Terjepit Rumah Sendiri: Hilangnya Kebun dan Hutan Warga Batulapisi Dalam

Project Multatuli
4 menit

Ketidakadilan untuk mendapatkan hak penguasaan dan pemanfaatan sumber agraria sering dialami masyarakat. Kebijakan politik kerap menjadi pemicu ketidakadilan itu. Sementara penanganan ketidakadilan masih jauh dari kata selesai.

Indeks rasio gini tanah di Indonesia pada tahun 2020 menyentuh 0,59 yang berarti 1 persen penduduk Indonesia menguasai 59 persen lahan, sedangkan 99 persen penduduk lainnya hanya menguasai 41 persen. Ketidakadilan yang tampak nyata ini muncul akibat paradigma menempatkan agraria hanya pada konteks ekonomi saja dan mengabaikan peran lainnya seperti fungsi sosial, politik, budaya, serta keagamaan.

Masyarakat Batulapisi Dalam di Kelurahan Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan tengah merasakan ketidakadilan itu. Pembatasan wilayah yang dilakukan pemerintah mengakibatkan perubahan pengelolaan potensi hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Seorang warga Batulapisi Dalam berjalan mengelilingi kebunnya. Lokasi kebunnya diklaim negara berada di dalam kawasan hutan lindung. Kondisi itu membuatnya khawatir dari waktu ke waktu, apabila dirinya tak dapat lagi mengelola kebun miliknya tersebut. (Nurul Fadli Gaffar)
Sebuah plang dipasang oleh aparat kehutanan negara di sebuah pohon pinus menandakan lokasi tersebut adalah wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap. Lokasinya berada di Batulapisi Dalam. (Nurul Fadli Gaffar)
Pertemuan rutin warga Batulapisi Dalam di sebuah malam yang dingin. Mereka membahas konflik tapal batas kampung dengan wilayah milik kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Pertemuan rutin tersebut juga menjadi ajang memperkuat solidaritas antarwarga dalam menghadapi kebijakan negara yang kian hari kian menggerogoti kehidupan mereka. (Nurul Fadli Gaffar)
Salah seorang community organizer menjelaskan perihal tapal batas dan wilayah kelola masyarakat Batulapisi Dalam. Bersama masyarakat, mereka mengupayakan reclaiming atas kebun yang beririsan dengan kawasan hutan. (Nurul Fadli Gaffar)
Pertemuan rutin warga Batulapisi Dalam di sebuah malam yang dingin. Mereka membahas konflik tapal batas kampung dengan wilayah milik kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Pertemuan rutin tersebut juga menjadi ajang memperkuat solidaritas antarwarga dalam menghadapi kebijakan negara yang kian hari kian menggerogoti kehidupan mereka. (Nurul Fadli Gaffar)

Dulu secara turun-temurun mereka dapat melakukan aktivitas berkebun di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun setelah pemerintah memasang batas wilayah kampung dengan hutan, mereka tidak dapat mengelola lagi kebun mereka yang ada di dalam hutan. Bahkan masyarakat yang memiliki kebun di pinggir hutan pun sering mendapatkan tekanan dari pihak polisi hutan karena dianggap merusak hutan.

Penanda batas wilayah antara kampung dengan kawasan hutan yang dipasang membuat masyarakat waswas akan dipenjara apabila mengelola kebunnya yang berada di luar batas kampung. Sementara itu masyarakat Batulisi Dalam tetap harus berkebun untuk memasok sayur ke Kota Makassar seperti yang telah mereka lakukan selama ini. Konflik ini berpengaruh pada tata kelola kebun mereka. Kini mereka harus bertahan hidup dengan lahan yang kian sempit.

Warga tidak tinggal diam dan menerima nasib. Sebaliknya, bersama dengan organisasi masyarakat sipil, mereka berjuang untuk mengupayakan batas-batas kampung dan reclaiming atas kebun yang beririsan dengan kawasan hutan. Mereka menggelar pertemuan rutin untuk membahas batas wilayah kampung dan memperkuat solidaritas antarwarga. Satu tujuan mereka: membebaskan gerak dan haknya dalam mengelola potensi hutan dan kampung sebagai rumah dan sumber penghidupannya.

Tugu persegi menandai batas wilayah yang tidak boleh dikelola oleh masyarakat Batulapisi Dalam. Sebelumnya masyarakat leluasa mengelola potensi hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (Nurul Fadli Gaffar)
Bapak Sule, seorang pejuang agraria yang mempertaruhkan hidup untuk melindungi tanahnya dari perampasan lahan. Ia aktif dalam mengorganisir masyarakat untuk tetap kokoh berdiri di hadapan kebijakan negara yang dinilai sewenang-wenang. (Nurul Fadli Gaffar)
Bapak Hakim dan istri berpose di kediamannya. Rumahnya sering dijadikan tempat berkumpul masyarakat dalam rangka pertemuan rutin dan konsolidasi. Ia salah satu warga Batulapisi Dalam yang konsisten berjuang mempertahankan tanahnya. Selain kebun yang terancam, kediamannya juga menjadi incaran mafia tanah. (Nurul Fadli Gaffar)
Beberapa karung tomat akan segera dikirim ke Kota Makassar. Warga Batulapisi Dalam adalah salah satu penyuplai sayur mayur warga Kota Makassar. Di saat mereka terus memproduksi pangan di kampung, kebijakan yang menyengsarakan mereka lahir di kota orang-orang yang mengonsumsi sayuran yang mereka produksi. (Nurul Fadli Gaffar)
Ibu Helmi memperhatikan tanaman di kebunnya. Struktur masyarakat Batulapisi Dalam terbentuk dari peran perempuan yang ikut bekerja di lahan produksi pertanian. Semakin banyak pekerja di kebun, semakin produktif lahan pertanian mereka. Persoalan mendasar mereka bukan kekurangan tenaga kerja, melainkan kekurangan lahan untuk bertani. (Nurul Fadli Gaffar)
Bukit Batu Berlapis merupakan asal mula penyebutan Batulapisi, kampung yang berdiri sejak 1918. Nurul Fadli Gaffar)

Foto cerita ini diproduksi selama pelatihan foto yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan PannaFoto Institute, didukung oleh Kurawal Foundation pada 18 Mei-6 Juni 2022 dan dipamerkan pada Festival #panganjujur.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Project Multatuli
4 menit