TANGAN-TANGAN PRIA sibuk mengupas bawang-bawangan, kunyit, membuat santan, menyembelih daging, hingga menyiapkan peralatan memasak. Sekelompok pria itu mengenakan pakaian hitam, mengubah suasana Desa Pekuncen di Banyumas, Jawa Tengah, yang menyengat menjadi syahdu.
Para pria dari komunitas adat Bonokeling ini tengah menyiapkan sajian khas untuk ritual tahunan, Perlon. Menu yang tidak boleh absen adalah serundeng dari daging yang disembelih dan sayur becek.
Tradisi adat Bonokeling adalah perpaduan ajaran Islam dengan kearifan lokal Jawa. Kejawen, mereka juga biasa dikenal. Perlon menjadi ritual yang tidak bisa dipisahkan. Perlon, dalam bahasa lokal, berarti ‘perlu’ atau ‘butuh’ yang memiliki makna tentang kebutuhan manusia akan Tuhan, bukan sebaliknya.
Setiap tahunnya, ritual Perlon bisa dilakukan hingga 40 kali, tiap-tiapnya punya keperluan dan momen yang berbeda. Semisalnya ada Perlon Senin Pahing setiap 35 hari sekali. Ada juga Perlon Unggahan yang biasa digelar setiap Jumat pekan terakhir di bulan Ramadan. Selain itu adalah Perlon Rikat yang diawali dengan membersihkan lingkungan, memperbaiki pagar bambu di permukiman, dan membersihkan makam Kiai Bonokeling.
Komunitas Adat Bonokeling hingga saat ini memegang teguh tradisi turun-temurun untuk menyamarkan sosok dan generasi pewaris Kiai Bonokeling. Sosok kiai yang mendapat kritik sebagai penyebar agama Islam sesat ini sengaja disimpan menjadi misteri abadi.
Pada setiap Perlon, pria yang memang akan menyiapkan semua kebutuhan. Bagi komunitas adat Bonokeling, perempuan harus dimuliakan. Perempuan adalah utusan Tuhan. Dari rahim perempuan, manusia lahir.
Kaki Semoro Bumi, Nini Semoro Bumi.
Penghayat Bonokeling juga meyakini perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama di Bumi. Maka keduanya harus selalu berdampingan.
“Seperti itulah keseimbangan peran di desa Bonokeling,” kata Ki Sumitro, Ketua Komunitas Adat Bonokeling.
Selain itu, Perlon adalah ritual yang sakral. Maka semua persembahan juga harus suci. Bila dimasak oleh perempuan, khawatir ia sedang dalam masa menstruasi.
“Jadi kawitan secara turun-temurun memang laki-laki, setiap acara mriki,” kata salah satu juru masak, Miraji (67).
***
Sudah genap enam tahun, Nyai Kasiwen (66) menjalankan peran sebagai pembawa menyan dalam ritual Perlon di Desa Pakuncen.
Tugas sebagai emban atau pembawa menyan harus dijalankan seumur hidup dan kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Nyai Kasiwen adalah generasi ke-12 pembawa menyan.
Pada rangkaian ritual Perlon, ia harus membawa menyan dan dupa dalam kain putih khusus atau lawon yang kemudian dililit ke pundaknya. Ia juga menjinjing sesajen di tangannya.
Persembahan itu akan dibawanya ke depan makam Kiai Bonokeling pada jam 10 pagi. Di situ, ia akan membakar menyan dan melantunkan doa-doa hingga jam 10 malam.
Masyarakat Bonokeling meyakini emban adalah seorang perantara penyambung doa-doa Anak Putu Bonokeling.
Nyai Kasiwen mengaku tak terbebani dengan tugasnya, hanya terkadang khawatir apabila ia melakukan kesalahan dalam melantunkan doa.
“Dredeg. [Lama] Lama, ya, engga,” kata ibu enam anak ini.
Selain membawa menyan, perempuan Bonokeling juga mendapat peran sebagai penjaga makam Kiai Bonokeling. Ia menjadi simbol selama proses Perlon berlangsung. Posisi ini terbuka bagi semua anak putu (anak cucu) perempuan.
Ki Sumitro mengatakan, pada awalnya juru kunci makam dipegang oleh perempuan Bonokeling. Ia adalah Ni Cakrapada, cucu perempuan dari Kiai Bonokeling. Ni Cakrapada mendapat mandat untuk menjaga dan merawat makam di Pekuncen saat ritual bedah hutan. Sedangkan dua saudara laki-lakinya menjadi wakil atau pembantu juru kunci dan capada, yang bertugas dalam hal bercocok adat dan pelestarian adat.
Juru kunci juga mengemban peran menyampaikan setiap permintaan atau permohonan dari anak putu Bonokeling yang sedang berada dalam kesulitan maupun ketika memiliki hajat tertentu.
Namun, seiring berjalannya waktu, peran juru kunci diteruskan oleh anggota keluarga laki-laki karena tingginya mobilitas. Namun, keseimbangan peran perempuan dan laki-laki di Bonokeling tetap dipelihara saat upacara adat berlangsung.
“Ya, saya sampaikan untuk perempuan dikedepankan karena orang (manusia) berasal dari perempuan. Makannya kalau ke sana ziarah perempuan itu di depan, enggak di belakang. Pulangnya juga begitu,” kata Ki Sumitro.
Iket atau ikat kepala yang sering digunakan laki-laki Bonokeling juga ada filosofinya. Menurut Ki Sumitro, Iket yang memiliki empat sisi melambangkan sedulur papat, lima pancer dan saat kedua sisinya dilipat akan membentuk segitiga yang melambangkan kelamin perempuan.
Untuk itu, iket harus digunakan di kepala sebagai wujud penghormatan kepada ibu sebagai asal-usul manusia.
“Sebelum pemerintah ada kesetaraan gender, sini sudah lebih dulu,” tukasnya.
Artikel ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat.