“Saya Menyemprot Racun”: Saat Petani Bertaruh Nyawa dengan Herbisida yang Menghancurkan Kalimantan

Fahri Salam
26 menit
Herna (48 tahun) bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai penyemprot pestisida dan herbisida antara tahun 2006 dan 2014. Ia dibayar Rp58.000 per hari dan akhirnya harus berhenti karena masalah kesehatan. Ia sering pusing dan mual setelah menyemprotkan Gramoxone, herbisida yang dilarang di Eropa sejak 2007 tapi masih diekspor antara lain ke Indonesia. (Project M/Daniela Sala)
  • Herbisida beracun jenis paraquat dan glifosat, dengan merek dagang Gramoxone dan Roundup, dijual secara bebas di Indonesia.
  • Banyak petani maupun perusahaan besar di Indonesia memakai herbisida beracun tanpa mekanisme pemantauan dan evaluasi.
  • Paraquat, cairan kental berwarna hijau, sangat beracun bagi manusia tapi menjadi salah satu herbisida yang paling banyak digunakan di dunia.
  • Perkebunan sawit memakai jenis herbisida beracun yang menyebabkan gejala penyakit umum bagi para petani dan buruhnya: mual, pusing, sesak napas bahkan pingsan, dan sangat gatal di kulit.
  • Negara produsen paraquat seperti Tiongkok, Swiss, dan Inggris, juga Brasil dan Malaysia, melarang pemakaian herbisida ini.

HERNA duduk bersila di ruang tamu rumahnya yang sederhana di Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Rumah dengan atap seng dan bata ringan itu terletak hanya beberapa meter dari jalan Trans Kalimantan yang sibuk. Tidak ada kursi dan meja, hanya ada tikar plastik bermotif bunga melapisi lantai semen di ruang tamu. Udara terasa berat, sementara kipas angin berputar di sudut ruangan tak mampu mengembuskan hawa sejuk ke dalam ruangan di tengah panasnya bulan Maret. 

Hari itu Herna tidak enak badan. Meski terlihat pucat dan lemah, ia dengan senang hati menerima tamu dan berbagi cerita. Perempuan berusia 48 tahun dan ibu dari enam anak ini sudah menghabiskan lebih dari 10 tahun sebagai ibu rumah tangga. Herna pernah bekerja sebagai buruh harian lepas di PT Musim Mas, perusahaan sawit multinasional asal Singapura, selama hampir enam tahun, dari 2006 hingga 2011. 

“Setelah lima tahunan bekerja di perusahaan, saya memilih nggak bekerja lagi,” tutur Herna. “Karena waktu itu saya sakit lama, jadi saya tinggal di rumah saja. Mengurus suami dan anak.”

Herna lahir dan tumbuh di Desa Penyang. Orangtuanya adalah petani yang menanam padi, buah, sayur, dan karet. Ia masih ingat keadaan desa sebelum perusahaan sawit masuk pada 1990-an. Desa itu dikelilingi hutan dan perkebunan warga. Sungai masih mengalir jernih, sumber kehidupan masyarakat. Jalan Trans Kalimantan tak semulus sekarang dan masih sepi. 

Perlahan semuanya sirna. Sawah dan ladang berganti kebun sawit. Sungai menjadi keruh. Truk angkut tandan sawit lalu lalang saban beberapa menit. Tak sedikit lahan milik warga yang kemudian dijual ke perusahaan sawit termasuk milik keluarga Herna. 

“Begitu perusahaan masuk, semuanya harus beli. Beras, ikan, bahkan air pun harus beli. Dulu semuanya bisa diambil dari alam,” kata Herna. 

Kehadiran perusahaan sawit membawa perubahan pola hidup masyarakat. Hilangnya lahan garapan dan sumber air sebagai sumber penghidupan memaksa masyarakat sekitar menjadi buruh kebun sawit. Lantaran ingin membantu keluarga dan suaminya, Herna memutuskan melamar ke PT Musim Mas yang saat itu baru beroperasi. Ia bekerja di bagian perawatan bersama dua belas buruh lain yang bertugas menyemprot herbisida membunuh gulma, hama laten pohon kelapa sawit. 

Hari kerja Herna dimulai pukul 7 pagi. Ia memulainya dengan apel pagi, mendengarkan arahan mandor kebun, yang bakal membagi tugas kepada setiap tim di lokasi kebun yang harus dirawat hari itu. 

Setelahnya, Herna dan rekan-rekannya meramu cairan herbisida. Kadang ia memakai alat pelindung, kadang tidak. Ramuan herbisida itu terdiri dari campuran herbisida jenis paraquat atau glifosat sebanyak satu atau dua takaran gelas air kemasan yang dicampur 15 liter air. Campuran itu dituang ke dalam alat penyemprot (sprayer).

Herna menggendong sprayer itu mengelilingi kebun sawit. Dalam sehari, ia dan rekan-rekannya bisa menggarap satu blok kebun yang luasnya 30-an hektare. Bila fisiknya prima, ia bisa menyelesaikan pekerjaannya pukul 2 siang termasuk istirahat makan siang selama 1 jam. Pekerjaannya itu dilakoninya terus-menerus selama 6 hari dalam sepekan, dengan jatah libur di hari Minggu, dengan mengantongi upah bulanan rata-rata Rp3 juta. 

Belakangan Herna sadar jika bekerja sebagai penyemprot membawa dampak buruk kesehatan. Ia kerap merasa mual, sesak napas, pusing, dan pandangannya kabur selama bekerja. Tak jarang ia muntah dan pingsan di kebun. Rekan-rekan buruh biasanya membantu mereka yang pingsan di kebun dan membawanya ke klinik perusahaan. Herna mengatakan dokter klinik biasanya cuma memberikan obat-obatan warung dan menyuruh pekerja untuk istirahat, tanpa menjelaskan soal kemungkinan keracunan herbisida. 

Perusahaan tidak menyediakan pelatihan bagi Herna. Mandor cuma mengajarkan cara mencampur dan menyemprot tanpa menjelaskan risiko kesehatan. Pekerja memang diwajibkan memakai alat pelindung seperti masker, kacamata, sarung tangan, dan baju pengaman, tapi pekerja kerap mengacuhkan peraturan ini sebab mereka tidak tahan dengan gempuran cuaca panas di kebun. 

“Saya sadar saya menyemprot racun,” kata Herna. “Namun kami tak punya pilihan. Di sini cari kerja susah. Banyak pekerja lain yang mengeluhkan hal sama. Banyak dari mereka yang merasa mual, muntah, pingsan saat menyemprot.”

Lama-kelamaan Herna lebih sering menderita sakit terkait pekerjaannya di kebun sawit. Perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk. Buat berdiri maupun tidur susah. Dokter yang menanganinya mendeteksi ia menderita sakit lambung lantaran makan tidak teratur. Padahal Herna selalu makan tepat waktu. Dokter itu juga berkata sakit lambung bisa menjadi tanda ada masalah di paru-paru. Namun, terkendala biaya, Herna tidak menindaklanjuti pemeriksaan kesehatan lebih lanjut. 

Tak kuasa menahan sakit, ia memutuskan berhenti bekerja. Hari-harinya kini dihabiskan mengurus anak-anak dan suaminya, sambil sesekali mengurus sepetak kebun seluas 2 ha di samping rumahnya. Ia berkata sakitnya sudah tidak separah dulu, meski kerap merasa lemas. 

“Sampai sekarang nggak tahu penyebab sakitnya apa,” kata Herna. “Dokter juga tidak bilang waktu itu, jadi nggak tahu penyebabnya karena racun [herbisida] itu atau bukan.”

Importir Terbesar

Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan total luas lahan lebih dari 16 juta ha. Masifnya industri kelapa sawit sejak 1990-an berbarengan maraknya penggunaan herbisida berbahaya seperti paraquat dan glifosat. 

Dipasarkan perusahaan raksasa asal Swiss, Syngenta, lewat merek dagang Gramoxone, paraquat sebetulnya telah dilarang di Eropa pada 2007 karena dampaknya berbahaya terhadap ekosistem dan kesehatan manusia. Namun, paraquat masih diekspor dan dipasarkan ke seluruh dunia. Pada 2019, misalnya, Indonesia menjadi importir paraquat asal Eropa terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Brasil, dengan jumlah 2.300 ton. Pada 2020, nilai impor herbisida jenis paraquat di Indonesia mencapai $500 ribu pada 2020. 

Hingga saat ini sedikitnya 50 negara sudah melarang penggunaan paraquat. Ironisnya banyak dari negara produsen paraquat yang justru melarang penggunaannya seperti Tiongkok, Swiss, dan Inggris. Bahkan Brasil dan Malaysia sebagai produsen kelapa sawit terbesar pun baru-baru ini melarang penggunaan paraquat. 

Malaysia telah menerapkan kembali larangan itu pada 2020. Perdebatan ini berlangsung hampir dua dekade: paraquat awalnya dilarang pada 2004 tapi pemerintah menarik kembali larangan itu dua tahun kemudian karena tekanan kuat dari perusahaan manufaktur dan industri kelapa sawit.

Di Indonesia, paraquat dan herbisida berbahaya lain dapat dengan mudah diperoleh dari toko-toko pertanian di seluruh negeri. Sampai kini belum ada wacana atau dialog mengenai pelarangan herbisida dan pestisida berbahaya.

Meski Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Menteri No. 43 Tahun 2019 tentang Peredaran dan Pengaturan Herbisida dan Peraturan Menteri No. 22 Tahun 2021 yang mengatur praktik terbaik hortikultura, tapi penerapannya masih jauh dari ideal.

Dalam peraturan menteri itu pemerintah memang telah melarang penggunaan herbisida berbahaya sesuai peraturan WHO dan FAO, tapi pengimplentasiannya masih sumir. Perusahaan, misalnya, masih dapat mendaftarkan produk herbisidanya untuk distribusi dan pemakaian. Namun, mekanisme pengujian kandungan bahan kimianya justru tidak dijelaskan. 

Peraturan itu menetapkan herbisida dan pestisida berbahaya hanya dapat ditangani oleh pekerja yang terlatih. Meski begitu, pengamatan di lapangan justru membuktikan sebaliknya. 

‘Gramoxone itu Keras’ 

Banyak pekerja mengatakan tidak menerima pelatihan yang tepat sebelum melakukan penyemprotan herbisida. Sebagian besar pekerja juga tidak mendapat fasilitas berupa alat pelindung diri yang memadai dan tak sedikit dari mereka yang harus membelinya dengan uang pribadi. 

Hesti, nama samaran, perempuan berusia 28 tahun yang tinggal di Desa Bangkal, beberapa kilometer dari Penyang, berkata menghabiskan sekitar Rp100 ribu-Rp150 ribu untuk membeli alat pelindung saat dibutuhkan, terkadang sekali dalam tiga bulan. Seperti pekerja penyemprotan lain, Hesti dibayar berdasarkan luas lahan yang dapat ia kerjakan dalam sehari. Dalam sebulan, ia biasanya bisa menerima upah sekitar Rp2 juta.

“Kami bekerja dengan sistem harian,” kata Hesti. “Jadi itu tergantung seberapa banyak pekerjaan yang kita lakukan. Jika kita bisa menjangkau area yang luas, kita bisa mendapatkan lebih banyak. Tapi kalau tidak bekerja, ya, kami tidak akan mendapatkan uang.”

Sejak 2013 Hesti bekerja di PT Hamparan Masawit Bangun Persada, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Kalimantan Tengah dengan total luas lahan hampir 13.000 ha. Hesti dan buruh tim perawatan lain hanya mendapat informasi minim dari mandor lapangan, seperti cara mengencerkan herbisida serta cara menyemprot yang efektif dengan mengikuti arah angin agar tidak terkena cairan herbisida. 

Meskipun mandor lapangan telah memperingatkan bahwa para pekerja harus mengenakan alat pelindung selama penyemprotan, para pekerja sering kali mengabaikan peringatan ini karena cuaca panas yang lembab di kebun. 

Untuk dapat bekerja, setidaknya Hesti harus membeli perlengkapan berupa masker kain, sarung tangan lateks, topi, dan celemek sintetis. Hesti berkata maskernya dicuci seusai bekerja dan digunakan esok harinya sampai benar-benar tak dapat dipakai lagi.

“Saya akan mengganti masker jika rusak, terkadang bisa bertahan hingga tiga atau enam bulan tergantung bagaimana penggunaannya.” 

Mayoritas buruh semprot adalah perempuan. Hesti berkata buruh pria biasanya ditempatkan di bagian panen lantaran dinilai memiliki tenaga lebih kuat dibandingkan perempuan. Padahal, menggendong alat semprot seberat 15 kg dan berjalan puluhan kilometer juga berat, kata Hesti. Ia kerap merasakan sensasi terbakar di punggungnya akibat menggendong cairan herbisida. 

Tangki herbisida yang biasa digunakan para buruh dan petani sawit untuk menyemprotkan Gramoxone. Mereka tidak memperoleh pengetahuan dan perlindungan memadai dari paparan zat beracun ini. (Project M/Daniela Sala)

Hesti menunjukkan foto dan video ia bekerja di kebun. Dalam foto dan video itu tampak beberapa buruh bekerja tanpa masker lantaran merasa pengap. Para buruh sudah lumrah merasakan mual, pusing, dan sesak napas, katanya. 

“Gramoxone itu keras soalnya,” kata Hesti. “Pusing dan mual itu sudah pasti. Kalau kena kulit itu, kalau pas saya menyemprot itu, rasanya gatal, lalu bengkak. Kadang pas mau menuangkan racun itu kena di tangan. Kalau sudah kena tangan harus dicuci bersih. Biasanya saya diamkan saja habis itu.”

Ada metode penanganan keracunan yang cukup populer di kalangan buruh dan petani sawit: minum susu dan air asam Jawa. Cara ini, kata Hesti, sudah dilakukan turun temurun dan dari mulut ke mulut. Ia percaya meminum susu atau air asam Jawa dapat menetralisir tumpukan racun akibat menghirup herbisida. 

Praktik yang jamak ditemukan di setiap kebun sawit adalah pembagian susu buat para pekerja. Kadang gratis, kadang harus bayar. Hesti berkata biasa mendapat jatah susu kental manis (SKM) setiap beberapa bulan sekali dari perusahaan. Jatah SKM itu kadang habis hanya beberapa pekan, yang memaksa Hesti membelinya dari uang sendiri.

“Pokoknya minum yang rasanya asem-asem, jeruk limau atau jeruk nipis,” kata Hesti. “Gramoxone itu kuat sekali. Kalau keracunan atau sepulang kerja harus segera minum susu dan air asam Jawa.”

Dipakai Bebas di Indonesia

Penelitian yang dimuat dalam jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, menemukan tingginya konsentrasi paraquat dalam urin pekerja kebun kelapa sawit. Studi ini juga menemukan rata-rata pekerja perempuan memiliki konsentrasi paraquat sebesar 6,55mg/l dalam urin, sedangkan pekerja laki-laki memiliki konsentrasi paraquat sebesar 6,35mg/l.

Rata-rata seorang pekerja memiliki konsentrasi paraquat dalam urin sebesar 0,001mg/kg per hari. Angka ini masih di atas batas paparan pperator yang dapat diterima (acceptable pperator exposure limit) sebesar 0,0005/mg/kg/hari yang ditetapkan oleh Komisi Uni Eropa.

“Paraquat yang tertelan dan diserap oleh sistem dapat menyebabkan risiko nekrosis hati dan penyakit ginjal lebih tinggi sebesar 20%, serta dapat menyebabkan risiko penyakit Parkinson,” demikian penelitian yang diterbitkan pada 2018 itu.

Paraquat, cairan kental berwarna hijau tua, pertama kali disintesis pada 1882 dan pertama kali dipasarkan pada 1962 oleh perusahaan asal Inggris Imperial Chemical Industries (ICI). Paraquat sangat beracun bagi mamalia, termasuk manusia, tapi menjadi salah satu herbisida yang paling banyak digunakan di dunia.

Hingga kini para ilmuwan dan peneliti masih belum sepakat apakah paraquat bersifat karsinogenik atau tidak. Namun, beberapa penelitian menunjukkan paraquat dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, sindrom gangguan pernapasan akut, iritasi mata dan kulit, hingga kematian. 

Di Amerika Serikat, paraquat diklasifikasikan sebagai herbisida dengan penggunaan terbatas, artinya paraquat hanya dapat digunakan oleh pekerja yang berlisensi. Sebaliknya di Indonesia, paraquat dan herbisida berbahaya lain dapat digunakan secara bebas baik oleh petani kecil maupun perusahaan besar, tanpa mekanisme pemantauan dan evaluasi.

Pekerja penyemprot di perkebunan kelapa sawit, yang sebagian besar adalah perempuan, merupakan kelompok pekerja yang paling rentan karena mereka tidak memiliki mekanisme jaring pengaman termasuk asuransi kesehatan, hak untuk bekerja di lingkungan yang sehat, dan akses terhadap pelatihan dan peralatan keselamatan yang tepat. Menurut Pesticide Action Network Asia Pacific (PANAP), 70% pekerja perkebunan tidak memiliki kontrak kerja yang adil.

Dari survei yang dilakukan PANAP pada 2019 di empat perusahaan, dengan wawancara terhadap 50-an pekerja, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui secara pasti risiko terkait produk yang mereka tangani. Dan hanya 1 dari 4 empat perusahaan yang menyediakan air bagi pekerja untuk mencuci produk yang terkontaminasi.

“Alat pelindung diri dalam konteks ini tidak berfungsi optimal dan tidak bisa menjadi solusi,” kata Sarojeni Rengam, Direktur PANAP dan penulis laporan tersebut, kepada Project Multatuli. “Herbisida ini terus digunakan karena dalam jangka pendek merupakan solusi termurah untuk mengeruk marjin keuntungan, tanpa memperhitungkan kerusakan dan dampak jangka panjang.”

Satu-satunya solusi, simpul Rengam, adalah pelarangan penggunaan dan ekspornya. “Fakta bahwa herbisida ini diproduksi dan diimpor dari negara-negara di mana zat-zat tersebut justru dilarang karena bahayanya, merupakan standar ganda yang tidak dapat diterima.”

Jejeran jeriken pestisida dan herbisida yang sangat beracun, termasuk Gramoxone, tampak di kebun James Watt. Meskipun ia menolak bekerja untuk perusahaan kelapa sawit, pada 2015 ia terpaksa mulai menanam kelapa sawit karena menanam tanaman karet tidak menguntungkan lagi. Setiap bulan ia menghabiskan sekitar setengah dari keuntungan hasil panen kelapa sawit untuk membeli Gramoxone. (Project M/Daniela Sala)

Syngenta, yang diakuisisi ChemChina dengan nilai $43 miliar pada 2017, kini berada di bawah naungan Syngenta Group, induk dari merger antara ChemChina dan Sinochem,  perusahaan pelat merah lain milik Tiongkok. Akuisisi Syngenta ini menjadi transaksi terbesar dalam sejarah yang dilakukan perusahaan asing di Uni Eropa.

Mayoritas produk Syngenta seperti Gramoxone kini diproduksi di salah satu pabrik terbesarnya di Huddersfield, Yorkshire, Inggris. Meski pemerintah Inggris dan Tiongkok melarang penggunaan paraquat di negaranya, nilai ekspor paraquat ke seluruh dunia meningkat sebesar 32% antara 2018 hingga 2022 dengan nilai 1,9 miliar euro.

Kendati aktivis di seluruh dunia telah menyerukan larangan untuk penggunaan paraquat dan herbisida berbahaya lain, Syngenta terus mempertahankan produk andalannya ini. Dalam investigasi oleh The Guardian pada 2022 berdasarkan dokumen internal yang bocor, jajaran eksekutif Syngenta mengetahui terdapat bukti-bukti yang menyatakan paraquat dapat terakumulasi di otak. 

Dokumen itu juga menyatakan Syngenta bergantung pada paraquat sebagai “produk utamanya” dan akan melakukan apa pun untuk mempertahankannya, termasuk dengan mengembangkan studi ilmiah untuk melawan kritik serta memengaruhi badan regulator pemerintah. 

Syngenta menyatakan produk paraquatnya “aman bagi manusia jika ditangani sesuai prosedur”. Perusahaan itu juga terus melakukan kampanye greenwashing dengan menyatakan paraquat adalah “esensial” bagi petani dalam menghadapi perubahan iklim. 

PT Syngenta Indonesia selaku distributor paraquat merek Gramoxone, misalnya, menerbitkan penelitian yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menunjukkan bahwa paraquat aman bagi arthropoda dan sifat kimia dan fisik tanah. Studi itu juga mengklaim paraquat membantu meningkatkan permeabilitas tanah. Namun, banyak penelitian yang dilakukan institusi pendidikan di Indonesia justru menunjukkan hasil sebaliknya, yang salah satunya menunjukkan paraquat dapat terakumulasi di tanah dan mengurangi produktivitas tanah. 

Selain PT Syngenta Indonesia, setidaknya ada 63 importir lain yang mendistribusikan paraquat. Salah satunya adalah PT Prima Karya Berjaya yang berbasis di Jakarta, yang mendistribusikan jenama Prima-Kuat sebagai salah satu produk yang jamak ditemui di toko-toko pertanian. Paraquat merek Gramoxone dan Prima-Kuat biasanya dijual dalam botol plastik ukuran 1 liter hingga jeriken berisi 5 liter, dengan harga Rp50 ribu hingga Rp450 ribu. 

Demi mempertahankan produk andalannya, Syngenta telah melancarkan serangan balik dalam beberapa tahun terakhir, termasuk menuduh “pengacara penggugat telah menggunakan paraquat sebagai sumber pendapatan mereka berikutnya” dan menyatakan perusahaan adalah “salah satu target terbaru dari ‘Mesin Gugatan Massal (mass tort machine)’”. 

Pada November 2023, Syngenta dan Chevron, mantan distributornya, menghadapi lebih dari 4.000 kasus litigasi di AS karena paraquat diduga terkait penyakit Parkinson.

Dalam sebuah pernyataan yang dikutip ABC News, Syngenta menyatakan “tidak akan menjual suatu produk jika produk tersebut tidak aman untuk digunakan,” menambahkan bahwa “paraquat menyumbang kurang dari 2% dari total penjualan, dan kurang dari 2% dari keseluruhan keuntungan untuk Syngenta. Namun ini adalah produk penting bagi para petani demi memproduksi pangan untuk dunia yang semakin padat penduduknya.”

Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) pada 2021 menyetujui kembali penggunaan herbisida berbasis paraquat untuk jangka waktu 15 tahun berikutnya. Para aktivis menilainya sebagai pelanggaran hukum karena lembaga pemerintah itu lebih mengutamakan kepentingan industri di atas kesehatan masyarakat. 

Pada April 2024 negara bagian California, pengguna paraquat terbesar di AS, akan melarang paraquat mulai Januari 2026, sebab herbisida ini berkorelasi dengan penyakit Parkinson dan masalah kesehatan serius lain.

Para aktivis telah lama mengkritik ketergantungan pada herbisida beracun di sektor pertanian dan kegagalan pemerintah menyediakan alternatif lain. 

Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan herbisida, penerapannya masih jauh dari ideal. WALHI menyerukan pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk menerapkan kebijakan dan peraturan yang ketat mengenai penggunaan paraquat dalam industri kelapa sawit.

“Herbisida dan pupuk kimia juga akan merusak sumber air dan keanekaragaman hayati terutama di sekitar perkebunan besar, sehingga ke depan penting untuk diakomodasi dalam komitmen atau kebijakan baik di tingkat internasional maupun nasional,” kata Direktur WALHI Kalimantan Tengah Bayu Herinata.

Meskipun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memilih prinsip panduan mengenai teknik Pengendalian Hama Terpadu dan penggunaan bahan kimia pertanian, dengan menyatakan “bahan kimia pertanian digunakan dengan cara yang tidak membahayakan kesehatan atau lingkungan”, tapi implementasinya masih jauh panggang dari api.

“Eropa hanya akan membeli dari pemasok yang bersertifikat berkelanjutan atau RSPO,” kata Bayu. “Namun, dalam praktiknya, masih sangat jauh dari prinsip dan kriteria berkelanjutan yang diharapkan.”

Menghancurkan Kalimantan

Bangkal merupakan sebuah desa tenang di tepian Danau Sembuluh, danau terluas di Kalimantan Tengah, seluas hampir 8.000 ha. Danau ini merupakan muara sungai-sungai yang membelah Kalimantan Tengah dan menjadi sumber penghidupan penting secara turun-temurun. Bangkal berdiri pada akhir abad ke-17 dan saat itu menjadi salah satu pusat perekonomian penting di wilayah tersebut karena letaknya yang strategis.

Saat ini Bangkal dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan pertama yang membudidayakan kelapa sawit adalah PT Agro Indomas pada 1990-an. Pada 2005, PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) mendapatkan izin dari Bupati Kalimantan Tengah saat itu Darwan Ali untuk mengubah hampir 13.000 ha lahan menjadi perkebunan sawit. 

Desa Bangkal dengan populasi sekitar 4.000 penduduk terletak di tepi Danau Sembuluh, danau terbesar di Kalimantan Tengah. Penduduk dulunya bergantung pada danau untuk memancing dan mendapatkan air minum. Namun, selama dekade terakhir, karena ekspansi industri kelapa sawit di sekeliling desa disertai penggunaan pestisida dan herbisida serta pembuangan residu di danau, airnya menjadi sangat tercemar. (Project M/Daniela Sala)

Selama lebih dari satu dekade, warga Desa Bangkal berkonflik dengan HMBP setelah perusahaan ini gagal memenuhi janjinya untuk menyerahkan 20% total lahan perkebunannya kepada warga, sebuah praktik yang biasa dikenal dengan kemitraan inti-plasma, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah. 

Dalam kerja sama ini, perusahaan harus menyerahkan minimal 20% dari total lahan perkebunannya untuk digarap warga sekitar, yang sebagai imbalannya akan menjual hasil panennya kepada perusahaan. Pada Oktober 2023, seorang petani laki-laki berusia 35 tahun ditembak mati oleh polisi Indonesia setelah serangkaian protes yang menuntut HMBP menyerahkan lahan perkebunan yang dijanjikannya berubah menjadi kekerasan.

Sangkai Rewa, tetua Desa Bangkal berusia 58 tahun, menyatakan warga telah melakukan perlawanan terhadap perusahaan kelapa sawit sejak 1990-an karena meyakini industri kelapa sawit hanya akan menimbulkan kehancuran dan mengubah penghidupan warga.

“Semuanya terjadi secara tiba-tiba, tanpa ada konsultasi dengan masyarakat,” kata Sangkai. “Masyarakat Bangkal terpaksa menyerahkan tanahnya melalui ancaman dan penipuan. Di sekitar kami semuanya hutan. Lihatlah sekelilingmu: Apa yang terjadi hari ini?”

Ekspansi industri kelapa sawit yang pesat dan ekstraktivisme seperti pertambangan di daerah hulu sungai telah menyebabkan pencemaran yang parah pada Danau Sembuluh. Pada 2018, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada lingkungan hidup, Save Our Borneo (SOB), menyatakan Danau Sembuluh berstatus tercemar berat. Tapi, Dinas Lingkungan Hidup Seruyan membantahnya.

“Ada perubahan warna, kemudian perubahan rasa, sehingga menurut warga tidak memungkinkan untuk dikonsumsi,” kata Muhammad Habibi, Direktur SOB. “Warga tidak bisa lagi memanfaatkan air danau untuk berbagai aktivitasnya. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang mengalami permasalahan kulit yang diduga disebabkan penggunaan air danau untuk mandi dan beberapa aktivitas lain.”

Berdasarkan pantauan di lapangan, Danau Sembuluh kini tertutup eceng gondok dalam jumlah besar yang diyakini menjadi indikator pencemaran air. Warga juga melaporkan beberapa spesies ikan telah punah di sungai dan danau.

Wardian, petani berusia 68 tahun di Desa Sembuluh I, berada di dekat danau, masih ingat bagaimana danau ini dulunya sumber mata pencaharian alami dengan stok ikan melimpah sebelum perkebunan kelapa sawit hadir di desa tersebut. Saat ini tidak ada lagi orang yang mau mandi atau meminum air dari danau, tambahnya.

Wardian berkata dulu setidaknya ada 44 jenis ikan di sungai dan danau. Namun, empat atau lima jenis di antaranya telah punah. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan semakin berkurang dari tahun ke tahun.

“Saat ini jika kamu melemparkan jaring ikan ke danau, kamu akan menangkap limbah. Jaring ikan akan penuh  zat hitam seperti minyak, tandanya ada pencemaran di air,” kata Wardian. 

Masyarakat Desa Sembuluh I dan Bangkal serempak mengatakan penggunaan pupuk dan herbisida di perkebunan sawit berdampak pada degradasi kualitas danau dan sungai.

Beberapa perempuan melakukan jual beli ikan di pasar Bangkal. Ikan-ikan di sungai dan danau semakin langka karena pencemaran sehingga berdampak pada mata pencaharian masyarakat. Beberapa spesies ikan juga dilaporkan sudah punah. (Project M/Daniela Sala)

Penelitian oleh Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) di Kalimantan Barat pada 2020  menunjukkan degradasi parah di kawasan hulu Sungai Sambas, yang dikelilingi oleh sedikitnya tiga perusahaan kelapa sawit. Organisasi ini mencatat setidaknya ada 25 jenis spesies di sungai dengan satu jenis spesies terancam.

Pemantauan kualitas air di 57 lokasi sekitar Sungai Sambas menunjukkan hampir 70% lokasi memiliki kualitas air di bawah standar nasional, dengan tingginya kadar klorin bebas antara 0,03mg/l dan 0,67mg/l. Tingkat konsentrasi klorin bebas yang lebih tinggi ditemukan di kanal dan anak sungai tempat perkebunan kelapa sawit berada, menurut penelitian Ecoton. Selain klorin bebas, Ecoton menemukan konsentrasi fosfat sekitar 0,2mg/l, di atas standar nasional, di saluran dan anak sungai.

“Aplikasi kalium klorida [pupuk MOP] dan paraquat diklorida [herbisida] diduga menjadi sumber kontaminasi klorin,” demikian penelitian tersebut.

Amiruddin Muttaqin, peneliti Ecoton, berkata herbisida tidak 100% terserap jika bersentuhan dengan dedaunan. Sehingga, lanjutnya, ada kemungkinan terserap tanah dan terbawa air hujan dan masuk ke badan air, lalu saluran-saluran air di dalam perkebunan lama-kelamaan akan mengalir ke anak sungai atau kali.

“Nelayan dan warga melaporkan penurunan stok ikan,” kata Muttaqin. “Tidak jarang mereka melihat gerombolan ikan mati tanpa sebab. Tapi ini sebenarnya menunjukkan betapa tercemarnya sungai tersebut.”

Selama bertahun-tahun, baik perusahaan maupun petani, telah menggunakan glifosat, herbisida yang banyak dipasarkan dengan merek dagang Roundup. Roundup adalah produk perusahaan bioteknologi multinasional Jerman, Bayer AG. Glifosat adalah salah satu herbisida yang paling banyak digunakan di samping paraquat. 

Zat berwarna kekuningan ini diketahui sangat beracun bagi kehidupan akuatik dan dapat mencemari air permukaan. Penggunaan di lahan basah, termasuk lahan gambut atau dekat perairan, pun dilarang.

Meskipun FAO dan WHO telah mengesampingkan bahwa glifosat tidak bersifat karsinogenik, pada 2023 Bayer menghadapi 165.000 gugatan yang menuduh Roundup telah menyebabkan kanker. Pada Desember 2023, Bayer telah menyelesaikan puluhan ribu klaim tersebut dan setuju membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS. Namun, pada 2023, lebih dari 50.000 gugatan serupa masih menunggu keputusan, menurut laporan Reuters.

Para pekerja dan petani yang diwawancarai oleh Project Multatuli serempak mengatakan Roundup jauh lebih efektif dibandingkan paraquat. Menurut seorang pekerja, tidak seperti paraquat yang membunuh gulma secara instan tetapi harus diterapkan setidaknya sekali seminggu karena gulma akan tumbuh kembali lebih cepat, Roundup akan “membunuh gulma yang tidak diinginkan secara perlahan dan mencegahnya tumbuh kembali setidaknya selama berminggu-minggu.” 

Namun, tidak satu pun dari mereka yang diwawancara mengetahui atau telah diberitahu tentang bahaya glifosat terhadap kehidupan akuatik serta risiko dan dampak kesehatan jika digunakan dalam jangka panjang terhadap manusia.

Meskipun peneliti dan pemerintah, termasuk FAO dan WHO, belum sepakat mengenai dampak glifosat, badan lingkungan California sepakat bahwa glifosat diketahui dapat menyebabkan kanker. 

Namun, tidak begitu halnya dengan Uni Eropa. Pada November 2023, Komisi Eropa memutuskan memperpanjang penggunaan glifosat selama 10 tahun lagi, dan bertujuan untuk menguranginya pada 2030.

“Komisi—berdasarkan penilaian keamanan komprehensif yang dilakukan oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) dan Badan Bahan Kimia Eropa (ECHA), bersama Negara-negara Anggota UE—-sepakat melanjutkan penggunaan glifosat untuk jangka waktu 10 tahun,” bunyi keputusan tersebut. 

Terpapar Racun

Bagi petani kecil seperti James Watt, pilihannya cuma dua: terpapar racun atau kehabisan tenaga membabat lahan. 

James, petani dan aktivis berusia 54 tahun dari Bangkal, mengingat keadaan desa sebelum perusahaan sawit datang. Danau merupakan sumber mata pencaharian utama, warga mencari ikan, mandi, mencuci pakaian, dan memanfaatkan airnya untuk konsumsi sehari-hari. Penduduknya menanam sayur-sayuran, padi, dan buah di lahan pertanian, sambil berburu babi hutan dan rusa untuk diambil dagingnya. Mereka sesekali mengumpulkan damar dan rotan untuk dijual di sekitar Kalimantan Tengah.

“Sebelum perkebunan kelapa sawit datang ke Desa Bangkal, hidup kami hanya bertani, berburu, lalu menangkap ikan di sungai atau danau,” kata James. “Sebelum ada perkebunan kelapa sawit, ada perbedaan yang sangat besar. Saat itu kami mandiri. Kami tidak membeli komoditas lain. Kami tidak membeli sayuran. Kami bahkan tidak membeli ikan. Sekarang kami harus membeli semuanya.”

Sepanjang dekade 1980-an dan dekade pertama 2000-an, para petani beralih ke karet saat rezim Orde Baru gencar melaksanakan program penanaman karet. James, yang sebelumnya menanam padi di lahan seluas 4 ha, merupakan salah satu petani pertama yang menanam karet di Bangkal. Mulai tahun 2010, mayoritas petani karet beralih ke kelapa sawit karena harga karet mudah berfluktuasi dan terus anjlok dalam satu dekade terakhir. Satu kilogram karet mentah sempat menyentuh harga sekitar Rp7.000 pada 2023, turun 60% dari tahun sebelumnya.

“Saya menanam padi dulu,” katanya. “Setelah itu saya tanam karet. Lalu, harga karet turun. Saya mengerjakannya lagi. Terus kerjakan lagi. Terus kerjakan lagi. Lalu saya menebangnya dan menggantinya dengan kelapa sawit. Saya telah mempertimbangkan untuk memelihara karet. Tapi kami butuh penghasilan. Hasil panen [perkebunan karet] tidak maksimal. Harganya anjlok, akhirnya saya memilih menebang dan menanam sawit.”

Bagi warga, kelapa sawit memberikan pendapatan lebih stabil. Harga benih kelapa sawit berkisar antara Rp25 ribu-Rp48 ribu per pohon, tergantung  tinggi dan kualitasnya. Pohon kelapa sawit dapat bertahan selama 25 tahun dengan perawatan intensif sebelum perlu ditanam kembali.

James bisa memanen buah sawit setiap 15 atau 20 hari sekali. Ia kini memiliki lahan seluas hampir 14 ha, sekitar 4 ha di antaranya ditanami sawit sejak 2015.

James bisa mendapatkan sekitar 1 ton buah kelapa sawit selama masa panen, yang kemudian dijual ke kilang minyak sawit di Bangkal dengan harga Rp2.500/kg, yang berarti ia bisa mendapatkan sekitar Rp2,5 juta per masa panen.

Heni menyemprotkan herbisida Roundup ke tumbuh-tumbuhan liar di antara pohon-pohon kelapa sawit di sebidang tanah kecil miliknya dan keluarganya. Ia juga secara rutin menyemprotkan Gramoxone tanpa perlindungan. (Project M/Daniela Sala)

Budidaya kelapa sawit tak hanya mengubah keseluruhan ekosistem dan lanskap, tapi juga cara petani mengolahnya. James berkata tanaman karet tidak memerlukan perawatan berat, sedangkan kelapa sawit justru sebaliknya. Gulma dan tanaman yang tidak diinginkan harus sering dibasmi untuk mencegah persaingan agar pohon sawit dapat tumbuh optimal.

Selama beberapa generasi, masyarakat adat mempraktikkan metode tumpas-bakar untuk membuka lahan pertanian dan menghilangkan gulma dan tanaman yang tidak diinginkan. Saat James membudidayakan tanaman karet, ia hanya memotong sendiri rumput liar dan sesekali membakarnya. Namun, pemerintah melarang praktik ini setelah maraknya kebakaran hutan sejak akhir 1990-an. Di atas kertas, hukuman pembakar lahan dan hutan adalah pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Petani lokal, termasuk James, kini mengandalkan herbisida untuk membasmi tanaman yang tidak diinginkan di perkebunan kelapa sawit mereka. Herbisida seperti Roundup dan Gramoxone dapat dengan mudah ditemukan dari gudang perusahaan besar hingga rumah petani kecil. 

“Pertama kali memakai herbisida itu pakai Gramoxone,” katanya. “Ini sudah tersedia sejak perusahaan kelapa sawit masuk. Di sini Gramoxone berarti kelapa sawit.”

James pertama kali menggunakan Gramoxone pada 2015 setelah mengetahui gulma di perkebunan sawitnya tumbuh lebih cepat dibandingkan ayunan parangnya. Ia merasa membuang banyak waktu dan tenaga. Ia lantas pergi ke toko perlengkapan pertanian di Kota Sampit yang berjarak 1 jam dari Desa Bangkal dan meminta herbisida yang ampuh. 

Si pemilik toko merekomendasikan menggunakan Gramoxone. Di rumahnya, James masih memiliki setengah isi Gramoxone di dalam jeriken berukuran 5 liter yang disimpan di bawah lemari dapur. Ia membelinya seharga Rp450 ribu.

“Saya memerlukan herbisida karena kalau cuma ditebas, rumput dan kayunya akan tumbuh dengan sangat cepat,” kata James, ayah lima anak. “Misalnya hari ini dibabat, besoknya tumbuh lagi. Jadi percuma dan buang-buang tenaga.”

James juga tidak pernah menggunakan pelindung saat menyemprot. Akibatnya, ia sering mengalami iritasi kulit, bengkak, dan penglihatan kabur selama dan setelah menggunakan Gramoxone. Ia tidak menerima informasi apa pun tentang bahaya penggunaan jangka panjang.

“Saya tidak memakai masker. Saya akan melihat arah angin. Terkadang saya akan merokok terlebih dahulu untuk melihat arah angin. Biar tidak terkena semprotannya,” kata James.

Sawit Watch, sebuah LSM nasional yang mengadvokasi dampak negatif industri kelapa sawit, mengatakan pemerintah harus menyediakan alternatif yang lebih aman dibandingkan herbisida beracun, sekaligus memberikan lebih banyak informasi yang dapat diakses oleh petani dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya herbisida beracun terhadap lingkungan dan makhluk hidup.

“Saya pikir hal pertama yang harus dilakukan adalah mendidik petani tentang herbisida, memberi mereka lebih banyak informasi mengenai dampak negatif herbisida,” kata Direktur Sawit Watch Achmad Surambo. “Kemudian pemerintah harus memikirkan alternatif lain, misalnya dengan menyediakan herbisida organik yang lebih aman.”

Bagi petani seperti James, yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki akses atas informasi mengenai herbisida, pilihan yang ada terbatas. Ia perlu meningkatkan produksi kelapa sawit, tapi tidak mempunyai alternatif lain yang lebih aman. Dan hingga hari itu tiba, James dan ribuan petani di Bangkal masih menggunakan herbisida yang berbahaya dan beracun.

“Ya, saya tidak punya pilihan lain,” kata James. “Bagaimana nenek moyang kami mengelola lahan pertaniannya sehingga bisa menyekolahkan anak cucunya saat ini? Kami membakar rumput liar. Yah, mereka [pemerintah] seharusnya berpikir sebelum memberlakukan peraturan bahwa tidak boleh ada praktik pembakaran lahan. Jadi, mereka membuat peraturan, tapi tidak memberikan solusi yang lebih aman.”


Tanggapan  Syngenta setelah artikel ini rilis lebih dulu dalam bahasa Inggris dalam dua bagian:

Dalam surat elektronik berisi tanggapan atas liputan ini yang diterima akhir Juni lalu, Syngenta mengatakan saat ini terdapat lebih dari 750 perusahaan di seluruh dunia terdaftar untuk menjual paraquat. Paraquat menyumbang kurang dari 2% penjualan Syngenta secara global, menurut keterangan mereka. 

“Di Syngenta, kami sangat memperhatikan keamanan produk kami. Kami berada di garis terdepan dalam upaya industri untuk mendorong peningkatan berkelanjutan dalam keamanan dan penggunaan produk kami,” demikian bunyi keterangan yang dikirim Syngenta. 

Syngenta mengaku telah menginvestasikan puluhan juta dolar untuk memastikan keamanan dan penggunaan paraquat. Mereka juga mengklaim telah berkontribusi secara signifikan terhadap lebih dari 1.200 studi keselamatan yang diserahkan dan ditinjau oleh otoritas regulasi di seluruh dunia. 

“Kami melatih 42 juta petani di seluruh dunia mengenai penggunaan produk kami secara aman dan memberikan pelatihan khusus paraquat bagi petani yang menggunakan paraquat.”

Lebih lanjut Syngenta membantah jika paraquat merusak ekosistem tanah. Mereka mengklaim paraquat membantu petani mengolah tanah tanpa menyebabkan erosi serta memiliki peran dalam penyerapan karbon.


Liputan ini didukung oleh JournalismFund Europe

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
26 menit