‘Selamatkan Keluarga Kami’: Kisah Korban Perdagangan Orang di Myanmar

Fahri Salam
17 menit
Ilustrasi WNI korban perdagangan orang di Myanmar. (Project M/Aan K. Riyadi)
Tiga keluarga korban dalam cerita ini masih menunggu kepastian familinya bisa segera dipulangkan. Para korban terjebak dalam industri perbudakan online scam

  • Kejahatan transnasional ini terhubung dengan jaringan mafia Tiongkok.
  • Para agen penipu buruh migran di dalam negeri sudah ditangkap tapi ada juga yang belum.
  • Tanpa tindakan tegas di dalam negeri kepada mafia lokal, Indonesia menjadi pasar buruh migran paling menggiurkan untuk memasok tenaga operator yang menggerakkan pusat industri scam juga judi online di Kamboja, Myanmar, Filipina, Laos, dan Thailand. 

SUDAH dua tahun mereka menunggu anggota keluarganya pulang ke rumah. Sudah dua tahun mereka hidup dengan harap-harap cemas. Sudah dua tahun anggota keluarga mereka menjadi korban perdagangan orang di Myanmar. Sudah dua tahun mereka berharap pemerintah Indonesia segera melakukan repatriasi anggota keluarga mereka.

“Tolong pemerintah Indonesia. Mau sampai kapan keluarga kami tidak ditolong,” ujar Yanti, adik dari salah satu korban yang masih terjebak di Myanmar.

Myanmar, bersama Kamboja, Filipina, Laos, dan Thailand, merupakan negara yang menjadi pusat operasi apa yang disebut pig butchering scam alias penipuan “menjagal babi” secara siber di Asia Tenggara. 

Sementara itu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, per Maret 2024, mencatat 30 warga negara Indonesia masih terjebak di Myanmar.

“Tentu kami sangat memahami perasaan keluarga. Pasti saya usahakan penuh agar mereka bisa keluar. Hanya saja masalah kami, kami tidak bisa masuk daerah berbahaya itu. Dan tidak pernah ada orang asing yang masuk ke sana,”  ujar Kepala Sub-Direktorat Kawasan Asia Tenggara Direktorat Perlindungan WNI Kemenlu, Rina Komaria.

Pola Perekrutan

  • Muslihat Sahabat

Pandemi COVID-19 membuat orang-orang terpuruk. Ekonomi rumah tangga hancur-hancuran. Mereka menjadi korban pemutusan hubungan kerja, kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, dan terlilit utang. Dalam kondisi itu, mereka juga menjadi target operasi sindikat perdagangan orang.

Ada banyak cara yang dilakukan sindikat untuk merekrut para korban. Mereka bisa menebar iklan lowongan kerja palsu di media sosial, berwujud lembaga terpercaya, atau bahkan menjebak teman sendiri.

Seperti yang dialami Siska dan suaminya Tito. Ia tidak pernah mengira kunjungan Ahong ke rumah malah menjadi awal dari kesengsaraan. Tito menjadi korban perdagangan orang yang sampai sekarang masih terjebak di Myanmar.

“Waktu lagi susah Ahong makan-minum di rumahku. Suami pun nggak curiga sama dia. Mereka teman akrab. Mana ada suami berpikir negatif ke dia? Tahu-tahu dia tipu suamiku,” ujar Siska.

Tito dan Ahong pernah bekerja di tempat yang sama. Ahong kemudian memutuskan pindah kerja ke Thailand. Mereka bertemu kembali setelah Ahong tahu Tito menjadi korban PHK. Ia mengajak Tito bekerja di perusahaan teknologi di Thailand, dengan iming-iming gaji Rp8 juta per bulan. Tito sempat menolak karena tak punya uang untuk modal berangkat.

“Tapi Ahong memaksa dan berani membiayai suami saya.” 

Ahong bilang, “Tenang, di sana aman. Tidak macam-macam. Yang handle di sana aku.” Siska mengingat, “Jadi suamiku oke saja. Kebetulan ekonomi keluarga lagi turun. Suami kepusingan bayar cicilan.”

Pada April 2022, setelah proses administrasi dan keuangan diurus Ahong, Tito berangkat seorang diri ke Thailand. Di bandara ia dijemput orang lain yang mengaku dari pihak perusahaan dan rekanan Ahong. Mereka menginap tiga hari di salah satu hotel di Bangkok, sembari menunggu satu calon pekerja lain, yakni pria asal Palembang.

Hari terakhir di Bangkok, Tito dan pria Palembang itu dibawa berkendara sangat jauh menelusuri hutan. Sampai di perusahaan, Tito baru bertemu Ahong. Sejak itu Siska mulai kesulitan berkomunikasi dengan suaminya. Perusahaan menyita ponsel Tito dan hanya mengizinkan memakainya dua kali seminggu.

Terkadang Siska menghubungi Ahong untuk mengetahui kondisi Tito. Namun, lama-kelamaan Tito melarangnya berbicara dengan Ahong.

“Jangan hubungi Ahong lagi. Kalau kamu hubungi dia sama saja bunuh aku. Dia sudah jual aku ke orang Tiongkok untuk jadi scammer,” ujar Siska mengulang ucapan suaminya. “Awalnya suamiku mengira masih di Thailand. Belakangan ia sadar sudah ada di Myanmar.”

Siska tidak pernah mengetahui lokasi penyekapan suaminya. Ahong pun menghilang.

“Saya sudah lost contact dengan suami. Nomornya Ahong juga sudah tidak aktif. Tapi kabarnya Ahong kembali ke Indonesia,” ujar Siska.

Laporan United States Institute of Peace (USIP) pada Mei 2024 menjelaskan COVID-19 turut mengubah arah bisnis perusahaan kriminal Tiongkok di Myanmar. Semula perusahaan milik geng kriminal ini mengendalikan bisnis perjudian siber ilegal di perbatasan Myanmar-Thailand sejak 2017. Operasi mereka didukung Pasukan Penjaga Perbatasan Karen atau Karen Border Guard Force (BGF) yang terafiliasi dengan militer Myanmar.

Pemerintah Myanmar sempat menutup banyak perusahaan kriminal yang berada di Negara Bagian Karen (sekarang disebut Kayin State) pada 2020. Namun, pasca kudeta militer pada Februari 2021, perusahaan-perusahaan kriminal ini kembali tumbuh subur, bahkan melebarkan lini bisnis dengan menjalankan pig butchering scam alias penipuan siber.

Ketika COVID-19, pemerintah Tiongkok menutup akses keluar-masuk negara. Perusahaan kriminal menjadi kesulitan merekrut pekerja asal Tiongkok. Hal ini membuat mereka beralih menyasar pekerja-pekerja dari negara lain, termasuk Indonesia.

“Jaringan perdagangan manusia yang tersebar secara global berperan di sini. Mereka bertugas membawa pencari kerja ke pusat-pusat scam. Dan kelompok kriminal yang berbasis di Myanmar yang membayar mereka,” dikutip dari laporan USIP. 

Citra satelit KK Park, kawasan yang menjadi operasi penipuan siber, perjudian daring, dan perdagangan orang di sebuah negara bagian Myanmar. (Google Earth)
  • Iming-Iming Makelar

Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi telah divonis bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi pada 5 Februari 2024. Keduanya dihukum masing-masing pidana penjara 8 tahun dan denda Rp200 juta subsider kurungan empat bulan. Mereka juga diharuskan membayar restitusi Rp600 juta kepada para korban sebesar secara tanggung renteng, subsider pidana penjara 6 bulan.

Andri dan Anita merupakan perekrut puluhan WNI yang dijual dan dipaksa bekerja sebagai pelaku penipuan siber di Myanmar. Para korban, berjumlah 20 orang, sempat membuat video kesaksian sebagai korban penipuan dan penyiksaan. Video itu viral di media sosial dan direspons Presiden Joko Widodo. 

Pada 5 Mei 2023, Kemlu melalui KBRI Yangon dan KBRI Bangkok berhasil mengeluarkan mereka dari Myawaddy, Myanmar. Empat hari kemudian, Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap Andri dan Anita di Apartemen Sayana, Kota Harapan Indah, Kabupaten Bekasi.

Namun, sampai sekarang, ada korban Andri dan Anita yang masih terjebak di Myanmar.

Salah satunya Pendi. Istrinya, Mona, masih memperjuangkan nasib suaminya itu bisa pulang ke Indonesia.

Sejak restoran tempatnya bekerja bangkrut karena pandemi COVID-19, Pendi bekerja serabutan. Kadang ia mengojek, kadang menjadi sopir pribadi. Pendapatannya hanya cukup untuk makan harian.

Suatu waktu ia bertemu Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi di Summarecon Mall Bekasi. Sejoli itu menawarkan Pendi pekerjaan di perusahaan teknologi di Thailand. Iming-imingnya gaji Rp10-20 juta per bulan dengan kontrak satu tahun.

Mereka juga menjanjikan akan membiayai ongkos penerbangan, makan, penginapan, dan berbagai urusan administrasi lain kepada Pendi. Calon pekerja hanya perlu mahir berbahasa Inggris dan mampu mengetik dengan cepat.

“Nggak lama setelah itu mereka zoom. Ada Andri dan Anita, juga sebelas orang korban lainnya. Proses keberangkatannya sangat cepat sejak suami bertemu mereka,” ujar Mona.

Mona sempat curiga atas lowongan kerja itu. Sebab Andri dan Anita tak pernah memberitahu nama perusahaan ke suaminya, tapi hanya menyebut lokasi perusahan berada di Bangkok.

“Tapi tetap suamiku berangkat. Karena memang dia punya niat yang sangat baik, demi menafkahi keluarga. Jadilah dia ambil tawaran ke Thailand itu.”

Andri dan Anita membagi pemberangkatan dalam dua kloter. Pendi bersama empat korban, dua perempuan dan dua pria, adalah kloter pertama yang berangkat dari Jakarta pada Juli 2022. Kloter kedua berangkat dari tempat dan waktu yang berbeda. Sedangkan Andri dan Anita tetap berada di Indonesia.

“Sampai di Thailand, suami mengabarkan saya. Dia dijemput leader-nya, orang dari perusahaan, kayak orang Cina tapi bahasanya agak-agak kayak orang Malaysia,” ujar Mona.

Para korban dibawa menginap semalam di salah satu hotel di Bangkok. Keesokan harinya mereka berkendara sejauh 500 km menuju Mae Sot, kota di Thailand barat berbatasan dengan Myanmar, lalu menyeberangi Sungai Moei. Tak ada satu pun dari mereka yang sadar telah diselundupkan ke Myanmar.

Perusahaan menyita paspor para korban dan memaksa korban latihan mengetik cepat saat itu juga. Perusahaan juga membatasi penggunaan telepon genggam. Komunikasi Mona dengan Pendi akhirnya serba terbatas. Mona tidak tahu persis lokasi keberadaan Pendi.

“Setelah tiga minggu, suami menulis surat bahwa dia dengan sadar menjadi korban penipuan. Dia minta saya membuat laporan ke otoritas di Indonesia,” ujar Mona.

  • Tempat Kursus Bahasa

Yanti mengenang Wahyu sebagai pribadi pendiam yang gigih memperjuangkan cita-cita. Sejak tamat kuliah, kakaknya itu ingin sekali bekerja di Korea Selatan, sampai-sampai mengikuti kursus bahasa di Korean Language Center Indonesia (KLCI) Sukabumi kepunyaan Latif Aliyudin.

“Kakak sudah dua kali ujian bahasa Korea ke Jakarta, sampai lulus dan dapat sertifikat,” ujar Yanti.

Berkat peran Latif, Wahyu hampir berangkat kerja ke perusahaan manufaktur di Korea Selatan. Namun, rencana itu tertunda karena COVID-19. Wahyu kemudian bekerja serabutan dan pekerjaan terakhirnya adalah guru honorer dengan gaji Rp600 ribu per bulan.

“Terus pihak kursus menawarkan kakak kerja lagi, ‘Masih mau nggak kerja ke Korea? Sudah dibuka lagi nih pemberangkatannya,’” kata Yanti. 

“Kakak mau karena memang itu impian dia.”

Pihak KLCI Sukabumi meminta Wahyu membayar uang pemberangkatan Rp20 juta. Pembayaran dibantu keluarga Wahyu dengan mencicil Rp3 juta lalu Rp5 juta hingga lunas. Namun, Wahyu belum juga diberangkatkan. KLCI berkilah proses ke Korea Selatan masih sulit.

Sebagai gantinya, Latif menyuruh Wahyu bekerja di anak perusahaan Korea yang ada di Thailand.

“Katanya paling cuma tiga bulan saja (sebelum akhirnya diberangkatkan ke Korea Selatan). Kakak mau karena terlanjur menganggur, umur sudah tua, sudah lunas pula,” ujar Yanti.

Latif menyerahkan Wahyu ke seseorang bernama Ardli Fajar. Ardli menginapkan Wahyu di Apartemen City Park Cengkareng. Sejak November 2022, Wahyu sudah berada di Thailand.

Sejak kakaknya di Thailand, Yanti kesulitan mengontak Wahyu. Kadang telepon genggam kakaknya tidak aktif. Pesan singkatnya hanya centang satu.

“Aku coba chat tapi 3-4 hari kadang seminggu baru balas. Dia bilang sehat. Aku pikir positif, mungkin kakak masih meraba pekerjaan di sana. Desember 2022, belum ada cerita apa-apa,” ujar Yanti.

Hari-hari berikutnya Yanti kehilangan kabar kakaknya. Bahkan sampai berbulan-bulan. Keluarga mulai khawatir. Lebih-lebih ia membaca berita soal kasus penipuan dan perdagangan orang di Asia Tenggara.

“Aku kirim link berita, tanya posisinya di mana, gimana kabarnya. Dua minggu kemudian baru dibalas. Ngomongnya mulai aneh, kayak orang takut,” ujar Yanti.

Wahyu berkata ia telah diselundupkan ke Myanmar via Thailand. Ia tidak dipekerjakan di pabrik manufaktur melainkan menjadi pelaku penipuan siber. Dan tidak digaji.

“Kakak kabur saja,” saran Yanti.

“Nggak bisa. Aku di belakang gunung.”

“Kakak disiksa atau nggak?”

“Kemarin disetrum,” kata Wahyu. “Jangan bilang sama Mama, takut dia sakit. Doain saja, supaya aku kuat di sini.” 

Citra satelit Taizhang Zone, kawasan kriminal paling baru yang dikuasi kelompok bersenjata di Negara Bagian Karen, Myanmar. (Google Earth)

Hari-Hari di Dalam Kamp

Di Myanmar, warga Indonesia yang dipaksa menjadi operator pig butchering scam mengalami jam kerja sangat panjang dan tidak manusiawi. Mereka bekerja selama 17-20 jam per hari dengan istirahat hanya 30 menit, tanpa libur dan tanpa digaji.

Perusahaan penipuan siber membebani para pekerja yang diperbudak itu harus berhasil menipu 100 orang per hari. Dalam kasus ini, warga negara Amerika Serikat, Kanada, atau Australia menjadi incaran utama.

Jika gagal menjerat target, perusahaan bakal memperpanjang jam kerja atau memberikan hukuman fisik. Mulai dari berdiri berjam-jam, lari mengelilingi 30 putaran lapangan sepakbola membawa galon berisi air, push-up ratusan kali, dipukul dengan benda tumpul, dicambuk, hingga disetrum. Semua tergantung bobot kegagalan.

Wahyu mengalami luka memar di sekujur badan hingga kesulitan berjalan akibat disetrum.

“Kakinya sakit, jadi harus pelan-pelan kalau jalan. Tapi dalam kondisi yang begitu dia malah yang menguatkan kami,” ujar Yanti. 

“Nggak usah khawatirin aku,” kata Wahyu ke adiknya. “Aku pakai baju berlapis-lapis. Banyak. Jadi, kalau disetrum nggak tertalu terasa.” 

“Tapi, namanya juga disetrum, hancur hatiku,” kata Yanti.

Para korban telah kehilangan pilihan dan kendali atas hidup mereka. Perusahaan memaksa mereka untuk terus menipu. Sekalipun itu bertentangan dengan nurani para korban.

“Bu, aku nggak tega menipu orang. Difoto orang yang aku mau tipu ada foto anak dan keluarganya. Aku teringat anak-anak dan kamu di rumah. Jadinya aku dipukulin,” ujar Tito kepada istrinya, Siska. 

“Jadinya suamiku pasrah dipukul pakai besi dan balok sampai pahanya memar. Terakhir dipukul di kepala. Mau melawan, dia nggak bisa,” kata Siska. 

Ilustrasi keluarga korban perdagangan orang di Myanmar. (Project M/Aan K. Riyadi)

Pig butchering scam ialah jenis penipuan investasi berbasis siber. Ada dua tahapan mengoperasikannya.

Tahapan pertama ialah “menggemukkan babi”. Intinya membangun kepercayaan antara operator dengan si target. Para operator menjangkau si target melalui media sosial. Operator berpura-pura menjadi orang lain dengan identitas sepenuhnya palsu; diduga perusahaan juga melakukan kejahatan pencurian data pribadi. 

Para operator bisa menggunakan persona wanita cantik atau pria tampan dari kalangan kelas atas yang hidup glamor: doyan pamer barang mewah di media sosial, berkuda, pelesiran keliling dunia, mengendarai Ferrari, dan sebagainya. Siasat ini demi meyakinkan dan menjaring si target dari kalangan kelas berduit.

Awalnya operator bersikap begitu hangat mengajak si target mengobrol seakan-akan mereka kawan lama. Begitu si target merasa nyaman dan percaya, operator mulai menawarkan investasi yang dijanjikan bakal untung besar di platform perdagangan cryptocurrency palsu—yang memang sengaja diciptakan perusahaan. 

Tahapan kedua adalah “menjagal babi”. Ini eksekusi menggelapkan uang si target. Jika si target sudah menggelontorkan banyak uang sesuai arahan operator, operator akan menghilang. Platform investasi akan binasa. Menyisakan si target yang merugi, marah, dan menderita.

Tetapi tak semua operasi itu berjalan lancar. Apabila operator terus-menerus gagal menipu si target, perusahaan berbalik memeras keluarga operator. 

Misalnya, perusahaan mengiming-imingi akan membebaskan operator seandainya pihak keluarganya mau membayar sejumlah uang.

Mona dan Yanti pernah diminta Rp150 juta oleh si perusahaan. Sedangkan Siska pernah diminta sampai $10 ribu. Jika tidak sanggup membayar, perusahaan akan menjual ke perusahaan scam lain.

“Aku sudah dijual ke perusahaan baru. HP-ku dirampas. Aku sudah tidak tahan lagi. Tolong siapkan uang 8 ribu USD,” kata Tito kepada Siska suatu kali. 

“Suami telepon sambil nangis-nangis saat itu,” kenang Siksa. “Sudah nggak tahan. Hukuman di perusahaan kedua itu lebih parah. Tapi saya mana ada uang?”

Sementara Mona dengan berat hati merelakan suaminya dijual ke perusahaan lain. Rata-rata korban sudah mengalami penjualan lebih dari dua kali.

“Saya sudah minta bantuan keluarga besar tapi tetap saja saya tidak bisa menyediakan jumlah uang yang besar. Sampai saya nggak tau harus bagaimana lagi. Saya pasrah kalau suami memang harus dijual ke perusahaan lain.”

“Kami juga takut karena belum ada jaminan. Apakah kalau kita bayar, benar-benar pulang atau nggak? Kalau nggak, kita bakal berurusan dengan utang di sini,” kata Yanti mengingat kakaknya, Wahyu.

Tetapi pihak perusahaan tidak peduli apakah keluarga-keluarga ini punya uang atau tidak. Mereka hanya mau uang. Mereka juga tak segan mengancam keluarga korban.

Yanti pernah berkata ke si perusahaan itu bahwa dia tidak punya uang. 

“Kalau ibu nggak bisa bayar, kita akan bawa anak ibu ke penjara bawah tanah,” balas pihak perusahaan kepada Yanti. 

“Saat itu kami nggak tau kondisi kakak gimana. Kita sudah mikir yang nggak-nggak. Takut kakak mati dan segala macam,” ujar Yanti.

Menagih Repatriasi

Kejahatan transnasional memiliki efek domino. Keluarga korban, rata-rata seorang istri, bukan saja menderita secara mental, melainkan juga terpaksa menanggung beban finansial sendirian. 

Siska harus bekerja seharian agar dapurnya tetap mengepul dan kedua anaknya yang masih kecil dapat tercukupi gizinya.

“Sekarang saya putar otak. Pagi hari saya jadi tukang cuci, saya buka laundry rumahan. Sore hari, saya jaga toko baju sampai jam 10 malam. Kalau belum ngantuk, saya lanjutkan menyetrika sampai subuh.”

Begitu juga Mona yang kini menjadi pekerja rumah tangga demi menghidupi keluarganya. Kedua anak Mona dan Pendi bahkan turut menanggung beban dan putus kuliah.

“Mereka jadi harus kerja. Kita saling bantu. Kasihan mereka kalau kasus bapaknya ini jadi beban mereka juga. Sementara mereka harus tetap tumbuh,” ujar Mona.

Peran mereka jadi berlipat ganda karena harus tetap memperjuangkan nasib famili mereka. Mereka mengadu ke Polri, BP2MI, Kemlu, Komnas HAM, sampai mendatangi DPR. Beberapa organisasi masyarakat sipil turut mendampingi mereka. Namun, belum juga mendapatkan kepastian.

“Pemerintah selalu minta kami bersabar dan menunggu. Kami nggak tau alotnya di mana. Kami cuma ibu rumah tangga yang nggak paham diplomasi,” ujar Mona.

“Pihak polisi masih belum juga menangkap Latif. Sudah dua kali dibikinkan surat pemanggilan. Harusnya dia dijemput paksa,” ujar Yanti merujuk Latif Aliyudin pemilik Korean Language Center Indonesia (KLCI) Sukabumi.

“Suamiku sampai menyuruhku minta bantuan dana ke orang-orang di kampung. Katanya, ‘Kalau pemerintah tidak bisa bawa aku pulang. Kita harus yang menyiapkannya (uang tebusan) sendiri’,” ujar Siska.

Lantaran berjuang sendiri sangat melelahkan, mereka sepakat membidani satu gerakan bersama bernama Jerat Kerja Paksa. Ini inisiatif swabantu untuk saling menguatkan antara sesama korban dan keluarga korban perbudakan modern di Asia Tenggara. 

Beberapa kali mereka berpartisipasi dalam mimbar bebas untuk menyuarakan perjuangan mereka. Terakhir, mereka melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu dikirim bertepatan Hari Anti Penyiksaan Sedunia pada 26 Juni melalui Sekretariat Negara. Mereka mendesak Jokowi dan jajaran kabinetnya segera menyelesaikan masalah tindak pidana perdagangan orang ini.

“Kami melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar negara hadir dalam upaya evakuasi keluarga kami […] Tidak ada siapa pun pantas disiksa, tidak boleh ada seorang pun yang merasa memiliki hak untuk menyiksa orang lain,” tulisnya.

Sementara itu Direktorat Perlindungan WNI Kemenlu berkata belum berhasil menyelamatkan para korban. 

Kemenlu berkata telah melakukan beberapa cara, seperti meminta bantuan kepada pemerintah Myanmar, melakukan pendekatan ke pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, yang detailnya tidak bisa dijelaskan Kemenlu, sampai menjalin komunikasi dengan Karen Border Guard Force yang menguasai Negara Bagian Karen.

“Pemerintah tidak bisa menjangkau lokasi para korban karena terlalu dekat dengan pusat konflik,” kata Kepala Sub-Direktorat Kawasan Asia Tenggara Direktorat PWNI Kemlu, Rina Komaria. 

Myanmar adalah negara berkecamuk perang saudara berkepanjangan. Eskalasi konfliknya memanas sejak militer Myanmar melaluka kudeta pemerintahan sipil pada Februari 2021. Konflik ini pecah di beberapa negara bagian seperti Shan, Kachin, Karen, Rakhine, dan Myanmar bagian tengah.

“Sekitar lima-tujuh orang ada di wilayah Hpa Lu. Ini sangat jauh, terpencil dan dekat dengan pusat konflik. Jangankan orang Indonesia ke sana, bahkan wilayah itu tidak bisa diakses oleh otoritas Myanmar sendiri,” tambah Rina.

Hpa Lu merupakan kota besar di Negara Bagian Karen. Wilayah ini jadi sorotan aktivis hak asasi manusia internasional karena menjadi pusat operasi kriminal lintas negara. 

Ada beberapa kawasan di Negara Bagian Karen yang diduga jadi basis bisnis penipuan siber, perjudian daring, kasino ilegal, hingga perdagangan orang. Di antaranya di Apollo Park, Yatai New City (Shwe Kokko), Yulong Bay Park, KK Park 1 & 2 (Dongfeng), Dongmei Park, dan Myawaddy Town. 

Kawasan-kawasan itu terletak di tepian Sungai Moei, wilayah perbatasan Myanmar dan Thailand.

Citra satelit Dongmei Zone, yang jadi basis bisnis penipuan siber, perjudian daring, kasino ilegal, dan perdagangan orang di wilayah perbatasan Myanmar dan Thailand. (Google Earth)

Laporan Justice For Myanmar menyatakan operasi bisnis kejahatan transnasional ini dikendalikan jaringan mafia Tiongkok yang bekerjasama dengan Karen Border Guard Force (sekarang Karen National Army). Dan, salah satu mafia Tiongkok yang paling disorot ialah Wan Kuok-Koi alias Yin Gouju alias Broken Tooth, mantan pemimpin geng kriminal Triad 14K yang menjadi investor utama di Dongmei Park.

Situasi politik Myanmar yang pelik disinyalir membuat langkah pemerintah Indonesia serba terbatas. Keberhasilan memulangkan warga Indonesia disebut ditentukan lewat komunikasi dengan jejaring penguasa lokal di sana.

“Tidak ada cara yang pakem untuk mengeluarkan orang dari sana. Kompleksitasnya di sana ada banyak sekali kelompok bersenjata. Dan yang coba kita hubungi tidak punya power untuk ketuk pintu ke perusahaan,” timpal Rina.

Selain upaya penyelamatan korban, Rina menambahkan bahwa upaya pencegahan menjadi urusan vital untuk dilakukan jajaran otoritas Indonesia. 

Rina berkata Kemenlu “selalu berkoordinasi” dengan Kominfo untuk melenyapkan informasi perekrutan palsu di media sosial. Namun informasi ini bak jamur: tebas satu tumbuh seribu.

Data Kemenlu periode 2020-Maret 2024 mencatat 3.703 kasus terkait penipuan siber; sebanyak 3.699 kasus ditangani perwakilan Republik Indonesia di Asia Tenggara dan 4 kasus di Persatuan Emirat Arab. Dan, 40% dari total kasus merupakan tindak pidana perdagangan orang.

Kamboja, Myanmar, Filipina, Laos, dan Thailand menjadi negara dengan kasus terbanyak. 

Kebanyakan warga Indonesia yang terjebak dalam bisnis kriminal ini berasal dari Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, dan Riau.

“Pencegahan bukan core pekerjaan kami. Core pekerjaan kami penanganan kasus dan pelayanan terhadap WNI yang bermasalah di luar negeri. Kalau pencegahan di Indonesia tidak beres, yah Direktorat Perlindungan WNI “menyapu” dan “cuci piring” saja terus. Karena kasus akan tetap banyak,” tambah Rina. 


Nama semua korban dan keluarga korban dalam artikel ini telah diubah dan beberapa detail dihilangkan untuk mencegah identifikasi.

Artikel ini adalah serial terbaru kami mengenai #PekerjaMigranIndonesia yang didukung Kawan M. Kami membuka pengaduan mengenai masalah-masalah pekerja migran Indonesia termasuk yang terjerat perdagangan orang serta perbudakan scam dan judi online, silakan kontak alfianputra@projectmultatuli.org.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
17 menit