Berbagai kejadian supranatural di seputar pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) Gunungkidul membuat kita bertanya soal kemungkinan alam yang “hidup” dan melawan dalam pembangunan yang antroposentris ini.
I – Pohon yang Menolak Ditebang
HINGGA HARI INI, tak ada yang tahu persis apa yang terjadi di tepi Telaga Kajor, pada suatu siang tahun 2022.
Sepanjang hari-hari itu, mesin-mesin senso milik pekerja selalu mati setiap kali dibawa mendekat ke pohon jati raksasa itu. Sudah dipastikan tak ada kerusakan pada mesinnya, tapi nyatanya memang gergaji-gergaji baru bisa menyala kembali begitu dibawa menjauhi pohon.
Kejadian ganjil itu lalu tersebar dari mulut ke mulut. Warga secara bersambung menceritakannya dalam satu premis sederhana: “Wit jatine ora gelem ditebang.” (Pohon jatinya menolak ditebang)
Terletak di antara bukit-bukit, Telaga Kajor merupakan telaga alami yang dulu difungsikan sebagai sumber air utama oleh warga dusun Wuluh dan dusun Ngande-ande di Kapanewon Tepus, Gunungkidul.
Sebelum kering pada kemarau 1986, telaga seluas satu hektar itu memenuhi kebutuhan air minum, mandi, beternak, bertanam, bahkan memancing dan berenang bagi warga. Selain difungsikan secara material, Telaga Kajor juga jadi titik spiritual penting bagi warga dua padukuhan.
Kawasan itu merupakan tanah sengkeran, yang berarti tanah desa yang tidak boleh diolah karena difungsikan untuk pemeliharaan situs sakral atau penyelenggaraan ritual di desa. Dalam bahasa Jawa, sengker sendiri berarti terlarang.
“Kawasan sini memang dikenal paling sakral. Nama lainnya lemah OO, memang tidak boleh diapa-apakan karena untuk papan lelembut,” ujar Saido (60), salah satu sesepuh Dukuh Wuluh.
Maka tak heran jika di sepanjang tepian telaga, banyak pohon-pohon besar tumbuh rimbun seperti para raksasa yang menjaga rumah mereka. Pohon jati yang menolak ditebang tersebut, salah satunya.
Menurut Saido, pohon setinggi 40-an meter itu memang dikeramatkan warga. Kain langse putih diikatkan di sekeliling batangnya yang kokoh, serupa tradisi kain poleng di Bali. Beberapa ikat panjang ilang (keranjang sesaji dari janur) dan bokor emas diletakkan di sekitarnya sebagai bentuk penghormatan.
Umurnya barangkali baru 50-an tahun, terhitung masih sangat muda untuk skala hidup pohon liar.
Namun warga percaya, pohon jati itu adalah rumah bagi spirit atau entitas gaib penunggu desa, bernama Ki Loreng dan Mbah Toma. Sebelumnya mereka tinggal di pohon Wungu berumur ratusan tahun yang pada 1980-an ditebang kepala desa. Mereka inilah yang bertugas menjaga keseimbangan kosmis atau ekuilibrium di kawasan itu.
“Dulu, tempat ini dileluri (dipelihara). Kalau pas acara rasulan tiap tahun, pohon itu selalu dikirimi sajen, kayak panjang ilang itu. (Tradisi itu) naluri orang-orang tua di sini, jadi ya masih aktif kami rawat,” tutur Saido, yang rumahnya hanya berjarak 500 meter dari tepi telaga.
Kata “dulu”, jadi penanda penting dalam cerita Saido, sebab telaga, pohon, dan tradisi warga di sana kini sudah dihilangkan sejak kawasan itu masuk dalam rute pembangunan proyek strategis nasional Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS).
Proyek JJLS yang membentang sepanjang 1.600 kilometer dari Banten hingga Banyuwangi awalnya adalah salah satu program strategis Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Program itu kemudian statusnya ditingkatkan menjadi proyek strategis nasional.
Pengerjaannya dimulai sejak 2004, dan direncanakan selesai pada 2024. Di Kabupaten Gunungkidul, JJLS dibangun sepanjang 88 km, dan tahap pembangunan ruas terakhir yang melewati Tepus-Jerukwudel-Planjan sepanjang 11 km sudah dikerjakan sejak 2022. Nahas, Telaga Kajor yang jadi denyut spiritual warga tepat berada di titik rencana pembangunan JJLS.
Penebangan pohon jati keramat itu adalah langkah pertama yang musti dilakukan sebelum pekerja bisa meratakan kawasan telaga untuk diaspal.
Karena senso tetap tidak mau menyala dengan alasan tidak jelas, pekerja JJLS kemudian menghubungi Saido. Sebagai salah satu sesepuh, Saido memang banyak menangani hal-hal supranatural di sekitar dusun Wuluh. Baginya, duduk perkaranya jelas: pohon itu tidak mau ditebang karena pihak JJLS tidak kula nuwun (meminta izin) dengan tata cara yang benar. Spirit pohon dan lelembut penghuninya tidak berkenan rumah mereka digusur secara sepihak dan sewenang-wenang.
“Pihak JJLS datang minta kami memindahkan lelembutnya, supaya proyek JJLS bisa dikerjakan dengan lancar. Ya sudah sebagai warga ya kami cuma bisa gotong royong pikiran bersama, supaya ‘mereka’ mau pindah kanthi dhasar ora meksa (tidak terpaksa). Kami harus negosiasi.”
Saido dan beberapa sesepuh desa lalu melakukan melek (begadang) selama tujuh malam Jumat berturut-turut. Di malam Jumat terakhir, para sesepuh desa dan lelembut penunggu desa berkomunikasi secara batin. Kemampuan komunikasi dengan entitas non-manusia bukan hal aneh bagi masyarakat pedesaan yang masih melakoni tata cara hidup tradisional.
Dari negosiasi, Ki Loreng dan Mbah Toma sebagai spirit pohon jati mengizinkan rumahnya ditebang, dengan syarat hanya mau pindah ke pohon jati dan pohon wungu (kesambi) baru yang ditanam di titik yang lurus dengan pohon lama mereka.
Pohon Wungu merupakan salah satu jenis tanaman resan penjaga mata air yang tetap hijau sepanjang tahun. “Mereka bilang, kalau jalan itu untuk fasilitas umum dan akan mensejahterakan anak cucu di situ, mereka tidak akan mengganggu pembangunan,” ujar Saido.
***
Pada hari yang telah diperhitungkan, penebangan pohon dilakukan bersamaan dengan ritual untuk merelokasi lelembut. Berbagai sesaji dihaturkan, lalu bibit jati dan wungu ditanam.
Pohon jati lama akhirnya ambruk ditebang setelah ritual selesai dilakukan. Saido berani bersumpah, saat gergaji mesin itu akhirnya bersentuhan dengan batang pohon, keluar bunga api. Hal yang ganjil mengingat kayu seharusnya bak barang lunak dihadapan gergaji mesin.
“Seperti ada besi yang melapisi pohonnya, suaranya juga dziiiing…..dziiiing….,” Saido menirukan, “Itu semuanya lihat, warga, pekerja, semua lihat. Mereka masih melawan.”
Yanto, Kepala Dukuh Ngande-ande, mengatakan penolakannya terhadap rencana penebangan pohon lantaran alasan yang lebih genting ketimbang sekadar urusan tata krama. Menurutnya, penebangan pohon itu menandai langkah JJLS selanjutnya untuk mengubah total ekosistem mereka.
Telaga Kajor diuruk hingga kedalaman 12 meter, tunggul pohon jati raksasa itu juga telah hilang terkubur. Tanah yang dipakai untuk menguruk Telaga Kajor diambil dari bagian bukit di sebelah telaga yang dibelah dan dikeruk menggunakan dinamit dan ekskavator bor.
“Kami menyebutnya Gunung Galingan, itu tempat makam sakral di desa. Mungkin mereka awalnya nggak mau pindah karena mikir juga, iya kalau 1-5 tahun lagi rumah mereka masih aman, tapi kelak begitu banyak pembangunan lain, rumah baru mereka, ‘kan, bisa saja juga ditebang,” ujar Yanto menunjuk gunung di dekat bekas telaga yang tinggal menyisakan sisi-sisinya.
“Tapi mereka tahu kok ini bukan keputusan warga, mereka paham ada struktur pemerintahan, mau gimana lagi”.
Kini lanskap keramat Telaga Kajor, pohon raksasa, dan Gunung Galingan telah jadi bidang tanah rata yang kosong, tinggal nama.
Bibit pohon jati dan wungu tempat relokasi lelembut penunggu desa kini terletak dipinggir badan JJLS, dalam krapyak atau pagar kayu yang dibuat dari potongan rumah lama mereka. Namun kewingitannya jelas sudah hilang. Ketika kami berkunjung, pagar kayunya rusak dan bibitnya telah tertimbun tanah. Nyaris tak berbekas. Jelas, JJLS tak mengindahkan keberadaan mereka.
Barangkali juga bukan kebetulan. Saat ini, beberapa kali terdengar cerita pekerja JJLS yang lembur kerap takut lantaran melihat dua orangtua dengan aura merah di bekas area Telaga Kajor. Mata mereka menatap tajam.
“Pada takut, terus sering nggak jadi lembur,” ujar Yanto.
II – Batu yang Meredam Dinamit
Kabupaten Gunungkidul bagian selatan punya julukan Gunung Sewu alias pegunungan seribu karena lanskapnya yang berbukit-bukit. Lanskap ini konon terbentuk akibat pengangkatan dasar laut ribuan tahun silam.
Masyarakat setempat membangun peradaban di lembah-lembahnya, dan membangun jalan meliuk-liuk mengikuti kontur di sela-sela kaki bukit.
Semua makhluk hidup berbagi ruang sebagai satu komunitas biotik, melakoni perannya masing-masing dalam ritus keseharian yang telah berlangsung sepanjang sejarah. Salah satu bagian penting dari komunitas mereka adalah dhanyang, roh penjaga desa.
Watu Putri, adalah situs sakral yang dipercaya merupakan pundhen tempat bersemayam dhanyang di Desa Balong, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul. Wujudnya berupa batu karang ukuran 2 x 2 meter yang kini diberi cungkup tembok beratap kayu. Situs ini terletak di pinggir jalan desa di lereng bukit besar yang rimbun dipenuhi pohon jati dan semak belukar.
Tiap tahun warga melakukan prosesi kenduri nyadran sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan simbol keharmonisan manusia dan penghuni alam lainnya.
Meski sejarahnya tak lagi bisa dilacak, tapi warga percaya dhanyang Watu Putri adalah penjaga tanah dan bukit-bukit di desa mereka.
Selama ribuan tahun melakoni perannya, baru tahun lalu tugas dhanyang ini diganggu ketika gunung yang ia jaga musti dibelah demi menyambungkan rute JJLS yang membawa iming-iming kesejahteraan masyarakat.
Pemenggalan gunung itu menyisakan pemandangan aneh. Watu Putri memang selamat dari ambisi pembangunan tetapi hanya berjarak lima meter di depannya, tanah yang semula gunung itu sudah amblas. Gunung yang tersisa ada di seberang, dipisahkan bidang tanah rata selebar 20-an meter yang siap diaspal.
Terbayangkan dhanyang Balong duduk di rumahnya dengan perasaan teriris, melihat gunung yang ia jaga diperlakukan seperti kue yang bisa dipotong-potong seenaknya.
Bambang (63), pegiat budaya di Balong, mengatakan JJLS awalnya hendak mengeruk habis gunung, termasuk menghilangkan Watu Putrinya. Namun, beberapa kejanggalan terjadi.
“Pekerja sempat mencoba ngebom tanah di bawah Watu Putri pas pakai dinamit, tapi tiga kali dicoba nggak ada yang meletus,” kata Bambang, yang sekali waktu pernah menyaksikan kejadiannya.
Penggunaan dinamit dalam pembangunan JJLS dianggap berisiko lantaran tipe bentang alam karst yang berongga di bawah tanah.
Wahyu Widyantoro, Asisten Pelaksana Satker Pembangunan Jalan Nasional (PJN) DIY, seperti dikutip dari Harian Jogja, mengklaim bahwa metode blastik dengan dinamit ini dilakukan hanya untuk menggemburkan batuan, bukan meratakan gunung.
“Baru ketika dinamitnya digeser beberapa meter lebih ke utara, bisa meledak. Aneh tapi nyata. Mungkin masih terlalu dekat sama batunya, ya, jadi memang nggak boleh diapa-apakan,” kata Bambang.
Melihat kejadian itu, warga Desa Balong meminta kepada pemerintah desa agar situs keramat tidak diganggu. Permintaan itu dipenuhi. Proyek tersebut akhirnya digeser beberapa meter ke utara.
***
Seperti di Telaga Kajor, warga mengenal gunung Watu Putri sebagai tanah sengkeran.
Towiryo (87) juru kunci Watu Putri, bercerita tanah itu sengaja disediakan untuk tempat memindahkan roh halus, atau energi-energi buruk, sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia di desa.
Towiryo meyakini bahwa bangsa lelembut punya kehidupan yang amat dekat dan mirip dengan manusia.
“Mau ngapa-ngapain ya uluk salam (minta izin) dulu, pekne pinter lan wani (mentang-mentang pintar dan berani), nggak bisa begitu,” kata Towiryo.
Berulang kali mengalami kendala, pihak JJLS akhirnya meminta tolong. Towiryo bersama warga lantas melakukan kenduri dengan sesaji lengkap di suatu hari Jumat Kliwon.
“Sebelum gunung dikepras (dibelah), saya minta ‘mereka’ pindah untuk sementara, kana lunga golek papan sing penak dhewe-dhewe, (sana pergilah mencari tempat yang nyaman). Nanti kalau jalannya sudah jadi, baru boleh balik lagi ke sini,” katanya
“Ya mereka mau pindah, tapi nggih sakjane kapeksa (walau terpaksa).”
Beberapa saat setelah Towiryo mengadakan ritual, warga sekitar melihat ratusan ular berbagai ukuran turun dari arah puncak gunung lalu masuk menghilang di bukit-bukit sekitarnya.
“Ada tetangga sini, namanya Mas Kasit. Dia mau nangkap satu ular sanca, terus digigit. Parah itu sampai 57 jahitan. Guedhe-gedhe ulane (ularnya besar-besar), Mas Kasit lihat mata ularnya merah menyala,” cerita Bambang.
Bambang menduga mungkin saja memang gunung sengkeran jadi tempat berkembang biak yang cocok untuk ular, yang lalu terganggu oleh getaran dari alat berat.
Di sisi tak logis, ia menambahkan, “Tidak bermaksud sok mistis, tapi secara jumlah banyak sekali dan secara waktu pas setelah ritual. Mungkin memang ular biasa, tapi istilahnya ditumpangi oleh roh-roh halus yang dipindah. Kayak orang, kesurupan gitu, lho,” Bambang cerita sambil matanya menerawang.
“Nuwun sewu (permisi), makhluk kayak mereka kan bertempat di situ karena itu tempat paling nyaman. Sama kayak kita, kalau rumah mau dirobohkan, oke, mungkin ganti rugi layak, tapi di sini,” Bambang menunjuk dadanya, “Di sini lain rasanya.”
III – Watu Manten, Sepasang Pohon yang Melawan
Dibanding yang lain, kejadian supranatural di Watu Manten barangkali merupakan yang paling populer.
September 2019, media lokal Yogyakarta sempat geger dengan pemberitaan ritual besar-besaran untuk memindahkan situs keramat di Desa Semugih, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul. Saking sulitnya, sesepuh setempat yang dimintai tolong pihak JJLS menyatakan tak sanggup, sehingga musti mendatangkan praktisi spiritual dari Keraton Yogyakarta.
Sebelumnya, selama dua bulan pekerja JJLS telah mencoba memecahkan batu karang seukuran mobil ini menggunakan dinamit dan ekskavator bor, namun semuanya gagal. Ekskavator dikabarkan sering mati mendadak, dan mata bor pecah meski hanya menghantam tanah.
Bisma, praktisi spiritual dari Keraton Yogyakarta menuturkan bahwa Watu Manten menyimpan sejarah soal pembukaan hutan untuk membangun Desa Semugih.
Manten berarti pengantin.
“Ada dua versi cerita, ada sepasang pengantin yang memang harus berkorban demi dibukanya kawasan desa ini, tapi ada yang bilang juga karena mereka melanggar tabu sehingga bernasib sial,” kata Bisma.
Ia menambahkan, menurut pengetahuannya, ada sepasang makhluk halus yang telah ratusan tahun mendiami situs tersebut. Spirit pengantin itu menjelma menjadi sepasang pohon jati yang tumbuh di atas batu.
Akar dua pohon itu menelusup seperti ikatan ke batu, serupa pengantin di pelaminan. Kesaksian warga, sepasang pohon itu tak pernah bertambah besar ataupun mati.
“Dhanyang di situ nggak berkenan karena negosiasi sebelumnya terlalu menghakimi, seolah-olah yang gaib selalu kalah sama manusia,” lanjut Bisma.
Lebih dari itu, menurutnya makhluk halus cenderung lebih peka dengan intensi manusia yang berkomunikasi dengannya.
“Mereka tahu niat kamu benar atau salah. Jadi memang nggak boleh ada pikiran bisnis, untung-rugi, kemarin niat saya ikhlas membantu menggeser. Daripada malah ditabrak lalu terjadi yang nggak baik di lingkungan sana,” katanya.
***
12 September 2019, Kamis Kliwon, pukul 11-12 siang adalah waktu yang paling tepat untuk bernegosiasi, kata Bisma.
Ia memboyong tujuh abdi dalem Pengulon-Kanca Kaji Keraton ke lokasi lengkap dengan aneka sesaji dan melakukan kontak.
“Mereka lebih manusiawi, lebih tepat janji. Jadi, ya, negosiasi aja diajak ngobrol, kita minta apa, mereka butuh apa, dituruti,” katanya.
Salah satu sesajinya adalah sepasang ayam betina dan jago. Banyak kesaksian menuturkan, saat ritual diadakan dan dua ayam ini dilepas, mereka nampak akrab. Ayam-ayam ini berseliweran di sekitar Watu Manten, menunggui proses batu itu dikikis hingga berukuran lebih kecil dan dipindahkan ke pinggir badan jalan JJLS.
Hingga kini, sepasang pohon Jati di Watu Manten masih hidup, berdiri tegak, meski kewingitannya tentu telah ditelan aspal.
“Saya cukup banyak menangani hal seperti ini di sepanjang pembangunan JJLS, dari daerah Panggang sampai Girisubo. Tapi, ya, sudah diam-diam saja. Nggak perlu ramai-ramai sebenarnya, yang penting syarat dilakukan supaya keseimbangan alam terus terjaga,” katanya.
Baginya, apapun versi cerita dan kepercayaan disana, yang terpenting adalah aset sumber daya budaya dan sejarah ini harus terselamatkan. Ia lantas menyayangkan persoalan pelestarian kearifan lokal ini tidak menjadi hal penting yang masuk ke dalam pertimbangan maupun perencanaan pembangunan infrastruktur negara.
“Begitu kena (tempat sakral atau kejadian supranatural), baru mencari orang (praktisi spiritual). Padahal penting, selain untuk menjaga ekosistem, supaya proyeknya aman, dan warga juga nyaman,” tukasnya.
IV – Membayangkan Alam yang “Hidup”
Meski terdengar ganjil dan tak masuk akal, kejadian-kejadian supranatural seperti di atas sesungguhnya mewakili kepercayaan yang umum diyakini masyarakat tradisional, di Jawa, maupun di banyak daerah lain.
Istilah Sekala Niskala yang mengakar di Bali misalnya, meyakini bahwa realitas kita dibangun dari keterhubungan kompleks antara dunia yang terlihat dan tidak terlihat, yang tergapai dan terimajinasikan, serta yang dicerna lewat rasio dan oleh rasa.
Maka bukan hal aneh misalnya, bagi Saido berurusan dengan lelembut. “Setiap alam dirusak, ada respons dari mereka, hal alami aja itu. Tapi niku mung turene, dongeng dari simbah, lho, ya,” ucap Saido sambil tertawa enteng.
Saras Dewi, penulis dan aktivis ekofeminisme menjelaskan bahwa hal-hal di luar nalar yang terjadi dalam relasi manusia dan alam adalah bentuk komunikasi.
“Semua yang kita anggap takhayul atau hal-hal gaib, itu bisa jadi cara kita saling merespons dengan alam. Oh, ini tandanya alamnya sakit, alamnya takut, jadi nggak heran kalau banyak cerita magis,” kata Saras.
“Ada dunia yang layer-nya berbeda dengan dunia faktual kita, yang perlu sensibilitas dan imajinasi. Warga desa sampai ke layer itu lewat ritual, sesaji, ruwatan, dan lainnya.”
Amitav Ghosh, dalam bukunya Nutmeg’s Curse: Parable for Planet in Crisis menjelaskan bagaimana pada era sebelum kolonialisme menjangkiti dunia, masyarakat dan makhluk lain di alam saling aktif bekerja sama membentuk rutinitas yang harmonis.
Bukan kebetulan, misalnya pada 1599, Gunung Api Banda meletus berbarengan dengan masuknya kapal Belanda pencari pala pertama ke kepulauan mereka. Tua-tua di Banda tahu, gunung api sedang memberi peringatan tentang hal buruk yang akan datang pada komunitas mereka. Kelak kita semua tahu, kedatangan kapal itu berujung pada sejarah panjang kolonialisme di Indonesia dan dunia.
Modernitas lah yang pertama-tama membawa cara pandang baru bahwa alam adalah objek mati dan pasif, serta menempatkan manusia sebagai makhluk beradab yang terpisah dengan alam. Perspektif ini kemudian memvalidasi segala gerak eksploitatif dan merusak terhadap alam hingga hari ini.
Tapi kisah-kisah tentang alam yang “hidup” ini tak sepenuhnya mistis belaka.
Dalam buku The Secret Life of Plants (1973) oleh Peter Tompkins dan Christopher Bird, mereka mengklaim bahwa tumbuhan adalah makhluk berkesadaran yang punya jiwa, emosi, preferensi musikal, bahkan kepribadian.
Tumbuhan memang tidak memiliki organ pengindraan khusus, tapi riset membuktikan mereka merespons lingkungan sekitar dengan seluruh bagian tubuh dan cara yang lebih holistik.
Tumbuhan merasakan sakit, memahami intensi makhluk di sekitarnya, mampu mengikuti pergerakan benda luar angkasa, juga memprediksi gempa. Secara singkat, buku ini mengkritik anggapan bahwa tumbuhan adalah makhluk pasif yang hidup secara otomatis belaka.
Dalam satu bab “Plants and Electromagnetism,” mereka bahkan mengkritik dikotomi penyebutan benda mati dan benda hidup yang selama ini dipakai di sistem pengetahuan modern. Tak ada yang benar-benar benda mati di alam ini.
Lebih jauh, John Charles Ryan, dalam jurnalnya “Passive Flora? Reconsidering Nature’s Agency through Human Plant Studies (HPS)” yang terbit di Societies, tahun 2012 menawarkan sebuah cabang ilmu anyar yang mengolaborasikan kajian botani lintas disiplin dan memakai pengetahuan adat sebagai dasar ilmunya.
Ilmu itu, HPS, berupaya mengonseptualisasikan tumbuhan sebagai rekan aktif dalam produksi pengetahuan dan praktik budaya — sebagai makhluk sosial dengan agensi yang valid.
Dari pengalaman mistis dan riset saintifik ini, rasanya tak berlebihan untuk menganggap bahwa keduanya memiliki suara yang senada.
Saras Dewi memaknai kejadian supranatural di seputar JJLS sebagai pertemuan kosmik antara dua sisi tersebut, yang magis juga saintifik.
“Kalau untuk komunitas di desa, apalagi ketika mengalami tekanan soal perusakan alam, rumah, atau cara hidup mereka, itu ada rasa takut yang dirasakan bersama. Dari pohon, hewan, tanahnya, membagi rasa takutnya ke manusia. Manusianya ikut sedih, panik, frustasi. Itu empati dan ketidaksadaran kolektif yang terjadi secara natural. Nenek moyang kita terbiasa dengan hal seperti itu,” jelasnya.
Dari perspektif ini, pembangunan JJLS yang mengakibatkan penghilangan pohon, situs, maupun gunung yang disakralkan jadi punya dampak besar. Perusakan alam sesungguhnya menimbulkan efek domino bagi terganggunya rutinitas semua makhluk yang tinggal di dalamnya.
Penebangan satu pohon sakral bukan tak mungkin kelak berujung pada perubahan keseluruhan budaya masyarakat desanya.
“Hilangkan situsnya, hilangkan sejarahnya, lalu sampaikan ke publik kalau leluhur itu bodoh. Itu perang kita sekarang kan?” kata Bisma.
“Kalau boleh saya bilang, mohon maaf sebelumnya, JJLS ini ya salah satunya ditumpangi oleh kejahatan budaya terselubung,” Bisma menambahkan.
Menurut Bisma, kerusakan pada ekosistem di dunia fisik akan memengaruhi situasi dimensi gaib di suatu tempat. Ia mengibaratkan alam seperti sebuah orkestra, tiap dunia dan makhluk punya nada.
“Maka jika ada satu pohon atau gunung yang hilang, nadanya berkurang, jadi fals. Jadi kalau ditebang satu, harusnya ya ditanam satu. Supaya orkestranya nggak fals, tetap harmoni,” ujarnya.
Di area pembangunan JJLS, ritual dan negosiasi yang dilakukan Bisma dan sesepuh lain adalah usaha menyeimbangkan energi spiritual yang terpecah akibat perusakan, agar utuh kembali.
Namun tanpa mengawang ke efek gaibnya pun, pembangunan JJLS disinyalir telah mengakibatkan beberapa dampak merugikan.
***
Serangan koloni Monyet Ekor Panjang (MEP, macaca fascicularis) ke lahan pertanian warga jadi konflik meresahkan akhir-akhir ini. Bambang, yang punya lahan pertanian di Girisubo, jadi salah satu korbannya.
“Kalau MEP datang, tanduran (tanaman) jagung, padi, ketela di lahan saya itu habis dijarah semua. Apalagi sekali datang 50-100 ekor, wah, kalah. Mau dibunuh nanti kena hukum, kalau nggak diapa-apakan, masak rela kami mati kelaparan demi MEP? Harus ada kejelasan ini maunya gimana?” keluh Bambang.
Wilayah terdampak serangan MEP memang cukup luas, yaitu Desa Paliyan, Saptosari, Purwosari, Panggang, Tanjungsari, Girisubo, Tepus, Rongkop, Ponjong, Semin, Ngawen, dan Wonosari.
Muhammad Wahyudi, kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta membenarkan bahwa gangguan MEP terjadi karena terusiknya habitat akibat adanya pengembangan wisata alam dan pembangunan JJLS.
“Sejak saya belum lahir, gunung di dekat Baron itu memang rumahnya monyet. Baru tahun-tahun ini setelah proses JJLS itu, mereka jadi lari ke pemukiman,” tambah Bambang.
Dilansir dari Mojok, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul juga mengakui larinya MEP berkaitan dengan pengurangan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu untuk pembangunan JJLS dan infrastruktur pariwisata lain.
Hingga kini, rencana pengurangan KBAK ditolak oleh Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst (KMPK) Indonesia. Mereka mengecam rencana Pemkab Gunungkidul yang ingin mengurangi luasan KBAK dari 75.835,45 hektar menjadi 37.018,06 hektare alias memangkas 51,19% dari luas KBAK yang telah diakui sebagai kawasan Global Geopark Network (GGN) oleh UNESCO pada 2015.
Pengurangan KBAK disinyalir akan membawa dampak ekologis yang signifikan mengingat karst yang didominasi batuan kapur berpori-pori adalah daerah resapan air hujan, penyerap emisi karbon, serta cadangan air tanah yang krusial.
Atas karakteristiknya yang unik, UNESCO memasukkan KBAK Gunungsewu dalam kategori Conical Karst Hill yang mempunyai nilai ilmiah tinggi. Jenis karst ini hanya terdapat di negara tropis, Indonesia, Filipina, dan Jamaica. Artinya, perusakan KBAK Gunungsewu sama dengan perusakan situs biologi berharga bagi dunia.
Selain MEP, pengurangan KBAK juga akan berdampak pada ekosistem kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera), kelelawar pemakan buah (Megachiroptera), dan sembilan spesies kelelawar lain yang punya jasa lingkungan besar terhadap pertanian warga.
KMPK Indonesia menilai langkah Pemkab Gunungkidul mengajukan peninjauan kembali KBAK Gunungsewu untuk mengurangi luasan wilayahnya terindikasi inkonstitusional dan sarat dengan keberpihakan terhadap laju investasi yang tidak mempedulikan perlindungan KBAK dan lingkungan hidup.
Menghadapi rentetan ini, Bambang mengaku hanya sedikit yang bisa ia lakukan sebagai warga biasa, “Memang rasanya JJLS menandai suatu zaman baru di Gunungkidul.”
V – Aspal dan Imaji Surga Pariwisata
Dalam lagunya “Aspal, Dukun,” kelompok musik asal Yogyakarta, Majelis Lidah Berduri menyanyikan sebait lirik yang menggambarkan cerita JJLS dan masyarakat Gunungkidul:
Aspal sampai di kampung terujung/
Sembari memanggul/
Punggungnya/
Jaringan waralaba/
Toko segala ada/
Jelas bahwa pembangunan jalan raya tak pernah merupakan proyek mandiri, ia selalu disusul oleh proyek-proyek pelengkap pembangunan lain. Seiring dengan meningkatnya konektivitas, “punggung” aspal JJLS membawa cita-cita pemerintah untuk menjadikan Gunungkidul sebagai surga baru pariwisata.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dari situs resmi Kementerian PUPR, menyebut peningkatan kondisi jalan Pansela (Pantai Selatan) Jawa diharapkan dapat menjadi jalur wisata wilayah pesisir pantai selatan serta memperlancar konektivitas, sehingga dapat mengurangi kesenjangan dengan wilayah Pantura (Pantai Utara) yang perekonomiannya lebih maju.
Cita-cita inipun didukung oleh pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Anggaran untuk Proyek JJLS adalah hasil urunan antara APBN dan ABPD DIY yang diambil dari Dana Keistimewaan. Pengerjaan fisik jalan raya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat lewat APBN, sedangkan pembebasan lahan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi DIY.
Sepanjang pembangunan JJLS, pemerintah DIY telah mengeluarkan dana Rp1,4 triliun untuk pembebasan lahan.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam membangun industri pariwisata berbasis potensi daerah, serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam tata kelola pariwisata juga tertulis sebagai misi prioritas dalam program kerja bupati Gunungkidul saat ini, Sunaryanta.
Sektor pariwisata digadang-gadang menjadi bintang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gunungkidul dengan target mencapai Rp28,9 miliar pada tahun ini.
Sementara, dilansir dari KRjogja, sejak 2019 atau berbarengan dengan pembangunan JJLS, arus investasi di sektor pariwisata yang masuk ke Gunungkidul meningkat tajam. Kawasan yang disasar investor berpusat di sepanjang garis pantai selatan dengan wujud berupa wahana wisata, taman hiburan, resto, kafe, maupun resor.
Selama 2021 dan 2022, bahkan investasi yang masuk melebihi target pemkab, yang mencapai angka Rp282 miliar pada 2021 dan Rp634 miliar pada 2023. Tak heran, secara kasat mata kini mulai terlihat berbagai bangunan baru di sepanjang pantai-pantai yang dulu dikelola warga.
Gunungkidul bahkan dikabarkan hendak dijadikan Bali ‘baru.’
Menanggapi hal ini, Saras Dewi yang lahir dan tumbuh di Bali berpendapat bahwa cita-cita itu harus dikaji ulang.
“Konsep pariwisata masif di Bali saja secara formula sudah menyakiti banyak korban,” katanya.
“Sebagai formula saja dia sudah menyakiti, ya, jadi untuk apa formula gagal itu mau diterapkan di tempat lain? Itu kan seperti menyebarkan racun ke tempat lain, ngapain?”
Saido, yang juga menjabat sebagai ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Pantai Siung menyadari betul gelombang investasi ini. Sejak membuka kawasan Pantai Siung bersama warga pada 1990-an, ia sadar harus memberdayakan warga desa agar kebal dari berbagai godaan dan ancaman pembangunan.
“Kami nggak sengit sama investor sih, tapi memang prinsipnya berbeda,” katanya.
Sejak 1997, ia menginisiasi dua kelompok warga, kelompok tani dan kelompok dagang. Ia mendorong warga untuk merawat dua sumber penghidupan ini secara seimbang, lahan pertanian tetap dikelola dan hasil panennya dipasarkan lewat pedagang yang mengelola warung di Pantai Siung.
Siasat ini ia bentuk sebab ia melihat bahwa perkembangan pariwisata, meski betul membawa peningkatan ekonomi bagi warga, tapi justru menimbulkan potensi konflik sosial dan ekologi yang jauh lebih besar lagi.
Pantai Siung sejak lama dikenal sebagai pantai andalan para pemanjat tebing di Yogyakarta, karena tebing-tebing alami dan kedekatan dengan warga lokal di sana.
“Siung ini salah satu kawasan yang tidak terbeli oleh investor. Karena masyarakatnya masih senang bertanam, setiap panen kami syukuran. Setiap ada investor nawar, warga menjawab ‘ini bukan tanah saya, tapi milik anak cucu saya,’ jadi nggak mau jual,” jelasnya.
VI – Solastalgia dan Ramalan Orangtua
Dalam catatan sejarah, kata “nostalgia” muncul tahun 1600-an paska Thirty Years’ War yang merupakan perang paling parah sepanjang sejarah Eropa.
Johannes Hofer, menggunakan “nostalgia” untuk mewakili sederet gejala medis yang dialami para tentara muda bayaran Swiss yang saat perang disewa untuk pergi meninggalkan kampung halamannya.
Gejalanya parah, dari mulai demam, sesak napas, gangguan tidur, hingga depresi. Budaya populer membuat kita mengenalnya sebagai sebuah perasaan sentimental berupa kerinduan terhadap rasa nyaman atau familiar di masa lalu atau di suatu tempat, yang tak lagi bisa dijangkau. Para perantau misalnya, mengaitkannya dengan pengalaman rindu rumah – homesickness.
Tapi mungkinkah perasaan rindu rumah ini hadir pada seseorang, tanpa ia harus pergi ke mana-mana?
Solastalgia.
Diciptakan dari dua kata: solace – conlose, desolation berarti penghiburan, dan akhiran -agia berarti pain, rasa sakit.
Kata Solastalgia, pertama kali dicetuskan oleh Glenn Albrecht, seorang filsuf lingkungan dari University of Newcastle Australia.
Ia menciptakan kata Solastalgia untuk mendeskripsikan perasaan stres atau tertekan yang terkait dengan perubahan alam di sekitar tempat tinggal.
“Kata ini benar-benar mendefinisikan respons emosional kita terhadap perubahan lanskap lingkungan di sekitar yang terjadi selama hidup kita,” jelasnya pada The Atlantic.
Ia pertama kali merasakan ini ketika berkendara keliling desanya di tenggara Australia. Ia melihat bagaimana hutan dan gunung di desa yang dulu lebat kini hilang karena penggalian tambang batubara. Perasaan patah hatinya ini ternyata bukan hal asing pada zaman sekarang, ketika perusakan alam oleh bencana alam maupun campur tangan manusia semakin sering terjadi dalam skala masif di mana saja.
Kata Solastalgia inilah yang muncul sepanjang reportase ini.
Ia seperti merangkum perasaan nelangsa yang ada pada Saido, Bambang, Towiryo, atau juga para dhanyang penunggu pohon, gunung, atau situs-situs sakral yang kini rusak terdampak JJLS. Menyaksikan rumah mereka dikeruk, dibelah, dihancurkan untuk diganti sesuatu yang asing. Ruang hidup mereka tak sama lagi.
“Tapi gimana, ya,” Saido tampak berpikir sejenak, ia menyeruput kopi hitam di gelasnya.
“Kami sudah tahu ini akan terjadi, sudah diriwayatkan oleh suwargi (almarhum) simbah sejak saya masih anak-anak. Dia bilang, ngko nek wis tekan jangkane, Gunungkidul iki bakale disabuki mori putih, negara bakal diadhepke kidul, aja kaget — nanti jika tiba waktunya, Gunungkidul akan disabuki kain mori putih, kota akan dihadapkan ke selatan. Jangan kaget. Mori putih mungkin maksudnya, ya, jalan raya ini, ya?” kata Saido.
Bambang pun menuturkan hal yang sama, “Suk lek wis tekan jamane, watu wae enak dipangan. Dhuwit akeh, gedhene sagodhong nangka — nanti jika tiba waktunya, batu saja enak dimakan. Uang akan banyak, sebesar daun nangka. Ternyata kejadian ‘kan sekarang, orang yang punya gunung di rute JJLS ‘kan dapat ganti untung miliaran itu,” ceritanya.
Apa yang dituturkan Saido dan Bambang dalam bahasa Jawa disebut pasemon pasemuan atau sesuatu yang semu, sebuah gaya tutur yang menggunakan banyak simbol, biasanya dipakai untuk mendongengkan ramalan atau peringatan masa depan. Mereka merasa pembangunan JJLS adalah wujud nyata dari pasemon yang telah dituturkan leluhur mereka.
“Tapi ini kan cuma dongeng sesepuh zaman dulu. Orang-orang tua seperti kami, ya, cuma bisa bersyukur masih bisa melihat Gunungkidul yang asri, ke depan nggak tahu. Kamulyane ben dipek anak putu – kemakmurannya biar untuk anak cucu,” tutup Bambang.
Di satu sisi, pasemon lokal seperti ini bisa dimaknai secara eksploitatif sebagai validasi untuk pembangunan yang diadakan secara tak bijaksana.
“Apakah JJLS mengadopsi itu saya juga nggak tahu. Apakah numpang supaya pembangunan aman? Ya, bisa sekali,” kata Bisma.
Kini, di antara tumpukan material batu dan tanah yang dikeruk sepanjang rute JJLS, warga tetap berseliweran melakukan aktivitasnya. Pagi berangkat ke ladang, bertanam, berdagang di kedai kecil di pantai, lalu sore melakukan banyak aktivitas sosial bersama.
Awal Mei kemarin, untuk merayakan rasulan di desanya, Saido mengundang Komunitas Resan Gunungkidul, Komunitas Konservasi yang kegiatannya menanam pohon resan yang disertai ritual tradisional.
Setelah menampilkan wayangan, paginya, mereka menanam sambil melakukan ritual memule leluhur – memuliakan leluhur di Belik Welutan dan Belik Gebyok, salah dua sumber air yang disakralkan.
Pohon-pohon raksasa menaungi kolam airnya yang bening dan warga yang memanjatkan syukur dan doa pada seluruh makhluk di sekitar mereka, yang terlihat, maupun tidak.
“Namung pangeling-eling mawon – sebagai pengingat saja, mumpung masih ada,” tutupnya.
***
*Bisma adalah nama samaran.