Ingar bingar G20 sudah jauh-jauh hari mengisi media-media nasional. Ingar bingar itu tentang perusahaan-perusahaan otomotif yang berlomba-lomba mensponsori perhelatan besar negara kaya dan akan kaya ini.
Ada juga soal fasilitas dari venue-venue super mewah yang akan dijadikan tempat tinggal dan rapat-rapat panjang para pejabat tinggi negara dan keluarganya. “Only best hotels be able to accommodate them,” tutur Jeff Hutton, wartawan The Straits Times, Singapura. Untuk sepotong baju, Jeff harus merogoh dompet hingga Rp4 juta supaya pantas meliput acara ini.
Ingar bingar G20 juga tentang kendaraan-kendaraan listrik keluaran terbaru, yang akan digunakan mengantar dan menjemput para tamu istimewa.
Ia juga tentang prestasi-prestasi G20 mengatasi krisis pasca pandemi COVID-19, kontribusi-kontribusi terhadap penanganan COVID-19, dan penangguhan-penangguhan utang serta rekomendasi bagaimana–apa yang mereka klaim–”solusi” dari krisis iklim: melalui apa saja yang mereka labeli “green”, “energi baru terbarukan”, “proyek strategis nasional”, “mobil listrik”, “ekonomi hijau”, dan jargon-jargon besar lainnya.
Ide-ide indah ini dicetak di poster-poster dan spanduk-spanduk, dijajar di jalan-jalan besar ibu kota, di kantor-kantor pemerintah, hingga di stiker-stiker kendaraan dinas.
Aparat keamanan dan kaki-tangannya digerakkan untuk menyukseskan perhelatan ini. Tak boleh ada suara miring, tak boleh ada kritik, apalagi demonstrasi di acara istimewa ini. Segala bentuk pertemuan yang mengarah pada kritik dibubarkan. Indonesia ingin tampak sebagai tuan rumah yang sempurna buat penggede-penggede negara kaya dan bakal kaya tersebut.
Segala keinginan para penggede ini harus dilayani sebaik-baiknya, tanpa cela. Pemerintahan Jokowi menganggarkan Rp674 miliar, disalurkan ke 10 kementerian, untuk persiapan dan pelaksanaan rangkaian pertemuan G20 ini.
Setidaknya ada tiga agenda besar yang saat ini dihadapi negara-negara pasca COVID-19. Ia akan jadi pokok pembicaraan pada perhelatan ini: arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.
Di bidang transisi energi berkelanjutan, negara-negara anggota G20 sepakat untuk hilirisasi industri. Negara G20 sepakat barang-barang mentah harus diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi sebelum diekspor.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan soal hilirisasi ini menjadi perdebatan alot beberapa bulan antara negara anggota. “Hilirisasi menemui tantangan luar biasa sekali yang kemudian mendorong konsep green energy dan green industry. Alhamdulillah, perdebatan itu mampu kita selesaikan dan kita setujui,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Sofitel Nusa Dua, Bali.
Ide hilirisasi ini bukan barang baru. Setidaknya sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ide ini sudah bergulir. Untuk memberi nilai tambah penjualan, produk-produk tambang diupayakan untuk diolah terlebih dulu. Ide hilirisasi ini makin membesar pada era Joko Widodo. Ia menghentikan ekspor bahan mentah dan mewajibkan penambang untuk bikin perusahaan pengolahan, yang belakangan dikenal smelter.
Smelter-smelter secara besar-besaran dibangun di masa Jokowi. Kebanyakan smelter dibangun tepat di lokasi-lokasi yang kaya tambang. Tidak hanya itu, atas nama pertumbuhan ekonomi berbasis energi baru dan terbarukan, rezim Jokowi juga menggeber produksi listrik tenaga air dan tenaga panas bumi.
Kebijakan-kebijakan macam hilirisasi dan ekonomi berbasis energi baru dan terbarukan ini tentu bermuara pada bagaimana agar mereka bisa mengeruk untung sebesar-besarnya dengan pengeluaran sesedikit-sedikitnya tanpa peduli dampak pada rakyatnya sendiri.
Di Morowali, misalnya, di lokasi tambang nikel dan smelter-smelternya ini, kehilangan-kehilangan masyarakat tak pernah masuk dalam hitungan atau jadi materi pembicaraan forum G20.
Cerita tentang warga dusun Kurisa, Desa Fatufia, letaknya berhadap-hadapan langsung dengan proyek besar bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Tiap hari selama tujuh tahun, warga dusun menghadapi air panas dari hasil pembuangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang menerangi IMIP.
Air laut menjadi berasap karena panas. Ikan-ikan tak mau berdiam di sana. Ikan-ikan lari atau, kalau tidak, mati. Warga Kurisa, yang mayoritas Suku Bajo dan terkenal sebagai pelaut handal, rata-rata menggantungkan hidup dari laut menjadi nelayan, tak bisa lagi menggantungkan hidup dari melaut.
Belum lagi asap dari smelter-smelter dan PLTU yang menyatu bersama debu bijih nikel, nonstop 24 jam selama tujuh hari seminggu. Jalan terus. Akibatnya, semua orang kebagian rata asap dan debu. Penyakit batuk dan pernapasan telah jadi langganan warga.
Air minum juga harus dibagi dengan perusahaan-perusahaan besar di sana. Akibatnya, warga sering tidak kebagian. Kalau pun kebagian, air sudah keruh dan hanya bisa untuk mandi dan cuci piring. Untuk minum, warga membeli air dalam kemasan. Hal semacam ini tak pernah terjadi sebelum tambang-tambang nikel beroperasi besar-besaran.
Debu dan asap juga merusak seng-seng atap rumah mereka. Biasanya seng-seng ini bisa tahan lima tahun lebih, sekarang bisa lapuk hanya setahun.
Belum lagi kerjaan tambahan: warga harus mencuci baju dan perabot makan berulang-ulang karena baju yang dijemur pun cepat kotor. Mesin-mesin perahu dan kendaraan darat cepat kotor dan berkarat. “Pagi dicuci, siang su kotor,” kata Rusmin, warga Fatufia.
Belum lagi bicara makanan yang cepat basi dan harus ditutup penutup ekstra supaya tidak kena debu. Angin membawa bau busuk tak kalah menyakitkan menyengat hidung warga. Asap dan debu sering menyebabkan hujan asam lokal.
Banyak truk-truk besar lalu-lalang siang dan malam membuat kebisingan dan kecelakaan, yang mengintai warga kapan saja. Banyak pekerja dari luar daerah ke kampung juga meningkatkan potensi kriminalitas. Warga harus ekstra hati-hati menjaga barangnya.
Persoalan kehilangan mata pencaharian itu tak hanya masalah nelayan Fatufia.
Tetangga desa mereka di Bahomakmur, yang kebanyakan transmigran Jawa dan Bali, juga kehilangan sumber hidup mereka sebagai petani. Lahan-lahan padi terendam lumpur merah. Tak bisa berproduksi lagi selama sepuluh tahun terakhir. “Padi yang baru ditanam, langsung mati, terkena air berlumpur merah, sisa buangan tambang nikel,” kata Sabit, warga Bahomakmur.
Kehilangan pekerjaan, banyak penyakit, kriminalitas, dan kecelakaan juga persis dihadapi warga Bahomakmur. Di samping itu, desa mereka kotor. Sampah menumpuk di mana-mana. Air sungai yang dulu jernih kini merah dan kental. Untuk minum, mereka membeli air galon.
“Dulu sungai tempat kita mandi-mandi, sekarang tak ada orang yang sudi mendekat. Bau!” kata Subur, warga Bahomakmur lain.
Kerusakan dan kehilangan ruang hidup ini tidak hanya terjadi pada warga di Morowali. Di lokasi-lokasi kaya nikel dari Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara hingga di Maluku Utara, kerusakan serupa dialami warga di sekitar tambang, bahkan lebih parah kondisinya karena dibangun smelter.
Untuk menunjang kinerja smelter-smelter ini pemerintah memberi kekhususan untuk mendirikan PLTU baru, selain pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi yang juga digenjot di berbagai lokasi.
Keberadaan pembangkit-pembangkit listrik, yang dilabeli “baru dan terbarukan,” ini juga banyak menimbulkan persoalan di lokasi produksi. Pembangkit-pembangkit itu tak hanya merampas ruang hidup, tapi juga merenggut banyak nyawa.
Di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Sorik Merapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, kebocoran gas H2S berulang kali terjadi. Sejak 2021, setidaknya enam kejadian kebocoran gas, ledakan pipa gas, dan semburan lumpur. Lima orang meninggal dunia (dua di antaranya anak-anak) dan 212 warga lain dirawat di rumah sakit karena keracunan gas. Mereka pusing, mual, muntah hingga pingsan.
Meski sudah merenggut banyak nyawa, tak ada evaluasi operasi tambang geotermal dan menghentikan aktivitasnya, sebagaimana dituntut warga sekitar lokasi. Perusahaan malahan memberikan ganti rugi yang proses pencairannya berbelit-belit dan butuh waktu lama. Kejadian 6 Maret 2022, misalnya, warga yang keracunan diberi ganti rugi Rp2 juta dan dibayarkan secara dicicil selama empat bulan.
“Pertama dibayar satu seperempat juta, kedua satu juta,” ujar warga Desa Sorik Marapi.
Kebocoran gas dan meledaknya pipa gas juga terjadi di lokasi tambang panas bumi di Dieng, Jawa Tengah. Awal Mei 2022, PLTU Geo Dipa mengalami kebocoran gas. Akibatnya, satu karyawan meninggal dan puluhan warga keracunan. Penanganannya sama seperti di Sorik Merapi: warga Dieng yang jadi korban dibayar murah oleh perusahaan dengan proses yang rumit.
Kecelakaan dan kehilangan ruang hidup warga ini dialami di tempat-tempat lain, di lokasi-lokasi tambang geotermal, dari Gunung Geureudong, Aceh Utara hingga di Manokwari, Papua Barat.
Meski eksekusi smelter nikel dan tambang geotermal ini adalah realisasi proyek sebagai buah dari perhelatan besar pertemuan penggede-penggede G20, tapi risiko hidup dan mati yang membayarnya adalah warga kampung yang tinggal di seputar proyek-proyek besar berlabel “green energy” ini.
Sialnya, orang-orang yang membayar mahal, bahkan dengan nyawa sanak keluaga mereka, tak pernah diundang dalam perhelatan para elite G20 ini.
Imam Shofwan adalah anggota divisi riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)