Ironi Sampah Makanan di Indonesia: Sesendok Nasi Dibuang, Segunung Sampah Dituai

Mawa Kresna
14 menit
Ilustrasi sampah makanan. (Project M/Inez Kriya)

Sari, bukan nama sebenarnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami dan dua orang anak usia SD. Ia biasa berbelanja ke pasar tradisional atau swalayan seminggu sekali. Kali ini, ia beruntung mendapati ada diskon khusus untuk alpukat, menjadi Rp20.000/kg (sekitar 5 butir alpukat ukuran sedang). Sari segera membelinya, walaupun produk itu tak ada dalam daftar kebutuhan dan tidak banyak buah yang cukup matang di tumpukan itu.

“Kapan lagi dapat alpukat semurah ini? Nanti diperam juga matang, cukuplah buat seminggu ke depan,” katanya, mengambil 2 kg sekaligus.

Sayangnya, kualitas alpukat yang dibelinya kurang bagus, dan alih-alih matang sempurna, sebagian besar alpukat itu justru terasa pahit dan ia terpaksa membuangnya. Uang Rp40.000 rupiah terbuang sia-sia.

Mendengar cerita Sari, saya jadi teringat dengan daun-daun bawang, seledri, dan kemangi yang saya buang kemarin. Seperti biasa, jika sudah waktunya ke pasar, saya akan membeli stok bahan makanan untuk diolah selama minimal empat hari berikutnya. Salah satu bahan yang kerap saya beli adalah daun bawang. Kali terakhir belanja minggu lalu, kemangi masuk ke dalam daftar belanja karena saya ingin makan lalapan.

Masalahnya, beberapa hari terakhir saya ternyata banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan tak sempat memasak. Alhasil, begitu menengok isi kulkas, daun-daun aromatik itu sudah layu setengah busuk dan menghitam. Kejadian ini kerap berulang. Apa yang Sari dan saya alami bukan hal yang langka dalam rumah tangga lainnya, bahkan di tingkat global. Pada 2013, FAO PBB merilis Food Wastage Footprint: Impacts on Natural Resources yang memaparkan bahwa jumlah susut pangan (food loss) dan sampah makanan (food waste) dikalkulasikan mencapai 1,6 miliar ton per tahun, dengan 1,3 miliar ton di antaranya adalah makanan yang sebetulnya masih layak konsumsi.

United Nation Environment Programme (UNEP) juga meluncurkan UNEP Food Waste Index Report 2021, dan hingga 2019 lalu, tercatat sekitar 931 juta ton sampah makanan yang dihasilkan tiap tahunnya; 61 persen berasal dari rumah tangga, 26 persen dari layanan makanan (restoran, kafe), dan 13 persen dari ritel. Ini menunjukkan bahwa 17 persen dari total produksi pangan dunia menjadi sampah makanan dan penyumbang terbesarnya adalah dari rumah tangga.

Di Indonesia sendiri, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat bahwa sampah sisa makanan mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional pada tahun 2021. Jumlah ini menduduki komposisi terbesar dari total sampah yang dihasilkan dalam setahun. Sampah plastik yang lebih sering digaungkan sebagai ancaman bagi lingkungan, justru berada di posisi kedua, yaitu 26,27 juta ton.

 

Di lapangan, jumlah sampah makanan pada rantai konsumsi lebih besar dibandingkan jumlah susut pangan pada rantai produksi. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya teknologi di ranah produksi sehingga kualitas produk menjadi lebih terjaga saat akan disalurkan ke pihak pengecer dan konsumen. Namun dalam perkara ini, masih banyaknya makanan yang terbuang disebabkan beberapa faktor, seperti rendahnya pengetahuan tentang penyimpanan produk yang baik, konsumsi berlebihan, atau menumpuknya stok di gerai distributor hingga melebihi tanggal kedaluarsa.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) bekerja dengan Bappenas dan WRI Indonesia serta didukung oleh UKFCDO juga memaparkan hasil kajian Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia pada Juni 2021 lalu. Dalam laporan tersebut, 23–48 juta ton sampah makanan dihasilkan tiap tahun pada periode 2000-2019 saja. Ini artinya, setiap orang di Indonesia menghasilkan rata-rata sebanyak 115–184 kilogram sampah makanan per tahun.

Jumlah sampah makanan ini juga mengalami tren kenaikan selama 20 tahun terakhir, dari 39 persen pada tahun 2000 menjadi 55 persen pada tahun 2019. Sumber timbulan paling banyak dihasilkan pada tahap konsumsi dan 80 persen berasal dari rumah tangga, dan sisanya dari non-rumah tangga (seperti warung makan atau restoran). Hampir separuh dari sampah makanan yang terbuang itu masih layak untuk dikonsumsi.

Sulit dipercaya? Tidak apa-apa, saya pun sangsi pada mulanya. Maka, untuk coba membuktikannya secara sederhana, mari bermain sejenak di sini:

Permainan di atas menggunakan kisaran konversi berat rata-rata dan hanya memberikan estimasi jumlah sampah yang dihasilkan satu orang dalam sehari. Namun, angka hitungan kasar itu dapat membantu memperkirakan seberapa besar kontribusi setiap orang pada jumlah sampah makanan yang terus menggunung setiap harinya.

Ironi Timbulan Sampah Makan

Masalah sampah makanan menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari ekonomi besarnya angka sampah makanan itu setara dengan kerugian sebesar Rp213–551 triliun per tahun; berdasarkan kandungan energi yang terbuang, seharusnya ada 61–125 juta orang penduduk Indonesia dapat diberi makan seandainya tidak ada sisa makanan. Lebih miris lagi menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, Indonesia masih berhadapan dengan masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari delapan juta anak. BPS juga mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 lalu ada pada angka 26,50 juta jiwa.

Timbulan sampah makanan juga jadi masalah lingkungan yang serius. Hanya karena sampah makanan dapat didaur ulang, bukan berarti ia tidak lebih berbahaya ketimbang sampah plastik. Sampah makanan yang membusuk akan melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.

Menurut data dari World Resources Institute (WRI), emisi GRK dari sampah makanan menyumbang 8 persen dari emisi global. Jika diibaratkan sebagai sebuah negara, limbah sampah makanan akan menjadi penghasil GRK terbesar ketiga tepat di belakang Tiongkok dan AS. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan berbentuk gas metana, yang potensinya 25 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global.

Di Indonesia, emisi GRK yang ditimbulkan dari limbah pangan (food loss & waste) selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2-ekuivalen atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi GRK Indonesia per tahun. Rata-rata emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari 1 ton food waste besarnya 4,3 kali lipat dari food loss. Lebih persisnya, dari kelima tahapan rantai pasok pangan, penyumbang terbanyak emisi gas ini berasal dari tahap konsumsi.

Akar Masalah Sampah Makanan Rumah Tangga

Indonesia pernah menduduki peringkat kedua sebagai penghasil sampah makanan terbanyak di dunia pada 2016 lalu, dengan 300 kg sampah makanan dihasilkan oleh setiap orang per tahunnya. Indonesia bahkan ‘mengalahkan’ Amerika Serikat yang menghasilkan 277 kg sampah per kapita dalam setahun kala itu. Walaupun kini angka timbulan sampah makanan perorangan di Indonesia telah berkurang, jumlah yang masih ada tetap masih terlalu banyak.

Bagaimana bisa negara yang masih dihantui tingkat kelaparan peringkat ketiga tertinggi di dunia (berdasar data Global Hunger Index 2021) justru surplus makanan—hingga terbuang percuma?

Ada beberapa penyebab dan pendorong utama mengapa seseorang menyisakan atau membuang makanan. Berdasarkan kajian FLW 2021, setidaknya terdapat 18 penyebab langsung (direct cause) dan pendorong tidak langsung (indirect drivers), dan 10 di antaranya diklasifikasikan sebagai “sangat penting”. Dalam konteks rumah tangga, buruknya kualitas ruang penyimpanan dan perilaku konsumen yang berlebihan masuk di dalam daftar tersebut.

Perihal perilaku konsumen ini sejalan dengan hasil survei FLW, yaitu 53 persen responden menyatakan bahwa biasanya terdapat sisa makanan dari hasil masakan atau pembelian yang dibawa pulang (take-away). Sebaliknya, ketika makan di luar rumah, 63 persen responden justru  mengungkapkan tidak ada makanan yang tersisa.

Karena penasaran dengan laporan kajian ini, saya sempat mengumpulkan 10 responden dari sektor rumah tangga untuk melakukan uji coba lapangan sederhana. Selama 7 hari berturut-turut, saya meminta mereka untuk mencatat berapa banyak sampah makanan yang terkumpul setiap harinya. Jenis sampah itu saya batasi menjadi bagian yang bisa dikonsumsi (edible), sehingga unsur-unsur seperti bumbu rempah, tulang ayam, duri ikan, atau semacamnya bisa diabaikan.

Alat ukurnya sederhana, menggunakan peralatan makan yang ada di rumah tangga pada umumnya, seperti gelas belimbing atau gelas plastik air mineral untuk mengukur cairan, dan sendok makan untuk mengukur sisa makanan padat. Takaran itu kemudian saya konversikan ke berat gram dengan perkiraan rata-rata.

Hasilnya, sesuai dengan kajian FLW 2021, nasi adalah jenis sisa makanan terbuang yang paling rutin dilaporkan. Rata-rata dalam 4 dari 7 hari ada nasi yang terbuang sebanyak ½–8 sendok makan. Umumnya sisa nasi ini berasal dari proses penyimpanan dalam magic com yang memang cenderung membuat nasi di dinding wadah lebih cepat mengering.

Dari catatan responden, olahan sayuran ada di posisi kedua yang paling sering terbuang. Entah hanya kuahnya saja, atau beserta isiannya. Alasan paling umum adalah kurangnya perencanaan dan perkiraan takaran porsi yang pas, terutama saat menambahkan air ke dalam masakan berkuah.

Urusan penyimpanan makanan juga menjadi salah satu masalah sejuta umat. Meskipun sisa makanan yang tak dihabiskan bisa disimpan kembali di kulkas untuk dikonsumsi lagi di hari yang akan datang, selalu ada kemungkinan niatan itu tidak terwujud. Tergantung dari jenisnya, masa simpan makanan dalam kulkas biasanya hanya bertahan 3–30 hari atau 3 bulan jika disimpan dalam freezer. Tetapi jangka waktu ini tidak berlaku untuk sayuran mentah maupun olahan. Dari kandungan gizi, sayuran matang yang dipanaskan berulang akan mengalami penguraian nutrisi, dan proses pengukusan/perebusan ulang akan mempengaruhi teksturnya. Alhasil, menu sayur olahan lebih sering dibuang.

Sayuran mentah pun tidak semuanya awet jika disimpan dalam kulkas. Teknik penyimpanan tanpa persiapan (meal preparation) juga mempercepat pembusukan. Sayangnya, tidak semua aktor rumah tangga punya pengetahuan yang cukup tentang apa saja yang perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan sayuran yang disimpan. Kalaupun tahu, tidak banyak yang cukup telaten atau disiplin melakukannya. Inilah yang akhirnya berkontribusi pada banyaknya makanan yang terbuang saat jadwal bersih-bersih kulkas tiba.

Ada Kebijakan tapi Minim Anggaran

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan aturan mengenai pengelolaan sampah khususnya Sampah Rumah Tangga, yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 (PERPRES No. 97/2017) mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan ini mengajak seluruh pemegang kepentingan untuk melakukan pengelolaan sampah terintegrasi, mulai dari sumber hingga ke pemrosesan akhir dengan menetapkan target Indonesia Bersih dan Bebas Sampah atau 100 persen sampah telah diolah dengan baik dan benar pada 2025. Tolok ukurnya adalah pengurangan timbulan sampah nasional sebesar 30 persen dengan pembatasan sampah dan pemanfaatan kembali, lalu target penanganan sampah dengan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pemrosesan akhir sebesar 70 persen.

Untuk mencapai target nasional tersebut, pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun Kebijakan Strategi Daerah (Jakstrada). Saat ini telah ada 21 provinsi dan 353 kabupaten/kota yang telah menetapkan peraturan tersebut serta sebanyak 32 pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan pembatasan sampah. Sayangnya, fokus utama kebijakan itu masih seputar sampah plastik sekali pakai. Padahal, dari komposisi sampah yang masuk ke TPA, hampir separuhnya merupakan sampah organik.

Dalam hasil studi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada akhir 2020 di 50 daerah, rata-rata alokasi anggaran tata kelola sampah hanya mencapai Rp16,6 miliar atau 0,7 persen dari total APBD di daerah-daerah tersebut.

Dari semua daerah atau kota yang diteliti, hanya Denpasar, Pekanbaru, Banjarmasin, Tangerang, dan Ambon yang mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah lebih dari 2 persen dari total anggaran belanja daerah. Selain itu, dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 45 persen yang sudah memiliki perda persampahan dan perda retribusi persampahan. Minimnya regulasi di level daerah menunjukkan bahwa komitmen untuk menyelesaikan persoalan sampah di wilayah-wilayah tersebut masih rendah.

Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 26/PMK.07/2021 tentang Dukungan Pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi Pengelolaan Sampah di Daerah, diharapkan dapat semakin meningkatkan kapasitas pengolahan sampah–terutama sampah organik–yang selama ini belum menjadi prioritas.

Dalam konteks upaya pengurangan emisi GRK, analisis dari kajian FLW 2021 menemukan bahwa berdasarkan perbandingan berbagai skenario end-of-life, pengurangan timbulan food waste di rumah tangga merupakan usaha yang paling signifikan. Saat food waste rumah tangga direduksi sebesar 5 persen, emisi GRK turun sebesar 2,98 persen. Sementara saat dilakukan reduksi dengan nominal yang sama di food waste hotel, restoran, katering (HOREKA) dan food loss produksi serta pascapanen, penurunan emisi GRK yang terjadi hanya 0,53 persen dan 0,6 persen.

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki informasi dan strategi yang tepat dan menyeluruh mengenai timbulan susut dan sampah pangan, khususnya di tingkat nasional. Padahal, pengelolaan FLW secara bertanggung jawab dapat berkontribusi terhadap reduksi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem pangan—yang dalam skala global diestimasikan dapat mencapai pengurangan sebesar 11 persen.

Waste4Change, sebuah perusahaan yang melakukan pengelolaan sampah, juga mengemukakan bahwa saat ini masyarakat belum memiliki pengetahuan dan menjalankan sistem pemilahan sampah rumah tangga. Proses daur ulang sampah organik dengan menggunakan komposter atau metode lainnya juga belum berlaku secara merata.

Solusi Pengolahan Sampah Makanan

Aksi-aksi mengurangi sampah pangan sebetulnya sudah sering disuarakan dan dicontohkan oleh para pegiat lingkungan. Mulai dari ajakan untuk konsumsi pangan secukupnya, hingga sosialisasi teknik daur ulang sampah. Beberapa contoh hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi sampah makanan seperti di bawah ini.

      • Distribusi ulang surplus pangan

Pada saat memulai gerakan pada tahun 2017, Food Cycle hanya fokus pada distribusi surplus makanan yang kerap ditemui dalam hajatan-hajatan besar. Makanan yang masih layak dikonsumsi dan belum tersentuh dikumpulkan lalu dikemas ulang dan disalurkan kepada warga yang membutuhkan.

Seiring berjalannya waktu, sumber makanan yang dikumpulkan Food Cycle semakin beragam dengan adanya donasi dari perusahaan-perusahaan FMCG (Fast-moving consumer goods), dan mereka memutuskan menjalankan beberapa program yang lebih luas lagi, salah satunya adalah Bread Rescue. Program ini merupakan kerja sama dengan mitra pembuat roti, yang biasanya berhadapan dengan masalah pendeknya jangka waktu layak konsumsi. Sebelum tiba masa kedaluarsanya, sisa roti diberikan kepada Food Cycle, yang kemudian menyalurkannya kepada masyarakat. Selain itu Food Cycle juga berkolaborasi dengan toko, kedai, atau kafe di Jabodetabek dengan menyediakan kotak donasi makanan layak konsumsi melalui FoodCycle Point.

Inisiatif serupa juga telah dilakukan oleh berbagai organisasi lainnya, seperti Garda Pangan (Surabaya) dan Surplus Indonesia (Jakarta).

Selain menjalankan program bank makanan dengan memanfaatkan surplus pangan atau hasil donasi makanan, Garda Pangan juga melakukan gleaning, yaitu mengumpulkan sisa panen yang ditinggalkan oleh para petani di lahan karena bentuknya ‘kurang menjual’, namun kondisinya sangat layak konsumsi.

Surplus Indonesia memiliki model bisnis dan kegiatan yang sedikit berbeda. Utamanya, Surplus Indonesia berbasis teknologi digital dan menjadi perantara antara pemilik layanan makanan dengan calon konsumen melalui aplikasi yang mereka kembangkan. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk mencari produk makanan dari toko terdekat dan membelinya dengan harga yang lebih murah.

      • Mengurai sampah makanan dengan bantuan larva Black Soldier Fly 

Jika ada yang bertanya organisme apa yang dapat membantu manusia mengolah sampah organik, jawabannya adalah larva serangga. Lebih tepatnya, larva Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucens) atau umum dikenal sebagai Black Soldier Fly (BSF). Di pasaran, orang lebih sering menyebut larva ini sebagai maggots.

Belatung BSF memiliki kemampuan makan yang luar biasa cepat dan nafsu makannya sangat besar. Sebanyak 1 kg maggots dapat menghabiskan 10 kg sampah organik dalam kurun 6–8 jam, tergantung tingkat kehalusan sampah yang diberikan. Menariknya, saat mencapai fase prepupa hingga dewasa, BSF tidak makan sama sekali dan hanya fokus pada reproduksi, sehingga mereka tidak jorok seperti spesies lalat rumah atau lalat hijau.

Maggots memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, yaitu 14–23 persen per 100 gram. Ini yang membuat larva BSF juga banyak dicari sebagai pakan ternak, selain berfungsi mempercepat proses pengomposan.

Larva BSF tidak memiliki gigi untuk mengunyah. Mereka makan dengan cara menyedot. Oleh karena itu, makanan untuk maggots sebaiknya dihaluskan terlebih dahulu. Komposisi sampah makanan juga sebaiknya bergantung pada fungsi yang diharapkan dari maggots. “Kalau akan difungsikan untuk membuat pupuk, lebih baik gunakan sampah sayuran dan buah. Kalau akan dijadikan pakan ternak, maka sebaiknya ada bahan protein hewani yang diberikan,” jelas Arie, salah satu peternak maggots di Bogor.

Menurut Arie, proses budidayanya tidak terlalu sukar, “Asalkan suhunya dijaga di kisaran 27°–32°C, aman. Tidak akan overpopulasi juga, karena lalat dewasa masa hidupnya pendek. Jantan akan mati setelah kawin, betina akan mati setelah bertelur. Kalau tidak kawin, mereka akan hidup selama 7–14 hari.”

      • Mengubah perilaku konsumsi makanan

Sebanyak 50,18 persen dari masyarakat Indonesia yang menjadi responden kajian FLW mengakui bahwa kelebihan porsi makanan, khususnya yang dikonsumsi di rumah, menjadi faktor utama penyebab timbulnya sisa makanan. Kultur masyarakat yang menganut prinsip “mending berlebihan daripada kekurangan” dinilai memiliki pengaruh kuat dalam hal ini. Perlu ada sosialisasi yang konsisten dan menyeluruh untuk mengubah pola pikir ini agar konsumen di ranah rumah tangga lebih bijak dalam mengatur porsi makanan.

Selain itu, edukasi mengenai pembacaan yang tepat mengenai tanggal kedaluwarsa produk juga penting dilakukan, sebab penggunaan istilah “baik sebelum” pada label makanan masih kerap disalahpahami. Padahal, banyak produk yang masih layak konsumsi selama tidak mengalami perubahan tekstur, aroma, atau rasa.


Tulisan ini merupakan hasil dari Data Journalism Hackathon 2021 yang diselenggarakan Indonesia Data Journalism Network (IDJN). Laporan ini dikerjakan bersama Louis Lugas sebagai programmer newsgame dan Deri serta Mifta Iskandar sebagai tim pendukung. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
14 menit