Tambal Sulam Jalanan Dadap: Korban Proyek Kawasan Elite di Sekitar Tangerang

Ronna Nirmala & Adrian Mulya
6 menit

Di Dadap, Tangerang, ada seruas jalan yang namanya diambil untuk mengenang arsitek pembangunan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tapi tak seromantis namanya, Jalan Prancis, begitu ia disebut, sering menjadi bala bagi yang menetap dan melewatinya.


HAMPIR SETIAP WAKTU, Sule (45) dan istrinya bergantian menyapu lantai dan memukul-mukul barang dagangan untuk mengusir debu tebal. Kipas mereka nyalakan jika cuaca sedang cerah, saat debu-debu semakin ringan berterbangan karena laju truk dan teman-teman sejenisnya.

Sule dan istri memiliki kios kelontong di persimpangan Dadap, jalur yang menghubungkan Jalan Raya Dadap dan Jalan Prancis di Kota Tangerang, sekitar 8 kilometer dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Deretan truk tanah dari proyek PIK II sedang menunggu jam operasional. Saat hujan, jalanan berlumpur dan licin, namun ketika cuaca sedang cerah, jalanan akan dipenuhi debu. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Hampir semua ruas jalan berlubang dan licin ketika hujan. Kejadian truk terperosok, patah as, bahkan terbalik jadi pemandangan sehari-hari di Jalan Prancis. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Lubang besar menganga membentuk kubangan dan jalur buangan air yang tidak memadai membuat kualitas kesehatan hidup warga Dadap yang tinggal di pinggir Jalan Prancis buruk.(Project M/Felix Jody Kinarwan)

Sudah empat tahun Sule berjualan di sana. Selama itu pula, jalanan di depan tokonya tak kunjung rapi meski sudah berkali-kali diperbaiki. Hampir semua ruas jalan berlubang. Kabut debu ketika cerah, licin lumpur saat hujan.

“Apalagi kalau ban meleduk, mandi debu di sini,” kata Sule.

“Wusss! Wusss!” ia menirukan suara truk buang angin.

Sudah berkali-kali kaca etalasenya terkena hantaman batu liar yang terpental akibat truk pecah ban. Ia sampai menambal bagian belakang etalasenya dengan tripleks. Terakhir, burung jalak kesayangannya lepas karena kandangnya rusak dihantam batu nyasar.

Beruntung, lemparan batu tak pernah menyasar ke dirinya.

Kendati begitu, sudah tiga bulan Sule rajin berkunjung ke puskesmas. Ia harus menjalani perawatan rutin untuk mengobati batuk dan memperbaiki nafsu makannya.

“Kan, saya sakitnya batuk, obat batuk itu sama suntik. Sekali beli obat Rp275 ribu,” kata Sule yang sekarang selalu menggunakan masker ketika tidur.

“Nggak kuat abunya!” katanya sambil kembali menepuk-nepuk debu pada sebuah gantungan makanan ringan.

Sule menunjukkan obat batuk yang harus ia minum secara rutin. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

 

Sule yang harus mengenakan masker, bahkan ketika tidur. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

***

Di samping warung Sule, Arif (60) tengah berbincang dengan Ole (52), seorang sopir ojek. Arif menopang separuh badannya dengan tongkat. Kaki kirinya lumpuh.

“Ditabrak truk tanah Sedayu waktu pulang kerja,” kata Arif.

Arif pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di kawasan pemukiman dan industri terpadu, Pantai Indah Kapuk (PIK) II yang digarap dua perusahaan pengembang properti, Agung Sedayu Group dan Salim Group, di lepas pantai Jakarta dan Banten itu.

Jalan Prancis kembali diperbaiki pada Oktober 2022. Ini merupakan kelanjutan perbaikan tahun 2021 oleh Pemkab Tangerang. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Arif menopang separuh badannya dengan tongkat. Kaki kirinya lumpuh karena terlanggar truk tanah Sedayu ketika sedang sibuk menghindari jalan berlubang dengan motor. “Kalo begini mah, gue tabrak mati, daripada rugi,” Arif menirukan ucapan sopir yang menabraknya dua tahun lalu. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Dua tahun lalu, sekitar pukul empat sore, ia tengah pulang dibonceng motor oleh temannya melewati Jalan Prancis. Ketika sibuk menghindari lubang, truk tanah menabrak motor mereka, Arif terpental beberapa meter. Ia pingsan dan baru sadar ketika kaki kirinya dijahit oleh petugas kesehatan.

Kaki Arif cacat permanen, seturut dengan hilangnya mata pencaharian. Agung Sedayu Group sempat menanggung biaya pengobatan tapi tidak santunan kehilangan pekerjaan. Arif memendam kecewa dengan perusahaan tempatnya bekerja itu.

Nama Jalan Prancis diambil untuk mengingat arsitek Bandara Soekarno-Hatta yang berasal dari negara di Benua Biru itu, Paul Andreu. Pada era pembangunan bandara tahun 1970-an, wilayah itu dijadikan jalur pengangkutan pasir dari perairan di utara Pulau Jawa tersebut.

Jalan Prancis yang berhadapan dengan Kampung Nelayan Dadap. Pada era pembangunan bandara tahun 1970-an, wilayah itu dijadikan jalur pengangkutan pasir dari perairan di utara Pulau Jawa. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Penampakan jembatan yang menghubungkan Pulau Reklamasi dan PIK II. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Nyaris setengah abad kemudian, sejumlah pemukiman berdiri di sekitar Jalan Prancis. Namun, jalur tersebut tidak banyak berubah fungsi. Ia tetap menjadi jalur transportasi kendaraan berat pengangkut alat dan bahan proyek pembangunan, mulai dari pemukiman elite PIK II hingga jalan tol.

Perbaikan jalan menjadi pekerjaan yang tidak pernah ada ujungnya. Laju-laju kendaraan besar juga mengunci Jalan Prancis dalam kemacetan yang mengular.

Pada 2015, Pemerintah Kota Tangerang melakukan pelebaran Jalan Prancis, dari semula 6 m menjadi 15 m, demi mengurai kemacetan. Hanya saja proyek pelebaran itu menyisakan problematika baru di jalan sepanjang 6,7 km tersebut. Sejumlah tiang listrik berada di tengah jalan dengan kabel menjuntai aspal.

Risiko tersengat listrik meningkat ketika hujan deras akibat kabel tiang listrik yang menjuntai hingga ke aspal. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Sisa-sisa ban pecah akibat ruas jalan berlubang. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Pilihan kecelakaan jadi beragam; jatuh akibat lubang atau tergelincir, ditabrak truk, hingga tersengat aliran listrik. Belum lagi tiap bulan ada saja truk mengalami kecelakaan, dari patah as roda hingga terbalik.

***

Pada Oktober 2022, Pemerintah Kota Tangerang kembali memperbaiki Jalan Prancis. Perbaikan yang memakan biaya hingga Rp4,8 miliar ini ditargetkan selesai November 2023. Perbaikan jalan juga diiringi rencana pemindahan tiang listrik oleh PLN setelah bertahun nongkrong di tengah jalan.

Bersamaan dengan itu, peraturan jam operasional truk kembali diperketat. Jam jalan truk bertonase 8,5 ton dibatasi mulai pukul 22.00 hingga pukul 05.00. Tujuannya agar beban jalan berkurang sehingga perbaikan bisa rampung dengan menyeluruh.

Namun, warga sekitar sudah terlanjur pesimistis dengan rencana perbaikan tersebut.

Mitar (47) warga Kampung Belimbing, Dadap, menyemburkan asap rokok sambil tertawa kecil. Ia pesimistis perbaikan Jalan Dadap bakal lancar.

“Yang saya lihat selama ini perbaikan itu cuma tambal sulam. Yang rusak memang diperbaiki, tapi belum lama rusak lagi,” kata Mitar, yang berprofesi sebagai satpam komplek.

Bagi warga lokal, upaya perbaikan jalan yang dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir tidak memberikan dampak signifikan.

Selain debu dan becek, polusi suara juga jadi asupan keseharian warga sekitar Jalan Prancis. “Kalau tidur di sini ga ada ketenangan, Bang, pagi-malam suara truk. Setiap 10 menit pesawat lewat, ini masih kecil kalau malam-malam besar-besar, bising suaranya,” kata Jirus. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

“Kalau macet, [dari dulu] memang sudah macet. Tapi, tidak separah sekarang. Tahun 2019-lah, kurang lebih mulai macet dan rusak,” kata Jirus (32), laki-laki asal Medan yang berjualan di pinggir Jalan Prancis sejak 2015.

“Dulu kita bawa motor masih leluasa, sekarang kita milih jalan juga udah enggak kepilih.”

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala & Adrian Mulya
6 menit