarakat luas terdampak. Ia tidak mempertimbangkan penolakan masyarakat adat. Dalam prosesnya pun terjadi upaya pengancaman dan tindakan kekerasan terhadap komunitas adat yang menolaknya. 

“Terjadi pelanggaran prinsip free, prior and informed consent (FPIC) dalam proses Amdal, objek gugatan tidak pernah diumumkan sesuai peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2021.” 

Free, prior and informed consent alias persetujuan berdasarkan informasi yang seterang-terangnya tanpa paksaan adalah salah satu prinsip paling penting yang jadi hak khusus masyarakat adat. Sementara PP 22 tahun 2021 merujuk persetujuan lingkungan.

Penyusunan Amdal dinilai cacat substansi karena tidak melakukan analisis nilai konservasi tinggi yang berdampak kerusakan lingkungan dan hilangnya hak-hak masyarakat adat. Izin lingkungan kepada PT IAL berpotensi mengakibatkan banjir, menurunnya kualitas sungai, menghilangkan keragaman biodiversitas, dan bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Dalam persidangan di PTUN Jayapura, pengacara dari PT Indo Asiana Lestari  tidak menghadirkan satu pun saksi fakta dan ahli. Sebaliknya, kuasa hukum Marga Woro menghadirkan enam saksi fakta dan tiga ahli. 

Anton Sineri dan Totok Dwiantoro, dua dari tiga ahli yang dihadirkan kuasa hukum Hendrikus Woro, menyoroti pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal. 

Anton Sineri, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua, juga bagian tim penilai Amdal untuk beberapa provinsi termasuk Papua Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan, menjelaskan posisi masyarakat dalam tahapan penyusunan dokumen Amdal yang menjadi dasar pemberian izin lingkungan. 

Anton Sineri menyatakan, dalam Komisi Amdal, terdapat wakil masyarakat yang dipilih berdasarkan musyawarah mufakat. Wakil masyarakat bertugas menampung pendapat masyarakat, baik yang menerima maupun yang menolak. 

Ia berkata suara marga Woro dan marga-marga lain yang tidak tercatat dalam dokumen Amdal PT IAL telah menyalahi prosedur.

“Secara prosedur tidak sesuai kaidah hukum dan secara etis tidak demikian, sebab kita menciptakan konflik yang akan terjadi di masa mendatang,” ucap Anton Sineri.

Jika proses konsultasi publik tidak cukup menampung aspirasi masyarakat, tugas Ketua Komisi Amdal membahas dan mempertimbangkannya lagi dalam sidang komisi. Namun, jika proses itu sudah selesai dan izin lingkungan sudah terbit, Pasal 38 UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan bahwa izin dapat dibatalkan melalui putusan PTUN sebagaimana yang diupayakan marga Woro.

Sementara Totok Dwi Diantoro, pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa dokumen Amdal harus mengedepankan prinsip kejujuran dan objektivitas. 

Kebenaran data dan informasi diutamakan termasuk data-data sosial dan budaya karena penilaian dampak tak sebatas aspek biofisik dan biokimia, ujarnya. Ia berpendapat, dalam proses Amdal PT IAL, suara marga Woro dan marga-marga lain yang menolak justru dihilangkan.

“Ketika ada tindakan meng-exclude, itu berarti ada intensi bahwa aspirasi dari masyarakat  yang tidak dilibatkan itu memang sengaja tidak didengarkan.”

Diabaikan Hakim 

Namun, setelah menjalani lebih dari tujuh bulan persidangan, hakim Merna Cinthia, Yusup Klemen, Donny Poja menolak gugatan Hendrikus Woro. 

Putusan No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR ini dikeluarkan pada 4 November 2023. Para hakim menilai penerbitan izin lingkungan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua “sudah tepat” dari segi wewenang, prosedur, maupun substansi. 

Dari segi wewenang, hakim menilai penerbitan izin lingkungan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua sudah sesuai pasal 31 UU No. 32 tahun 2009 serta Peraturan Gubernur Papua tentang kewenangan izin  didelegasikan kepada badan perizinan terpadu dan penanaman modal.

Hakim juga menilai penerbitan izin lingkungan sudah tepat secara prosedur dan substansi. 

Ada tiga fakta hukum yang jadi pertimbangan hakim dalam putusannya. Pertama, ada surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel No. 30/LMA-BVD/VIII/2018 tanggal 29 Agustus 2018. 

Kedua, ada keputusan Ketua Komisi Penilai AMDAL Provinsi Papua No. 10 Tahun 2018 tanggal 18 September 2018 tentang persetujuan rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit PT IAL. 

Ketiga, ada rekomendasi Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua sebagai Ketua Komisi Penilai Amdal No. 660/07/XI/REKOM/SET-KOMDA/2021 tertanggal 1 November 2021, yang isinya menjelaskan kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit PT IAL.

Hakim mengabaikan prosedur Amdal PT IAL yang diduga manipulatif itu. Hakim tidak mengujinya dengan alasan objek gugatannya adalah izin lingkungan. 

“Pengadilan tidak akan menguji lebih lanjut mengenai substansi dan prosedur dari rekomendasi kelayakan lingkungan hidup ataupun penilaian mengenai analisis dampak lingkungan karena bukan objek sengketa yang diuji dalam perkara ini,” ujar hakim.

Hakim Merna Cinthia didampingi hakim Donny Poja, menyaksikan tiga warga Awyu bersumpah sebelum memberi kesaksian di PTUN Jayapura pada 10 Agustus 2023. (Project M/Asrida Elisabeth)

Pertimbangan yang sama dipakai hakim untuk menjawab dalil penggugat bahwa izin ini bertentangan asas kearifan lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, ekoregion, keanekaragaman hayati, asas tertib penyelenggara negara, asas kehati-hatian, asas keadilan, serta asas kemanfaatan. 

Pengadilan berpendapat dalil ini tidak relevan mengingat sudah ada penilaian atau pengujian terhadap Amdal oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan hidup.

Hakim menilai partisipasi masyarakat adat pemilik tanah ulayat dianggap sudah terpenuhi sebab ada surat dari LMA Boven Digoel yang mendukung investasi. 

Kuasa hukum Koalisi Selamatkan Hutan Papua, Tigor Hutapea, menyayangkan hakim mengabaikan soal prosedur penerbitan Amdal dalam pertimbangan putusannya. 

“Padahal Amdal jelas lampiran dan dasar penerbitan izin kelayakan lingkungan untuk PT IAL,” tegasnya.

Tigor juga menyayangkan hakim menggunakan surat dukungan investasi dari LMA Boven Digoel sebagai pertimbangan ada “partisipasi bermakna” dalam proses penerbitan izin itu. 

“LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat,” jelas Tigor. “Mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro. Mereka  tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip free, prior and informed consent dari masyarakat terdampak.”

Kuasa hukum Hendrikus Woro, Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace menyatakan putusan itu menegasikan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat Suku Awyu. 

Jika deforestasi itu terjadi, tambahnya, potensi emisi karbon yang dilepaskan mencapai 23 juta ton CO2—jumlahnya menyumbang 5% dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. 

“Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim. Mereka juga gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.”

Putusan itu disebutnya janggal karena hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seakan mengabaikan banyak fakta persidangan.

Emanuel Gobay dari LBH Papua berkata meskipun satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, “ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan, yang terlihat dari mereka tidak mempertimbangkan substansi Amdal yang bermasalah.” 

“Hakim juga menolak permintaan kami untuk pemeriksaan ke lapangan,” katanya.

Selama persidangan di Jayapura, banyak dukungan mengalir untuk Suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komnas HAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.

Gerakan Solidaritas Perlindungan Hutan Adat Papua yang didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM. 

Mereka menuntut dan memohon majelis hakim berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘Jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya’. 

Itu semua demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Menuntut Keadilan di Mahkamah Agung

Kamis, 14 Maret 2024, Hendrikus dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Kasasi menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka,” ujar Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum Suku Awyu. 

“Mahkamah Agung harus melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman mengadili perkara lingkungan hidup yang mereka buat sendiri, agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu.”

Kasasi ke MA setelah gugatan banding Hendrikus Woro ditolak Majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado. 

Alasan penolakannya sangat sepele sekaligus mengabaikan keadilan. Hakim menilai gugatan Suku Awyu ke PTUN Jayapura melebihi tenggat 90 hari sejak penerbit izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari. 

Izin lingkungan yang menjadi objek sengketa terbit pada 2 November 2021, sedangkan Hendrikus Woro dan Suku Awyu mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.

Padahal gugatan Hendrikus sudah melalui proses pemeriksaan dismissal di PTUN Jayapura, dinyatakan diterima, dan tidak melewati batas waktu kedaluwarsa.

Penilaian hakim di Manado itu mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pasal 18 ayat 2 Perma 1 Tahun 2023  yang  memuat frasa “atau sejak mengetahui adanya potensi atau terjadinya dampak lingkungan”

“Artinya, sebenarnya ada banyak pilihan bagi majelis hakim untuk menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan,” lanjut Tigor. 

Dikonfirmasi ke William Sinaga, ketua tim pengacara PT IAL saat menghadapi gugatan di PTUN Jayapura, ia berkata ia menangani perusahaan hanya sampai di PTUN. (Kami sudah mengirim pertanyaan terkait gugatan marga Moro dan masyakarat Suku Awyu kepada Tan Yao Zhu, Direktur PT IAL, warga negara Malaysia, via email yang alamat surelnya tercantum dalam berkas gugatan, tetapi belum ada respons. William Sinaga berkata “tidak punya nomor kontak” Tan Yao Zhu.) 

Dalam protes kultural di depan gedung Mahkamah Agung di Jakarta, Hendrikus Woro membawa tanah dari tanah ulayatnya sebagai simbol permintaan kepada MA mencabut izin PT Indo Asiana Lestari. (Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno)

Kini Hendrikus Woro, para kuasa hukum dan masyarakat Awyu menunggu putusan kasasi. 

Emanuel Gobay dari LBH Papua berharap para hakim MA memutuskan perkara ini secara adil. 

“Perpolitikan di negara ini membuka ruang lebar pada terjadinya hubungan politik antara perusahaan dan pemerintah. Kami sangat bergantung pada profesionalisme hakim yang bisa memutuskan secara profesional dan objektif dalam perkara-perkara seperti ini.”

Dalam catatan LBH Papua, gugatan Hendrikus Woro merupakan gugatan kedua oleh masyarakat adat terhadap pemerintah atas izin-izin perusahaan di wilayah adat Tanah Papua.

“Harapan saya apa yang dilakukan Hendrikus Woro dan masyarakat Awyu ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat adat Papua yang nyata-nyata menjadi korban atas perizinan yang diberikan oleh pemerintah tanpa sepengetahuan mereka. Mereka boleh mengambil langkah yang sama untuk melakukan upaya hukum.”

Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia menyatakan perjuangan marga Woro dan marga-marga lain di komunitas Awuyu yang mempertahankan wilayah adat sejalan dengan semangat melindungi hutan tropis Papua. 

“Perubahan iklim dan bencana sedang mengancam. Apa yang dilakukan marga Woro ini untuk seluruh masyarakat adat Papua dan seluruh dunia.”

Hendrikus Woro berharap hakim mengabulkan kasasi setelah gugatan di Jayapura dan banding di Manado ditolak. Ia juga berharap hak-hak masyarakat adat dihormati sehingga tidak serta merta menjadi area konsesi perkebunan sawit.

“Bukan kami menolak segala bentuk pembangunan, tetapi kami melihat bahwa di berbagai tempat, kehadiran perusahaan tidak menyejahterakan masyarakat.” 

Pada kesempatan aksi kultural di depan gedung MA, akhir Mei lalu, Hendrikus berkata: “Tuhan sudah ciptakan tanah dan bagi masing-masing, tapi kok masih ada orang-orang yang ingin melanggar dan merampas hak-hak kami? Apakah ko mempunyai kasih atau tidak?”

“Harus ada pemulihan. Kami tidak mau gara-gara uang saudara jadi lawan. Kami tidak mau seperti itu,” katanya. “Kami ingin hidup aman dan damai di atas tanah adat kami sendiri.”


Hutan Papua menjadi benteng terakhir, satu-satunya hutan tropis yang masih tersisa untuk selamatkan Indonesia dari ancaman krisis iklim! Selamatkan hutan adat untuk Suku Awyu dan kelestarian lingkungan Indonesia. Dukung petisinya di sini.

Tonton dokumenter pendek “Trilogi Awyu” produksi Project Multatuli x Greenpeace Indonesia x Yayasan PUSAKA x Perempuan Berkabar.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Greenpeace Indonesia & Yayasan PUSAKA
Fahri Salam
25 menit