Sanggar Anak Harapan di Utara Jakarta: Mengisi Kekosongan Ruang Bermain dan Belajar Anak-anak Pinggiran

Eka Nickmatulhuda
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
12 menit

“Kecelakaan Hari ini: Nekat Berhentikan Truk Lagi Ngebut, Remaja Laki-laki di Koja Tewas Terlindas.” 11 September 2023

“Siswi SMP Jadi Korban Tewas dalam Kecelakaan Maut di Cilincing Jakarta Utara,” 3 April 2024


BAGI pembaca, judul-judul berita di atas bisa jadi mengundang keprihatinan tetapi bisa dengan mudah dilupakan. 

Bagi warga miskin di Jakarta Utara, yang sehari-hari hidup berdampingan dengan bus dan truk kontainer, korban-korban ini bukan sekadar imbas dari kecelakaan lalu lintas tetapi juga konsekuensi dari hilangnya ruang publik yang aman, terutama untuk anak-anak. 

Suasana jalan raya yang dilalui banyak truk kontainer, tak jauh dari Sanggar Anak Harapan di wilayah Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Bagi warga miskin di sana, para korban ini memiliki nama. Mereka adalah bagian dari sebuah keluarga, pelajar, dan teman bermain seorang anak. Dan, tragedi yang menimpa mereka adalah akibat hilangnya ruang publik yang aman bagi anak-anak.

Anak-anak di Tanah Merah di Kecamatan Koja adalah di antaranya. Mereka tinggal di tanah garapan yang secara hukum milik negara. Anak-anak harus berbagi gang sempit antar-rumah untuk bermain sepeda dan memberi jalan sepeda motor yang melaju. 

Dikky Takiyudin (22), yang menghabiskan masa kecilnya di Tanah Merah, mengatakan hampir tidak ada ruang ramah anak di sana. 

“Kalau lu main di lapangan, rebutan ama orang dewasa, kalau main di jalanan depan rumah, ribut sama orangtua yang ngga suka diganggu karena berisik,” ia menggerutu. 

Rumah juga bukan opsi yang aman bagi anak-anak. Tradisi kekerasan dalam rumah tangga, penyebab utamanya. 

“Kalau salah langsung dicubit orangtua, mereka juga manggil kita dengan cara teriak, wah, itu buat kita ngebatin,” katanya.

Suasana taman bermain anak yang berada di pinggir jalan raya yang dilalui banyak truk kontainer, tak jauh dari Sanggar Anak Harapan di wilayah Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Satu-satunya taman bermain terdekat yang baru dibangun setahun belakangan, terletak persis di pinggir jalan raya yang dilalui ratusan mobil besar dan truk kontainer tiap harinya. Celaka di jalan bisa jadi perihal nasib, atau bagian dari permainan.

“Atraksi anak jalanan ya, itu, kita mantek (memaksa kontainer berhenti) begini,” kata Dikky, menyebut permainan yang juga dikenal dengan istilah bajing loncat itu. 

Alasan lain mereka mencegat truk dan kontainer adalah untuk menumpang ke Marunda, pantai terdekat dari Tanah Merah untuk sekadar rekreasi. 

“Kita juga mantek dengan tiduran di jalan, kalau loss, ya, loss,” ucapnya, merujuk loss pada hilangnya nyawa anak yang mencegat truk.

Sebutan Tanah Merah dilekatkan pada pemukiman kumuh padat penduduk di tiga kelurahan: Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan dan Kelapa Gading Barat Jakarta Utara. 

Tembok membentang membatasi wilayah itu dengan Depo Pertamina Plumpang. Sudah dua kali Tanah Merah terkena imbas dalam kebakaran depo. Pertama pada 2009, akibat percikan api yang menyambar bensin, dan kedua pada 2023, akibat bocornya pipa bensin

Pada insiden terakhir, 33 warga dilaporkan menjadi korban meninggal dunia.

Suasana Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Permukiman mulai menjamur di Tanah Merah dan berubah menjadi kawasan padat pada tahun 1980-an, selang beberapa tahun setelah Depo Pertamina Plumpang dibangun. Pertamina pernah berupaya mengambil alih lahan, namun warga menggugat balik dan memenangkan gugatan. 

Kendati demikian, penyelesaian masalah kepemilikan lahan di Tanah Merah belum usai. Pemerintah pusat dan provinsi sudah berkali-kali berjanji merelokasi warga ke tempat yang lebih layak tetapi tak pernah terpenuhi. 

Cari Cara Berdaya

Dikky Takiyudin, 22, salah seorang pengajar di PAUD Sanggar Anak Harapan, April 2024. Dikky adalah adik dari Desboy, pendiri Sanggar Anak Harapan. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Keluarga Dikky adalah salah satu pendatang awal di Tanah Merah. 

“Almarhum Mama kalau ga salah orang ke-4 atau ke-5 yang tinggal di sini. Saat orang-orang hanya patok tanah dan sudah bisa bangun rumah di sini,” kata Dikky. 

Dikky dan keluarganya menjalani kehidupan yang tak mudah di Tanah Merah. Mereka berkali-kali menjadi korban penggusuran

Leni Desinah (35), kakak perempuan Dikky, menjalani masa kecil yang tidak kalah mengancam nyawa. 

Desinah, biasa dipanggil Desboy karena gayanya yang maskulin, pernah hidup di bawah kolong jembatan. Pernah mengamen di jalanan. Pernah juga dijebloskan selama dua minggu di panti sosial. 

Pengalaman itu mendorongnya berbuat lebih. Desboy dewasa berinisiatif membangun Sanggar Anak Harapan pada 2009. 

“Bertahun-tahun di jalanan itu sakit banget, apalagi kalau dia perempuan, kecil, ga dapet pertolongan, dobel-dobel rasanya,” kata Desboy. 

“Dan, gue berpikir, dengan apa yang gue punya, yang gue bisa, kalau gue mau berbagi, ya, berbagi aja.” 

Leni Desinah (Desboy) berjalan bersama seorang anak sanggar menuju Sanggar Anak Harapan. Sanggar tersebut didirikannya dengan menjalankan beberapa usaha termasuk menjual limbah plastik untuk pembiayaannya. (Project M/Eka Nickmatulhuda).
Angel, seorang relawan sanggar, memutarkan video kepada seorang anak sanggar, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Desboy, awalnya mendirikan sanggar hanya sekadar sebagai tempat kumpul dan bermain anak-anak. Perlahan, sanggar berkembang menjadi tempat berbagi pengetahuan untuk anak-anak miskin yang jauh dari akses pendidikan gratis dan upaya pemberdayaan lainnya. 

Awalnya, sanggar menampung 20 anak asuh, saat ini ada 15 anak yang secara rutin mendapat pengasuhan. 

Anak-anak datang dan pergi, terlebih Desboy sempat berpindah-pindah basecamp karena tidak mampu bayar sewa. Sama halnya dengan relawan pengajar. 

Awalnya, sanggar tak memiliki status, saat ini Sanggar Anak Harapan telah menjadi yayasan.

Awalnya, Dikky menentang rencana sang kakak, hingga akhirnya bergabung membantu mengelola sanggar.

Ruang Pengembangan Diri

Selama perjalanan sanggar, Desboy mengamati anak-anak asuhnya kerap mengalami krisis kepercayaan diri akibat problem sistemik yang meminggirkan mereka. Ditambah buruknya komunikasi antara orangtua dan anak di kebanyakan keluarga di Tanah Merah.

Melihat situasi tersebut, keterbukaan menjadi kebiasaan yang terus dilakukan dalam setiap kegiatan-kegiatan sanggar. 

“Sampai-sampai agenda rapat jadi sangat penting, karena kita mendengarkan mereka saat rapat dan mereka jadi merasa lebih istimewa dibanding yang lain,” kata Desboy. 

Para staf pengajar dan anak-anak yang ditampung Sanggar Anak Harapan hampir tiap hari menggunakan lantai dua bangunan shelter yang berukuran 5×14 meter persegi sebagai ruang aman berbagi cerita dan hidup. 

Curhat, tidur, masak, makan dan main musik bersama. Kepercayaan diri anak-anak juga tumbuh karena mereka didengar. 

Suasana makan malam bersama para penghuni Sanggar Anak Harapan, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

“Peran penting sanggar sebagai rumah kedua itu seperti jembatan, sekaligus penerang, ketika lu bingung, bisa tanya, ‘kak, gue harus kemana, ngelakuin apa?’,” tutur Dikky yang berturut-turut mendapat beasiswa untuk tingkat SMA dan perguruan tinggi.  

Pasang, Surut, Surut, Keuangan Yayasan

Desboy berupaya untuk juga terbuka terkait keuangan yayasan. Per bulan, Desboy menyebut Sanggar Anak Harapan membutuhkan biaya operasional hingga Rp11 juta untuk mendukung program pendidikan anak-anak dan membayar tagihan listrik, air, makan, dan kebutuhan penting lainnya. 

Sumber pendanaan bisa melalui donasi. Namun, sistem donasi yang coba menggaet donor rutin sebagai kakak asuh tidak pernah cukup. 

Beberapa pekerjaan dilakukan untuk mengisi pundi-pundi yayasan. Mereka pernah berjualan makanan, membuka warung jual beli pulsa. Sayangnya, warung pulsa harus dijual karena terpepet untuk melunasi biaya kuliah anak sanggar pertama yang diterima di Institut Kesenian Jakarta. 

Suasana Sanggar Anak Harapan yang sekaligus menjadi tempat mengemas limbah plastik yang dikumpulkan. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Saat ini mereka menjalankan bisnis limbah plastik. Mengumpulkan plastik-plastik bekas lalu dijual ke pengepul untuk didaur ulang. Anak-anak yang tinggal di sanggar maupun yang hidup terpisah terkadang juga ikut dalam bisnis ini.

Desboy menekankan ia sangat berhati-hati ketika melibatkan anak-anak dalam pekerjaan ini. Ia tidak ingin ikut menjadi pelaku eksploitasi anak seperti yang lumrah terjadi di Tanah Merah. 

Pendidikan hukumnya tetap wajib menjadi prioritas termasuk anak-anak yang membantu bisnis limbah plastik. Anak-anak asuh sanggar biasa memanggil Desboy dengan ibu, sebuah panggilan yang membuatnya berupaya agar mereka tak lagi terlantar.

“Karena mereka [sebenarnya]  juga paham, kalo kita ga kerja, ga ada yang bisa jajan, listrik gak kebayar, nasi gak kemasak, dan itu yang ngikat temen-temen,” kata Dikky. 

Seorang anak yang tinggal di Sanggar Anak Harapan mengemas limbah plastik yang dikumpulkan di wilayah Tanah Merah, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).
Seorang anak sanggar menghitung penjualan limbah plastik yang dikelola Sanggar Anak Harapan, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Selain dari bisnis limbah, Sanggar Anak Harapan juga bekerja sama dengan NGO atau lembaga swadaya masyarakat lainnya. Tetapi Desboy dan pengurus sanggar tidak mau sembarangan bekerja dengan NGO. 

Desboy punya alasan. Ia tak ingin menjual iba. 

“Gue pernah jadi anak jalanan, tapi ga enak nyandang label seperti itu. Kita berusaha ga pake label anak jalanan dan anak yatim piatu dan ternyata itu membantu kepercayaan diri anak-anak.” katanya.

“Yang gue pertanyakan, apa harus menjual ketidakberdayaan?”

Ia selalu percaya, keputusannya untuk tidak sembarangan memilih kerja sama ini juga untuk membantu yayasannya. Menurutnya, ada beberapa NGO yang hanya mengukur kerja sama dari laporan-laporan keuangan saja. 

“Kebanyakan donor NGO cuma pengen ada laporan uangnya buat apa? Tapi ga peduli dengan proses,” katanya. 

Akibatnya sanggar hanya kerap diminta mengumpulkan lebih banyak anak yang masuk dalam kategori disantuni.

“Di sini bukan sanggar yang butuh anak, tapi anak-anak yang butuh sanggar,” Dikky menambahkan.

Kendati demikian, mereka mengakui pernah satu waktu terdesak untuk segera membeli kebutuhan anak-anak sehingga terpaksa memakai label itu ke hadapan penjual bahan makanan. 

Saat ini, situasi keuangan sanggar sedang tidak baik-baik saja. 

“Kebayang nggak, gimana kita mencari tambahan? Hanya ada 5 anak yang saat ini punya kakak asuh,” ungkap Desboy dengan nada prihatin. 

Meski sudah terpuruk, pintu rumah masih tetap diketuk tetangga mereka yang menganggap Sanggar Anak Harapan bisa membantu warga yang kesulitan. Seperti sekadar meminta pinjaman Rp20 ribu untuk membeli susu anaknya. 

“Berarti kan ada yang lebih susah ya?” Desboy terkekeh.

Relawan dan Ikatan Persaudaraan 

Kurnia Safitri (Nia), 21, salah seorang pengajar di PAUD Sanggar Anak Harapan. Nia juga pernah menjadi anak sanggar saat ia masih di sekolah dasar. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Para relawan di Sanggar Anak Harapan kebanyakan adalah warga sekitar atau teman-teman Desboy dan Dikky, atau bekas anak sanggar. 

Kurnia Safitri atau Nia adalah salah satu relawan yang sebelumnya juga pernah menjadi anak asuh. Saat ini, Nia mengajar di PAUD yang dikelola sebagai cabang pendidikan sanggar. 

“Gue awalnya ngajar Calistung di sanggar karena yang lain-lain udah di-handle sama volunteer dari luar,” ujar Nia dari keluarga etnis Madura yang sudah mengajar baca tulis dan hitung untuk anak-anak tetangganya sejak di kelas 1 SMP. 

“Gue ga pinter-pinter amat, tapi ngerti, itu aja cukup,” katanya lagi.

Nia kecil juga main di jalanan. Ia harus naik angkot dan menyebrangi tol untuk menikmati ayunan. Nia mengetahui sanggar karena kerap memantau sejumlah kegiatan di sana, sepuluh tahun silam.

“Kita lihat sanggar dari jalanan, dipanggil kak Desboy, kenalan dan diajak main pianika,” katanya. 

Kepercayaan diri Nia meningkat semakin ia terlibat di sanggar. 

“Pernah jadi dekan juga, dewan koordinasi anak,” ujarnya. Tugasnya antara lain memimpin rapat tiap malam minggu yang menjadi ajang berbagi dan membangun kebersamaan. 

Alfina Damayanti (Fifi), 24, salah seorang pengajar di Sanggar Anak Harapan. Fifi mengenal Sanggar Anak Harapan sejak SMA dan terus berkontribusi hingga sekarang. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Relawan lainnya, Alfina Damayanti atau Fifi, teman sekolah Dikky, mengatakan keterlibatannya menjadi relawan membuka matanya atas ketimpangan yang begitu nyata. 

Fifi tinggal bersama orangtuanya di Cilincing, tak jauh dari Pantai Marunda yang bagi Dikky adalah destinasi wisata mahal karena nyawa jadi ongkos perjalanan. Konflik yang kerap terjadi di Tanah Merah juga membuat orangtua Fifi khawatir akan kegiatan putrinya yang keturunan Tionghoa di sana. Namun, lambat laun ia berhasil meyakinkan mereka.

“Apakah gue merasa aman? Deg-degan serr juga, sih,” kenang Fifi.

Pandangan kaum lelaki yang paling membuatnya tak nyaman. “Tapi gue dikenalkan sama Kak Desboy sebagai guru sanggar, yang ngajarin anak-anak, jadi jangan diganggu, jangan dipalak, jangan diapa-apain.”

Setelah lebih dari 7 tahun terlibat sebagai guru di PAUD dan mengajar anak-anak bahasa Inggris beberapa hari dalam seminggu, warga sekitar sudah terbiasa melihatnya. 

“Gue ngerasa dijadikan bagian dari sanggar, dekat dengan anak-anak yang gue ajarin, jadi kalo gue tinggal kayaknya gue sedih deh,” ungkapnya. Hubungan emosional ini lebih sakral dan berharga bagi Fifi ketimbang kebutuhan finansial. Ia kagum melihat fakta bahwa pengurus sanggar seperti Desboy dan Dikky malah cari uang buat sanggar, bukannya dari sanggar. Padahal mereka juga perlu uang.

Begitu juga dengan Grace Angela. Angel, begitu ia biasa disapa, sebelumnya tak pernah terpapar dengan kehidupan anak jalanan dan kelompok marjinal.

Grace Angela (Angel), 23, salah seorang pengajar di Sanggar Anak Harapan. Angel mengenal Sanggar Anak Harapan sejak SMA dan terus berkontribusi hingga sekarang. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Angel yang warga Cakung kini sudah terlanjur jatuh hati dengan anak didiknya. Apalagi sanggar banyak mengajarkan apa artinya menjadi setara secara nyata, bukan teori. Angel mengaku belajar toleransi perbedaan gender ataupun agama di Tanah Merah, bukan di lingkungan rumahnya yang terasa lebih mengekang. 

“Aku di sini kaya keluar dari kandang, itu yang salah satunya bikin aku betah di sini.”

Desboy dan Dikky tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap para relawan. Mereka menyadari keterbatasan finansial. Anak-anak sanggar juga sudah mafhum bila pengajar mereka absen karena harus mengerjakan urusan lain. 

Ia mengambil contoh kelas matematika Nia yang tetap bisa berjalan walau tanpa Nia. ”Berarti udah ada potensi, karena mereka yang paling tau Tanah Merah”. 

Desboy tidak mengharapkan semua anak asuhnya untuk berbuat sesuatu ke sanggar sebagai imbal balik, “Selama mereka bisa menerapkan apa yang mereka terima di sanggar ke ranah keluarga mereka itu sudah cukup” katanya. 

Leni Desinah (Desboy) menggendong dua balita yang salah satunya diasuh di Sanggar Anak Harapan di wilayah Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Memutus siklus kekerasan dan membuka komunikasi baginya justru harus dimulai dari keluarga.

“Gue ga tau sekolah ini bisa lanjut gak, ya, ke depannya,” kata Desboy. 

Namun, Desboy meyakini bahwa ia tidak boleh menggantungkan dan mengorbankan prinsip yayasan dengan kepentingan donor yang mau membantu dengan tapi tapi tapi. 

“Susah senang kita tetep bareng-bareng,” kata Desboy. 

Leni Desinah (Desboy), pendiri Sanggar Anak Harapan di wilayah Tanah Merah, Koja, Jakarta Utara, April 2024. (Project M/Eka Nickmatulhuda).

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Eka Nickmatulhuda
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
12 menit