Tanah Desa dalam Pusaran Bisnis dan Kuasa Keraton Yogyakarta

Mawa Kresna
28 menit
Tanah Sultan
Taman wisata air Jogja Bay dibangun di atas tanah kas Desa Maguwoharjo. Lewat izin gubernur pada 5 September 2014, PT Taman Wisata Jogja diberi izin untuk menggunakan tanah desa seluas 77.900 meter persegi selama 10 tahun untuk kebutuhan area operasional wahana rekreasi yang digadang sebagai salah satu waterpark terbesar di Asia Tenggara itu. (Dokumentasi Jogja Bay)

Rusaknya saluran air di dekat pabrik PT IGP (Indonesia Green Packaging) International yang tak kunjung diperbaiki, membuat tujuh rumah warga yang terletak di Padukuhan Cikal, Desa Srimulyo, Kapanewon (Kecamatan) Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kerap dilanda banjir. Apabila hujan lebat turun, luapan air dari drainase usang itu menjadi karib bagi rumah-rumah warga.

Kejadian yang berulang itu bikin warga kesal. Pengurus RT hingga dukuh berkali-kali menyurati pengelola pabrik. Alih-alih memperbaikinya, pihak pengelola justru mengabaikan.

IGP merupakan perusahaan yang memproduksi kerajinan, mebel, dan pengemasan, yang dikelola oleh PT Yogyakarta Isti Pratama (YIP). Keberadaan PT YIP di Piyungan, berawal pada tahun 2015 ketika mereka menyewa tanah desa Srimulyo untuk pengembangan kawasan industri yang dikenal dengan Kawasan Industri Piyungan (KIP).

Kurang dari satu dekade dengan hanya satu pabrik yang baru dibangun, PT YIP sudah menorehkan masalah. Tidak hanya abai soal perbaikan saluran air yang mempersulit aktivitas keseharian warga, PT YIP juga menunggak pembayaran sewa lahan desa dan pajak bumi bangunan (PBB) untuk industri total senilai Rp8 miliar pada 2018-2020.

Kelakuan PT YIP itu makin bikin warga geram. Puncaknya, pada Rabu pagi 21 April 2021, warga memblokade jalan masuk ke lokasi pabrik. Mereka menumpuk batu pejal dan pasir di jalan. Aktivitas truk kontainer yang biasa mendistribusikan hasil produksi kerajinan lumpuh karena tertahan di jalan besar. Blokade itu ekses pengabaian PT YIP terhadap warga dan pemerintah desa. 

“Yang bermasalah, pembayaran sewa lahan desa oleh PT YIP. Tiga tahun pertama (2015-2017) lancar, berikutnya tidak dibayar,” urai Wajiran selaku Lurah Desa Srimulyo ketika ditemui tim kolaborasi liputan investigasi agraria yang terdiri dari Project Multatuli, Suara.com, Kompas.com, Jaring.id, dan Tirto.id di Kantor Desa Srimulyo, saat aksi blokade jalan berlangsung.

Wajiran menjelaskan, alasan PT YIP menunggak pembayaran karena infrastruktur jalan, air, dan listrik belum disediakan. Fasilitas tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Bantul, bukan warga Srimulyo.

Aksi blokade jalan itu bukan sekadar ungkapan kemarahan, tapi juga bentuk desakan bagi PT YIP untuk melunasi tunggakan biaya sewa tanah desa. Dalam rentang tiga tahun itu, perangkat Desa Srimulyo telah mengirimkan Surat Peringatan (SP) sebanyak tiga kali. Hingga SP ketiga dialamatkan, PT YIP masih belum melakukan pelunasan.

Setyo Handoko selaku Dukuh Cikal, Desa Srimulyo mengatakan PT YIP telah menjanjikan pelbagai hal untuk warga Srimulyo. “Dulu dijanjikan ada dana kompensasi, terus kerusakan yang ditimbulkan seperti drainase itu diperbaiki, dikembalikan seperti semula. Kenyataannya, dana lingkungan tidak ada, drainase kami juga tidak dikembalikan,” imbuh Setyo di lokasi dan pada hari yang sama.

Ketika aksi blokade jalan masih berlangsung, Wajiran bertemu dengan Direktur PT YIP, Eddy Margo Ghozali di Ruang Rapat Sekretaris Daerah Bantul. Hadir pula Sekda Bantul Helmi Jamharis, Wakil Bupati Bantul Joko Purnomo, dan sejumlah perangkat Kapanewon Piyungan. Pertemuan itu berjalan alot. Wajiran mendesak PT YIP segera melunasi tunggakan itu, PT YIP menagih fasilitas infrastruktur yang dijanjikan Pemkab Bantul untuk lekas dipenuhi, sementara Pemkab Bantul berusaha menjadi penengah. Selain menagih janji, PT YIP juga meminta addendum (perubahan ketentuan) perjanjian terkait kesepakatan pembayaran biaya sewa tanah desa. 

Pertemuan itu berakhir dengan PT YIP menyanggupi pembayaran sewa hanya senilai Rp2,9 miliar pada sore hari. Angka Rp2,9 miliar berasal dari penghitungan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Tujuan Tertentu yang dikeluarkan Inspektorat DIY pada 26 Oktober 2020. Dalam LHP itu PT YIP wajib melunasi sewa hanya senilai Rp 2,9 miliar, padahal apabila mengacu pada surat perjanjian sewa-menyewa tanah desa Srimulyo tertanggal 3 Februari 2015, PT YIP seharusnya membayar tunggakan sewa dan pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai Rp 8 miliar. Jumlah itu terhitung sejak periode tunggakan 2018-2020.

Usai uang senilai Rp2,9 miliar tersebut ditransfer ke rekening Pemdes Srimulyo, para dukuh kembali membuka akses jalan yang sebelumnya diblokade. Kendati telah ada pembayaran, kesepakatan antara pemdes dan PT YIP masih terus dibahas. Bahkan bakal ada pembahasan addendum perjanjian luas tanah desa yang disewa PT YIP yang semula 105 ha, kemudian menyusut menjadi 85 ha.

Karpet Merah YIP di Kawasan Industri

Wajiran sebetulnya menolak apabila desanya dijadikan kawasan industri. Sebagai lurah tidak pernah terbersit dipikirannya untuk mewujudkan kawasan industri di desanya. Desa Srimulyo memang punya daya tarik untuk dijadikan kawasan industri karena ia adalah desa terluas di Bantul, luasannya mencapai 1.462,33 ha dan terdiri dari 22 pedukuhan. Wajiran menduga alasan penunjukkan sebagai KIP karena tanah desa di dua desa tersebut masih cukup luas untuk pengembangan industri.

Sayangnya penolakan Wajiran atas rencana itu kandas lantaran Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X yang menginginkan kawasan industri di DIY berdiri di sana. Pada 8 Desember 2000, Sultan mengeluarkan Izin Gubernur DIY No. 143/3440 tentang izin penggunaan tanah desa Srimulyo dan Sitimulyo seluas 100 ha lebih untuk kawasan industri. Luasan tanah desa yang ditetapkan meliputi Srimulyo seluas 65,8 ha dan 57,6 ha di Sitimulyo.

Wajiran cuma bisa pasrah dengan keputusan Sultan. Di sisi lain ia juga khawatir tanah desa yang selama ini digunakan untuk penghidupan pamong desa dan warga bakal hilang. Warga juga tak bisa lagi memanfaatkan tanah desa untuk pertanian dan peternakan yang kian terkikis untuk kawasan industri. Lebih lagi, ia khawatir ruang hidup warga akan mudah digusur. 

Setelah Sultan menetapkan izin penggunaan tanah desa itu, pada tahun 2015 seorang pengusaha bernama Eddy Margo Ghozali melalui PT YIP menyewa 105,1 ha tanah desa Srimulyo untuk pengembangan KIP. Tiga tahun pertama beroperasi, 2015-2017, PT YIP lancar membayar sewa tanah ke desa Srimulyo sesuai perjanjian. Harga sewa tanah sebesar Rp24 juta per hektare dengan kenaikan harga senilai lima persen per tahun.

Semula, uang sewa itu berdampak positif bagi pembangunan desa, bahkan menurut Wajiran cukup signifikan membantu pembangunan desa. Hak yang diterima tiap perangkat kelurahan dan dukuh juga lancar. Terlebih 105 ha lahan yang digunakan KIP tidak hanya tanah kas desa, akan tetapi juga menggunakan tanah pelungguh (tanah yang dikelola pamong desa) seluas 70,7 ha dan tanah pangarem-arem (tanah yang dikelola mantan pamong desa) seluas 10,4 ha.  Sementara tanah desa yang disewa seluas 23,9 ha.

Sialnya, pada rentang tahun 2018-2020, pembayaran sewa tanah macet. Itu berdampak pada banyak perencanaan pembangunan desa mangkrak akibat biaya. Padahal uang sewa senilai Rp8 miliar untuk rentang 2018-2020 itu diandalkan untuk pembangunan. “Realisasi APBDes selama 2019-2020 hanya 58 persen. Sisa 42 persen untuk kegiatan pemerintahan desa, termasuk pengembangan ekonomi dan SDM, terhenti,” sambung Wajiran.

Begitu pun ketika pembayaran sewa tanah desa oleh investor macet, penghasilan tambahan pamong desa dari pemanfaatan tanah desa pun ikut seret. Dukuh Cikal Setyo Handoko mengaku selama tiga tahun tidak mendapat hasil tambahan dari sewa tanah itu.

Persoalan antara Pemdes Srimulyo dengan PT YIP menjadi perhatian Sultan. Apalagi PT YIP berencana membawa masalah ini ke jalur hukum. Sultan pun memanggil kedua pihak sekitar Desember 2020 silam. 

Nurjayanto, Sekretaris Kelurahan Srimulyo mengatakan pertemuan itu dihadiri pihak Pemdes Srimulyo, PT YIP, juga Sultan, anak keduanya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono, dan Pemkab Bantul. Sultan membuka rapat dengan pernyataan bahwa dia tak ingin kasus ini berpindah ke meja hijau. Sultan menegaskan masalah antara Pemdes Srimulyo dan PT YIP tidak ada kaitannya dengan keraton maupun keluarganya.

Tanah Sultan
Pemblokadean jalan akses masuk ke lokasi PT Indonesia Green Packaging (IGP) oleh warga Desa Srimulyo pada Rabu, 21 April 2021. Aksi pemblokadean itu merupakan bentuk desakan warga Desa Srimulyo pada PT YIP selaku pengelola PT IGP, karena abai pada perbaikan saluran air dan tak kunjung melunasi biaya sewa tanah kas desa. (Dokumentasi Tim Kolaborasi)

“Intinya kan antara desa dan PT YIP deadlock terus. Jadi Sultan menginstruksikan ke sejumlah orang di sini agar masalah ini tidak pindah meja,” kenang Nurjayanto ketika diwawancarai tim kolaborasi di ruang kerjanya, Senin, 10 Mei 2021.

Nurjayanto semula bingung dengan pernyataan Sultan itu. Namun setelah itu, Sultan mengambil kebijakan agar dilakukan penghitungan tunggakan pembayaran sewa tiga tahun lebih.

“Nah, makanya diperintahkanlah Inspektorat DIY untuk mengaudit pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing. Hasil dari itu dijadikan landasan penyelesaian masalah itu. Inspektorat turun ke desa mengaudit kawasan, melihat APBDes, hasil dari inspektorat itu dijadikan untuk dasar (pembayaran),” papar Nurjayanto.

Inspektorat DIY juga ditugaskan untuk menghitung luas tanah desa Srimulyo yang sebenarnya digunakan oleh PT YIP. Hasilnya, PT YIP hanya perlu membayar senilai Rp2,9 miliar dari yang seharusnya mereka bayarkan berdasarkan perjanjian tahun 2015, yaitu Rp 8 miliar. Keputusan Sultan akhirnya diterima pihak Desa Srimulyo, meskipun menurut Nurjayanto, cukup disayangkan.

Instruksi Sultan untuk Mengurus Tanah Desa

Andil Inspektorat DIY karena penugasan dari Sultan disinyalir merupakan sebuah intervensi. Kendati pihak inspektorat menyebut penunjukkan itu hanya untuk membantu penyelesaian tunggakan. Masalahnya, keterlibatan Inspektorat DIY ini justru berdampak nilai sewa lahan desa Srimulyo jadi turun drastis. 

Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santoso mengatakan penunjukkan Sultan kepada instansinya tercantum dalam Surat Perintah Gubernur DIY No. 700/9368 tanggal 23 Juni 2020. Dalam surat itu, termaktub perintah kepada inspektorat untuk memeriksa secara khusus penggunaan lahan pengembangan kawasan industri di Kelurahan Srimulyo. Surat itu ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Tugas Inspektur DIY Nomor PM/47/K/INSP/2020 tanggal 25 Juni 2020. Lalu dilanjutkan dengan Surat Perintah Tugas Inspektur DIY Nomor PM/47/K/INSP/2020 tertanggal 30 Juli 2020.

“Kami tidak masuk di ranah (pembuatan) perjanjian itu. Kami masuk setelah ada masalah dari PT YIP yang belum membayar, sehingga kami diminta untuk masuk ke sana. Kami masuk dengan pemeriksaan,” terang Wiyos saat diwawancarai oleh tim kolaborasi pada Senin, 26 April 2021, di ruang kerjanya.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor X.700/49/PM/2020, PT YIP secara rutin melunasi sewa tanah mulai dari 2015 hingga 2017. Perjanjian pada 2015 sendiri misalnya, dengan nominal sewa Rp24 juta per tahun, dibayar lunas sebesar Rp2,5 miliar. Namun dalam kesepakatan penghitungan bersama, sebanyak 48 ha dari 105 ha belum ada pengosongan oleh pemerintah desa. Kemudian PT YIP hanya membayar sekitar Rp1,3 miliar. Sisanya menjadi kompensasi PT YIP untuk dibayarkan pada tahun 2018-2020.

“Jadi luas lahan itu kan cukup luas ya, ada 105 ha. Kemudian pada 2018 ada perbaikan karena yang 10 ha untuk kawasan wisata. Jadi ada pengurangan jumlah lahan juga, termasuk ada beberapa yang masih digunakan untuk kandang, atau digunakan oleh perangkat desa. Itu yang kemudian kami kompensasi, kami kurang-kurangkan sehingga ketemu angka Rp2,9 miliar,” urai Wiyos tentang muasal bagaimana angka pembayaran tunggakan PT YIP turun.

Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santoso mengatakan penunjukkan Sultan kepada instansinya tercantum dalam Surat Perintah Gubernur DIY No. 700/9368 tanggal 23 Juni 2020. Dalam surat itu, termaktub perintah kepada inspektorat untuk memeriksa secara khusus penggunaan lahan pengembangan kawasan industri di Kelurahan Srimulyo.Click To Tweet

Audit oleh Inspektorat DIY dilakukan di bawah koordinasi Inspektur Bidang Pemerintahan sejak Juni 2020 hingga Oktober 2020 dalam bentuk LHP. Salah satu kendalanya, dua pihak cukup sulit dipertemukan saat dilakukan pemanggilan. Wiyos mengklaim proses audit dilakukan secara obyektif. Ia tidak berpihak pada kepentingan PT YIP atau pemerintah desa Srimulyo, tidak pula berjalan dengan adanya tekanan para pihak.

“Oh tidak, kalau kami ada tekanan ya tidak akan selesai-selesai. Dan pasti ada satu pihak yang merasa keberatan. Kalau kami ada yang menekan, malah kami laporkan kepada Pak Gubernur. Wong kami diperintah langsung,” sambung Wiyos.

Ketika tunggakan sewa senilai Rp2,9 miliar lunas dibayarkan, rencananya akan dibuat addendum perjanjian sewa lahan KIP pada 2021. Sekretaris Desa Srimulyo, Nurjayanto mengatakan sampai saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut. Addendum dibuat untuk menjaga dan menyepakati luas lahan mana saja yang disewa PT YIP. 

Sebelum masalah ini mencuat, muncul dugaan bahwa PT YIP berani mengemplang sewa tanah desa di Srimulyo, karena punya kedekatan dengan kerabat kasultanan. Tersiar kabar PT YIP masuk ke KIP melalui perantara Kanjeng Pangeran Harjo (KPH) Wironegoro, yakni suami anak sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi. Wironegoro menjabat sebagai Penghageng Parentah Hageng di Keraton Yogyakarta. Tugasnya mengelola sumber daya manusia (SDM) di keraton.

“Ada yang bilang Kanjeng Wironegoro terlibat untuk YIP. Ceritanya di luar kan demikian. Tapi saya sendiri belum pernah melihat atau bertemu (Wironegoro) langsung selama ini,” singkap Wajiran.

Wironegoro tidak membantah terlibat dalam pengembangan KIP, termasuk dalam penunjukkan PT YIP sebagai pengelola KIP. Wironegoro telah menyusun konsep pengembangan kawasan industri di wilayah Yogyakarta bagian selatan ini sejak 2006. Wironegoro sendiri ingin menjadikan KIP sebagai kawasan industri kreatif seni dan budaya.

Wironegoro juga tidak menampik bahwa ia yang membawa PT IGP. “Iya saya yang mempunyai ide dasar. Lalu saya yang membawa pengusahanya. Lalu dalam prosesnya memang penuh dinamika. Artinya, saya akan tetap concern untuk bisa mendampingi semuanya agar semua pihak senang, lalu Jogja tetap guyub rukun,” jelas Wironegoro saat diwawancarai secara daring pada Jumat, 2 Juli 2021.

Wironegoro mengatakan memang mencari partner yang bisa memahami dan mewujudkan gagasannya di Yogyakarta. “Jadi 15 tahun lalu saya punya gagasan ini, lalu saya berbicara dengan 2 teman lama saya. Saya sudah mengenal 30 tahun, karena kenalnya sejak SMA lalu. Ada satu orang ini, yang saya percaya, untuk memilihkan salah satu pengusaha yang bisa memahami dan mewujudkan ide gagasan saya di DIY, dan bisa selaras dengan budaya dan masyarakatnya. Kemudian menunjuk satu partner yang saya setujui, akhirnya perusahaan itu, YIP dan sebagainya yang akhirnya mengelola kawasan industri Piyungan,” sambung Wironegoro.

Tanah Sultan
Denah pengembangan Kawasan Industri Piyungan (KIP) yang dikelola oleh PT Yogyakarta Isti Pratama. KIP menyewa tanah kas Desa Srimulyo. Nama Eddy Margo Ghozali yang tercatat sebagai komisaris PT YIP bersama dengan saudaranya, tercantum pula dalam dokumen The Panama Papers. (Dokumentasi Hary L. Prabowo – adaptasi dari Google Maps)

Kendati terlibat langsung, Wironegoro mengklaim dirinya tidak ambil untung materi dari sana. Dia menyatakan tak punya saham satu persen pun dalam PT YIP. Dia juga tidak masuk dalam jajaran manajemen PT YIP. Wiro menyebut dirinya hanya sebagai penggerak aspek kultural dalam pengembangan kawasan industri di Piyungan.

Wironegoro tidak menampik apabila keraton masih memantau perkembangan KIP, termasuk persoalan PT YIP yang menunggak pembayaran. Perwakilan keraton disebutnya ikut dalam setiap rapat yang diadakan.

Menurut Wironegoro, konsep kawasan industri yang berbasis lingkungan (eco-industrial) seperti yang ia proyeksikan di KIP, disetujui juga oleh Sultan. Terlebih apabila perusahaan-perusahaan yang berada di KIP mempedulikan lingkungan dan menghargai budaya masyarakat DIY.

Selain berbasis pada lingkungan, Wironegoro pun membayangkan KIP nantinya bisa memfasilitasi kepentingan wisata. Menurut dia, KIP diharapkan berkembang menjadi sebuah kawasan yang hampir 300 ha dia mintakan untuk kawasan industri yang berbeda dengan di Jakarta atau Jabodetabek.

“Jadi bukan sebuah kawasan industri tanah rata lalu isinya penuh dengan pabrik. Pembuat spare part, resleting atau hal lain yang mungkin bisa membawa limbah yang lebih banyak untuk Jogja. Sehingga di kawasan industri itu bukit-bukit tidak dipapras, jadi alam tidak diganggu, sehingga di situ tetap ada pertanian, perkebunan. Itu nanti akan dijadikan tempat kunjungan wisata yang berbasis ekologis dan berbasis kreativitas,” urai Wironegoro.

Tim kolaborasi sudah menemui Direktur PT YIP Eddy Margo Ghozali saat membahas kelanjutan sewa lahan untuk 2021 bersama Pemerintah Desa Srimulyo dan Pemerintah Kabupaten Bantul di ruang Bupati Bantul pada Jumat, 21 Mei 2021. Namun pada saat itu, Eddy enggan menanggapi banyak pertanyaan dan menyebut pertemuan itu hanya sebatas halal bi halal.

“Saya sudah koordinasi. Kebetulan ada undangan dari pejabat (Pemkab Bantul). Kami baru saja halal bi halal. Kami sih berharap bisa lancar (kelanjutan sewa PT YIP), saya butuh doanya. Memang butuh proses sih,” tutur Eddy.

Wironegoro tidak membantah terlibat dalam pengembangan KIP, termasuk dalam penunjukkan PT YIP sebagai pengelola KIP. Wironegoro telah menyusun konsep pengembangan kawasan industri di wilayah Yogyakarta bagian selatan ini sejak 2006. Wironegoro sendiri ingin menjadikan KIP sebagai kawasan industri kreatif seni dan budaya.Click To Tweet

Berdasarkan akta perusahaan yang diakses 16 Maret 2021, diketahui bahwa PT YIP dimiliki oleh keluarga Ghozali. Pembagian sahamnya meliputi Kasim Ghozali yang merupakan direktur utama memiliki 30 ribu lembar saham senilai Rp30 miliar, selanjutnya Eddy Margo Ghozali selaku direktur dengan kepemilikan 30 ribu lembar saham senilai Rp30 miliar, lalu ada Rudy Ghozali selaku direktur dengan kepemilikan 30 ribu saham senilai Rp30 miliar, dan Sao Ling Ghozali selaku komisaris dengan kepemilikan 10 ribu saham senilai Rp10 miliar.

Berdasarkan data offshore leak dalam situs International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang mengungkap perusahaan cangkang di Virgin island, nama Eddy Margo Ghozali bersama saudaranya terkoneksi dengan Innova Graphics International co.LTD yang beralamat di Hong Kong melalui Concord Asia Secretaries Limited, di mana Eddy merupakan pemegang perusahaan. Di Yogyakarta sendiri, Eddy memiliki perusahaan pengolah kerajinan kayu di bawah perusahaan PT IGP Internasional. Perusahaan itu sudah berdiri di Sleman, Bantul, Piyungan, dan Klaten.

Permintaan wawancara lebih lanjut kepada Eddy yang disampaikan tim kolaborasi melalui telepon, pesan singkat WhatsApp (WA) sejak 5 Juni 2021 hingga 6 September 2021, maupun surat pada 18 Agustus 2021, belum ditanggapi hingga laporan ini terbit. Ketika tim kolaborasi mendatangi alamat Eddy yang tertera di dokumen AHU dari PT YIP pada 15 September 2021—yang berlokasi di Jalan Buana Biru Besar 1-3, Kembangan, Jakarta Barat—tim kolaborasi tidak berhasil menemukan rumahnya. Tidak ada rumah dengan nomor yang persis seperti alamat Eddy yang tertera. Ketika menanyai petugas satpam pun di daerah itu, tidak ada yang mengetahui rumah maupun sosok Eddy.

Sementara andil pemerintah DIY dalam kasus PT YIP yang berhadapan dengan pemerintah Desa Srimulyo terang-terangan dibantah Sultan. Menurut Sultan, penyelesaian persoalan itu tetap dilakukan Pemkab Bantul, bukan gubernur.

“Mereka yang dapat izin itu sama kelurahan belum bisa menyelesaikan masalah sewa tanah, sehingga saya fasilitasi. Sing disewa piro, nek ora disewa semua yo piro, yo uwes kui wae (yang disewa berapa, kalau tidak disewa semua berapa, ya sudah itu saja),” kata Sultan di Kepatihan Yogyakarta, Rabu, 4 Agustus 2021.

Sultan pun membantah tudingan kedekatannya dengan sosok Eddy Margo Ghozali. Menurut dia, Eddy tidak pernah menghubunginya. Tidak pernah pula ada pesan yang dibagikan via layanan pesan instan. “Saya bukan pengusaha. Enggak pernah akan ada anak-anak saya atau saya punya share dengan orang lain,” pungkas Sultan.

Tanah Desa dan Kerabat Keraton di Jogja City Mall

Selain tanah desa di Desa Srimulyo, tanah desa lain yang berada dalam pusaran kuasa Keraton Yogyakarta berlokasi di Desa Sinduadi. Di sana terdapat Jogja City Mall (JCM), salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta. Sebagian bangunan mal ini menggunakan tanah desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Pendirian JCM sendiri tak terlepas dari andil pengusaha kondang, yakni Soekeno yang diduga berbalut campur tangan keluarga keraton.

Pada tahun 2013, Sultan menerbitkan Surat Izin Gubernur DIY Nomor 35/IZ/2013 tentang pemanfaatan tanah desa Sinduadi oleh PT Garuda Mitra Sejati (GMS). Tanah desa seluas 845 meter persegi disewa untuk membangun pusat perbelanjaan JCM. Izin gubernur ini bak karpet merah bagi GMS untuk mendirikan JCM.

Berdasarkan dokumen AHU yang diakses per 21 Maret 2021, adik Sultan, yakni almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, tercatat sebagai Komisaris Utama di PT GMS dengan kepemilikan saham sebesar Rp32 miliar. Hadiwinoto saat itu menjabat sebagai Penghageng Panitikismo, yaitu lembaga keraton yang mengurus soal pertanahan di Yogyakarta. Anak-anaknya, yakni Raden Ajeng (R.Aj) Lupitasari serta Raden Mas (RM) Bambang Prastari juga memiliki saham masing-masing senilai Rp11,6 miliar tanpa memegang jabatan apapun.

Tanah Sultan
Sebagian Jogja City Mall (JCM) dibangun di atas tanah kas desa milik Desa Sinduadi. JCM Dibangun oleh PT Garuda Mitra Sejati (GMS). Selain sebelumnya ada Almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, di tampuk komisaris PT GMS ada juga nama pengusaha Soekeno. (Dokumentasi PT Garuda Mitra Sejati)

Senen Haryanto, Lurah Sinduadi, mengatakan tanah desa yang disewa JCM tidak begitu luas, “Kurang lebih 300 meter persegi,” katanya saat ditemui tim kolaborasi 9 April 2021. Menurutnya, tanah desa yang disewakan pada JCM tidak terlalu luas dibanding tanah desa yang disewakan pada pusat hiburan keluarga Sindu Kusuma Edupark, yaitu tujuh hektare di desa yang sama. Senen bilang lokasi tanah kas desa di JCM hanya untuk lahan parkir.

Sarmiyono, Dukuh Kutu Patran, punya pandangan berbeda soal lahan itu. Menurutnya lahan tempat lokasi JCM merupakan tanah pribadi yang dibeli PT GMS. Ia mengaku almarhum Hadiwinoto sempat menemuinya sebelum dan setelah pembangunan JCM.

“Tidak sering, hanya awal pembangunan itu dia datang ke sini hanya berbincang soal rencana membangun JCM. Saat itu, saya ikut mendukung karena bisa membantu ekonomi warga sekitar juga. Setelah dibangun masih sempat bertemu, tapi sangat jarang,” ungkap Sarmiyono ketika diwawancarai pada Kamis, 27 Mei 2021.

Saat di JCM, tim kolaborasi belum mendapatkan kejelasan lokasi lahan parkir di atas tanah desa seperti yang diungkapkan Senen. Di atas lahan parkir JCM juga digunakan untuk bangunan permanen (bangunan bertingkat). Jika lahan parkir JCM tersebut sama dengan lahan parkir di atas tanah desa, maka pemanfaatannya disinyalir bertentangan dengan Surat Izin Gubernur Nomor 40/IZ/2017. Sebab isi surat izin tersebut adalah mengesahkan tanah desa Sinduadi seluas 300 meter persegi dimanfaatkan untuk pengembangan parkir, bukan untuk bangunan permanen.

Ketika dikonfirmasi oleh tim kolaborasi, Febrianita Chandra Rini selaku Public Relations JCM menyebut bahwa penggunaan tanah desa sebagaimana Izin Gubernur Nomor 40/IZ/2017 tak lagi untuk tempat parkir, melainkan untuk resapan air terbuka. Chandra menolak menjelaskan bagian bangunan JCM yang mana yang menggunakan lahan desa Sinduadi.

“Pemanfaatannya bukan untuk lahan parkir. Tapi kalau untuk lokasi lebih lanjutnya, mohon maaf belum bisa kami jelaskan, karena sudah menjadi kebijakan dari perusahaan,” urai Candra saat dihubungi tim kolaborasi melalui pesan singkat pada Senin, 2 Agustus 2021.

Tanah Sultan
Tampilan citra satelit Jogja City Mall. (Dokumentasi Google Earth)

Saat tim kolaborasi menghubungi untuk dikonfirmasi terkait penggunaan sebagian tanah desa itu, Direktur Utama PT GMS Soekeno tidak merespons sejak 15 Juli 2021 hingga tulisan ini terbit. Permintaan wawancara melalui pesan WA, telepon, dan surat tertanggal 18 Agustus 2021 dan 4 September 2021 juga sudah disampaikan. Bahkan ketika tim kolaborasi mencoba mendatangi alamat rumah Soekeno yang tertera di dokumen AHU dari PT GMS pada Juni 2021 lalu—yang berada di bilangan Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan—tim kolaborasi hanya menemukan semacam gedung dua lantai yang masih mangkrak. Begitu pun dengan anak-anak almarhum Hadiwinoto, yakni R.AJ Lupitasari dan RM Bambang Prastari. Mereka berdua masih belum merespons apapun saat tim kolaborasi mencoba menghubungi via telepon, hingga pesan langsung media sosial (Instagram).

Bisnis Keraton di Jogja Bay

Selain JCM, keluarga keraton juga membuka bisnis wisata di atas tanah desa di Maguwoharjo, Depok, Sleman. Bisnis itu adalah Jogja Bay yang dikelola oleh PT Taman Wisata Jogja, sebuah  wahana rekreasi air yang digadang sebagai salah satu waterpark terbesar di Asia Tenggara. Lewat izin gubernur pada 5 September 2014, PT Taman Wisata Jogja diberi izin untuk menggunakan tanah desa seluas 77.900 meter persegi selama 10 tahun untuk kebutuhan area operasional Jogja Bay.

Kasi Pemerintahan Kelurahan Maguwoharjo, Danang Wahyu mengatakan sebelum Jogja Bay berdiri, tanah desa itu disebut merupakan lahan kosong yang biasa digunakan untuk kegiatan masyarakat. Karena itulah, keluarga keraton diduga tertarik memanfaatkan dengan berinvestasi di sana. 

Salah satu bentuk peran yang diduga dilakukan keluarga keraton di Jogja Bay adalah pengurusan izin lingkungan oleh menantu Sultan, yakni Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Purbodiningrat, ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sleman mulai 8 Juni 2015 dan izin terbit 12 Juni 2015. Nama Purbodiningrat tertera dalam surat pengumuman Nomor 660/643 tentang Penerbitan Izin Lingkungan PT Taman Wisata Jogja untuk Kegiatan Taman Wisata Air sebagai pemohon atau penanggung jawab kegiatan. Surat pengumuman itu dipublikasikan secara luas.

Dokumen AHU PT Taman Wisata Jogja yang diakses per 16 Maret 2021 mencatat nama putri kedua Sultan, yakni GKR Condrokirono sebagai komisaris. Kepemilikan atas nama orang-orang dari keluarga keraton pun sepengetahuan Danang sering berubah. Dia menduga, itu upaya untuk menjaga kepemilikan keraton atas usaha yang bergulir di Maguwoharjo.

“Sekarang lurah dipesan langsung oleh Ngarso Dalem untuk jaga tanah kas desa,” ujar Danang saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat, 7 Mei 2021.

Tanah Sultan
Taman wisata air Jogja Bay dibangun di atas tanah kas Desa Maguwoharjo. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono diketahui berada di tampuk komisaris PT Taman Wisata Jogja yang mengelola Jogja Bay. Sedangkan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Purbodiningrat adalah sosok yang mengurus izin lingkungannya. (Dokumentasi Jogja Bay)

Sementara perihal pengurusan izin lingkungan oleh keluarga keraton, Direktur PT Taman Wisata Jogja, Cahyo Indarto mengaku tak mengetahui hal itu. Ia menyatakan semua proses izin lingkungan dijalankan bukan atas nama keraton. 

“Saya enggak tahu yang itu. Soalnya yang izin yang ngurus teman-teman sendiri,” kata Cahyo kepada tim kolaborasi, Jumat 3 September 2021. 

Walaupun demikian, dia tak membantah Condrokirono memegang kursi komisaris di wahana wisata air di Sleman itu. Pertimbangan memilih Condrokirono, menurut Cahyo juga tak lepas dari kemampuannya di bidang marketing dan manajemen bisnis.

“Mbak Condrokirono ini kan sudah banyak pegang perusahaan. Jadi ketika beliau jadi komisaris, arahan-arahan beliau ini sangat bagus. Apalagi di dunia pariwisata beliau sangat paham. Di Jogja kan gerakannya lebih banyak di sektor pariwisata,” kata Cahyo.

Dia membantah pemilihan keluarga keraton sebagai upaya untuk mempermudah proses operasional maupun perizinan pemanfaatan tanah desa. 

“Meskipun putri Sultan, tapi beliau tidak mau diistimewakan dalam urusan bisnis. tetap jalan sesuai prosedur. Justru sering mengingatkan kami untuk tidak boleh menyalahi prosedur,” ujar Cahyo. 

Sementara terkait izin lingkungan yang dikantongi PT Taman Wisata Jogja untuk operasional taman wisata air Jogja Bay ditengarai ada kejanggalan. Sebab izin ini diterbitkan secepat kilat, dalam hitungan hari, izin segera terbit. Pengajuan izin lingkungan pada 8 Juni 2015 hingga terbit pada 12 Juni 2015 hanya berselang empat hari saja.

Saat dikonfirmasi pada Selasa, 3 Agustus 2021, Sugeng Riyanto selaku Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup menjelaskan tahapan pelaku usaha yang ingin mengajukan permohonan izin lingkungan. “Untuk izin lingkungan di Sleman, kami punya ketentuan regulasi pentahapan perizinan. Jadi sebelum sampai ke proses perizinan izin lingkungan, mesti ada izin pendahulunya,” urai Sugeng.

Izin pendahulunya itu terkait dengan kesesuaian tata ruang. Izin lingkungan sendiri sebenarnya diperuntukkan bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang skalanya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau UKL UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Pemantauan Lingkungan). 

Sugeng menjelaskan tahapan permohonan izin lingkungan dalam skala AMDAL dimulai dengan penayangan pengumuman, kemudian konsultasi publik, setelah itu pembahasan kerangka acuan. Setelah keluar persetujuan kerangka acuan untuk penyusunan AMDAL RKL-RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Pemantauan Lingkungan), baru ke pelaku usaha atau pemrakarsa untuk mengajukan permohonan izin lingkungan. 

“Artinya, penayangan pengumuman, masih tahap awal sekali dan tahapannya masih jauh untuk sampai ke terbit izin lingkungan,” sambung Sugeng.

Dalam strata AMDAL sendiri, menurut Sugeng terbagi pada tiga tipe. Tipe A, proses pengurusan izinnya bisa sampai 180 hari. Untuk tipe B bisa rampung dalam 90 sampai 120 hari. Sedangkan AMDAL tipe C bisa memakan waktu sampai 60 hari sampai penerbitannya. 

“Sampai sini, kami bisa melihat bahwa penerbitan izin lingkungan yang begitu kilat untuk Jogja Bay terasa begitu jauh selisihnya dengan permohonan izin lingkungan untuk AMDAL yang dianggap normatif,” papar Sugeng. 

Adapun menurut Sugeng, penayangan pengumuman yang jadi tahap awal biasanya 10 hari. Yang artinya, masyarakat diberikan waktu 10 hari untuk memberikan tanggapan terhadap rencana kegiatan. Dan itu tetap masih membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tahap terbitnya izin lingkungan. 

Dari hitungan di atas kertas, Jogja Bay yang memiliki luasan tanah 77.990 meter persegi dengan luasan lantai bangunan 4.000 meter persegi, termasuk strata AMDAL dalam pengurusan izin lingkungannya. Apabila mengacu ke dasar hukum AMDAL yakni peraturan pemerintah no.27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup, ketentuan bangunan yang mesti mengantongi amdal adalah yang dibangun dengan luas lahan minimal 5 hektar dan luas bangunan sendiri 10.000 meter².

Tanah Sultan
Tampilan citra satelit Jogja Bay. (Dokumentasi Google Earth)

Sugeng mengaku dirinya tidak mengetahui sedari awal proses pengurusan izin lingkungan Jogja Bay. “Saya belum ada di bidang ini dan tidak mengikuti prosesnya, jadi saya tidak tahu,” kata Sugeng. 

Menanggapi tentang pengurusan permohonan izin lingkungan Jogja Bay pada 2015, Sugeng menjelaskan DLH Sleman belum memiliki Komisi AMDAL. Penilaian untuk izin berada di Komisi AMDAL DIY.

“Kalau dulu yang menerbitkan izin lingkungan dari sampai dengan pendelegasian kewenangan perizinan, memang dari institusi lingkungan hidup. Kalau Sleman ya dinas atau Badan Lingkungan Hidup waktu itu. Tapi kalau dengan sistem OSS (Online Single Submission) itu, dari komisi penilai AMDAL memberikan rekomendasi kepada kepala daerah atas keputusan layak tidaknya. Setelah nanti keluar keputusan layak tidaknya, baru nanti izin lingkungan akan diterbitkan lembaga OSS kalau yang sekarang,” tutur Sugeng terkait perbedaan mekanisme permohonan izin lingkungan di Sleman antara tahun 2015 dengan sekarang.

Tim kolaborasi berusaha menghubungi Purbodiningrat pada 8-9 September untuk mengkonfirmasi terkait bagaimana proses pengurusan sampai terbitnya izin lingkungan Jogja Bay yang dirasa begitu cepat itu. Namun hingga laporan ini diterbitkan, tim kolaborasi belum mendapat jawaban meski sudah menghubungi lewat layanan pesan instan dan pesan langsung media sosial (Instagram) Purbodiningrat.

Wironegoro membantah apabila UU Keistimewaan disebut telah memberi karpet merah bagi keluarga keraton untuk mengelola tanah desa. Menurut Wironegoro, tidak ada keistimewaan keluarga keraton untuk membangun bisnis, di tanah-tanah yang dimiliki keraton.Click To Tweet

Instrumen untuk Menguasai Tanah Desa

Nazarudin selaku mantan Ketua DPW Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2015-2019, menyebut upaya Sultan memberi izin pada keluarga keraton untuk memanfaatkan tanah desa dianggap bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Jika mengacu pada Pasal 16 UU Keistimewaan poin a, di sana telah dijelaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan kepada diri sendiri, anggota keluarga, atau kroni, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu.

Nazarudin juga mengkritisi pembahasan ihwal draf Perda Keistimewaan DIY No.1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Perdais Pertanahan yang digunakan untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di Yogyakarta—termasuk tanah desa—dikhawatirkan bakal menjadi semacam instrumen bagi keraton untuk menguasai tanah-tanah desa bagi kepentingan sendiri dan jaringan bisnisnya. Aturan ini mendapat lampu merah dari Fraksi PAN DPRD DIY yang menduga bakal berpotensi menghilangkan hak tanah yang dimiliki oleh desa.

“Jadi kami waktu itu termasuk yang menilai cacat hukum dari draf perdais waktu itu adalah dia memperluas kualifikasi tanah SG (Sultan Ground) dan PAG (Paku Alaman Ground). Dalam UU Keistimewaan, limitasinya tak terlalu luas. Sehingga turun-temurun diperluas, seperti hutan, tanah pinggir kali, segala macam dimasukkan. Itu kami anggap cacat legal, cacat prosedural,” urai Nazarudin saat ditemui tim kolaborasi pada Senin, 5 April 2021.

Kedua, yang diprotes keras Fraksi PAN saat pengesahan Perdais Pertanahan adalah tanah desa masuk menjadi bagian tanah kasultanan. Padahal dalam UU Keistimewaan tidak memasukkan klausul tanah desa. 

“Kalau masuk, kalau tafsirnya tanah desa masuk, kan berarti harus ada tafsir antara dua UU yang bertentangan, yaitu UU Keistimewaan dan UU Desa. Sinkronisasinya seperti apa? Pemerintah kan tidak pernah melakukan itu. Parameternya tidak jelas,” imbuh Nazarudin.

Nazarudin menambahkan ketika tanah desa itu diakuisisi, kemudian hal itu bertentangan dengan Perda Nomor 54 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY, yang menyatakan tanah-tanah desa itu sudah dilepas haknya oleh keraton. “Dan payung-payung hukum dari seluruh carut-marut ini kan tidak pernah diselesaikan, antara konflik-konflik norma yuridis yang ada di UU Pemda dan UUK kan tidak pernah diselesaikan. UU Keistimewaan itu asbabun nuzul dan naskah akademiknya kan sebenarnya lex specialis UU Pemda. Lalu diperluas dan diperluas, itu kan improvisasi lobi-lobi, bukan atas dasar penyusunan yang jelas,” timpal Nazarudin.

Nada berbeda datang dari Suharwanta yang merupakan Wakil Ketua DPRD DIY. Dia menyebut bahwa kasultanan dan kadipaten punya hak atas tanah karena diberi hak oleh negara lewat UU Keistimewaan. “Pemanfaatannya ya sesuai amanat UU Keistimewaan. Artinya, ketika tanah dimanfaatkan, kami juga bisa mengukur. Ini efek sosialnya sampai mana, untuk masyarakatnya sejauh mana, efek kesejahteraan sosialnya sejauh mana,” tegas Suharwanta saat ditemui tim kolaborasi pada Rabu, 15 Maret 2021.

Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria (UUPA) yang mengacu Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, Suharwanta mengamini bahwa yang disebutkan bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Suharwanta berpendapat bahwa lahirnya UU Keistimewaan harus memiliki semangat yang sama untuk mementingkan kemakmuran rakyat. 

“UU Keistimewaan itu berbasis ke situ. Negara memberi hak kasultanan dan kadipaten untuk punya tanah. Apa wujud pemberian hak itu? UU Keistimewaan,” sambungnya.

Kendati demikian, menurut Suharwanta ada indikasi penyimpangan aturan UU Keistimewaan dan perdais. Ketua Fraksi PAN di DPRD DIY ini meminta Pemerintah DIY supaya melakukan pengawasan dengan ketat agar semuanya akuntabel dan terbuka terkait pemanfaatan tanah desa. Pihak DPRD pun, menurut Suharwanta, juga tidak tinggal diam dengan sikap kasultanan.

“Minimal harus ada komitmen yang kami jaga semuanya. Kasultanan dan kadipaten ya menjaga komitmen memanfaatkan tanah sesuai amanat UU Keistimewaan. Pemerintah juga harus melakukan itu dan DPRD juga harus melakukan pengawasan, juga masyarakat luar. Kan ini milik bersama sebenarnya,” tutup Suharwanta.

Sementara itu Wironegoro membantah apabila UU Keistimewaan disebut telah memberi karpet merah bagi keluarga keraton untuk mengelola tanah desa. Menurut Wironegoro, tidak ada keistimewaan yang didapat oleh keluarga keraton untuk membangun apa saja termasuk bisnis, di tanah-tanah yang dimiliki keraton. 

“Tidak ada privilese. Segala sesuatunya, kami memang tidak ada istilah keinginan untuk dimudahkan, itu tidak. Semuanya sesuai mengikuti aturan,” terang Wironegoro. 

Tanah Sultan
Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika dikonfirmasi oleh tim kolaborasi perihal keterlibatan bisnis yang dilakukan pihak keluarga keraton terhadap mitra atau pengusaha yang menggunakan tanah desa, pada Rabu, 4 Agustus 2021 di Pendopo Kepatihan, Yogyakarta. (Dokumentasi Tim Kolaborasi)

Meski dalam beberapa temuan dokumen sudah jelas termaktub nama-nama keluarga keraton yang menjadi komisaris di perusahaan yang memakai tanah desa untuk operasionalnya, Sultan membantah segala tudingan terkait keluarga keraton yang memanfaatkan tanah desa untuk kepentingan bisnisnya. Saat ditemui usai pemberian bantuan kepada para lurah dan koperasi di halaman Kepatihan kompleks Kantor Gubernur DIY, pada Rabu, 4 Agustus 2021, Sultan memberikan jawaban terkait tuduhan-tuduhan itu.

Yo ora mungkin (ya tidak mungkin), anak-anakku gitu to? Ya tidak ada, itu nyatut berarti. Tidak ada itu,” jawabnya.

Sultan juga menegaskan bahwa tidak ada keterlibatan bisnis yang dilakukan pihak keraton terhadap mitra atau pengusaha yang menggunakan tanah desa. 

Sementara tim kolaborasi juga berusaha menghubungi Penghageng Tepas Panitikismo, GKR Mangkubumi. Namun dihubungi melalui pesan pendek WA maupun telepon sejak Kamis, 2 September 2021 hingga saat ini, tidak ada respons sama sekali.


Tulisan ini merupakan laporan pertama dari dua laporan yang digarap tim kolaborasi investigasi agraria. Media yang terlibat dalam kolaborasi ini yakni Project Multatuli, Kompas.com, Tirto.id, Jaring.id, dan Suara.com

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
28 menit