Selama lebih dari 20 tahun, hukum yang melindungi kami masih mandek di gedung mewah Senayan. Tempat para p0litikus yang tanpa peran kami, sebagai PRT mereka, tak bisa mengatur dirinya sendiri.
Pekerja rumah tangga atau PRT adalah profesi saya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya.
Saya adalah orangtua tunggal dengan empat anak saat ini. Usia saya 42 tahun. Saya bekerja sebagai PRT sudah 13 tahun. Sekarang saya bekerja sebagai PRT paruh waktu dengan empat majikan dengan jam kerja, kondisi kerja, dan situasi kerja yang berbeda. Juga saya harus bisa membagi waktu karena saya ikut berorganisasi dan melanjutkan kuliah di kampus digital Universitas Insan Cita Indonesia.
Menjalani pekerjaan sebagai PRT tidak mudah. Banyak yang meremehkan pekerjaan ini. Pekerjaan saya dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan lebih-lebih oleh pemerintah dan para politikus Senayan. Tidak ada perlindungan khusus untuk PRT dalam hukum Indonesia.
Banyak para majikan termasuk para birokrat dan legislator membutuhkan PRT, untuk berada di rumah mereka sebagai pekerja, tetapi perlindungan PRT dan keberadaannya terabaikan. Dengan situasi itulah alasan saya bergabung dan aktif di Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi Jakarta sejak 2014. Ini salah satu serikat yang dinaungi Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT.
Saat ini JALA PRT mempunyai setidaknya sembilan serikat. Selain di Jakarta, ada SPRT Tunas Mulia di Yogyakarta, SPRT Merdeka di Semarang, SPRT Paraikatte di Makassar, SPRT Tangerang Selatan, Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) Sedap Malam (yang menaungi PRT di wilayah Jakarta Selatan), Operata Panongan di Tangerang, SPRT Lampung, dan SPRT Sumatera Utara.
Kenapa PRT Harus Berserikat?
Serikat PRT adalah wadah bagi para pekerja rumah tangga untuk sharing, untuk belajar dan menambah wawasan para PRT, calon PRT, dan mantan PRT. Di sini kami berbagi cerita dan informasi mengenai kerumahtanggaan dan gender serta informasi tentang lingkup perempuan. Teman-teman PRT bisa secara bebas beradaptasi dan sosialisasi dengan kawan lainnya.
Tentu bukan hal mudah untuk mengorganisir kawan PRT bergabung dalam wadah serikat. Tantangannya adalah banyak halangan dari majikan, pasangan, dan keluarga. Meski demikian, dari pengalaman saya di serikat, saya menemukan organisasi adalah sumber acuan serta tempat berlindung dari segala kekerasan yang terjadi dalam lingkup PRT.
Sebab, sampai sekarang, pemerintah dan negara tidak ikut andil atas perlindungan PRT. Terbukti Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT masih mandek di gedung mewah DPR. Draf hukum yang bakal melindungi nasib hidup kami cuma jadi kamuflase bahan kerja para anggota Dewan. Terlebih, pemimpin DPR, orang yang kami harapkan mendukung RUU Perlindungan PRT, cuma mengumbar janji manis. Dia adalah, tak lain dan tak bukan, Ibu Puan Maharani.
Mandek 20 Tahun di DPR
RUU Perlindungan PRT sudah kami perjuangkan selama 20 tahun. Bukan waktu sebentar dalam mendampingi dan memperjuangkannya.
Awalnya saya juga tidak tahu apa itu perlindungan PRT. Karena bergabung di serikat pekerja, akhirnya saya dan kawan PRT yang lain jadi tahu dan paham. Kami, sebagai PRT, berhak atas perlindungan tertulis dari pemerintah. Juga pengakuan sebagai pekerja.
Sayangnya, apa yang saya dan kawan PRT lakukan bersama jaringan perempuan lainnya yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk RUU Perlindungan PRT, dibolak-balik selama puluhan tahun oleh anggota Dewan dan pemerintah.
Padahal Presiden Jokowi sudah menyatakan di media bahwa kekerasan dan diskriminasi PRT sudah banyak terjadi dan sudah seharusnya anggota DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT.
Nasib kami seperti bola yang ditendang ke sana-kemari, sangat tidak jelas. Padahal RUU Perlindungan PRT sudah menjadi Inisiatif DPR sejak Maret 2023. Pemerintah sudah mengirim daftar inventarisasi masalah ke DPR. Janjinya, RUU akan segera dibahas dan masuk dalam agenda sidang Paripurna 2023. Tinggal diketuk palu. Nasib kami sudah berada di meja pemimpin DPR, yakni Ibu Puan Maharani.
Betapa saya dan kawan PRT dan jaringan JALA PRT menangis bahagia terharu saat itu. Kami pikir kami tak perlu menunggu lebih lama lagi.
Tapi, nyatanya sampai saat ini, RUU Perlindungan PRT belum juga disahkan. Tidak ada perkembangannya dengan berbagai alasan yang sangat tidak jelas.
Kami, pekerja rumah tangga, lagi-lagi cuma dijadikan jargon.
Sampai Kapan?
JALA PRT beserta kawan jaringan koalisi sudah banyak melakukan protes publik untuk mendorong pemerintah dan DPR segera sahkan RUU Perlindungan PRT.
Di depan gedung DPR, kami melakukan aksi puasa, aksi tiup lilin, hingga aksi mogok makan. Semua ini dilakukan demi mengingatkan anggota Dewan dan Bu Puan Maharani agar mereka ingat janji dan kerja nyata.
Saya dan kawan PRT berharap pemerintah tidak pilih kasih, tidak membeda-bedakan status pekerja. Seharusnya PRT mempunyai perlindungan. Dan itu sudah menjadi hak kami demi kerja layak dan hidup layak.
Kekerasan dan diskriminasi di lingkup rumah tangga itu ada banyak macam. Dari kekerasan ekonomi, psikis, fisik, hingga kekerasan dan pelecehan seksual. Sudah banyak PRT mengalami kekerasan hingga menjadi cacat. Sudah banyak bentuk kekerasan di tubuh PRT, di tubuh kami, di tubuh perempuan. Seperti disundut rokok, disiram air panas, disetrika, dikasih makan kotoran hewan, dan sebagainya.
Bukti-bukti penyiksaan terhadap pekerjaan kami, sebaliknya, tidak cukup kuat untuk pemimpin DPR segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Sepertinya nyawa kami murah dan tidak berharga. Di mana keadilan bagi pekerja domestik? Di mana sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Pemerintahan Jokowi tinggal hitungan hari. Dan pemerintahan Prabowo bakal dilantik pada 20 Oktober nanti. Sementara per 1 Oktober kemarin, anggota DPR baru telah dilantik. Tapi nasib kami dalam RUU Perlindungan PRT berada dalam ketidakjelasan lagi.
Jangan menunggu kekerasan terhadap kami semakin tidak berprikemanusiaan. Sudah cukup darah dan air mata kami yang tersiksa karena kekerasan yang kami alami.
Bu Puan Maharani, sahkan RUU Perlindungan PRT secepatnya dan sekarang juga!
Yuni Sri Rahayu adalah anggota dan pengurus SPRT Sapulidi – JALA PRT
Catatan: Meski sudah ada surat presiden dan daftar inventarisasi masalah (DIM) di meja pimpinan sejak Mei 2023, RUU Perlindungan PRT tidak dimasukkan dalam agenda rapat penutupan DPR pada 30 September 2024.
Akan tetapi, berkat surat dari Ketua Baleg DPR Wihadi Wijanto (dari Partai Gerindra) kepada Ketua DPR Puan Maharani, RUU Perlindungan PRT bisa menjadi RUU dilimpahkan (carry over) ke anggota DPR periode berikutnya (2024-2029). Artinya, RUU Perlindungan PRT tidak memerlukan penyusunan naskah akdemik dan draf RUU ulang.
Pada sidang paripurna DPR itu, ada 60 anggota Koalisi Sipil dan PRT hadir di Gedung Nusantara 2 tapi hanya delapan orang yang berhasil masuk di balkon ruang sidang. “Kami digeledah lima kali. Ini keterlaluan. Sementara kawan-kawan terganjal di pintu masuk meskipun kami sudah menulis surat ke Biro Persidangan maupun kesekjenan. Ini arogansi Dewan. Padahal dulu ramah dan akomodatif ke rakyat,” keluh Endang Yuliastuti dari Institut Sarinah dalam siaran pers JALA PRT di hari yang sama.
Sepanjang 20 tahun pengalaman mengadvokasi RUU Perlindungan PRT di DPR, selama lima tahun ini para PRT merasakan aturan super ketat dan menjauhkan akses PRT untuk berpartisipasi di DPR meski sebatas pemantau.
Sejak pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 yang menyerukan agar seluruh negara mendukung perlindungan PRT, hingga janji muluk pemerintahan Jokowi, pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) 189 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT.
Bagai Sebuah Mimpi Mustahil: Negara Punya PR Melindungi PRT, Lita Anggraini Mengerjakannya