PERINGATAN: Artikel ini memuat deskripsi kekerasan seksual
Moch Subchi Azal Tsani, dikenal Bechi, divonis 7 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis, 17 November 2022. Majelis hakim menyatakan Bechi “terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan.” Dakwaan terhadap Bechi adalah pemerkosaan dengan paksaan atau di bawah ancaman kekerasan serta pencabulan terhadap santri di bawah umur.
Meski begitu, vonis 7 tahun tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa 16 tahun penjara terhadap Bechi.
Majelis hakim, terdiri dari Khadwanto, Sutrisno, dan Titik Budi Winarti, beralasan jumlah hukuman tersebut berbasis pertimbangan “alat bukti seperti keterangan saksi, saksi ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.” Vonis itu diambil melalui musyawarah dan mendengar pendapat hukum dari masing-masing hakim anggota.
“Yang pada pokoknya antara hakim anggota satu dan hakim anggota lain tidak ada perbedaan pendapat, dan pendapat yang telah dirangkum dan disusun sebagaimana bunyi putusan ini,” ujar hakim Sutrisno.
Sidang ke-29 mengadili Bechi digelar secara terbuka dan disiarkan langsung oleh salah satu media televisi berita nasional. Petugas mempersilahkan puluhan wartawan memasuki Ruang Sidang Cakra dan membatasi jumlah masyarakat umum.
Sementara di luar gedung pengadilan, ratusan pendukung putra kiai Pondok Pesantren Shiddiqiyyah memadati jalan, sempat memaksa masuk gedung tapi dihalau polisi karena keterbatasan ruang. Massa terdiri pria dewasa, ibu-ibu, remaja laki-laki dan perempuan ini, berdasarkan pantauan media, menuntut pembebasan “Mas Bechi.” Ada yang mengenakan pakaian serba hitam, ada yang memakai ikat kepala merah bertuliskan ‘PCTA Indonesia’—akronim Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia, organisasi lintas agama yang diorganisir Shiddiqiyyah. Organisasi ini beberapa kali menggelar demo pembebasan Bechi saat persidangan.
Vonis penjara bagi Bechi bisa dianggap terbilang ringan. Namun, ini menjadi awal dari upaya para korban yang berani bersuara dan telah mengumpulkan kesaksian atas kejahatannya sejak 2017. Suara para korban terus-menerus dibungkam, diintimidasi, dianaya, dirisak di media sosial, dan diinvalidasi oleh jemaah Shiddiqiyyah.
Butuh dua tahun Bechi akhirnya dihukum penjara sejak ditetapkan tersangka oleh Polres Jombang pada 12 November 2019. Karena terus-menerus mangkir dari panggilan polisi, kasusnya ditangani Polda Jawa Timur pada 15 Januari 2020. Pada 13 Januari 2022, Bechi ditetapkan sebagai buron. Penangkapannya pada 7 Juli 2022 di Ponpes Shiddiqiyyah diwarnai aksi pengadangan ratusan pembelanya. Butuh 18 jam polisi mendapati Bechi, yang diserahkan pada tengah malam oleh orangtuanya, Shofwatul Ummah dan Kiai Muchtar Mu’thi.
Setelahnya, Bechi dibawa ke Rumah Tahanan Kelas I Surabaya di Medaeng, Sidoarjo. Sehari setelah penangkapan, berkas perkara Bechi didaftarkan ke Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor 1361/Pid.B/2022/PN Sby.
Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, dan Kuasa Hukum
Sidang dipimpin majelis hakim Khadwanto, Sutrisno, dan Titik Budi Winarti. Ada delapan jaksa penuntut umum, yaitu Achmad Jaya, Aldi Demas Akira, Anjas Mega Lestari, Dr. Endang Tirtana, Rakhmawati Utami, Rista Erna Soelistiowati, Sofyan, dan Tengku Firdaus.
Sementara pihak Bechi menyiapkan sepuluh pengacara. Mereka adalah Abdul Basit, Agus Sugihono, Andi Syamsul Bahri, Dion Leonardo KS, Diyah Hartati Ningsih, Finarto, Fuad Abdullah, I Gede Pasek Suardika, Rio Ramabaskara, dan Riyadi Slamet.
I Gede Pasek Suardika, yang memimpin tim pengacara Bechi, merupakan eks anggota DPR (2009-2014) dan anggota DPD (2014-2019). Karier politiknya bermula dari Partai Demokrat, lalu ke Partai Hanura, kemudian mendirikan Partai Kebangkitan Nusantara, disebut-sebut sebagai “partai yang didirikan para loyalis Anas Urbaningrum,” eks Ketua Umum Partai Demokrat yang korupsi proyek Hambalang.
Pengamanan Sidang
Persidangan Bechi dijaga ketat polisi. Setiap pukul 07.00, deretan mobil polisi, bus polisi, hingga kendaraan taktis polisi berjaga-jaga di sekitar gedung PN Surabaya. Dari mobil dan bus itu, turun satu per satu para personel polisi dari Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya dan Korps Brigade Mobil Polda Jawa Timur.
Sekira pukul 07.40, 405 aparat gabungan itu melakukan apel pagi, lalu berjaga-jaga di halaman PN Surabaya, di depan Ruang Sidang Cakra, serta warung-warung di luar gedung. Penjagaan ketat itu dilakukan untuk mengantisipasi kedatangan massa pembela Bechi dari Shiddiqiyyah.
Memahami Alur Persidangan
Persidangan Bechi digelar sejak 18 Juli 2022. Semula sekali dalam seminggu, tapi kemudian maraton tiga kali dalam seminggu saat agenda menghadirkan para saksi selama pertengahan Agustus hingga akhir September, lantas kembali seminggu sekali selama Oktober. Sidang jaksa menuntut 16 tahun penjara untuk Bechi digelar pada 10 Oktober. Ada jeda dua pekan sebelum sidang vonis pada November. Totalnya, sidang digelar 29 kali selama 14 pekan, dari 18 Juli hingga 17 November.
Jaksa penuntut umum menghadirkan 16 saksi. Ada lima saksi korban, lima saksi testimonium de auditu (saksi yang mendengar dari orang lain), tiga saksi fakta, dan tiga saksi ahli.
Persidangan ini berjalan secara tertutup karena termasuk perkara tindak pidana kesusilaan. Karena sidang tertutup, saya berupaya mengamati narasi maupun perdebatan antara jaksa dan pengacara setelah mereka keluar dari ruang sidang.
Jaksa berupaya menghadirkan bukti-bukti menguatkan ada tindak kekerasan seksual yang dilakukan Bechi kepada santri. Sedangkan pengacara terus berupaya membantahnya.
I Gede Pasek Suardika selalu menarasikan kekerasan seksual yang dilakukan kliennya adalah “rekayasa” dan “fiktif”. Di depan para wartawan, Pasek beberapa kali menyampaikan narasi dengan menyebutnya sebagai “fakta persidangan”.
Akan tetapi, saat mencermati narasi Pasek, saya merasa ada pernyataan yang membingungkan. Seperti saat Pasek menyatakan kekerasan seksual adalah “rekayasa” dan “fiktif”, ia juga menyatakan “saksi korban membuka bajunya sendiri”. Jadi, kekerasan seksual itu fiktif atau benar-benar terjadi?
Sehingga, untuk memahami alur persidangan, kita perlu memahami setidaknya dua poin konteks persidangan kasus ini.
Pertama, mengingat sidang bersifat tertutup, umumnya kita hanya mendapatkan informasi dari keterangan jaksa dan pengacara.
Selama persidangan, Pasek lebih banyak mengklaim kronologi kasus kekerasan seksual itu “janggal” dan “tidak pernah terjadi”. Sedangkan jaksa tidak menyampaikan narasi tentang kronologi kasus kekerasan seksual karena untuk kepentingan melindungi identitas korban.
Dari sini, narasi persidangan bisa dibilang timpang. Kondisi ini membuat kita lebih jeli lagi memahami informasi dari jaksa maupun pengacara Bechi.
Kedua, kita perlu memahami definisi “fakta persidangan” dari sudut pandang hukum supaya tidak terjebak dan menganggap bahwa semua yang dikatakan Pasek adalah fakta sidang yang sebenarnya.
Menurut kamus hukum, “fakta persidangan” atau biasa disebut “fakta hukum” merupakan pengambilan kesimpulan yang hanya bisa dilakukan oleh hakim dalam menilai alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Pembuktian dalam sidang, baru bisa disebut “fakta persidangan” atau “fakta hukum” ketika pengadilan sudah menetapkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga, ia tidak bisa dilandasi pernyataan sepihak hanya dari Pasek maupun pengacara Bechi lain.
Setelah memahami dua poin konteks itu, kita bisa lebih jeli mencermati pernyataan Pasek di hadapan wartawan.
Pembuktian kasus kekerasan seksual oleh Bechi mengacu pada peristiwa Mei 2017. Bechi melakukan kekerasan seksual kepada santri di Gubuk Cokro, Kawasan Pesantren Cinta Tanah Air Jati Diri Bangsa, di Desa Puri Semanding, Kecamatan Plandaan, sekitar 5 km dari pusat Ponpes Shiddiqiyyah.
Sejak awal persidangan, Pasek menarasikan beberapa hal demi mendukung pernyataannya. Seperti pernyataan Pasek di sidang perdana (18 Juli bahwa korban hanya satu. Selain itu, Pasek menyatakan kebanyakan saksi yang dihadirkan jaksa adalah saksi testimonium de auditu. Pasek mengistilahkan saksi testimonium de auditu sebagai “saksi katanya”.
Untuk menguji berbagai pernyataan Pasek selama persidangan, saya mewawancarai pelapor sekaligus saksi korban. Dari wawancara dengan saksi korban, ada dua peristiwa kekerasan seksual.
Peristiwa pertama pada 8 Mei 2017 saat saksi korban mengalami kekerasan seksual saat internal interview sebagai relawan Rumah Sehat Tentrem Medical Center. Peristiwa kedua pada 20 Mei 2017 saat saksi korban dipaksa datang ke Gubuk Cokro oleh Bechi.
Kemudian, pernyataan Pasek bahwa kebanyakan saksi dari jaksa adalah “saksi katanya” bisa diindikasikan sebagai upaya mengaburkan keberadaan korban-korban. Apalagi, dalam persidangan, Pasek lebih sering mengganti istilah saksi korban dengan kalimat “yang mengaku korban”.
Victim Blaming: Menyangkal Keterangan Korban
Dalam sidang ke-5 (15 Agustus 2022), Pasek terlihat berupaya mengaburkan dua peristiwa kekerasan seksual yang dialami saksi korban. Pasek menyanggah ada kekerasan seksual dengan alasan “saksi korban melepas bajunya sendiri”.
Pada sidang ke-27 (24 Oktober), Pasek mempertanyakan peristiwa pertama dugaan kekerasan seksual yang dialami saksi korban. Ia mengklaim saat internal interview di Gubuk Cokro, pukul 07.00, saksi korban sudah membuka baju. Kemudian, pukul 11.00, Bechi memerkosa saksi korban.
“Peristiwa itu harus menunggu empat jam, baru pemerkosaan itu terjadi. Ada nggak kasus seperti itu? Ini, kan, akal sehat kita yang bicara,” ucap Pasek.
Menanggapi pernyataan Pasek, saksi korban menyanggah klaim bahwa ia membuka baju pukul 07.00. Saksi korban juga memberikan keterangan pada sidang ke-5. Di dalam persidangan itu, saksi korban mengungkapkan kekerasan seksual itu benar-benar dilakukan Bechi.
Sebelum mengalami kekerasan seksual, selama berjam-jam, Bechi melakukan upaya manipulasi dengan membahas berbagai hal yang tidak masuk akal. Bechi mengatakan “ada lingkaran emas” di Shiddiqiyyah dan Bechi menjadi penjaganya.
Saksi korban berkata Bechi menawarinya menjadi pendamping dengan istilah “sayap” serta pendamping dari leluhur. Saksi korban merasa bingung dan tidak menjawab apa-apa. Bechi terus mengulangi pertanyaan itu. Karena saksi korban tetap tidak menjawab, Bechi memaksanya melepas baju.
“Sangat kaget saya mendengarnya, tadinya saya menunduk seketika mendongak dan saya jawab tidak mau,” ujar saksi korban.
Mendengar penolakan itu, Bechi mengatakan saksi korban belum menjiwai apa yang disebutnya “ilmu metafakta” di Rumah Sehat Tentrem Medical Center, karena saksi korban masih menggunakan akal, pikiran, dan logika. Bechi terus-menerus memaksa saksi korban membuka baju. Meski saksi korban sudah berkali-kali menolak, Bechi terus memaksanya.
“Semakin tertekan saya di situ. Rasanya pengin langsung pulang, pengin kabur, tapi takut dan tidak berani.”
Saksi korban terdiam membeku karena mendapat tekanan relasi kuasa dari Bechi sebagai guru sekaligus putra kiai Pesantren Shiddiqiyyah. Kemudian, Bechi menunjuk dada kiri dan punggung saksi korban sambil komat-kamit membacakan sesuatu yang diklaim sebagai proses “ijab” untuk menjadi istrinya.
“Bechi memaksa saya melepas semua pakaian saya, kemudian terjadilah pencabulan terhadap saya. Saya menangis. Saya ketakutan. Lalu saya cepat-cepat berlari pulang.”
Saksi korban kemudian memutuskan mengundurkan diri dari Rumah Sehat Tentrem Medical Center. Akan tetapi, Bechi tidak terima. Pada 20 Mei 2017, sekitar pukul 23.00, Bechi memaksa saksi korban untuk datang lagi ke Gubuk Cokro.
Paksaan itu disertai ancaman melalui pesan WhatsApp, yang isinya jika saksi korban tidak datang malam itu juga, saksi korban akan menyesal seumur hidup. Saksi korban terpaksa mendatangi Gubuk Cokro karena khawatir atas keselamatan dirinya. Kemudian, pada 21 Mei 2017 pukul 02.30, saksi korban mengalami kekerasan seksual kedua kalinya.
Dalam sidang ke-16 (15 September 2022), Pasek berupaya mengaburkan persitiwa kedua ini. Upaya itu terlihat saat Pasek menunjukkan foto dan video saksi korban bersama seniornya di Rumah Sehat Tentrem Medical Center melakukan kegiatan layanan. Peristiwa di dalam foto dan video itu terjadi pada 18 Mei 2017 pukul 10.17.
“Di sini tidak ada nuansa bahwa dia [saksi korban] habis dilakukan hal-hal yang tidak senonoh. Malah dia ketawa biasa, kan? Ini alibi yang kuat dari proses yang hari ini tampil. Semakin jelas kasus ini memang dipaksakan,” klaim Pasek.
Selain itu, Pasek menyatakan Bechi tidak ada di Gubuk Cokro pada 20 Mei 2017. Alibinya, ada persiapan kegiatan jelajah desa. Kemudian, Pasek berkata tidak mungkin saksi korban bisa ke lokasi pukul 02.30 karena asrama putri Pesantren Shiddiqiyyah memiliki mekanisme penjagaan ketat.
Saksi korban menilai Pasek berupaya mengaburkan kronologi kekerasan seksual dalam peristiwa kedua. Sebab, kata saksi korban, peristiwa kedua pukul 02.30 pada 21 Mei 2017, bukan 18 Mei. Saksi korban saat berangkat pukul 23.00 pada 20 Mei, bukan pukul 02.30 21 Mei 2017.
Selanjutnya, kata Pasek, satu saksi dari pihaknya berkata WhatsApp ancaman itu tidak pernah ada. Dua saksi dari pihaknya juga mengaku tidak pernah mengantar maupun menemui saksi korban di Gubuk Cokro.
Meski saksi-saksi dari pihak Bechi tidak mengakui peristiwa kedua, saksi korban menjelaskan bahwa di Gubuk Cokro, Bechi melakukan kekerasan seksual kedua kali. Awalnya, saksi korban menanyakan kabar soal Bechi melakukan kekerasan seksual kepada santri lain. Bechi tidak mengakuinya, tapi saksi korban tidak percaya.
Kemudian, sambil membanting puntung rokok, Bechi marah kepada saksi korban. Bechi mengaku ia adalah “mursyid” yang sudah diangkat oleh Kiai Muchtar Mu’thi, ayahnya sendiri.
Saksi korban tetap tidak percaya kepada Bechi. Bechi semakin marah, lalu melakukan pemerkosaan kedua kali, disertai ancaman bahwa saksi korban akan menyesal seumur hidup jika tidak mau diperkosa.
Semua keterangan saksi korban itu sudah disampaikan dalam persidangan.
Akan tetapi, Pasek maupun pengacara lain terlihat tidak memiliki dasar yang jelas untuk membantah peristiwa kekerasan seksual tersebut. Malah, pernyataan Pasek semakin mengarah pada upaya menyalahkan saksi korban alias victim blaming.
“Kalau kejadian tahun 2017, dia [saksi korban] diperkosa, mestinya harus lapor. Jangan sampai tahun 2019 baru lapor, [karena] nggak jadi dikawinin. Itu problemnya. Masak nggak dikawini, lapor? Mantan pacar nggak dikawinin, lapor. Bahaya kita jadi laki-laki, kan? Laki-laki jadi korban,” kata Pasek sambil tertawa.
Vonis Hakim Masih Ringan, Kurang Memberi Efek Jera
Saksi korban berkata tidak kaget maupun heran atas penyangkalan yang dilakukan para pembela Bechi. Sejak 2017, ia dan teman-temannya sesama korban sudah sering dituduh fitnah hingga dikeluarkan dari Pesantren Shiddiqiyyah. Tuduhan fitnah itu dilakukan secara massif ke berbagai daerah dan jejaring kuasa Pesantren Shiddiqiyyah.
“Jika laporan saya itu rekayasa dan fiktif, saya rasa itu adalah pernyataan yang bodoh dan tidak logis. Apakah ada perempuan yang rela menjatuhkan harga diri dengan kabar hina seperti itu? Tidak ada! Namun kembali lagi, saya tidak heran pernyataan itu keluar dari mulut para pembela Bechi karena sudah terlalu sering mereka berkata dusta,” tegas saksi korban.
Selain saksi korban, saya mewawancarai salah satu saksi testimonium de auditu, yang mendengar cerita dari korban-korban kekerasan seksual Bechi. Ia adalah mantan tim hukum Pesantren Shiddiqiyyah sejak 2014-2017. Saksi ini pernah ditugaskan menyelesaikan persoalan dugaan kekerasan seksual oleh Bechi pada 2017.
Setelah mendengar cerita langsung dari korban, ia dan dua temannya meminta Bechi bertanggungjawab. Saat menemui Bechi, saksi ini merekam pengakuan bahwa Bechi bisa menikahkan dirinya sendiri.
Akan tetapi, pihak Pesantren Shiddiqiyyah malah menuduhnya sebagai penyebar fitnah. Ia juga tahu korban kekerasan seksual Bechi mendapatkan tekanan dari Pesantren Shiddiqiyyah.
“Pengacara Bechi sendiri yang tempus delicti [waktu kejadian pidana]-nya nggak detail. Mereka yang menggabung-gabungkan. Wartawan tidak tahu. Masyarakat lebih nggak paham lagi. Pasek nggak hanya mengaburkan, tapi membuat cerita yang tidak sebenarnya. Karena fakta persidangan tidak dia ungkap. Dia hanya menceritakan sesuatu hal yang menguntungkan Bechi. Pengakuan Bechi [bisa menikahkan diri sendiri] juga tidak diungkap oleh Pasek,” terangnya.
Pada sidang ke-24 (3 Oktober 2022), agenda pemeriksaan terdakwa, Tengku Firdaus, salah satu jaksa, mengungkapkan Bechi mengakui bisa menikahkan dirinya sendiri dengan siapa pun. Bechi tetap tidak mengakui melakukan kekerasan seksual, tapi pengakuan bisa menikahkan diri sendiri itu menjadi celah membongkar relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual kepada santri-santri Pesantren Shiddiqiyyah.
“Selesai pemeriksaan terdakwa, tadi sempat diskor tiga kali. Kami malah dapat fakta-fakta baru. Tadi yang kami hadirkan ada bukti rekaman, terdakwa sebagai mursyid bisa menikahkan dirinya dengan siapa saja yang dia kehendaki, tidak melanggar peraturan dan kesusilaan. Itu dibenarkan oleh terdakwa.”
Selama persidangan, saksi korban mengamati pola pengacara Bechi yang menyampaikan informasi di setiap sidang kepada para wartawan. Saksi korban melihat informasi dari pengacara Bechi diunggah di channel YouTube Shiddiqiyyah. Isi informasi itu seringkali menjatuhkan laporan saksi korban.
“Jadi, saya tidak heran jika si pengacaranya selalu mengatakan hal-hal yang menguntungkan kliennya. Dan ditambah lagi, pendukung-pendukung Bechi memfasilitasi pengacara yang selalu mengatakan di media-media bahwa fakta persidangan membuktikan kasus ini adalah rekayasa,” terang saksi korban
“Saya yakin yang mulia hakim bisa memegang amanah sebagai tangan kanan Tuhan untuk pemberi keadilan di muka bumi dengan seadil-adilnya. Semoga Allah selalu membimbing yang mulia hakim.”
Pada akhirnya, dalam sidang vonis, Bechi dihukum 7 tahun penjara, yang tidak sampai setengah dari tuntutan jaksa.
I Gede Pasek Suardika berkata “akan berkomunikasi dengan keluarga Bechi terlebih dulu” apakah nanti akan mengambil upaya banding. Sementara tim jaksa penuntut umum berkata “menghormati putusan majelis hakim”. Baik pihak Bechi maupun jaksa diberi waktu tujuh hari setelah putusan hakim tersebut.
Sementara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang mendampingi saksi korban Bechi, mengharapkan jaksa mengajukan banding karena vonis hakim terlalu ringan, yang kurang memberi efek jera.
Lembaga ini juga mendorong para santri yang menjadi korban kekerasan seksual Bechi mengajukan restitusi, alias ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi atas penderitaan, serta ganti rugi atas biaya rawat medis dan/atau psikologis.
Laporan ini terbit berkat pendanaan Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli yang memungkinkan Kawan M bisa terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan.