Sisa Duka Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin

Donny Muslim
Adrian Mulya & Mawa Kresna
9 menit

Kenangan getir tentang kerusuhan di penghujung Orde Baru masih melekat dalam ingatan warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Meskipun hampir tiga dekade telah berlalu, luka-luka itu masih menganga, meninggalkan harapan yang tak pernah padam di hati mereka yang ditinggalkan.


ASWIN PRATAMA (63 tahun) melangkah dengan pelan ketika melewati jalan setapak di pemakaman massal di Jalan Ahmad Yani km 23, Banjarbaru. Tanah kuburan itu ditumbuhi rerumputan liar dan dedaunan yang sudah mengering, menandakan area makam ini sudah lama tak dikunjungi para peziarah.

Dengan tangan kosong, Aswin kemudian membersihkan area sekitar makam semampunya. Ia menggumam, “Kalau aku ada duit, sudah aku yang membersihkan semuanya ini,” ujarnya lirih.

Setelah membersihkan sekeliling, Aswin berdiri di hadapan deretan nisan yang bentuknya seragam. Di tangannya, ia memegang botol air yang telah dibacakan doa, dan dengan penuh kehati-hatian, ia menyirami setiap makam, satu per satu. Ini adalah caranya menghormati ratusan jiwa yang bersemayam di sini, jiwa-jiwa yang menjadi korban tragedi yang terjadi 27 tahun silam. Orang-orang menyebutnya tragedi Jumat Kelabu.

Kondisi Makam Massal Jumat Kelabu yang terbengkalai. Dipenuhi rerumputan dan ranting. (Donny Muslim/Project Multatuli)

Peristiwa itu terjadi pada Jumat, 23 Mei 1997, hari terakhir kampanye Partai Golkar untuk Pemilu 1997 di Banjarmasin. Seharusnya, momen itu diakhiri dengan kegembiraan, tetapi justru berubah menjadi petaka. 

Kerusuhan ini bermula dari massa pendukung Golkar yang konvoi melintasi Jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin. Setiap Jumat, sebagian ruas jalan ini mestinya ditutup untuk keperluan salat jemaah Masjid Noor. Hairus Salim, dalam buku Amuk Banjarmasin, menuliskan bahwa saat itu sejumlah media menyatakan ada tiga sepeda motor yang dikendarai warga beratribut beringin nekat melewati ruas wilayah yang ditutup untuk keperluan salat. Mereka hendak menuju Lapangan Kamboja, lokasi utama kampanye Golkar di Banjarmasin. 

Raungan motor itu mengganggu para jemaah yang saat itu sedang membaca doa penutup salat Jumat. Polisi sempat melarang rombongan beratribut beringin masuk, tetapi, mereka memaksa masuk ke jalan yang sudah diblokade. Tiga orang yang itu kemudian ditahan, diserbu dan dipukuli warga. 

Dengan seketika, situasi berubah mencekam. Bentrok antara jemaah salat Jumat dengan massa kampanye pecah di Jalan Pangeran Samudera. 

Masjid Noor Banjarmasin di Jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin. Di depan masjid ini, terjadi insiden yang memicu pecahnya kerusuhan. (Donny Muslim/Project Multatuli)

Massa yang semakin banyak menyerang kantor DPD Golkar Kalimantan Selatan yang tak jauh dari masjid. Begitu pun Lapangan Kamboja yang menjadi tempat kampanye hari terakhir partai beringin yang tak luput dari amukan massa. 

Kerusuhan segera menjalar, menelan banyak korban dan menghancurkan berbagai fasilitas umum. Perkantoran, pusat perbelanjaan, perbankan, sekolah, hingga tempat-tempat ibadah seperti gereja dan klenteng ikut menjadi sasaran amuk massa.

Menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 123 orang tewas, 118 luka-luka, dan 179 hilang. Namun, banyak yang meyakini bahwa angka sebenarnya jauh lebih besar.

Mereka yang hilang di antaranya Indrayanoor, putra pertama Aswin dan Ida Adinizar (almarhumah). Aswin melihat Indra untuk terakhir kalinya usai salat Jumat. Saat itu, ia hendak menuju kantor, sementara Indra, pergi bersama dua temannya ke pusat kota. Ia hanya bisa menyaksikan dari kejauhan ketika Indra dan dua temannya menghilang di tengah kerumunan, berboncengan dengan satu motor.

Foto kenangan Indrayanoor (tengah) bersama teman-teman SMA di Banjarmasin yang masih disimpan oleh Aswin. (Donny Muslim/Project Multatuli)

Tragedi itu mengubah segalanya. Indra dan teman-temannya terjebak dalam kerumunan massa di pusat kota. Dua temannya berhasil keluar dengan selamat, tetapi Indra tidak pernah kembali. Saat kabar hilangnya Indra sampai ke rumah, Aswin berusaha tetap tenang. Ia berpikir, mungkin saja Indra sedang mengamankan diri, menunggu situasi mereda. Namun, ketika malam tiba dan listrik di seluruh kota dipadamkan, kecemasan mulai merayap. Aswin segera keluar, menyusuri rumah sakit dan kantor keamanan, berharap menemukan jejak putranya. Namun, semuanya tidak membuahkan hasil. 

“Pernah diperiksakan ke orang pintar (paranormal),” kenang Aswin dengan suara bergetar. “Katanya Indra masih ada tapi bersembunyi. Tapi kada bulik-bulik (kembali ke rumah) juga.”

Waktu berlalu, tetapi rasa kehilangan itu sukar surut. Kamar pribadi Indra tetap dibiarkan tak tersentuh oleh anggota keluarga lain, sebuah harapan yang dipertahankan oleh istrinya, seolah Indra akan kembali kapan saja. “Kalau-kalau pulang,” ujar Aswin pelan, mengenang harapan istrinya yang kini sudah tiada.

Aswin mengenang Indra sebagai anak yang mendambakan kebebasan, memiliki semangat yang keras, dan sangat menyukai musik rock. “Dia Slankers garis keras. Albumnya lengkap di kamar. Tapi barang-barangnya sudah tidak tahu ke mana sekarang,” kenang Aswin. 

Indra sudah mulai bekerja sejak usia belasan, ikut bekerja di perusahaan kayu bersama keluarga di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Namun, dia memilih kembali ke Banjarmasin, tempat di mana dia merasa lebih nyaman dan bebas. Wataknya yang keras membuat Aswin sulit menerima kenyataan bahwa anaknya hilang dalam tragedi itu. Baginya, Indra adalah seorang pejuang, dan gagasan bahwa anaknya bisa lenyap begitu saja sulit diterima.

Namun, setelah hampir tiga dekade berlalu, Aswin dan keluarganya perlahan mulai menerima kenyataan meski sesekali ia masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di kala itu. 

Saban tahun, untuk mengenang Indra, Aswin menziarahi Makam Massal Jumat Kelabu. Meski ia tahu bahwa kemungkinan besar anaknya tidak bersemayam di sini, Aswin tetap datang. Bagi dia, ziarah ini adalah caranya menjaga kenangan, menghormati para korban, dan mendoakan putra sulungnya yang tak pernah kembali sejak 27 tahun lalu.

Potret Indrayanoor (kiri) putra sulung Aswin Pratama 27 tahun yang lalu. (Donny Muslim/Project Multatuli).
Aswin Pratama (63) membacakan doa di Makam Massal Jumat Kelabu yang terbengkalai di Banjarbaru. (Donny Muslim/Project Multatuli)

***

Maslian, istri dari Darmansyah, korban hilang saat tragedi Jumat Kelabu. (Donny Muslim/ Project Multatuli)

Getirnya peristiwa Jumat Kelabu serupa dialami oleh Maslian bersama tiga orang anaknya. Keluarga tersebut kehilangan sosok ayah, Darmansyah, yang belum kembali hingga hari ini. 

Hari itu Darmansyah pergi mencari dua anaknya, Yana (16) dan Rudi (11) yang bekerja di kawasan Mitra Plaza, yang saat itu menjadi salah satu titik kerusuhan terbesar. Alih-alih berhasil menjemput anak-anak, justru Darmansyah yang hilang tanpa jejak. Yana dan Rudi pulang ke rumah beberapa saat setelah ayahnya pergi ke pusat kota. 

Saat itu Yana bekerja di toko aksesoris kawasan Mitra Plaza. Pada hari kerusuhan, tempat kerjanya sedang diliburkan oleh manajemen tanpa alasan yang pasti. “Karena libur, waktu itu aku main ke tempat kawan di Pelaihari (luar Kota Banjarmasin). Pas balik ke Banjarmasin sore harinya baru tahu ada kerusuhan,” ceritanya. 

Mitra Plaza Banjarmasin, bangunan ini menjadi saksi bisu banyaknya warga yang tewas dalam tragedi Jumat Kelabu. (Donny Muslim/Project Multatuli)
Mariana, akrab dipanggil Yana, anak kedua dari pasangan Darmansyah dan Maslian. (Donny Muslim/Project Multatuli)

Saat berangkat, ia sudah melihat huru-hara di kota Banjarmasin. Yana yang dibonceng temannya dikejar-kejar orang tak dikenal memakai celurit. Namun, mereka berhasil lepas dari kejaran itu dan lalu masing-masing pulang ke rumah.

Ketika sampai rumah, Yana mendapati sang ayah sudah tidak ada di rumah. Ia menerima kabar dari warga sekitar bahwa ayahnya masuk ke Mitra Plaza. Dibantu keluarga lain seperti saudara sulungnya, Fahruddin, Yana mencari ayah ke berbagai tempat hingga ke paranormal. “Oleh orang pintar diberi tahu bahwa abah ini masih hidup. Tapi aku rasanya kada yakin,” katanya.

Di tengah ketidakpastian itu, mereka berpasrah sembari mendoakan saban tahun hingga hari ini, agar Darmansyah bisa selamat.

Bukan Lahir dari Ruang Hampa

Hairus Salim, penulis buku Amuk Banjarmasin menilai bahwa kekerasan demi kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Jumat Kelabu bukan lahir dari ruang hampa. 

Menurut Hairus, ada sejumlah faktor yang melatari peristiwa tersebut. Ada seabrek persoalan mendasar hingga ketimpangan sosial ekonomi yang sangat terasa di Banjarmasin kala itu. Sebagai gambaran, pada periode 1990-an, bermunculan banyak pusat perbelanjaan, hotel, bank, dan sarana hiburan mewah dan megah di kota ini. 

Hairus menggambarkan bahwa, “Tempat ini (Banjarmasin) menjadi habitat para kelas menengah baru, yang terdiri dari bisnisman dan pejabat beserta keluarga mereka.”

Di sekitar gedung gemerlap itu, ada perkampungan kumuh dan padat, dengan sungai-sungai coklat dan keruh, tempat warga mandi, mencuci, bahkan memasak. Fenomena ini menggambarkan ketimpangan yang kemudian memicu kecemburuan sosial. Situasi semakin menjadi ketika pengangguran merebak luas dan kriminalitas meningkat. 

Kota Banjarmasin, pada masa pemerintahan Orde Baru, juga menghadapi dua masalah akut: krisis air bersih dan juga rutinnya terjadi kebakaran. Meski Banjarmasin terkenal sebagai kawasan Seribu Sungai, air yang mengalir tidak bisa dimanfaatkan karena sudah tercemar dan berwarna coklat. 

Pemerintah kota dianggap gagal menyediakan air bersih lewat PDAM Bandarmasih. Pada masa itu, perusahaan pelat merah tersebut memiliki keterbatasan infrastruktur sehingga mereka acapkali menghentikan distribusi air bersih ke warga. 

Buktinya, pada 23 Mei 1997, kantor penyedia air bersih ini menjadi salah satu titik penyerangan oleh massa aksi. Dalam Amuk Banjarmasin tercatat bahwa massa protes dengan perusahaan penyedia air bersih karena selalu meminta bayar iuran tepat waktu, tetapi distribusi airnya selalu macet. 

Perihal kebakaran, kota ini tak kalah rumitnya. Menurut data yang dihimpun Jawa Pos, dari awal Januari 1997 hingga Juli 1997, Banjarmasin mengalami 35 kali kebakaran, memusnahkan lebih dari 1.000 rumah penduduk. 

Absennya fungsi partai politik yang semestinya bisa menjadi jembatan kepentingan pemerintah dan publik juga harusnya bisa menjadi catatan penting. Di Orde Baru, masyarakat Banjarmasin sangat menaruh harapan ke parpol seperti Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI. Namun, mesin penghubung itu hanya hidup lima tahun sekali, tepatnya saat Pemilu. 

“Ada dimensi ‘perlawanan’ di sana. Ketidakpuasan yang selama ini mampet dalam terowongan buntu kekuasaan. Kritik yang selama ini hanya disimpan dalam kepalan tangan di balik bantal. Hari itu semuanya pecah,” demikian kutipan buku Amuk Banjarmasin. Amarah terhadap kekuasaan yang ugal-ugalan terhadap pembangunan ditumpahkan pada 23 Mei 1997.

Meski demikian, Hairus tidak membenarkan dan memaklumi peristiwa tersebut. Hanya saja, ini bisa menjadi pembelajaran ke depan. “Dengan melihat dimensi ‘perlawanan’ di situ, kita mencoba bukan hanya meratapi peristiwa tersebut semata mimpi buruk, tapi bisa menjadi entry point untuk memperbaiki tatanan sosial masyarakat dan kekuasaan yang korup, penuh ketidakseimbangan dan ketidakadilan.”

Setelah 27 tahun berlalu, peristiwa itu masih di kenang melalui forum diskusi hingga pementasan seni. Namun, kepastian siapa yang bertanggungjawab atas tragedi itu masih samar. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kota Banjarmasin, yang mestinya melakukan hal sesederhana seperti minta maaf, juga tak melakukan hal tersebut.

Diskusi membahas tragedi Jumat Kelabu oleh Kuliah Rakyat di Studio Mini Perpustakaan Banjarbaru pada hari Kamis, 23 Mei 2024. (Radar Banjarmasin/Sheila Farazella)

Melihat kasus ini menguap, Hairus mengusulkan agar peristiwa Jumat Kelabu mulai lebih sering dibicarakan lagi secara lebih serius. Ia juga mendorong para keluarga korban untuk didampingi, kemudian membentuk sebuah wadah berhimpun bagi mereka yang ditinggalkan. 

“Setidaknya masalah ini harus menjadi pembahasan lagi. Berhimpun saja,” katanya.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Donny Muslim
Adrian Mulya & Mawa Kresna
9 menit