Di masa lalu, dukun berperan penting menjaga kelestarian hutan di Pulau Bangka. Selama ratusan tahun mereka menyebarkan beragam pengetahuan dan kearifan terkait hutan.
Dalam kesatuan lanskap, bukit-bukit di Pulau Bangka berperan vital secara ekologi dan spiritual bagi para dukun dan masyarakat. Selama ratusan tahun, mereka menjadikan bukit sebagai titik ritual yang berdampak pada terjaganya hutan di sekitarnya.
“Tugas dukun kampung itu berat, karena tanggung jawabnya tidak hanya mengurusi manusia, tapi juga makhluk hidup lain, hewan juga tumbuhan,” kata Janum bin Lamat (58), Ketua Adat Suku Jerieng, Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip.
Janum bin Lamat adalah keturunan ketujuh batin gunung. Sebagai sosok pemimpin dalam sistem adat Suku Jerieng, batin berperan layaknya dukun kampung. Ia memiliki kemampuan mengobati sekaligus penghubung dan penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan makhluk lain.
“Dulu, ada sejumlah kelompok warga yang menganggap saya sesat. Beruntung masih ada tokoh masyarakat yang mendukung dan memberi penjelasan, sehingga masyarakat kembali bisa menerima posisi dukun di kampung ini,” lanjutnya.
Suku Jerieng merupakan sub Suku Melayu tua yang tersebar di 13 desa di Kecamatan Simpang Teritip, dengan luas wilayahnya sekitar 62 ribu hektare. Bukit Penyabung di Desa Pelangas setinggi sekitar 300 meter merupakan wilayah tertinggi sekaligus area sakral bagi Suku Jerieng.
“Setiap tahun, pada bulan Muharram, kami melakukan ritual taber gunung di Bukit Penyabung. Bukit ini dianggap sakral, tidak boleh diganggu,” ujar Janum.
Ia menjelaskan makna ritual itu bentuk syukur atas hasil alam dan doa kepada Yang Maha Esa agar dijauhkan dari segala penyakit dan bencana.
Ritual ini juga ajang silaturahmi bagi semua dukun kampung di Pulau Bangka hingga Pulau Belitung.
“Hingga saat ini, ada sekitar 46 dukun tersebar di Pulau Bangka. Setiap kali ada ritual, mereka semua hadir, baik secara fisik maupun gaib,” kata Janum.
Ritual taber gunung di Bukit Penyabung sempat vakum sekitar 1991-1997 karena tidak ada generasi dukun kampung yang sanggup memimpin ritual. Ritual ini terhenti bertepatan masuknya perkebunan sawit yang menggerus hutan di sekitar Bukit Penyabung.
Sekitar 2016, ritual pernah digelar kembali oleh Lembaga Adat Melayu Jerieng. Namun, tidak sesuai adat Jerieng.
“Banyak bagian ritual berubah, seperti lokasi yang semula di bukit, dipindahkan ke rumah adat. Sehingga tidak dianggap atau diakui para dukun kampung,” kata Janum.
Pada Agustus 2022, melalui mimpi, Janum diberi kepercayaan leluhur Suku Jerieng untuk meneruskan ritual taber gunung, sesuai tata acara yang telah ditetapkan.
“Hampir 25 tahun ritual tidak dilaksanakan, banyak bala menimpa masyarakat Suku Jerieng. Seperti padi terserang hama, durian tidak berbuah, hasil madu berkurang, dan puncaknya terjadi kesurupan massal saat acara Pemerintah Kabupaten Bangka Barat di Desa Berang beberapa waktu lalu.”
Ritual
Ritual menjadi salah satu simbol eksistensi dukun di Pulau Bangka. Titik ritual dilakukan di sejumlah tempat atau lanskap yang dianggap penting bagi kehidupan masyarakat seperti laut, sungai, dan bukit.
“Hilangnya ritual berarti hubungan kita dengan alam dan sesama manusia telah pudar, sekaligus sebagai bentuk kalau kita (masyarakat Pulau Bangka) tidak bersyukur atau serakah dengan hasil alam yang kita dapat,” kata Janum.
Layaknya di Bukit Penyabung, keberadaan ritual sejalan terjaganya kawasan hutan tersebut. Sebaliknya, di sejumlah bukit yang kehilangan ritual, hutan semakin tergerus sekalipun sudah berstatus kawasan konservasi.
Sekitar 7 kilometer dari Pangkalpinang, ada kawasan hutan Bukit Mangkol. Sejak 2016, wilayah ini berstatus Tamah Hutan Raya (tahura) seluas sekitar 6.000 ha.
Dahulu, leluhur masyarakat di sekitar bukit itu tinggal di kelekak, area hutan atau sebidang tanah yang ditanami pohon khas daerah, umumnya durian, binjai, manggis. Kelekak menjadi warisan leluhur untuk anak cucu di kemudian hari.
Kelekak tertua di Bukit Mangkol bernama ‘Aik Bik’. Lokasinya dekat sumber mata air utama Bukit Mangkol, yang mengalir menuju Kota Pangkalpinang dan bermuara ke Sungai Baturusa di Pesisir Timur Pulau Bangka.
“Leluhur kami yang tinggal di sekitar kelakak ini bernama Akek Burok dan Nek Rempak. Merekalah yang mengawali ritual di Bukit Mangkol. Ritual itu misalnya menyambut musim panen buah durian,” kata Mang Kalu (40), keturunan ketujuh dukun kampung di Desa Teru.
“Dulu, buah durian yang pertama kali jatuh dinamakan durian sentajau. Durian ini kemudian diletakkan di batu granit yang dinamakan ‘batu kelambu’.”
Saat buah durian kedua jatuh, barulah warga boleh mengambilnya.
“Kata orang tua dulu, makna dari ritual itu untuk saling berbagi hasil alam dengan makhluk lain, baik itu hewan atau makhluk gaib. Bagi yang melanggar akan terkena penyakit, atau gagal panen,” lanjut Mang Kalu.
Namun, sejak 1970-an, ritual tersebut tidak lagi dilaksanakan.
Hari ini hutan di sekitar Bukit Mangkol tergerus pembalakan liar hingga pertambangan timah meski sudah menjadi kawasan konservasi.
Pada Juli 2022, Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap tersangka perambahan Tahura Bukit Mangkol.
Tertutup
Tercatat ada sekitar 32 bukit di Pulau Bangka. Yang tertinggi adalah Gunung Maras (705 meter). Sejak 2016, lanskap Gunung Maras seluas 16.806,91 ha ditetapkan sebagai satu-satunya taman nasional di Pulau Bangka.
Bagi dukun-dukun di Pulau Bangka, wilayah Gunung Maras merupakan titik spiritual terkuat yang harus dihormati dan dijaga. Jika rusak, mereka percaya terjadi banjir besar kelak yang menenggelamkan Pulau Bangka hingga setengah Pulau Sumatera.
Hingga saat ini, masih ada sembilan orang yang melakukan ritual ke Gunung Maras secara tertutup. Mereka berasal dari sejumlah desa di kaki Gunung Maras.
“Dahulu ada ritual yang terbuka, masyarakat mendukung penuh. Tetapi, saat ini, ritual kami lakukan tertutup, karena banyak pendatang yang tidak sepakat dengan ada ritual tersebut,” kata Damion (51), warga Desa Berbura yang rutin mengikuti ritual tersebut.
Secara umum, hutan di Gunung Maras masih terjaga. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sudah sering terjadi longsor karena tegakan pohon besar di beberapa titik sudah hilang.
“Saat malam, kami sering mendengar runtuhan batu, gemuruhnya hingga permukiman,” kata Damion, yang rumahnya di kaki Gunung Maras.
Sementara area ujung kaki Gunung Maras atau Teluk Kelabat, yang didominasi ekosistem mangrove, sudah banyak ditambang para pendatang.
“Jujur, sekarang sudah sedih melihat Gunung Maras. Kondisinya jauh berbeda. Hutan dirambah dan ditambang. Sudah banyak masyarakat yang tidak menghormati pesan leluhur,” kata Damion.
Hutan “riding” yang terputus
Berdasarkan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2014, luas kawasan hutan di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 657.380 ha.
Sementara, dalam dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2021, luas kawasan hutan tahun 2015 tersisa 235.585,8 ha; berkurang 421.794,2 ha selama setahun.
Luasan ini terus menurun hingga tersisa 197.255,2 ha. Artinya, selama enam tahun (2014-2020), Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 ha.
“Secara umum, bisa dikatakan hutan primer di Pulau Bangka hanya tersisa di sekitar perbukitan, selain di wilayah pesisir yang didominasi ekosistem hutan mangrove,” kata M. Dedi Susanto, Kepala Resort Konservasi Wilayah XVI Bangka, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan.
Karena itu, kawasan konservasi di Pulau Bangka terpusat di wilayah perbukitan seperti Gunung Maras (taman nasional), Gunung Mangkol dan Gunung Menumbing (taman hutan raya raya), serta Gunung Permisan (taman wisata alam).
Menurut sejumlah dukun di Pulau Bangka, wilayah hutan di luar wilayah perbukitan yang kini banyak tergerus dinamakan “hutan riding”.
Menurut Janum, dahulu semua wilayah atau kampung di Pulau Bangka terhubung dengan kawasan hutan yang dinamakan “riding”. Hutan riding dahulu terbentang dari ujung utara hingga selatan Pulau Bangka. Bentuknya memanjang selebar sekitar 100 meter. Hutan ini melintasi sekaligus menghubungkan setiap kampung dan bukit di Pulau Bangka.
“Hutan ini dulunya disepakati setiap dukun kampung di Pulau Bangka. Masyarakat hanya boleh mengambil hasil hutannya (tidak boleh dibuka jadi kebun), dengan tetap minta izin dukun setempat. Hutan ini diperuntukkan khusus makhluk lain (hewan, tumbuhan, dan makhluk gaib),” kata Janum.
Selain itu, hutan riding juga berfungsi sebagai “jalur penghubung” bagi makhluk lain untuk menuju bukit dan kampung di Pulau Bangka, menurut Makmun, dukun kampung di Bukit Nenek, Desa Gudang.
“Hutan riding juga berfungsi sebagai jalan bagi kita (manusia, hewan, makhluk gaib) untuk menghadiri setiap ritual yang diadakan di bukit-bukit yang dianggap sakral,” lanjutnya.
Kini hutan riding terputus seiring deforestasi di Pulau Bangka. Hanya menyisakan hutan di bukit-bukit dan hutan bakau di pesisir.
Janum berkata hutan riding yang menghubungkan setiap kampung dan bukit merupakan simbol keterikatan antarmasyarakat atau suku di Pulau Bangka. Jika hilang atau terputus, terputus pula hubungan antarwilayah dan masyarakat di Pulau Bangka.
“Jadi wajar kalau sekarang banyak konflik antarmasyarakat yang berebut hasil alam. Karena hutan riding dan ritual perlahan hilang. Ini bukti kita tidak bersyukur dengan kekayaan alam,” ujarnya.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund dan Pulitzer Center on Crisis Reporting.