Pada 3 September 2021 siang, khotbah Jumat seorang pemuka agama di Sintang menggelorakan semangat ratusan orang bergerak dari Kota Sintang menuju Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Massa ingin masjid itu roboh dan anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghentikan aktivitas keagamaan.
Selepas salat Jumat, ratusan orang menumpang kendaraan tiba ke lokasi. Pintu dan jendela rumah-rumah yang didiami 76 jiwa anggota JAI di Balai Harapan tertutup rapat.
Polemik keberadaan Masjid Miftahul Huda dimulai pada 2020. Kala itu anggota JAI ingin membangun masjid di atas tanah milik Karsono, Ketua Cabang JAI di Balai Harapan. Pembangunan itu dilakukan karena kondisi musala tempat beribadah anggota JAI hampir roboh.
Beberapa kelompok masyarakat di Sintang menolak pembangunan masjid tersebut. terjadi pro-kontra. Pada 12-13 Agustus 2021, masyarakat mengatasnamakan Aliansi Umat Islam menyampaikan ultimatum selama tiga hari kepada pemerintah Kabupaten Sintang agar menindak tegas Ahmadiyah.
Pada 13 Agustus 2021, Plt. Bupati Sintang menerbitkan surat tindak lanjut sikap kelompok Aliansi Umat Islam itu. Pada hari yang sama, Aliansi Umat Islam sepakat dengan sikap pemerintah Kabupaten Sintang untuk menyegel masjid. Keesokan harinya, Kesbangpol Sintang menyegel masjid. Tapi, penyegelan ini dianggap sikap lunak, maka terjadilah pengerahan massa untuk merobohkan masjid.
Ketika massa sudah berkumpul, dari balik jendela, perempuan dan anak-anak anggota jemaat Ahmadiyah mengintip dengan perasaan was-was. Ratih, bukan nama sebenarnya, tak mengindahkan imbauan aparat agar tidak mendekat ke lokasi masjid. Ia bersama anak bungsunya dan menantunya sengaja berdiri di luar rumah, menyaksikan peristiwa dari jarak dekat.
Aparat mencoba menahan para laki-laki anggota JAI agar tak berhadap-hadapan dengan massa. Aparat meminta mereka mengalah dengan alasan supaya situasi “kondusif.”
Ketika massa datang, polisi dan TNI mencoba berdialog dengan orang-orang itu. Tapi, kemarahan mereka sudah tak terbendung. Aparat yang sudah dipersenjatai atribut anti huru-hara, nyatanya hanya menyaksikan aksi perusakan masjid.
“Kenapa dirusak? Itu, kan, rumah Allah,” teriak Ratih. Spontan ia bergerak maju ingin menghalau para perusak masjid, tapi ditarik oleh anggota JAI lainnya.
Dalam situasi memanas, Ratih tersentak menyaksikan aksi seorang tetangganya turut merusak masjid. “Tetangga saya dari rumahnya lari lewat jalan belakang ke kebun karet dekat masjid, lalu merusak penampungan air,” ujarnya.
Lelaki paruh baya tetangga Ratih tersebut menjadi satu di antara 22 orang terdakwa penghasut dan pelaku perusakan masjid. Dari seluruh terdakwa, ada 10 warga Desa Balai Harapan, sedangkan terdakwa lain warga Kota Sintang.
Pada persidangan di Pengadilan Negeri Pontianak, 30 Desember 2021, jaksa menuntut para pelaku tindak pidana hasutan dan kekerasan, dengan pidana penjara selama 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. Kemudian, pada 6 Januari 2022, majelis hakim memvonis para terdakwa dengan hukuman penjara 4 bulan 15 hari dipotong masa tahanan.
Sepulangnya dari tahanan, tetangga Ratih itu hingga kini tak mau bertegur sapa dengan anggota JAI di Balai Harapan. Saat disambangi di kediamannya, jendela rumah ditutup tirai, meski lelaki itu dan keluarganya beraktivitas di dalam rumah. “Saya sudah lama tinggal di sini. Dulu sebelum ada Ahmadiyah di sini, kami tak ada masalah,” katanya.
Pria itu memilih menutup komunikasi dengan anggota JAI. Dia sangat jarang ke luar rumah. “Hanya istrinya yang masih mau menegur dan cucunya masih main bareng anak-anak sini,” ujar Ratih.
Menyisakan Duka dan Trauma
Tiap kali mengingatnya, Ratih mendadak sedih, lalu menangis. Ia mengingat orang-orang ketakutan. Anaknya dan anak-anak lain menangis menyaksikan kebrutalan perusak masjid.
Karsono, Ketua Cabang JAI Desa Balai Harapan, meyakini ada dampak psikologis terhadap warga JAI yang menyaksikan kekerasan itu terjadi. Ia pun mengalaminya.
Pada 2005, tak jauh dari lokasi perusakan masjid, Karsono pernah mengalami peristiwa traumatik. Dia dan beberapa temannya bersama mubalig diserang sekelompok orang. Kepala mubalig Ahmadiyah itu dihantam kayu balok. Pelaku kekerasan tak dihukum.
Di tengah peristiwa traumatik, Karsono harus tetap menjalankan tanggung jawab untuk memperhatikan nasib anggota JAI, juga berdialog dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta aparat. Dia mengakui kondisi psikologisnya terpengaruh rentetan masalah berkepanjangan.
“Kadang saya kayak nge-blank ketika ditanya orang. Kayak orang bengong. Kadang lupa sudah wudu atau belum. Kalau ada surat dari Pemda, hati rasanya kayak disayat, seperti disilet,” ujarnya.
Tindak kekerasan yang menguras emosi berdampak kesehatan fisik seorang saksi.
Seorang istri menceritakan suaminya mengalami kram kepala ketika mendapat kabar soal upaya penyelesaian masalah penyerangan dan perusakan masjid. Suaminya satu di antara beberapa orang yang dimintai keterangan oleh polisi dan bersaksi di Pengadilan Negeri Pontianak—enam jam perjalanan darat dari Sintang ke Pontianak. “Dia orangnya pendiam. Saya hanya bisa bantu sebisanya,” ujar si istri.
Rita, bukan nama sebenarnya, seorang pengurus JAI, menyatakan setelah enam bulan berlalu, anggota JAI mencoba menenangkan kondisi psikologis. Ia menceritakan perkataan seorang ibu anggota JAI Balai Harapan: “Ada satu anggota yang bilang dulu terasa sangat sedih. Diia masih terngiang-ngiang suara sepatu Satpol PP. Waktu kejadian takut, tapi bingung mau lari ke mana.”
Pengurus nasional JAI pernah mengadakan pertemuan online dengan ibu-ibu anggota JAI Balai Harapan. “Waktu diminta keluarkan perasaan, ada dua orang yang bilang tidak sanggup ngomong. Kalau ngomong malah jadinya nangis,” tutur Rita.
Beberapa upaya dilakukan pengurus JAI untuk mengurangi kemungkinan trauma. Pada saat pemerintah Kabupaten Sintang sedang dalam proses eksekusi penurunan kubah masjid, ibu-ibu dan anak-anak dibawa ke Taman Kedah. Itu dilakukan agar, ibu-ibu tak menyaksikan langsung kejadian dan tidak tambah tertekan.
“Jemaat sedang berada di Jalur 8, ada pelatihan online membuat mie. Ibu-ibu dibiarkan mengikuti acara. Reaksi mereka biasa, tetap coba ditenangkan,” ujar Rita.
Pengurus JAI pusat tiap beberapa bulan, secara regular menggelar webinar dengan tema tentang pengelolaan stress. “Ada tenaga ahli yang menjadi narasumber di acara tersebut. Peserta bisa mengontak narasumber,” tutur Rita.
Menurut dia saat ini ibu-ibu menginginkan kegiatan rekreasi. Mereka ingin sejenak ke luar dan merasakan suasana baru serta relaksasi, selepas peristiwa menyedihkan yang dialami.
Anak-Anak Terdampak
Suasana kelabu peristiwa penyerangan dan perusakan masjid juga dirasakan oleh anak-anak. Anak bungsu Karsono yang baru berusia enam tahun, menyaksikan bagaimana aparat berdatangan ke kampung mereka. Ia hanya melihat dari dalam rumah dan sudah ketakutan.
“Anak saya teriak ada polisi dan tentara. Kalau saat pencopotan kubah masjid, perempuan dan anak-anak dibawa ke taman dekat sini. Jadi mereka tidak lihat langsung,” cerita Karsono.
Selain merasa ketakutan dengan kedatangan banyak aparat ke kampung mereka, anak-anak Karsono juga mengalami stigma dan diskriminasi oleh kerabatnya. Mereka tak lagi disapa oleh pamannya, bahkan ketika anak-anak Karsono menyapa lebih dahulu, tidak dijawab oleh sang paman.
Beberapa anak anggota JAI juga mengalami diskriminasi saat bermain. Teman-temannya mengucapkan kata-kata tidak pantas dan menjauh dengan alasan karena mereka adalah orang Ahmadiyah yang dianggap berbeda.
Arif Afandi, mubalig JAI di Desa Balai Harapan, mengkhawatirkan peristiwa perusakan masjid akan menumbuhkan pandangan negatif dan trauma pada anak-anak. “Bisa jadi mereka di kepalanya merekam kejadian buruk ini, lalu tidak ada yang mau jadi aparat. Bisa jadi dengar dengungan takbir, lalu merasa ketakutan,” katanya.
Dia berusaha menguatkan anak-anak dengan memberi pemahaman dari sisi agama. Arif optimistis, dengan bimbingan agama dari pemuka agama dan orang tua, anak-anak tersebut tidak tumbuh menjadi sosok pendendam. Dia terus mengajak dan mencontohkan teladan, untuk memaafkan serta berbuat baik meski diperlakukan buruk oleh orang lain.
Di sisi lain, Arif menyadari bahwa penguatan keagamaan kemungkinan tidaklah cukup dalam memulihkan trauma pada anak-anak dan anggota JAI di Desa Balai Harapan. Akan lebih baik jika mereka mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli untuk pemulihan psikologis. “Kami bukan ahli yang bisa menangani trauma,” tambahnya.
Pentingnya pendampingan psikologis yang tepat memang diperlukan korban tindak kekerasan. Apabila tidak dipulihkan, nantinya dalam jangka panjang akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup orang tersebut.
“Dari gambaran kondisi yang disampaikan, ketika ini tidak tertangani, maka akan berdampak kepada well being-nya dia, kesejahteraan psikologisnya dia. Ini harus ditangani secara lebih serius oleh psikolog klinis atau psikiater, sesuai dengan kebutuhan korban dan dampaknya,” kata Nathanael E.J. Sumampouw, Psikolog Mitra di Yayasan Pulih, Dosen Psikologi Forensik dan Psikologi Klinis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Selasa, 15 Maret 2022.
Menurut dia, kejadian yang dialami anggota JAI di Desa Balai Harapan merupakan peristiwa traumatik, sehingga menimbulkan suatu reaksi tertentu. Misalnya pada situasi wajar atau biasa saja, justru mereka bereaksi menjadi sangat menghindar dan takut luar biasa, mengalami mimpi buruk, atau merasa peristiwa itu seperti film yang diputar kembali.
Sampai batas tertentu, reaksi ini disebut wajar, karena individu atau kelompok itu baru saja mengalami peristiwa traumatik. Namun seiring berjalannya waktu, ketika tidak ada pemulihan dan tidak ada faktor socio support, tidak ada lingkungan sebagai penyedia dukungan psikologis awal (DPA), maka masalahnya akan menjadi serius dan berkelanjutan.
“Kelihatannya ini yang mereka alami, karena peristiwanya pada September 2021 (enam bulan berlalu) tapi masih ada kesedihan yang dirasakan dan lainnya,” ujar Nael, panggilan akrabnya.
Dia memaparkan beragam dampak psikologis yang pada umumnya dirasakan korban setelah mengalami peristiwa traumatis. “Kalau diibaratkan piramida (bertingkat dari banyak hingga sedikit), jumlahnya 100 persen pasti sedih dan bingung, kenapa saya diperlakukan seperti ini,” tuturnya.
Kemudian menurut Nael dalam jumlah yang lebih sedikit, ada korban yang merasakan kesedihan sangat mendalam, karena disebabkan berbagai macam faktor eksternal dan internal. Ada pula korban yang mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan lain.
“Kalau yang kadang mengalami kram kepala, artinya ada reaksi fisik. Tapi seringkali itu ada elemen psikologisnya. Bisa dikatakan reaksi psikosomatik. Bisa jadi mengalami keluhan-keluhan fisik, yang kemudian ketika diperiksa sebenarnya fisiknya baik-baik saja,” kata Nael.
Perekonomian Terganggu
Stigma dan diskriminasi dari masyarakat, berdampak terhadap perekonomian anggota JAI. Sejak semakin banyak warga tahu bahwa Ratih adalah anggota JAI dan terjadi penyerangan masjid, ada beberapa konsumennya mendadak berhenti membeli sayur yang biasa ia jajakan keliling antar-kampung.
Hal serupa diceritakan Ratna, bukan nama sebenarnya, yang membuka toko kelontong di rumahnya. “Ada yang bilang, jangan mau belanja ke tempat orang Ahmadiyah.” Sedangkan suami Ratna selama berbulan-bulan tak bisa fokus keliling berdagang sayuran. Waktu dan tenaga suaminya tersita demi memenuhi undangan pertemuan dengan pemerintah, aparat, dan lain-lain.
Ratna terpaksa berutang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu ia bingung bagaimana caranya melunasi Kredit Usaha Rakyat. “Barusan ambil KUR, eh lalu kejadian. Jadi sampai sekarang belum bayar.”
Kebingungan mencari alternatif pendapatan juga disampaikan Rani, bukan nama sebenarnya. Dia mengatakan sulit bagi mereka menjual aneka makanan. “Susah memasarkannya. Karena dibilangnya buatan orang Ahmadiyah, lalu orang tak mau beli.”
Menurut Rani, mereka sangat membutuhkan bantuan langsung tunai. Selama ini tak pernah mendapat BLT. Setelah perusakan masjid, satu-satunya bantuan yang diperoleh dari pemerintah desa berupa paket sembako.
“Yang paling dibutuhkan adalah gabungan pemulihan psikologis dan pemulihan ekonomi,” tambah Arif.
Sementara pemerintah Kabupaten Sintang mengatakan tak punya duit untuk program bantuan terhadap warga Ahmadiyah. “Tidak ada dana,” kata Bupati Sintang Jarot Winarno. Ia menolak ketika dibandingkan keseriusan pemerintah dalam menganggarkan pengamanan perusakan masjid, yang kabarnya dana mencapai Rp1 miliar. “Ndak (tidak benar). Anggaran keamanan tidak sampai satu miliar,” katanya.
Bupati menyatakan sudah berdialog dengan anggota JAI Desa Balai Harapan, saat Pemkab mencopot kubah masjid dan pengeras suara, untuk selanjutnya Masjid Miftahul Huda dialihfungsikan menjadi rumah tinggal. “Mereka sudah curhat. Saya akan usahakan pendampingan oleh psikolog. Itu harus koordinasi dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Khusus mengenai pemulihan ekonomi anggota JAI, bupati menyatakan tidak perlu dilakukan. “Situasi sudah kondusif. Sudah aman. Sudah baik-baik.”
Pernyataan bupati berbanding terbalik dengan pernyataan anggota JAI di Desa Balai Harapan. “Kami tidak baik-baik saja,” tegas Ratna.
Pemerintah Harus Penuhi Kewajiban
Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2012 pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan upaya pemulihan pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur. Ayat (2) upaya pemulihan pascakonflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rekonsiliasi; b. rehabilitasi; dan c. rekonstruksi.
Pasal 38 ayat (2) berbunyi bahwa pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemulihan psikologis korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan; b. pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban;
“Karena itu merupakan mandat dalam Undang-undang, pemerintah terikat pada kewajiban untuk melaksanakannya. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah, termasuk pemerintah daerah, selain mengalokasikan anggaran untuk melakukan rehabilitasi yang meliputi pemulihan psikologis korban dan perlindungan kelompok rentan, serta pemulihan sosial ekonomi budaya dan Kamtib,” kata Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, Rabu, 16 Maret 2022.
Kepada pemerintah pusat, Halili mengingatkan bahwa di Sintang ada sekelompok warga negara Indonesia yang menjadi korban dalam konflik sosial, diakibatkan persekusi oleh sekelompok warga intoleran dan pembiaran oleh pemerintah daerah serta aparat keamanan daerah. “Terjadinya konflik dan viktimisasi kepada kelompok minoritas di Sintang, jelas merupakan kegagalan negara. Termasuk pemerintah pusat dan daerah,” tegasnya.
Sekarang, menurut Halili pemerintah pusat mesti melakukan tindakan memadai untuk memulihkan hak-hak konstitusional, termasuk hak atas pemulihan psikologis dan sosial ekonomi, kepada anggota JAI Desa Balai Harapan dan Sintang.
Halili menilai Gubernur Kalbar, Sutarmidji, dan Bupati Sintang, Jarot Winarno, telah melakukan pelanggaran konstitusional. Keduanya gagal melakukan kewajiban untuk melindungi jaminan hak dalan UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2). Gubernur dan bupati tidak boleh melakukan pengabaian atas dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran oleh pemerintah daerah.
“Pertobatan konstitusional mesti dilakukan oleh gubernur, bupati, dan jajarannya, dengan menunaikan kewajiban mereka untuk melakukan pemulihan atas hak-hak korban,” seru Halili.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan akan mendorong pemerintah daerah melakukan pemulihan kepada anggota JAI. “Penyelesaian sengketa KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan) harus dilakukan secara komprehensif. Bukan hanya penyelesaian kasusnya secara hukum dan sosial kemasyarakatan saja, tetapi juga soal pemulihan trauma,” ujarnya, Rabu, 16 Maret 2022.
Beka mengingatkan negara harus memastikan langkah-langkah yang diambil bisa menyelesaikan sampai akar masalah dan juga menyangkut berbagai aspek, termasuk pemenuhan hak atas pemulihan korban sebagai bagian dari hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara.
Sayangnya, Beka tak bisa merujuk praktik contoh baik pemerintah pusat dan daerah yang sudah serius menjalankan upaya-upaya pemulihan korban sengketa KBB. “Sependek pengetahuan saya, belum ada pemerintah daerah yang serius dalam melakukan upaya pemulihan korban sengketa KBB. Kalau konflik sosial banyak yang melakukan,” ujarnya.
Halili menyebutkan, pemulihan pasca konflik Aceh, Ambon, Poso, Sampit dan lain sebagainya bisa jadi contoh praktik baik keseriusan pemerintah pusat dan daerah. “Mestinya pemulihan korban kasus Sintang mendapatkan perlakuan yang sama. Namun memang faktanya sejak awal memang berbeda. Mungkin pemerintah dan pemerintah daerah terlalu berpikir normatif, tentang penetapan kasus Sintang sebagai konflik sosial atau bukan,” papar Halili.
Dalam Bab I Pasal 1 UU nomor 7 tahun 2012, tertera bahwa konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
“Peristiwa di Sintang sudah termasuk korban konflik sosial, di mana pemerintah pusat dan daerah terikat pada kewajiban untuk melakukan pemulihan,” kata Halili.
Dengan kondisi saat ini yang tidak ada penganggaran dari Pemkab, Halili berpendapat bahwa masyarakat dan NGO (Non-Government Organization) bisa melakukan inisiatif untuk mendampingi pemulihan psikologis korban dengan prakarsa-prakarsa swadaya masyarakat. “Termasuk dengan mengkondisikan pemerintah dan atau pemerintah daerah, agar tidak boleh tidak terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pemulihan psikologis dan sosial ekonomi korban,” lanjutnya.
Selain itu menurut dia masyarakat dan NGO sebenarnya dapat “memaksa” pemerintah pusat untuk mengalokasikan program dan anggaran pemulihan. Caranya melalui upaya menerbitkan petisi atau gugatan class action, agar pemerintah dan pemerintah daerah menunaikan kewajibannya, untuk memulihkan korban dan kelompok rentan dalam kasus JAI Sintang.