Perlon Bonokeling: Tradisi Kesetaraan Peran Perempuan dan Laki-Laki di Tanah Jawa

Tannayu Hangno
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
5 menit

TANGAN-TANGAN PRIA sibuk mengupas bawang-bawangan, kunyit, membuat santan, menyembelih daging, hingga menyiapkan peralatan memasak. Sekelompok pria itu mengenakan pakaian hitam, mengubah suasana Desa Pekuncen di Banyumas, Jawa Tengah, yang menyengat menjadi syahdu. 

Para pria dari komunitas adat Bonokeling ini tengah menyiapkan sajian khas untuk ritual tahunan, Perlon. Menu yang tidak boleh absen adalah serundeng dari daging yang disembelih dan sayur becek. 

Seorang juru masak memasukkan bumbu dapur yang sudah dipotong-potong ke dalam lesung di dapur Bale Pasemuan. Para pria bertugas sebagai juru masak untuk membuat becek atau gulai saat Perlon berlangsung, 12/02/2024. (Project M/Tannayu Hangno).
Anak putu Bonokeling memasak becek dengan tungku yang terbuat dari pelepah pisang. Mereka memasak di Plataran Blimbing, 8/03/ 2024. (Project M/Tannayu Hangno).
Laki-laki Bonokeling menganyam daun kelapa atau sleman yang nantinya akan digunakan untuk wadah makanan. (Project M/Tannayu Hangno).

Tradisi adat Bonokeling adalah perpaduan ajaran Islam dengan kearifan lokal Jawa. Kejawen, mereka juga biasa dikenal. Perlon menjadi ritual yang tidak bisa dipisahkan. Perlon, dalam bahasa lokal, berarti ‘perlu’ atau ‘butuh’ yang memiliki makna tentang kebutuhan manusia akan Tuhan, bukan sebaliknya. 

Setiap tahunnya, ritual Perlon bisa dilakukan hingga 40 kali, tiap-tiapnya punya keperluan dan momen yang berbeda. Semisalnya ada Perlon Senin Pahing setiap 35 hari sekali. Ada juga Perlon Unggahan yang biasa digelar setiap Jumat pekan terakhir di bulan Ramadan. Selain itu adalah Perlon Rikat yang diawali dengan membersihkan lingkungan, memperbaiki pagar bambu di permukiman, dan membersihkan makam Kiai Bonokeling. 

Komunitas Adat Bonokeling hingga saat ini memegang teguh tradisi turun-temurun untuk menyamarkan sosok dan generasi pewaris Kiai Bonokeling. Sosok kiai yang mendapat kritik sebagai penyebar agama Islam sesat ini sengaja disimpan menjadi misteri abadi. 

Pada setiap Perlon, pria yang memang akan menyiapkan semua kebutuhan. Bagi komunitas adat Bonokeling, perempuan harus dimuliakan. Perempuan adalah utusan Tuhan. Dari rahim perempuan, manusia lahir. 

Kaki Semoro Bumi, Nini Semoro Bumi. 

Anak putu Bonokeling sedang mempersiapkan jamuan untuk para tamu berupa jenang. (Project M/Tannayu Hangno).

Penghayat Bonokeling juga meyakini perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama di Bumi. Maka keduanya harus selalu berdampingan. 

“Seperti itulah keseimbangan peran di desa Bonokeling,” kata Ki Sumitro, Ketua Komunitas Adat Bonokeling.

Selain itu, Perlon adalah ritual yang sakral. Maka semua persembahan juga harus suci. Bila dimasak oleh perempuan, khawatir ia sedang dalam masa menstruasi. 

“Jadi kawitan secara turun-temurun memang laki-laki, setiap acara mriki,” kata salah satu juru masak, Miraji (67). 

Miraji seorang juru masak berdiri di area Bale Malang. Juru masak meracik becek dengan mengira-ngira takaran tanpa boleh mencicipi, 8/03/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

***

Nyai Kasiwen seorang emban atau pembawa menyan sedang berdiri di depan Makam Bonokeling, 20/04/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

Sudah genap enam tahun, Nyai Kasiwen (66) menjalankan peran sebagai pembawa menyan dalam ritual Perlon di Desa Pakuncen. 

Tugas sebagai emban atau pembawa menyan harus dijalankan seumur hidup dan kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Nyai Kasiwen adalah generasi ke-12 pembawa menyan. 

Pada rangkaian ritual Perlon, ia harus membawa menyan dan dupa dalam kain putih khusus atau lawon yang kemudian dililit ke pundaknya. Ia juga menjinjing sesajen di tangannya. 

Para perempuan yang sudah mengganti pakaian, menggunakan lilitan kain batik dan selendang lawon. mengantri masuk ke makam Bonokeling saat Perlon Kuripan berlangsung, 8/03/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

Persembahan itu akan dibawanya ke depan makam Kiai Bonokeling pada jam 10 pagi. Di situ, ia akan membakar menyan dan melantunkan doa-doa hingga jam 10 malam. 

Masyarakat Bonokeling meyakini emban adalah seorang perantara penyambung doa-doa Anak Putu Bonokeling.  

Nyai Kasiwen mengaku tak terbebani dengan tugasnya, hanya terkadang khawatir apabila ia melakukan kesalahan dalam melantunkan doa. 

Dredeg. [Lama] Lama, ya, engga,” kata ibu enam anak ini. 

Selain membawa menyan, perempuan Bonokeling juga mendapat peran sebagai penjaga makam Kiai Bonokeling. Ia menjadi simbol selama proses Perlon berlangsung. Posisi ini terbuka bagi semua anak putu (anak cucu) perempuan. 

Saat Perlon Kuripan anak putu Bonokeling dari Pekuncen berziarah ke makam Mbah Kuripan yang berada di Banyumas. Saat menjalankan prosesi doa, di dalam ruangan ada perempuan yang menjaga makam Mbah Kuripan sampai prosesi Perlon Kuripan usai, 12/02/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

Ki Sumitro mengatakan, pada awalnya juru kunci makam dipegang oleh perempuan Bonokeling. Ia adalah Ni Cakrapada, cucu perempuan dari Kiai Bonokeling. Ni Cakrapada mendapat mandat untuk menjaga dan merawat makam di Pekuncen saat ritual bedah hutan. Sedangkan dua saudara laki-lakinya menjadi wakil atau pembantu juru kunci dan capada, yang bertugas dalam hal bercocok adat dan pelestarian adat. 

Juru kunci juga mengemban peran menyampaikan setiap permintaan atau permohonan dari anak putu Bonokeling yang sedang berada dalam kesulitan maupun ketika memiliki hajat tertentu.

Namun, seiring berjalannya waktu, peran juru kunci diteruskan oleh anggota keluarga laki-laki karena tingginya mobilitas. Namun, keseimbangan peran perempuan dan laki-laki di Bonokeling tetap dipelihara saat upacara adat berlangsung. 

“Ya, saya sampaikan untuk perempuan dikedepankan karena orang (manusia) berasal dari perempuan. Makannya kalau ke sana ziarah perempuan itu di depan, enggak di belakang. Pulangnya juga begitu,” kata Ki Sumitro.

Para penyaji makanan mengantri memasuki Bale Malang yang diperuntukkan sebagai tempat untuk makan. Makanan tersebut disajikan bagi tamu yang sudah berjalan dari Banyumas saat Perlon Unggahan. Semua pria Bonokeling memakai iket atau ikat kepala, 8/03/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

Iket atau ikat kepala yang sering digunakan laki-laki Bonokeling juga ada filosofinya. Menurut Ki Sumitro, Iket yang memiliki empat sisi melambangkan sedulur papat, lima pancer dan saat kedua sisinya dilipat akan membentuk segitiga yang melambangkan kelamin perempuan. 

Untuk itu, iket harus digunakan di kepala sebagai wujud penghormatan kepada ibu sebagai asal-usul manusia.

“Sebelum pemerintah ada kesetaraan gender, sini sudah lebih dulu,” tukasnya.

Semua yang datang ke Makam Mbah Kuripan wajib melepas alas kaki. Tanda menyatunya manusia dengan alam, 12/02/2024. (Project M/Tannayu Hangno).

Artikel ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Tannayu Hangno
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
5 menit