Dari runyamnya dunia kolektor, deforestasi, hingga krisis iklim, ancaman senyap soal kepunahan kupu-kupu kian membuat istilah Efek Kupu-Kupu tak lagi sekadar metafora.
Cerita ini didukung Pulitzer Center Rainforest Reporting Grant.
TAHUN 1859, setelah kapalnya terbakar habis di tengah laut pasifik, Alfred Russel Wallace datang ke Pulau Bacan, Maluku. Di sana Wallace menangkap satu kupu-kupu bersayap emas yang membuatnya jatuh cinta. Dalam bukunya The Malay Archipelago, ia menulis:
“Keindahan dan kecerlangan serangga ini tak terlukiskan, dan tak seorang pun kecuali seorang naturalis bisa memahami kegembiraanku yang meluap-luap begitu aku berhasil menangkapnya. Saat aku meloloskannya dari jaring dan membuka sayapnya yang megah, jantungku berdegup kencang… Seharian kepalaku pening, kegembiraanku sangat dahsyat oleh sesuatu yang bagi kebanyakan orang dianggap sepele.”
Kupu-kupu itu dinamai Wallace’s Golden Birdwing Butterfly (Ornithoptera croesus). Salah satu dari belasan spesies di genus Ornithoptera atau kupu-kupu sayap burung, yang merupakan jenis kupu-kupu paling besar di dunia. Jenis ini hanya bisa ditemukan di wilayah utara Australasia termasuk di Papua dan Kepulauan Maluku.
Kupu-kupu ini segera menjadi buruan orang-orang kaya Eropa yang saat itu menunjukkan statusnya lewat koleksi hewan eksotik dalam pigura. Kelak, kupu-kupu ini jugalah yang membawa Wallace merumuskan teori evolusi melalui seleksi alam, serta mengukuhkannya sebagai bapak biogeografi dunia.
Kini, nyaris 165 tahun setelah zaman Victoria itu, Ornithoptera masih menjadi primadona bagi para kolektor kupu-kupu dunia. Obsesi para kolektor ini menjadi salah satu alasan populasi kupu-kupu sayap burung di Indonesia semakin berkurang. Namun, benarkah hanya karena itu?
“KALAU ke sini saat musim hujan, nggak bisa kita jalan begini. Harus renang.” Ongen bercerita sambil menggandeng tangan saya yang kesulitan menjaga keseimbangan di tengah sungai.
Sejak satu jam lalu kami berjalan kaki menuju penangkaran kupu-kupu miliknya di dalam hutan, di salah satu pulau di Maluku. Untuk ke sana, kami mesti naik motor ke area tambang galian pasir berlumpur, dilanjutkan berjalan kaki belasan kali menyeberangi aliran sungai yang berkelok-kelok. Semakin jauh dari area tambang, air sungai berubah semakin bening dan tumbuhan semakin rapat di kanan-kiri aliran.
Dikerubungi pohon kelapa, kami sampai di penangkaran yang ternyata berupa rumah sederhana bersisian sungai dan bukit berhutan. Lokasi ini strategis sebab area tepi hutan yang terbuka dan dekat sungai memang ekosistem paling ideal untuk kupu-kupu. Bunga soka, pagoda, bugenvil, nusa indah, sepatu, dan beberapa tanaman inang (house plant) memenuhi pekarangan, membuat saya ingat rumah nenek.
Di sela-selanya puluhan kupu-kupu beragam warna dan ukuran terbang berseliweran, seolah tak peduli dengan ancaman empat jaring sutra yang dijejer di teras rumah. Menoleh ke sisi selatan rumah terlihat inti dari lokasi ini: sebuah kandang penangkaran kupu-kupu sayap burung nyaris seluas lapangan futsal.
“Kalau sedang musim, bisa lebih ramai ini kupu-kupunya, tinggal duduk-duduk ayun jaring, pasti dapat.”
Dari penangkaran inilah bisnis perdagangan kupu-kupu Ongen berjalan. Ia mengembangbiakkan, berburu, dan memasok beragam spesies kupu-kupu eksotik dari kawasan timur Indonesia ke berbagai negara. “Eropa sama Jepang yang biasanya paling banyak permintaan, tapi baru-baru ini malah paling sering ekspor ke China. Hobi kupu-kupu sedang ngetren di sana sepertinya,” jelasnya.
“Salah satu yang paling banyak dicari kolektor adalah Ornithoptera priamus, mahal harganya.”
O.priamus atau Common Green Birdwing Butterfly adalah satu dari 12 spesies kupu-kupu sayap burung yang menjadi primadona para kolektor. Disebut sayap burung karena bentang sayapnya terhitung raksasa jika dibanding kupu-kupu biasa dan gaya terbangnya lebih mirip burung. Di Indonesia, semua spesies kupu-kupu sayap burung termasuk hewan yang dilindungi.
Saat ini O.priamus adalah satu dari sedikit invertebrata yang masuk dalam daftar appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Artinya, bisa diperjualbelikan dengan memenuhi syarat dan izin tertentu. Spesies inilah dikembangbiakkan Ongen di penangkaran miliknya.
Ongen menjalankan bisnis ini sejak 2021 setelah ayahnya meninggal. Ayahnya jugalah yang mengenalkannya pada dunia kupu-kupu sejak kecil. Barangkali itu juga yang membuat Ongen seperti ahli kupu-kupu amatir; seorang aficionado. Nyaris semua pengetahuan seputar kupu-kupu ia kuasai di luar kepala.
“Dulu sering ikut ayah menemani kolektor kupu-kupu dari Jepang berburu di hutan, kayaknya sejak tahun 1972,” kenangnya.
Di penangkaran ini Ongen punya lima karyawan yang membantunya mengurus semua hal. Dari menangkap kupu-kupu sayap burung betina untuk indukan, mengawasi telur, memastikan pangan untuk ulat-ulat, merawat kepompong dan house plant, hingga pengemasan. Tanpa sinyal dan listrik, berada di pondok ini terasa seperti di pertapaan. Hanya suara arus sungai, hewan-hewan hutan, dan deru mesin senso dari area tambang yang sayup terdengar.
“Sampai malam pun nggak berhenti itu suara senso, mungkin baru berhenti kalau hutan habis,” ada nada sinis dalam suara Ongen.
Ongen mengajak kami masuk ke kandang kupu-kupunya. Sebuah ruangan setinggi 8 meter berdinding kawat dilapisi jaring paranet hitam transparan. Rasanya kandang ini lebih pas untuk hewan sebesar gajah ketimbang kupu-kupu.
“Di hutan, birdwing itu terbangnya tinggi di atas-atas pohon. Kalau kandangnya pendek nggak bisa terbang mereka, kasihan,” ujar Ongen.
Selain bebungaan, kandang ini dipenuhi daun sirih hutan (Aristolochia) yang merupakan tumbuhan inang O.priamus. Di habitat aslinya Aristolochia biasa ditemukan menjalar di batang pohon-pohon kayu besar di area yang banyak terkena sinar matahari. Tumbuhan Aristolochia krusial di penangkaran karena ulat O.priamus hanya mau makan daun ini.
Berjalan masuk, kami terus mendongak dan sesekali terlihat sesuatu berkepak terbang dengan cepat di atas. Jika tak diberi tahu sebelumnya, saya pasti mengira itu adalah burung, benar-benar mirip!
Di satu sudut terdapat ruangan lain seukuran 2×2 meter, sebuah ruang steril. Di dalamnya, terdapat puluhan kepompong menempel pada tiga utas tali. Sebagian besar adalah kepompong O.priamus yang diambil dari telur hasil indukan dalam kandang. Kepompong ini dipindah ke ruang steril supaya kesempatan menetasnya lebih besar.
Ale, karyawan Ongen yang saban hari merawat kepompong, menjelaskan: “Telur ke bayi ulat itu satu minggu, ulat bayi ke dewasa kurang lebih 5-6 minggu, terus dia jadi kepompong 40 hari, baru menetas. Kalau tidak ada predator, dia bisa hidup sampai tiga bulan.”
“Cuma tiga bulan?”
“Itu sudah termasuk umur panjang untuk kupu-kupu.”
Pagi itu saya menunggui satu kepompong yang sudah berwarna kehitaman, tanda hampir menetas. Perlahan saya melihat kupu-kupu itu merangkak keluar dan menggantung di bagian luar kepompong. Kupu-kupu yang baru menetas tak bisa langsung terbang lincah; ia harus mengepak-epak lalu menunggu beberapa jam agar sayapnya kering dan terentang sempurna.
Dan saat itulah ia tiba-tiba hinggap di tangan saya.
Menahan napas berusaha tak bergerak, itu kali pertama saya memegang Ornithoptera priamus jantan yang hidup secara langsung. Dari dekat sekali, sayap beludrunya yang gagah dengan warna hijau-hitam terlihat royal dan mencolok. Juga detail bulu jumbai kremnya, abdomen kuningnya, corak merah di thorax yang seperti rompi, dan probosis barunya; barangkali ia juga sedang menyesuaikan diri dengan tubuh barunya, batin saya.
Saya terkesima dengan warna-warna dan corak simetris yang tersusun sempurna; ia seperti bunga yang baru mekar. Sejenak rasanya nyaris masuk akal kenapa ada orang-orang yang terobsesi dan bersedia membayar mahal untuk bisa mengabadikannya dalam kotak kaca.
Sejurus kemudian, dalam gerakan cepat, Ale meraupnya dengan dua tangan dan menjepit bagian thorax kupu-kupu itu dengan dua jari.
“Harus segera dipencet, mumpung sayapnya masih bagus. Kalau sayapnya rusak, seng bisa dijual,” ujar Ale.
Kupu-kupu yang baru saja belajar mengepakkan sayap barunya itu sekejap kemudian telah mati. Kaku dalam keabadian.
Seperti ada yang patah dalam hati, saya merasa ngilu. Begitu indah, sekaligus begitu rapuh.
Dengan hati-hati, Ale memasukkan kupu-kupu itu ke kertas papilot yang dilipat segitiga. Wadah seperti ini bisa menjaga sayap kupu-kupu awetan tidak rusak dalam waktu cukup lama.
Selain O.priamus dari penangkaran, Ongen juga mendapatkan setoran kupu-kupu dari para pemburu di Pulau Seram. Kepada saya, ia berkata memodali jaring sutra dan sembako untuk warga di sana yang mau beralih profesi menjadi pemburu saat musim kupu-kupu tiba setiap tahun. Para pemburu ini akan masuk hutan selama berminggu-minggu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin jumlah dan jenis kupu-kupu. Karena sifatnya asal tangkap, Ongen tak bisa mengatur apakah yang ditangkap para pemburu ini kupu-kupu jenis dilindungi atau tidak.
“Bisa ratusan orang dan hasilnya ribuan ekor. Jadi mereka bawa logistik, lalu masuk ke hutan jauh sekali. Saya ke sana ambil hasilnya tiap beberapa minggu sekali. Itu bawa kertas sampai 30 ribu lembar, terisi semua.”
Sambil menunggu setoran dari Pulau Seram, Ongen dan karyawan-karyawannya kadang juga berburu kupu-kupu di sekitar penangkaran. Berbeda dengan tangkap liar di hutan, aktivitas berburu di penangkaran ini terasa mudah, cenderung tanpa usaha.
“Buat apa kertas-kertas itu?” Saya menunjuk kertas-kertas biru metalik yang digantung ke beberapa ranting bunga.
“Untuk jebak (Papilio) ulysses. Karena mereka cuma mau turun kalau lihat temannya.”
Dan benar saja, sesaat kemudian, terlihat kupu-kupu P.ulysses yang ikonik dengan sayap hitam dan biru metalik terbang rendah menuju pantulan kertas-kertas itu. Dengan sigap Ongen melompat meraih gagang jaring. Ternyata, meski sedari tadi ia berkelakar bersama kami, matanya terus awas memperhatikan sekitar. Ia langsung berlari ke arah bunga, dan hap!
“Dapat!”
Seperti tadi, Ongen segera membunuh kupu-kupu itu dengan memencet thoraxnya dan memasukkannya dalam kertas papilot segitiga. Siang itu, dalam waktu kurang dari tiga jam, mereka mendapatkan belasan kupu-kupu berbagai jenis: Papilio ulysses, Troides helena, Troides hypolitus, Taeneris selene, dan beberapa jenis lainnya.
“Dikirimnya begini saja, nanti si kolektor yang akan buka sayapnya dan merangkainya ke pigura kaca,” ujar Ongen. Seperti bermain lego, batin saya.
Saya membayangkan kepuasan para kolektor saat menerima paket-paket ini di rumah mereka. Lalu seketika merasa kasihan sebab semahal apa pun harga yang telah mereka bayar, para kolektor itu tak bisa menyaksikan kupu-kupu ini saat mereka hidup dan terbang bebas memamerkan sayapnya di alam liar.
Betapa sia-sia usaha para kolektor itu; mereka mengejar keindahan dalam kotak kaca padahal ketika terbang di alamlah, kupu-kupu menunjukkan wujud keindahan paripurnanya.
Perdagangan Ilegal, Tambang, Deforestasi
Ketika kami sampai beberapa hari kemudian, Charlie, pegawai lainnya, sedang sibuk mengepak ulang kupu-kupu. Di depannya berjejer beberapa keranjang berbagai ukuran berisi kupu-kupu awetan yang baru diambil dari Pulau Seram. Semua disortir berdasarkan kualitas dan spesies. Khusus untuk O.priamus, Charlie memisahkannya ke satu wadah berbeda.
“Bisa pi liburan ke Bali ini!” ujarnya semringah sambil memamerkan sekeranjang awetan kupu-kupu O.priamus kepada saya.
Dari penangkaran di tengah hutan ini, paket berisi kupu-kupu dikemas dalam kardus-kardus karton untuk dikirim Ongen ke seorang perantara di Jakarta. Perantara inilah yang mengatur ekspor kupu-kupu ke berbagai negara. Sebagai pemasok awal, kupu-kupu dari Ongen dihargai mulai dari 0,5-200 USD per ekor, tergantung spesies. Harga ini akan naik berkali lipat ketika sudah sampai pasar internasional.
Saat ini, dari hasil penangkaran, Ongen bisa menghasilkan rata-rata 75-100 kepompong O.priamus setiap musim. Dari jumlah itu, sebagian dilepas, sebagian gagal menetas, baru sisanya ia jual. “Setahun berhasil 50 ekor di penangkaran itu saja sudah bagus,” tegas Ongen.
Di Indonesia, peraturan soal penangkapan, perdagangan, dan ekspor kupu-kupu adalah perkara rumit, tapi di saat yang sama penuh pengecualian dan menyisakan banyak celah untuk dicurangi.
Untuk bisa beroperasi, seorang penjual kupu-kupu perlu mengurus izin ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Spesies kupu-kupu dilindungi seperti O.priamus, boleh diedarkan ke pasar komersial dengan syarat merupakan hasil penangkaran. Sementara untuk spesies tak dilindungi, boleh diperjualbelikan dari hasil tangkap liar dengan rekomendasi kuota tertentu setiap tahun.
Pengusaha kupu-kupu seperti Ongen menghadapi situasi pelik terkait perizinan dan kuota tangkap itu.
Di satu sisi, secara bisnis, ia tak bisa hanya mengandalkan O.priamus hasil penangkaran untuk memperoleh profit. Maka untuk memenuhi target ekonomi, ia pun memasok kupu-kupu spesies lain dari hasil tangkap liar. Namun, kuota yang ia dapat tidak sebanding permintaan di pasar. Ia bahkan menganggap aturan dari negara memang sengaja dibuat untuk dicurangi.
“Urusnya saja habis berapa puluh juta, kalau kuota cuma 100 ekor per musim, mau biking apa? Sementara di hutan, satu musim kami bisa dapat sampai puluhan ribu ekor. Masak kita mau ekspor 100 ekor saja? Nggak masuk akal. Mending kita nggak usah bikin izin sejak awal to?”
Meski telah memiliki izin, situasi ini membuat Ongen mau tak mau juga harus masuk ke pasar gelap.
Menurutnya, permintaan pasar komersial untuk spesimen kupu-kupu selalu tinggi. Pasar daring bahkan membuat transaksi pasar gelap semakin mudah dilakukan, bisa menjangkau semua kalangan sekaligus semakin susah diidentifikasi.
Kanal media sosial Facebook yang berbasis komunitas saat ini menjadi titik temu paling ramai bagi pasar kolektor kupu-kupu dunia. Dari kanal ini juga Ongen menerima banyak sekali permintaan. Spesimen kupu-kupu dilindungi bahkan dengan mudah ditemukan di lokapasar seperti eBay atau etsy.
Di kanal-kanal daring seperti itu, spesimen legal dan ilegal menyaru. Banyak penjual menyertakan sertifikat CITES, tapi keasliannya tak ada yang bisa menjamin. Yang lain bahkan tak perlu repot menyertakan izin apa pun. Untuk distribusi pun para pegiat pasar gelap ini tak kesusahan.
“Banyak cara buat kirim, atau kalau sulit ya sudah, kasih amplop saja petugasnya,” kata Ongen.
Meski hobi niche, bisnis koleksi kupu-kupu ini tidak bisa dianggap remeh.
Jessica Speart, dalam bukunya Winged Obsession, menghabiskan waktunya menelusuri penyelundupan kupu-kupu dan menemukan bahwa industri ini diperkirakan bernilai 200 juta USD setiap tahun. Setiap tahunnya para kolektor kupu-kupu merayakan hobi mereka dalam gelaran-gelaran seperti Die Internationale Insektentauschbörse in Frankfurt am Main dan Tokyo Insect Fair & Entomodena, yang ironisnya memamerkan banyak spesies eksotik dari Indonesia.
“Saya ingin mengikuti peraturan, tapi jujur saja kalau kondisinya begini, izin itu untuk formalitas saja jatuhnya. Kalau permintaan dan stok saya melebihi kuota ekspor, ya sudah mau tidak mau sisanya saya selundup,” kata Ongen. “Kalau 1 ekor harganya Rp100 juta, nggak masalah. Cuman ini satu ekor cuma berapa? Bisnis ini nggak bisa jalan kalau lurus-lurus saja.”
Buru-buru ia menyambung, “Tapi sebenarnya saya ambil ribuan ekor pun, kalau hutannya masih ada, nggak ngaruh itu. Kalau hutan masih bagus, mereka nggak akan punah. Tapi kalau hutan habis, baru itu masalah.”
Saat ini Ongen punya kekhawatiran. Tambang galian pasir di dekat penangkarannya terus merambah kawasan hutan. Tambang yang disinyalir milik pejabat Maluku tersebut beroperasi seperti tak punya batas wilayah. Suara senso terdengar siang dan malam, membuka hutan di sepanjang aliran sungai dan menyiapkan jalan untuk eskavator. Dalam perjalanan menuju penangkaran pun terlihat area yang telah ditambang menyisakan bukit gundul dan lumpur saja.
“Lama-lama kalau hutan ini habis, nggak cuma kupu-kupu, semua juga habis. Dan kami nggak bisa protes karena itu tambang punya pejabat daerah sini,” tutur Ongen dengan nada kesal.
Pernyataan Ongen ini selaras pendapat Djunijanti Peggie, ahli lepidoptera Badan Riset dan Inovasi Nasional dan pendiri Kupunesia. Ia menyatakan ancaman terbesar terhadap populasi kupu-kupu adalah alih fungsi hutan.
“Hidup kupu-kupu sangat tergantung tumbuhan inang, karena seringkali asosiasi kupu-kupu dengan tumbuhan sangat spesifik. Hutan rusak, mereka nggak bisa bertelur. Sedangkan kalau perdagangan, karena siklus hidup kupu-kupu singkat, jadi sebetulnya diambil atau tidak, dia akan mati.”
Ia melanjutkan, “Tapi bukan berarti saya bilang aman untuk ambil membabi buta, ya. Kalau itu spesies dilindungi dan endemik, risikonya ya pelakunya berhadapan dengan regulasi.”
Tanpa membenarkan apa yang dilakukan Ongen, deforestasi dan alih fungsi lahan memang terbukti menjadi penyebab utama berkurangnya keragaman hayati di Indonesia.
Population Review mencatat Indonesia menjadi negara ke-2 dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024, di bawah Brasil. Dalam 30 tahun terakhir, penyusutan hutan Indonesia mencapai 26,5 juta hektare.
Tujuh dari 12 spesies Ornithoptera alias genus kupu-kupu sayap burung merupakan endemik di Papua. Ironisnya, selama dua dekade (2000-2022), catat Auriga Nusantara, Papua kehilangan hutan alam mencapai 688.438 ha. Tahun 2023, deforestasi di Papua Selatan bahkan yang terparah se-Indonesia, mencapai 12.640 ha.
Sejak 2022, Greenpeace Indonesia telah mengadvokasi perjuangan suku Awyu yang mencoba mempertahankan 39 ribu ha hutan adat mereka di Boven Digoel yang hendak direnggut menjadi kebun sawit. Belum lagi megaproyek food estate pemerintahan Jokowi dan Prabowo yang berencana meratakan 2 juta ha hutan dan tanah adat Papua.
Lemahnya perlindungan terhadap hutan dan biodiversitas di dalamnya menunjukkan negara gagal melihat Papua sebagai area dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, juga rimba tropis tua terluas di Asia Pasifik. Jurnal Nature mencatat bahwa dari bioma hutan Papua, dari hutan bakau hingga hutan rumput alpen tropis, tumbuh sekitar 13.634 spesies (68% endemik), 1.742 genus, dan 264 famili. Terkaya di Bumi.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukkan kupu-kupu sayap burung ke daftar merah. Bahkan spesies O.Aesacus yang endemik di Pulau Obi, kini berstatus rentan (vulnerable). Kita tahu, Pulau Obi tengah diobrak-abrik oleh aktivitas perusahaan raksasa tambang nikel. Selain mencemari laut, berdampak pada kesehatan warga, smelter nikel juga melakukan pembukaan lahan hutan.
“Kalau tambang masuk sebetulnya harus cek apakah flora-fauna di wilayah itu sudah terwakili di dokumen amdal (analisis dampak lingkungan)? Atau mungkin baru fauna-fauna besar saja? Baiknya invertebrata juga dipikirkan, apalagi yang endemik. Seperti Aesacus di Pulau Obi itu sangat disayangkan kalau sampai punah,” ujar Peggie mengomentari.
Peggie menuturkan selama ini pelibatan ilmuwan dalam proyek pembangunan di Indonesia masih kurang, khususnya yang berkaitan dengan wawasan konservasi biodiversitas di suatu kawasan. Secara umum pun ia mengakui kebutuhan atas penelitian sains terkait biodiversitas di Indonesia selalu kalah prioritas dibanding persoalan sosial, politik, dan ekonomi.
“Kalau di negara berkembang, memang selalu dianggap lebih penting mengurus manusia daripada kupu-kupu, padahal kalau negara tidak didukung sains ya repot,” ujarnya.
Walaupun tak punya data resmi, Ongen merasakan sendiri bagaimana tambang pasir di dekat penangkarannya telah berdampak pada jumlah kupu-kupu yang ia temui sehari-hari.
“Yang sudah mulai terasa ya priamus. Karena sekitar 10 tahun lalu, di pinggir-pinggir jalan pun ada. Saking banyaknya, saat itu harganya murah,” ujar Ongen.
Jasa Ekologis dan Ketiadaan Data
Sudah hampir setahun Daawia tak melihat ada O.priamus yang datang ke pekarangan rumahnya di Kabupaten Keerom, Papua.
“Aneh ini, dulu mereka datang setiap pagi untuk taruh telur, tapi kok sekarang nggak ada, padahal ini musimnya. Kenapa, ya?” Daawia bicara seperti bermonolog, tangannya lincah memeriksa daun Aristolochia yang menjalar di tongkat-tongkat bambu.
Daawia merupakan dosen biologi di Universitas Cendrawasih. Ia juga adalah satu dari sedikit ahli kupu-kupu di Indonesia. Sejak 2012, ia mengubah pekarangan rumahnya menjadi taman konservasi kupu-kupu sayap burung. Rumahnya, berjarak sekitar satu jam dari Pegunungan Cycloop di Jayapura, masih berada di area persebaran Ornithoptera. Melihat banyak hutan yang berubah menjadi kebun sawit, Daawia tergerak melakukan konservasi.
“Proyek pribadi aja sih ini. Tahun 2012 saya sakit agak parah dan harus rehat dari kampus. Saya pikir, kalau masih diberi kesempatan hidup, saya mau rawat kupu-kupu. Akhirnya tanam bunga, banyak kupu-kupu datang, saya sibuk terus lupa sama penyakitnya, malah sembuh sampai sekarang,” ujarnya riang.
Setiap musim, ribuan kupu-kupu sayap burung datang ke pekarangan rumah Daawia. Paling banyak adalah O.priamus dan Troides helena; mereka bersaing untuk bertelur di daun Aristolochia.
Kecintaan Daawia pada kupu-kupu diawali pada 1994 saat ia baru menjadi dosen dan berkenalan dengan Bruder Henk Van Mastrigt, biarawan Belanda dan entomologist amatir yang tinggal di Papua. Selama masa tugasnya di Papua, Henk melakukan banyak perjalanan sambil mengumpulkan spesimen serangga dari berbagai daerah di Papua.
Kini 72 ribu spesimen serangga yang didominasi kupu-kupu tersimpan dalam kotak-kotak kaca di Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP) Fakultas Biologi Universitas Cendrawasih. Koleksi ini digadang-gadang merupakan yang terbesar dan terlengkap di Asia Pasifik. Daawia saat ini adalah pengelolanya.
“Bruder Henk membuka mata saya ke dunia kupu-kupu. Bahwa Papua ini adalah hotspot biodiversity dunia. Semua taksa di sini the richest in the world. Tapi serangga di sini masih sangat kurang diteliti,” cerita Daawia.
Sejak itu Daawia terisap dalam dunia keilmuan kupu-kupu. Baginya Papua adalah laboratorium hidup yang dijejali jutaan misteri yang belum disingkap. Menurutnya, meski mempunyai jasa ekologi yang amat besar, faktanya serangga tak cukup mendapat perhatian.
“Sedihnya, dalam budaya pun, kita cenderung hanya memperhatikan mamalia besar. Yang dijadikan totem-totem pun juga hewan-hewan yang manfaatnya terlihat langsung, padahal kalau kita sadar, serangga itu krusial sekali,” ia terdiam sejenak. “Jadi secara sains underrated, secara budaya dia underrated juga. Sedih ya? Saya sedih beneran, lho.”
Dalam hal keanekaragaman, jumlah serangga tak tertandingi spesies lain.
Mengutip catatan IUCN, dari sekitar 1,5 juta spesies yang telah terdokumentasi di dunia, sebanyak 1.053.578 di antaranya adalah serangga. Ini berarti serangga membentuk sekitar 70% persentase seluruh hewan di bumi. Untuk kupu-kupu sendiri, dari sekitar 18.000 spesies di seluruh dunia, Indonesia menyumbang sekitar 2.400 spesies. Jumlah ini pun masih mungkin bertambah karena para ilmuwan meyakini banyak serangga di area hutan tropis yang belum diidentifikasi.
Kupu-kupu dan serangga lain memegang peran paling krusial (baik secara langsung maupun tidak langsung) dalam membentuk jaring kehidupan (web of life) karena peran sentral mereka dalam rantai makanan di alam liar.
Hewan-hewan seperti burung, reptil, dan mamalia mengandalkan serangga sebagai sumber pangan. Termasuk manusia, yang memakan sekitar 2.000 jenis serangga. Di alam, sekitar 80% tumbuhan liar mengandalkan serangga sebagai polinator. Beberapa bunga bahkan punya asosiasi yang sangat spesifik dan berevolusi mengikuti bentuk tubuh serangga. Misalnya, bunga soka yang berbentuk tabung cuma bisa dipolinasi oleh kupu-kupu karena serangga lain tidak mempunyai probosis yang cukup panjang.
Kita tahu, jaring kehidupan disusun dari hubungan rumit yang saling bergantung antara satu spesies dengan spesies lain. Semua makhluk, tak peduli kecil atau besar, punya peran setara di hadapan hukum alam. Hilangnya satu spesies akan berdampak atau bahkan menghancurkan kehidupan seluruh spesies lain.
“Everything is so fragile. Mungkin kalau orang tidak paham akan meremehkan, ‘Apa sih, kupu-kupu saja.’ Tapi, kalau kupu-kupu hilang, umur manusia di bumi tinggal empat tahun. Kita akan gagal panen, burung-burung pemakan kupu-kupu punah, diikuti kepunahan predator lain, terus sampai top predator, seluruh piramidanya akan ikut hancur. Termasuk kita, manusia.”
“Tapi ini, kan, yang ada di otaknya peneliti, ya. Di otaknya pengambil kebijakan, beda lagi,” Daawia tersenyum kecut.
Penjelasan soal kepunahan berantai ini membuat saya ingat terma populer Efek Kupu-Kupu yang biasa dipakai dalam cerita-cerita fiksi. Sayangnya, laporan berbagai pihak membuktikan The Butterfly Effect kian melewati maknanya sebagai sekadar metafora.
“Yes, for us, it could be very real,” ujar Daawia.
Laporan “The Collapse of Insect” yang dirilis Reuters pada 2022 mengungkap bahwa kita telah kehilangan sekitar 5-10% spesies serangga dalam 150 tahun terakhir. Ini sama dengan 250-500 ribu spesies. Penurunan populasi ini tidak bisa dihubungkan dengan satu alasan tunggal. Faktanya, serangga yang mayoritas berukuran kecil itu harus berhadapan dengan deforestasi, alih fungsi lahan, pertanian industrial, pestisida, polusi cahaya, perburuan ilegal, hingga ancaman krisis iklim yang terus memburuk. Penurunan ini diprediksi terus berlanjut meski dengan perkiraan bervariasi karena penelitian yang kurang.
Hingga 2010, IUCN mencatat hampir sepertiga populasi kupu-kupu asli Eropa menurun signifikan. Di Meksiko, populasi kupu-kupu raja (monarch butterfly) berkurang hingga 26% karena kenaikan suhu yang dipengaruhi krisis iklim.
Heron Yando, mahasiswa biologi yang membantu Daawia mengelola laboratorium dan taman konservasi, membandingkan keanekaragaman kupu-kupu nymphalidae di kebun sawit dan hutan sekunder untuk mengetahui seperti apa dampak konversi hutan ke kebun sawit.
Hasilnya, ia menemukan lebih banyak spesies di hutan sekunder meski lebih sedikit jumlah populasi tiap jenisnya. Sebaliknya, sedikit spesies di kebun sawit tapi banyak populasinya.
“Kalau dari sisi keberlanjutan, lebih bagus populasi sedikit tapi beraneka ragam, tandanya di hutan kestabilan ekologisnya lebih bagus,” ujarnya.
“Kalau belajar ekologi, syarat utama keberlanjutan adalah menjaga keberagaman, jadi tidak ada yang lebih dominan,” tambahnya.
Heron mengerjakan riset tentang topik ini untuk tesis sarjananya. Kelak ia ingin meneruskan kuliah di luar negeri supaya bisa lebih banyak meneliti serangga Papua.
Dalam satu dekade terakhir, bumi terus mengalami kenaikan suhu di darat dan laut secara signifikan.
Tahun 2024 kita memecahkan rekor baru sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, menurut EU C3S (Copernicus Climate Change Service). Suhu rata-rata global telah melewati ambang 1,5 derajat celsius di atas suhu pra-industri tahun 1850-1900. Studi di jurnal PNAS menulis jika suhu terus naik, kita akan kehilangan satu per tiga hewan dan tumbuhan dalam 50 tahun ke depan.
Meski belum punya data saintifik, Daawia menduga berkurangnya O. priamus ke pekarangannya berkaitan dengan fakta rumit ini. “Seharusnya kalau sudah ada database sebelum krisis iklim, tinggal kita bandingkan, tapi sekarang kita mau compare dengan apa? Datanya kita nggak punya.” Ada nuansa pasrah dalam nada bicara Daawia.
Ia menambahkan, “Bisa saja sudah banyak spesies yang hilang duluan sebelum sempat kita teliti. Ketiadaan data ini membuat kita tidak tahu kita ini punya apa dan kehilangan apa.”
Di tengah gempuran berita muram ini, merawat taman konservasi adalah bentuk usahanya merawat harapan. “Kupu-kupu tidak akan punah selama ekosistemnya terjaga, jadi saya fokus memperbanyak Aristolochia saja. Dengan begitu otomatis sudah menjaga kupu-kupu, menjaga burung-burung dan seterusnya, karena semua, kan, saling terkait.”
KARENA tak kunjung ada O.priamus yang datang ke pekarangan rumah, Daawia mengajak kami keliling ke beberapa titik hutan di kaki Pegunungan Cycloop. Setiap pagi selama tujuh hari kami masuk keluar hutan, menyusuri jalur-jalur tepi sungai yang diingat Daawia sebagai habitat kupu-kupu sayap burung. Kami bertemu banyak jenis kupu-kupu, tapi tak ada satu pun O.priamus.
“Logikanya, kalau O.priamus yang adalah the most common green birdwing butterfly saja sudah jarang, apalagi yang lain, kan? Saya harus cari indukan supaya yang di sekitar rumah banyak kembali.”
“Kalau itu Graphium!”
Daawia tiba-tiba berseru. Hanya butuh waktu sepersekian detik baginya mengenali tiap spesies kupu-kupu. Sebagaimana kita mengenali aktor atau musisi di televisi, semua kupu-kupu populer bagi Daawia. Di rumahnya, motif ventilasi dinding dan taplak mejanya pun bergambar kupu-kupu. “Graphium terbangnya liar nggak beraturan. Kalau O.priamus, strong flyer, suka patroli karena teritorial. Setiap kupu-kupu itu tingkah lakunya beda-beda. Cantik, ya?”
Ia menghela napas, “How come we destroy it very easily?”
Di hari ketujuh, satu hari sebelum kami harus terbang kembali ke Pulau Jawa, akhirnya kami bertemu satu.
Saat itu hujan baru saja reda. Mendung yang menyingkir memungkinkan pilar-pilar sinar matahari menghangatkan hutan lagi. Tonggeret yang sebelumnya sunyi, mulai ramai kembali seperti tengah mengomandoi orkestra hutan. Kami melihatnya terbang meluncur turun di udara, barangkali mencari sirih hutan untuk bertelur. Betina, warnanya coklat, bahkan lebih besar dari yang jantan.
Hap!
Kami menangkapnya dengan jaring sutra. Dengan mata berbinar-binar, Daawia memasukkannya dalam kandang akrilik cukup besar, memberinya air madu, memastikan ia hidup sampai masuk ke kandang di kebunnya. Bagi Daawia, kupu-kupu O.priamus betina itu membawa harapan bahwa populasi kupu-kupu sayap burung masih ada.
Sepanjang jalan ia tak henti-henti bergumam. Semoga kupu-kupu ini mau bertelur di daun Aristolochia yang ia tanam.
“Setelah jadi kupu-kupu, lalu diapakan, Bu?” tanya saya.
“Dilepas. Kalau kita betul-betul cinta dengan sesuatu, kita lepaskan dia. Let it go and grow.” Matanya beralih dari kupu-kupu dalam kotak. “Eh, tapi kayaknya ke semua hal memang harus begitu, ya?”
Ongen, Ale, dan Charlie adalah nama samaran atas permintaan mereka demi alasan keselamatan.