Sisi Gelap Perawat: Tenaga Kerja Murah Berkedok Profesi dan Pengabdian

Fahri Salam
23 menit
Ilustrasi menuntut kesejahteraan perawat (Project M/Herra Frimawati- CC BY-NC-ND 4.0)
Kerja 24 jam, dalam sistem kerja bergantian, menempatkan perawat sebagai pekerjaan utama dalam kesehatan masyarakat. Tetapi mereka diupah murah, kontrak kerjanya tidak jelas, jenjang kariernya mentok, minim dilindungi organisasi profesi. Sudah saatnya para perawat membentuk serikat pekerja.

Melanoma maligna. Resna, 26 tahun, perawat asal Sukabumi, menunjukkan foto telapak kaki pasien terluka parah. Separuh bagian telapak kaki itu tampak menggelembung berwarna merah kehitaman. Resna menjelaskan pasien itu menderita sejenis tumor kulit akibat infeksi luka yang terlambat ditangani.

Pasien itu berumur lansia. Pergi dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas kesehatan lain, dari puskesmas ke rumah sakit. Umumnya para dokter menyarankan kaki si pasien diamputasi. Infeksi telanjur menyebar. 

Si pasien lansia adalah seorang petani yang menginjak benda tajam saat pergi ke sawah. Ia mencoba mengobati lukanya sendiri dengan rempah-rempah yang tersedia di rumah. Tetapi, lukanya justru semakin parah.

“Aku coba rawat. Konsultasi ke pelatih yang sudah S2 dan seorang spesialis luka,” cerita Resna, lulusan S1 dan Ners. “Alhamdulillah, yang harusnya diamputasi, setelah dua bulan akhirnya lukanya bisa lepas.”

Teknik perawatan luka diterapkan Resna bernama moist wound healing, perawatan luka berbasis lembab. Luka bukan lagi dirawat secara konvensional dengan diolesi betadine dan ditutup kain kasa hingga kondisinya kering, tapi memanfaatkan obat-obatan topikal lembab sehingga memicu pertumbuhan jaringan kulit dan menekan risiko terjadi infeksi.

Sebagai perawat luka, Resna menerapkan ilmu yang didapatkannya dari pelatihan perawatan luka modern, atau biasa disebut Certified Wound Care Clinician Associate. Metode perawatan luka modern ini terbilang baru di Indonesia, dikembangkan sejak awal 2000-an. Resna mengamati belum banyak orang, termasuk dokter, yang sadar bahwa luka bisa dirawat dengan baik tanpa perlu melakukan amputasi. 

“Rata-rata dokter menyarankan untuk amputasi jika luka sudah parah,” katanya. “Padahal, luka itu bisa dirawat. Kalau luka dijaga dengan baik, itu bisa nggak sampai amputasi.” 

Setelah mengikuti pelatihan perawatan luka, Ia mengetahui ada komunitas perawatan luka yang memiliki cita-cita “Cegah Amputasi”. “Alhamdulillah, sudah banyak juga dokter yang mengikuti pelatihan itu.”

Dok·ter berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia punya arti “lulusan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatan”. Pe·ra·wat adalah “tenaga kesehatan profesional yang bertugas memberikan perawatan pada klien atau pasien”.

Tugas dokter adalah mengobati, sementara tugas perawat untuk care. Ilmu keperawatan mengajarkan pengasuhan manusia sejak fase kelahiran sampai kematian. Perawat ada di sisi pasien sejak pertama kali pasien masuk ke rumah sakit hingga saat pasien boleh pulang. 

Perawat memegang data rekam medis pasien, mengamati dan memonitor kondisi pasien. Ia mendengarkan detak jantung pasien, mengambil sampel darah, air liur, dan urin pasien. Ia jadi yang pertama mengetahui pasien berada dalam keadaan darurat, juga jadi yang pertama untuk menginformasikannya ke dokter. 

Resna mengawali shift pukul 7.30, menggantikan para perawat yang bertugas shift malam. Ada tiga shift perawat di rumah sakit tempatnya bekerja: 8.00-14.00, 14.00-22.00, 22.00-7.00. Hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan serah terima pasien: menginformasikan keluhan, diagnosis, dan tindakan medis terhadap masing-masing pasien untuk diteruskan ke perawat selanjutnya.

Lalu Resna berkeliling kamar menyapa pasien dan memperkenalkan dirinya. Menyiapkan rencana perawatan masing-masing pasien. Mengelola obat-obatan pasien: Berapa dosisnya? Bagaimana cara pemberiannya? Apakah pasien bisa langsung menenggak obat atau mesti dilarutkan terlebih dulu? Mengecek tanda-tanda vital pasien. Mengambil sampel dahak hingga darah pasien jika dibutuhkan. Menemani dokter yang mengunjungi pasien.

Seluruh pekerjaan perawat berorientasi pada pasien. Tak jarang perawat berada di sisi pasien saat butuh pendampingan untuk mandi atau buang hajat. Pekerjaan-pekerjaan yang biasa disebut “pekerjaan domestik”. 

Pekerjaan domestik kerap dianggap sebelah mata. Perawat kerap diasosiasikan “pesuruh” dan posisinya dianggap tidak setara dengan profesi dokter.

Sebagai perawat di Kabupaten Sukabumi, upah Resna setara UMR kabupaten, yaitu Rp3,4 juta. Menurut Resna, upah ini cukup tinggi. Perawat-perawat di puskesmas kabupaten yang sama, berdasarkan pengalamannya, umumnya menerima upah di bawah UMR, sekitar Rp1,5 juta-2,5 juta.

“Bagaimana kalau ada perawat yang ingin mengeluhkan soal upah? Apakah bisa ke rumah sakit atau faskes tempatnya bekerja?”

“Sudah jelas nggak mungkin,” jawab Resna.

“Kenapa nggak mungkin?”

“Karena… Rata-rata memang (upah) di bawah segitu.”

Pertanyaan pertama yang dilontarkan rumah sakit kepada Resna saat melamar pekerjaan, “Kamu yakin mau jadi perawat di sini? Kecil lho gajinya.”

Mau Tenaganya Saja

Minawati, 55 tahun, telah bekerja selama 12 tahun di sebuah rumah sakit BUMN di DKI Jakarta ketika ada aturan baru terbit pada 2019. 

Peraturan Menteri Kesehatan No. 26 Tahun 2019 itu membatasi wewenang perawat vokasi atau lulusan D3. Perawat mesti telah lulus S1 dan Ners untuk menangani pasien.

Minawati adalah lulusan sekolah keperawatan D3 pada 1989. Ia dipaksa menandatangani surat pensiun dini pada 2019 bersama lebih dari dua puluh perawat lain. 

Selama bekerja di rumah sakit tersebut, statusnya adalah pekerja kontrak. Saat diminta pensiun dini, ia tidak mendapatkan pesangon. 

Minawati bukan ogah melanjutkan sekolah sampai S1 dan Ners. Ia sudah melakukan tes dan lolos untuk studi S1 di sebuah rumah sakit di Jakarta. Semula ia berharap rumah sakit tempatnya bekerja itu bakal mendukung biaya sekolahnya. Ternyata tidak. 

Biaya S1 Keperawatan di tempatnya mendaftar saat itu Rp100 juta. Sementara upahnya Rp2,8 juta pada 2019; di bawah UMR Jakarta saat itu Rp3,9 juta. Tidak ada tambahan uang makan ataupun uang lembur. 

Minawati tinggal di rumah petak di areal permukiman padat penduduk. Seluruh upahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Tidak ada sisa uang untuk menabung, apalagi membiayai sekolah lanjutan.

Pengalaman itu membuatnya kecewa. Ia menilai manajemen rumah sakit tidak menghargai kerja kerasnya selama 12 tahun terakhir. 

“Anda cuma mau tenaga saya, tapi tidak menghargai kesejahteraan saya,” katanya ke pihak rumah sakit.

Ketidakpastian status kerja itu dialami Ariel, perawat asal Semarang. Dari pengalamannya di satu faskes ke faskes lain, dari puskesmas ke rumah sakit, Ariel, 38 tahun, tidak pernah  ditawari sebagai pekerja tetap. Imbasnya, kontrak kerjanya dapat diputus kapan saja tanpa alasan yang jelas. Pada 2006, rumah sakit daerah tempatnya bekerja merumahkannya tanpa sebab. 

Ariel kesulitan mencari pekerjaan baru. Orangtuanya kemudian merekomendasikan  untuk bekerja di sebuah puskesmas sebagai petugas puskesmas keliling. Selama setahun bekerja di puskesmas ini, Ariel tidak menerima upah sama sekali. Kata orangtuanya tidak mengapa asal anaknya tetap kelihatan bekerja. 

“Dari orangtua, yang penting kerja. Kalau dilihat tetangga, masak sarjana menganggur?” kenang Ariel. “Itu pengalaman saya paling mengenaskan di dunia medis.”

Pada 2012, sebuah rumah sakit membuka lowongan kerja. Ia melamar dan diterima. Ia bekerja dengan status kontrak yang terus-menerus diperbarui. Ia pun memutuskan pindah ke rumah sakit lain dengan harapan bisa mendapatkan status pekerja tetap. 

Tahun demi tahun berlalu, usianya sudah 30-an tahun. Sementara rata-rata lowongan pekerjaan untuk perawat membatasi usia pelamar hingga 35 tahun. Artinya, jika Ariel tidak juga mendapatkan kejelasan kontrak, risikonya adalah kehilangan pekerjaan dan tidak bisa melamar kerja lagi ke manapun. 

Tetapi, sampai saat ini, status pekerja tetap itu tak juga didapatkan Ariel.

Pengalaman Minawati dan Ariel bukanlah pengalaman terisolir. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat masih banyak perawat dengan status terombang-ambing. Ada lebih dari 65 ribu perawat yang bekerja di sektor swasta maupun pemerintah menyandang status honorer, berdasarkan survei PPNI tahun 2022-2023 terhadap 143 ribu perawat di 38 provinsi. Survei sebelumnya (2017) bahkan ada 81 ribu perawat yang status kerjanya “tidak jelas”. 

Selain honorer, status-status kerja yang kerap disandangkan para perawat adalah pegawai kontrak, pegawai BLU (badan layanan umum), pegawai BLUD (badan layanan umum daerah), tenaga harian lepas, magang, honda (honor daerah), tenaga bakti, tenaga sukarela, hingga supporting staff.

Istilah-istilah ini tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, yang hanya mengakui status PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) dan PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu). Begitu pula dalam UU ASN No. 20 tahun 2023 yang hanya mengakui status PNS dan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).

Selain marak status kerja kontrak, marak pula upah murah para perawat di bawah upah minimum regional (kabupaten dan provinsi). 

Survei PPNI pada 2023 terhadap 143 ribu perawat di 38 provinsi mendapati 68,7% perawat diupah di bawah UMR ataupun UMP. Selain itu, ironisnya lagi, 33,1% responden tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dari tempatnya bekerja. Data ini menggambarkan 7 dari 10 perawat diupah murah, serta 3 atau 4 dari 10 perawat tidak ditanggung asuransi kesehatannya. 

“Jika mengacu pada UU Ketenagakerjaan, seharusnya perawat tidak bisa dipekerjakan secara kontrak atau PKWT,” ujar Maryanto Ghovhal, pengurus PPNI di bidang kesejahteraan. “PKWT tidak bisa untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perawat adalah core business rumah sakit. Tidak mungkin musim hujan tidak ada yang berobat.”

Beban Kerja Berlebih

Lembur telah jadi makanan sehari-hari perawat. Sebelum bekerja di rumah sakit BUMN di Jakarta, Minawati bekerja di sebuah rumah sakit di Tangerang. Ia bekerja di bangsal kelas III yang terdiri dari 4 kamar, masing-masing kamar terdiri 8 kasur. 

Pada shift pagi, ia bekerja dengan 4-7 perawat untuk mendampingi pasien di kelas III. Jika giliran shift siang dan shift malam, tantangannya lebih berat: perawat yang berjaga berkurang menjadi dua orang. 

Terkadang Minawati harus terjaga terus demi menjaga para pasien terutama kalau ada pasien dalam kondisi gawat. Sering pula ia bekerja melebihi jam kerja shift, dari pagi sampai malam, menggantikan perawat yang absen. 

Hal sama dialami Ariel. Seharusnya saat shift siang pulang jam 9 malam, tapi baru bisa pulang jam 11 malam. Dengan 3-4 perawat lain, ia bertanggungjawab atas 24 pasien di satu bangsal. 

Penanganan pasien harus selalu bersinambung. Ariel mesti mendokumentasikan program penanganan pasien pada jam kerjanya, lalu menyusun pekerjaan yang sama yang akan diserahkan ke perawat shift selanjutnya.

“Program untuk 24 pasien yang kami urus berbeda-beda. Ada pasien yang tinggal dilanjutkan seperti sebelumnya. Tapi ada yang kondisi pasien yang buruk dan mesti dipindahkan ke ruang ICU,” cerita Ariel. “Kami juga mesti memberikan edukasi kepada keluarga pasien dan waktunya tidak cukup setengah jam.” 

“Jadi, tugas perawat tidak hanya merawat pasien. Ada laporan yang mesti kami kerjakan. Ada konsultasi dengan unit-unit lain.”

“Tidak ada yang namanya kerja santai. Kami kerja pagi sampai pagi, siang sampai siang, malam sampai malam,” tambah Ariel.

Posisi Ariel saat itu adalah kepala ruangan yang bertanggung jawab atas perawat-perawat lain di timnya. Dan tidak ada upah tambahan untuk tanggung jawab tambahan itu. 

Tidak ada juga upah lembur. Kadang upah Ariel dan Minawati malah kena potong. Minawati pernah mengalami upahnya dipotong saat tidak masuk bekerja karena sakit. “Saya sakit, dirawat inap, gaji saya dipotong. Alasannya nggak ada laporan. Padahal sudah ada absen.”

Sebagai perawat berstatus kontrak, Minawati juga tidak menerima BPJS Kesehatan. Ia memang mendapatkan fasilitas rawat jalan di rumah sakit tempatnya bekerja jika jatuh sakit. Tetapi, jika ia perlu rawat inap, rumah sakit ini tidak menanggung biayanya. Maka ia harus bergantung pada BPJS Kesehatan suaminya.

Tanpa alasan jelas, tunjangan upah Ariel pernah dipotong Rp200 ribu-Rp300 ribu. Manajemen rumah sakit tidak menginformasikan alasan dan perhitungannya. “Mereka bilang karena jumlah pasien.”

Pada 2020, pandemi COVID-19 menghantam. Pandemi mempertebal beban dan kerentanan yang dihadapi perawat. Ariel “diperbantukan” bekerja di rumah sakit pemerintah di Semarang. Ia bertugas di ruang ICU isolasi COVID-19. Selama bekerja, ia menerima insentif yang anggarannya dari pemerintah pusat.

Insentif semula cair dengan lancar selama 2020-2021, tapi pada 2022 macet. Ariel bertanya ke manajemen rumah sakit yang direspons “masih dalam proses pengajuan.” Tetapi, empat bulan berlalu, insentif tak juga tampak hilalnya. Akhirnya ia melaporkannya ke Lapor Covid, sebuah inisiatif gerakan publik yang memantau dampak, transparansi, dan nasib nakes selama pandemi. Platform itu kemudian meneruskan laporan Ariel ke pihak Kemenkes yang meneruskannya lagi ke dinas kesehatan.

Mengetahui laporan itu, pihak rumah sakit justru mengintimidasi dan memecat Ariel. “Saya dipanggil manajemen, disidang,” ceritanya. “Mereka bilang etika keperawatan saya nggak ada. Harusnya saya berkomunikasi dulu dengan pihak internal. Kalau ada pertanyaan dan tidak ada jawaban, saya harus mencari jawaban ke mana?” 

Manajemen rumah sakit beralasan insentif tidak turun sebab kasus COVID-19 sudah menurun. Ariel berkaca pada pengalamannya merawat pasien selama COVID-19. Krisis oksigen terjadi. Atasan-atasannya, yang tidak berada di rumah sakit, mengirimkan pesan melalui WhatsApp, memerintahkannya untuk menangani pasien semaksimal mungkin. 

Ariel berada di ruangan bersama pasien. Alarm ventilator berbunyi nyaring, bergantian dari satu ranjang ke ranjang pasien lain, menandakan stok oksigen sudah habis. Ia menyaksikan pasiennya meninggal satu per satu. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Saya menangis di dalam hazmat.”

COVID-19 adalah pengalaman traumatisnya. “Mereka (manajemen rumah sakit) nggak tahu situasi di lapangan seperti apa.”

Kelas Pekerja

“Tugas perawat adalah mengabdi.”  

“Perawat adalah tenaga profesional, bukan buruh.” 

Ucapan-ucapan macam itu sering dipakai untuk menormalisasi upah murah kerja-kerja perawat.

Fentia, 30 tahun, punya pengalaman bagaimana narasi “pengabdian” dan “profesionalisme” bekerja untuk menundukkan upah layak yang seharusnya diterima tenaga kesehatan.

Saat itu Fentia bertugas sebagai relawan tenaga kesehatan di Wisma Atlet, yang disulap jadi pusat penanganan pasien COVID-19 di Jakarta. Saat perekrutan relawan, ia berinisiatif mendaftar. Pandemi melanda. Ada situasi genting membutuhkan tenaga kesehatan sebanyak dan secepat mungkin.

Tetapi, kata pimpinannya di Wisma Atlet, “perawat bukanlah buruh. Perawat tidak bekerja di pabrik. Perawat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh buruh di pabrik.”

Saat itu insentif Fentia sebagai relawan nakes penuh waktu tidak cair selama 6-7 bulan. Ia dan para nakes lain kehilangan pemasukan. Mereka bergantung sepenuhnya pada akomodasi dan makanan yang disediakan manajemen Wisma Atlet. Juga dari donasi, berupa makanan, alat mandi, vitamin, pembalut, yang dikumpulkan masyarakat.

Fentia tidak punya uang sama sekali. Saat menstruasi, ia mengandalkan kebutuhan pembalut dari kiriman donasi. Beruntung, ia belum berkeluarga. Ia menyaksikan rekan-rekan kerjanya yang, di tengah krisis ekonomi selama pandemi, kebingungan memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka di rumah.

Ia dan nakes lain protes. Jawaban yang mereka terima: “Kalian itu relawan. Insentif adalah bonus. Kalau tidak setuju, silakan keluar.”

Mendapatkan respons itu, ia memutuskan melaporkan ke media. Fentia justru diintimidasi. Menerima berbagai bentuk ancaman dari tentara dan polisi yang bertugas di Wisma Atlet.  Kedua aparat keamanan, yang dikerahkan pemerintahan Jokowi untuk “mengendalikan” masyarakat selama pandemi itu, menginterogasi Fentia, yang dipaksa membatalkan konferensi pers dan menyampaikan permintaan maaf ke Kemenkes.

“Kalau kamu laki-laki, sudah kami gebukin!”

“Kalau kamu nggak berhenti bicara soal ini, kami akan tuduh kamu melakukan malpraktik!”

“Kami akan cabut STR (surat tanda registrasi) kamu!”

Mereka memecat Fentia dengan alasan kontraknya berakhir. 

Selama melakukan protes itu, ia tak cuma mendapatkan dukungan dari sesama rekan nakes tapi  juga dari organisasi aktivis perempuan, serikat buruh, akademisi, dan masyarakat sipil. 

Imbasnya, Fentia bahkan dituduh bagian dari serikat buruh yang menyusup sebagai perawat. 

Logika penguasa (dan masih jadi narasi umum yang diterima begitu saja oleh publik luas): “Buruh” dan “profesi perawat” dibenturkan; seakan-akan “buruh” dikonotasikan negatif, posisinya lebih rendah dari “perawat”. 

“Kalau dibilang kami tenaga profesional, saya setuju. Tapi saya tidak setuju kami tidak dianggap sebagai buruh. Saya merasa saya adalah bagian dari kelas pekerja karena saya bekerja untuk atasan saya, instansi atau negara,” ujar Fentia.

Intimidasi dan pemecatan terhadap Fentia itu diberitakan media. Pimpinan Wisma Atlet saat itu, Letkol TNI AL M. Arifin,  Komandan Lapangan Satgas COVID-19 RSD Wisma Atlet, menyangkal melakukan intimidasi dan menekankan posisi nakes adalah “relawan” serta insentif hanya bersifat “reward”.

Setelah dipecat dari Wisma Atlet, Fentia tetap bekerja melayani pasien COVID-19. Ia bertugas memberikan vaksinasi massal di Gelora Bung Karno, melayani ribuan orang setiap hari. Sore harinya ia masih melayani pasien yang dirawat mandiri di rumah karena rumah sakit sudah sangat penuh pasien. Setiap hari ia menangani tiga pasien dalam berbagai kondisi yang membutuhkan partial sampai total care. 

“Saat itu aku cuma tidur 1-2 jam,” ceritanya. “Kalau nggak begitu, orang-orang bagaimana?”

Dalam “Sumpah Profesi Perawat”, tertulis mengenai “bakti” atau pengabdian. 

“Saya bersumpah: Saya akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan tanpa membeda-bedakan kesukuan, kebangsaan,  keagamaan, jenis kelamin, golongan, aliran politik, dan kedudukan sosial.”

Pengabdian bagi Fentia bermakna mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Tetapi juga mengabdi bukanlah alasan bagi pemberi kerja dan pemerintah untuk lalai memenuhi hak-hak perawat. 

Saat pandemi, sebagai perawat, Fentia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ia kurang istirahat dan kurang gizi. COVID-19 menguak ketimpangan rasio antara jumlah tenaga kesehatan dan penduduk Indonesia. 

Sementara, dalam ilmu keperawatan, Fentia pun belajar: untuk dapat menolong seseorang, ia harus memastikan dirinya dalam kondisi dan lingkungan yang aman.

“Kami memang mengabdi. Tapi negara tidak bisa memakai kata mengabdi untuk mengangkangi hak-hak kami sebagai tenaga kesehatan. Kami juga manusia, sama dengan profesi lain. Hak-hak kami juga mesti dilindungi.”

“Perawat itu nggak ada yang bela haknya. Kalau di-PHK, ya di-PHK.” (Project M/Herra Frimawati- CC BY-NC-ND 4.0)

Bukan Pesuruh

Merawat adalah care. Care juga berarti perawat bertugas untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi pasien. 

Menjadi perawat yang baik berarti membangun kepercayaan dengan pasien. Mendengarkan secara aktif, menunjukkan kepedulian, dan berempati. Dengan begitu, pasien menjadi lebih terbuka untuk mengemukakan permasalahannya. Pasien merasa dihargai karena kondisi kesehatannya tidak dianggap remeh.

Survei Gallup pada 2023 di Amerika Serikat mendapati perawat adalah profesi dengan standar etika dan kepercayaan tertinggi; melebihi dokter, guru, hingga jurnalis.

Prinsip ini yang diterapkan Kana, 34 tahun, selama membuka praktik mandiri keperawatan luka di Wocare Center, Bogor. Menghadapi berbagai bentuk luka, dari luka diabetes, kanker, luka bakar, hingga luka tembak dan luka akibat bom, Kana belajar menghargai dan memanusiakan pasiennya.

Ia bertemu pasien pengidap diabetes yang kakinya membusuk dan digerogoti larva lalat. Si pasien kehilangan kepercayaan diri. Tidak ada keluarga yang mau mendekati dan mengajak ngobrol apalagi membersihkan lukanya. 

Kana tak cuma melakukan perawatan luka secara fisik, tapi juga menyemangati si pasien. Ia mendengarkan keluh kesah si pasien, menjadi teman bercerita, dan mendorong keluarga pasien melakukan hal sama untuk menumbuhkan semangat dalam diri si sakit.

“Sebagai perawat luka, kita belajar caring ke orang secara tulus. Kita melihat kebutuhan pasien secara holistik, menjadi teman konsultasi untuk seluruh pihak, baik orang dewasa maupun anak-anak. Kita belajar untuk memanusiakan orang lain,” ujar Kana.

Untuk dapat care, perawat juga mesti didukung lingkungan kerja yang sehat.

Berdasarkan pengalaman Kana, membuka praktik mandiri memberinya keleluasaan bergerak. Ia berkaca pada pengalaman sebelumnya saat bekerja di rumah sakit yang menempatkan perawat dalam posisi inferior dan diupah murah. 

Ia menemukan kecenderungan sistem rumah sakit tempatnya bekerja dulu hierarkis, tidak menempatkan setiap nakes pada posisi setara. “Ketika di rumah sakit, apa-apa harus melapor. Perawat butuh instruksi dulu baru bisa melakukan,” cerita Kana.

Selain itu, beban kerja tidak sepadan upah. Pada awal masa kariernya, Kana menerima upah Rp300 ribu/bulan yang dibayar setiap tiga bulan sekali. Ada pula pengalaman “kontrak bakti” alias kontrak kerja tanpa gaji.

Kebutuhan atas lingkungan kerja yang sehat dan suportif ini sesuai hasil survei yang pernah dilakukan Amnesty International Indonesia dan CISDI pada 2022 terhadap 406 nakes. Kesimpulannya, lingkungan kerja nakes “masih jauh dari optimal.”

Sebanyak 7 dari 10 responden sering merasa lelah atau burnout saat bekerja. Alasannya, beban kerja berlebih, senioritas, hingga tekanan di lingkungan kerja. Sebanyak 6 dari 10 responden melaporkan ada senioritas di tempat kerjanya. Sebanyak 6 dari 10 responden menyaksikan rekan kerjanya mendapatkan tekanan dalam bekerja.

Survei yang lebih lama, tahun 2012, terhadap delapan rumah sakit tentang kepuasaan kerja perawat menemukan rata-rata tingkat kepuasan perawat terhadap profesinya di bawah nilai 60 dari 100. Survei ini mengukur faktor kepastian kerja, jenjang karier, penghargaan, dan  lingkungan kerja perawat. Faktor utama kegelisahan perawat adalah minimnya kepastian kerja dan lingkungan yang mendukung.

Survei itu dilakukan oleh Tutik Sri Haryati, Guru Besar Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, yang sejak lama melakukan kerja-kerja riset tentang jenjang karier dan kesejahteraan perawat. 

“Lingkungan positif tidak melulu soal uang, tapi kesempatan untuk mendapatkan pengakuan oleh profesi lain. Kalau jenjang karier tidak didukung oleh positiveness, pasti akan berat,” kata Tutik.

Meski demikian, Tutik juga tidak menyangkal perawat masih menghadapi tantangan untuk dipandang dan diperlakukan secara setara. “Perawat sudah mengembangkan pendidikan profesi sejak tahun 1985. Tapi, masih ada praktik-praktik yang menunjukkan superioritas profesi. Perawat tidak berada dalam posisi setara.”

Seperti dokter, perawat memiliki bidang-bidang spesialisnya: keperawatan anak, medikal bedah, maternitas, komunitas, hingga jiwa. Dan seperti dokter pula, perawat berwenang membuka praktik secara mandiri dalam berbagai bidang seperti perawatan luka, perawatan anak, perawatan paliatif, dan lain-lain. 

Tetapi, kenyataannya, wewenang perawat itu minim mendapatkan pengakuan. Perawat masih dianggap sekadar “pesuruh” atau “pembantu” dokter. 

Berbagai pengalaman dipandang remeh oleh dokter, diperlakukan sewenang-wenang oleh dokter, disampaikan para perawat kepada saya.

“Aku pernah diusir dari rumah sakit. Ada pasien yang mau diamputasi. Aku cek pembuluh darahnya bagus. Tapi nggak diperbolehkan (melakukan perawatan luka),” cerita Kana. 

“Kadang ada kesalahan sedikit, dokter marah-marah ke perawat. Marah di depan pasien,” cerita Ariel. 

“Rata-rata dokter memandang profesi perawat di bawahnya. Kerjanya dianggap membantu dia aja. Padahal kami adalah partner. Kalau nggak ada kami, program dia nggak jalan. Kami juga punya proses diagnosis dan tindakan keperawatan sendiri. Kami tidak sekadar membantu program para dokter,” tambahnya.

“Ada dokter spesialis yang feodal sekali. Semua perawat takut sama dia. Dia melakukan kekerasan ke saya. Dia minta alat ke saya, dia sebut alatnya dua kali. Saya berikan sesuai berapa kali dia sebutkan. Dia marah besar. Dia memukul tangan saya di depan pasien. Saya keluar, menangis, dan mengajukan keberatan ke direktur rumah sakit waktu itu,” cerita Fentia. 

Merespons minimnya tingkat kepuasan kerja perawat, Tutik bersama timnya mengembangkan model jenjang karier yang ideal untuk profesi keperawatan di Indonesia. Melakukan perubahan kebijakan kepada Kemenkes, upaya mereka menghasilkan Permenkes No. 40 Tahun 2017 tentang Pengembangan Jenjang Karier Profesional Perawat Klinis. Di dalamnya mengatur empat jenjang perawat: perawat klinis, manajer, pendidik, dan periset. 

Meski ada progres itu, pada 2023, pemerintahan Jokowi mengesahkan omnibus law UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut seluruh regulasi tentang kesehatan maupun tenaga kesehatan di Indonesia. Salah satunya UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang hanya membolehkan posisi direktur rumah sakit dipegang oleh tenaga medis atau dokter.

Aturan ini telah digantikan dengan Pasal 186 ayat (2) omnibus law kesehatan yang berbunyi, “Unsur pimpinan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh: (a) tenaga medis; (b) tenaga kesehatan; atau (c) tenaga profesional yang memiliki kompetensi manajemen Rumah Sakit.”

Persatuan Perawat Nasional Indonesia menolak omnibus law kesehatan. Tetapi, pengurus PPNI bidang kesejahteraan, Maryanto Ghovhal mengatakan legislasi baru itu “membuka kesempatan” jenjang karier lebih adil untuk posisi perawat. Hanya saja, tambahnya, belum ada political will dari pihak berwenang untuk betul-betul mengimplementasikannya. 

“Rata-rata (posisi pimpinan rumah sakit) masih diperankan oleh dokter. Posisi yang bisa dipegang oleh perawat hanya sampai kepala bidang atau komite rumah sakit. Kalau diberikan kesempatan sebagai direktur, atau direktur utama, dinamikanya akan lebih baik. Tidak ada superioritas dalam profesi kesehatan,” ujarnya.

Pada 2021, Tutik Sri Rahayati dan timnya kembali melakukan penelitian tentang kesejahteraan perawat. Ia menemukan rumah sakit mulai berbenah dan menerapkan model jenjang karier demi akreditasi. 

Tetapi, perkembangannya cenderung hanya tampak di muka kertas. Di lapangan, hasil survei menyimpulkan tingkat kepuasan perawat atas pekerjaannya tidak meningkat signifikan. Seorang perawat di rumah sakit bisa jadi naik jabatan secara administratif, tapi upahnya tidak ikut meningkat. 

“Banyak perawat yang gajinya masih di bawah UMR,” terang Tutik. “Kita belum berbicara sampai jenjang karier. Penghargaan (soal upah) pun belum tercapai. Basic-nya saja belum.”

Berorganisasi dan Berserikat

Jika seorang perawat mengalami masalah ketenagakerjaan, ke mana ia bisa melapor? 

Resna menilai upahnya sebesar UMR Kabupaten Sukabumi saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setidaknya ia bisa menambalnya dengan sumber pendapatan lain, yaitu membuka praktik home care sendiri. “Dicukup-cukupin aja,” katanya.

Ia tidak menyangkal standar upah di tempatnya bekerja pas-pasan, apalagi jika mempertimbangkan perawat-perawat lain yang sudah berkeluarga. “Kalau menurutku, upah harus disesuaikan. Kita realistis aja. Ekonomi semakin naik. Apa-apa serba mahal. Kalau nggak ada standarisasi, kita mau makan apa? Masak cuma cukup buat ngekos? Kita ngurus orang kurang gizi padahal kita sendiri kurang gizi.”

Meski begitu, Resna tidak yakin ke mana para perawat bisa melaporkan permasalahan upah ini. Apakah kepada fasilitas kesehatan? Pemerintah? Organisasi profesi?

Minawati, yang bergiat di Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) sebagai koordinator sejak 2021, membandingkan pengalamannya dulu dan sekarang. Tak ada pengorganisiran di kalangan perawat, padahal perawat adalah nakes dengan jumlah terbesar di setiap fasilitas kesehatan. Ini berbeda sekali dengan pengalamannya bersama teman-teman JRMK yang kalau menginginkan kehidupan layak, caranya adalah melakukan organizing, pendidikan politik dan bikin aksi. 

Saat kontrak kerja Minawati diputus sepihak dan dipaksa pensiun dini, tidak ada organisasi yang mendampingi dan membelanya, termasuk organisasi profesi PPNI. 

“Perawat itu nggak ada yang bela haknya. Kalau di-PHK, ya di-PHK,” ujarnya. 

Ia pun kesulitan mengajak rekan-rekan kerjanya berorganisasi. Selama di rumah sakit dan menerima perlakuan yang timpang, Minawati hanya bisa membela dirinya sendiri. Puncaknya, saat dipecat bersama 20 perawat lain, ia pernah mengajak mereka untuk protes, tapi tak ada yang bernyali. Mereka tetap menandatangani surat penyelesaian kontrak tanpa pesangon.

“Aku tawarkan ke teman-teman untuk mengupayakan pesangon kami bersama-sama. Aku bisa minta tolong LBH Jakarta secara probono. Nggak ada yang mau satu pun.”

Berdasarkan pengalaman Ariel dan Fentia yang dipecat setelah memprotes permasalahan insentif, mereka tidak mendapatkan pendampingan dari PPNI. Ariel justru menerima kecaman dan intimidasi dari komite keperawatan/pengurus PPNI di tingkat rumah sakit. 

“Padahal beritanya sampai tersebar di media, tapi nggak ada yang kontak saya. Justru pihak internal rumah sakit malah menyerang saya.”

Fentia menjadi pengurus PPNI di tingkat rumah sakit saat bekerja di Wisma Atlet. “Tapi mereka nggak bisa ngapa-ngapain. Mereka nggak berkirim pesan. Ketuanya tidak memberikan dukungan. Aku tidak pernah merasa mendapatkan dukungan dari organisasi profesi.”

Maryanto Ghovhal, pengurus PPNI bidang kesejahteraan, berkata telah membuka kanal pengaduan masalah ketenagakerjaan. Mereka sedang mengadvokasi standarisasi upah perawat melalui pedoman Struktur Skala Upah serta memberikan edukasi kepada para nakes untuk mengadvokasi diri. 

“Perawat baru menyadari sekarang ini bahwa pengabdian mendahului hak-hak mereka. PPNI memberikan edukasi untuk mereka mengadvokasi diri,” katanya.

Masalah umum lainnya di Indonesia, organisasi profesi lebih banyak berperan administratif ketimbang serikat pekerja. 

Setidaknya sebelum omnibus law kesehatan berlaku, organisasi profesi berwewenang untuk merekomendasikan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktek (SIP). Tanpa surat itu, seorang nakes tidak dapat membuka praktik kesehatan. Untuk mendapatkan rekomendasinya, seorang nakes harus menjadi anggota organisasi profesi.

Aturan dan implementasi ini pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pada 2017 dan 2018. Para pemohon menggugat UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menurut mereka telah membuat IDI menjadi super bodydan “self-regulating body” tanpa ada sistem pengawasan sehingga berpotensi bertindak sewenang-wenang. 

Sebelum omnibus law kesehatan, hanya terdapat satu organisasi profesi untuk masing-masing profesi nakes yang diakui undang-undang, contohnya IDI untuk profesi dokter, PPNI untuk profesi perawat, dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) untuk profesi bidan. Implikasinya, urusan kompetensi nakes terpusat pada satu organisasi profesi. Tanpa ada prinsip check and balance, para penggugat berargumen kualitas dan efektivitas sistem pelayanan kesehatan dapat ikut terhambat.

Aturan ini telah berubah. UU Kesehatan tidak lagi mengatur dan menentukan sebuah organisasi profesi spesifik untuk masing-masing bidang keprofesian. Izin praktik bagi dokter dan tenaga kesehatan tidak lagi di bawah organisasi profesi.

Kini, pertanyaannya, bagaimana implikasi dari perubahan aturan ini? Apakah organisasi tenaga kesehatan yang ideal, berperspektif pekerja, dapat lahir dan berkembang dari perubahan tersebut? 

Merefleksikan pengalamannya, Fentia memimpikan ada organisasi nakes alternatif, yang  independen dan mampu membela kepentingan nakes sebagai kelas pekerja. Dengan terciptanya lingkungan kerja yang aman dan kondisi kerja yang layak, kualitas layanan kesehatan masyarakat pun bisa terjaga. 

“Kita harus mempertimbangkan alternatif gerakan baru, di luar organisasi profesi yang urusannya sangat administratif, yang tidak peka terhadap perjuangan-perjuangan pekerja. Kita membutuhkan organisasi semacam serikat pekerja. Organisasi yang dapat mengelola semua lapisan permasalahan kita sebagai tenaga kesehatan, memikirkan cara-cara untuk mencapai kepentingan bersama,” kata Fentia.

Berkaca pada organisasi-organisasi profesi di luar negeri, posisi organisasi profesi adalah sebagai serikat pekerja. Contohnya, Service Employees International Union (SEIU) dan United Healthcare Workers West Union (UHW) di Amerika Serikat, yang melakukan aksi mogok kerja terbesar sepanjang sejarah pada Oktober 2023, menuntut upah dan kondisi kerja layak.

Kini Fentia bergabung dan menjadi koordinator Jaringan Nakes Indonesia (Jarnakes), organisasi yang menyuarakan perlindungan hak-hak tenaga kesehatan. Organisasi ini mendorong terciptanya pelayanan kesehatan yang inklusif demi kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik. 

Meski terbilang kecil dan baru berdiri pada 2021, Jarnakes telah berkolaborasi dengan Dokter Tanpa Stigma untuk mempromosikan layanan kesehatan bebas stigma, ikut menyuarakan dukungan kepada 249 tenaga kesehatan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang mengalami pemecatan massal baru-baru ini. Organisasi ini juga ikut merayakan Hari Buruh Sedunia. 

“Tenaga kesehatan juga adalah pekerja kesehatan. Tenaga kesehatan berhak sejahtera agar dapat menolong orang lain,” sebut organisasi ini dalam platform media sosialnya.

Untuk dapat menjadi lebih berpengaruh dan berdampak, Fentia membayangkan organisasi ini terus memperluas aliansi lebih kuat dan melibatkan lebih banyak nakes. “Paling tidak, yang bisa kita lakukan sekarang adalah bersinergi dengan semua kalangan untuk membangun narasi-narasi  lebih inklusif dan humanis, juga memperhatikan dan menyoroti isu krusial soal kesejahteraan.”


Artikel ini bagian dari serial #Perburuhan

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
23 menit