Waktu Guru Diabaikan, Guru Dibebani Segunung Tugas Administratif

Mawa Kresna
12 menit
Ilustrasi beban administratif dan ketidaksejahteraan guru dampak kurikulum Merdeka. (Project M/Wirtams)
Para guru dibebankan untuk mengerjakan banyak tugas administratif. Beban mereka bertambah dengan kehadiran Platform Merdeka Mengajar (PMM). Belum lagi masalah kesejahteraan mereka yang belum terpenuhi. Keletihan pada profesi guru ini menurunkan mutu pembelajaran di sekolah.

RUSDI, bukan nama sebenarnya, menunjukkan dua bundel dokumen berisi ratusan halaman kertas bertajuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Administrasi Guru. Itu merupakan salah dua contoh dokumen yang mesti digarap guru sepanjang tahun ajaran sekolah.

Dalam ruang tamu berukuran 4 x 5 meter di salah satu sekolah di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rusdi mengeluhkan banyaknya urusan administrasi yang mesti dikerjakan guru. Ia menilai Kurikulum Merdeka besutan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim hanya fokus membenahi sistem pembelajaran bagi para siswa, tapi luput menyederhanakan beban administrasi tenaga pengajar.

“Konsentrasi mengajar anak menjadi tidak maksimal, bisa dibilang 70 persennya beban administrasi, mengajar anaknya hanya 30 persen,” kata Rusdi, Rabu (19/06/2024) siang.

Guru muatan lokal Bahasa Sunda ini mengatakan RPP dalam Kurikulum Merdeka berganti nama menjadi Modul Ajar. Modul ini ada yang dibuat per satu semester, ada juga yang sekaligus dua semester.

“Modul itu artinya materi, metode, strategi, apa yang harus disampaikan nanti di kelas,” katanya.

Berdasarkan laman kemdikbud.go.id, modul ajar merupakan salah satu jenis perangkat ajar yang memuat rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk membantu mengarahkan proses pembelajaran mencapai Capaian Pembelajaran (CP). Modul ajar sekurang-kurangnya berisi tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran (yang mencakup media pembelajaran yang akan digunakan), asesmen, serta informasi dan referensi belajar lainnya yang dapat membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Komponen modul ajar bisa ditambahkan sesuai dengan mata pelajaran dan kebutuhannya. Guru dalam satuan pendidikan diberi kebebasan untuk mengembangkan komponen dalam modul ajar sesuai dengan konteks lingkungan dan kebutuhan belajar murid.

Menurut Rusdi, modul untuk satu mata pelajaran dibuat berbeda-beda untuk setiap tingkatan kelas. Secara berkala, pria berusia 52 tahun itu harus menyusun modul yang tidak ringkas, bahkan hingga berjilid-jilid.

“Kalaupun memang di modul itu satu lembar, dua lembar gitu, ada informasi di sana. Itu kalau di lapangan sepertinya tidak bisa seperti itu. Karena kalau dalam pertemuan dengan anak, kalau kita sudah menyusun seperti ini, di kelas itu belum tentu akan sama dengan rencana di kelas lain,” kata Rusdi.

Selain menyusun RPP atau Modul Ajar, Rusdi mengatakan guru-guru juga disibukkan dengan Asesmen Nasional berupa Survei Lingkungan Belajar. Semua guru yang menjadi responden diberi waktu dua minggu untuk mengisi angket secara daring.

“Di awal [tahun ajaran] itu guru harus mengisi AKM guru [Asesmen Nasional],” katanya.

Asesmen Nasional dilaksanakan di semua sekolah dengan responden murid, guru, dan kepala sekolah. Asesmen untuk siswa berupa Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter. AKM merupakan penilaian kompetensi mendasar untuk semua murid agar mampu mengembangkan kapasitas diri dan berpartisipasi positif pada masyarakat.

Dalam AKM, jelas Rusdi, dua kemampuan yang menentukan kecakapan seorang murid untuk belajar sepanjang hayat adalah kompetensi literasi membaca atau literasi matematika. Konteks AKM terdiri dari personal, sosial budaya, dan saintifik. Bentuk soal AKM terdiri dari pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, menjodohkan, isian, dan uraian.

Konten dalam literasi membaca meliputi teks fiksi dan teks informasi. Level Kognitif dalam literasi membaca ini terdiri dari menemukan informasi, menafsirkan dan mengintegrasikan, serta mengevaluasi dan merefleksi

Kemudian, domain dalam literasi matematika terdiri dari bilangan, geometri dan pengukuran, aljabar, serta data dan ketidakpastian. Level Kognitif dalam numerasi ini meliputi pemahaman, penerapan, dan penalaran.

“Guru juga disibukkan dengan kegiatan-kegiatan lain yang ada di sekolah. Nah, dengan administrasi yang [kurikulum] sekarang bebannya lebih banyak,” tambahnya.

Rusdi menghela nafas panjang, “Kami mencurahkan tenaga dan pikiran seharian, hampir setiap hari di sekolah, dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore.”

Beban Platform Merdeka Mengajar

Tak habis di situ, para guru juga mesti rutin mengisi Platform Merdeka Mengajar (PMM) secara daring. Supaya mendapat predikat kinerja baik dalam PMM, para guru harus rajin ikut pendidikan dan pelatihan (diklat) serta seminar terkait pendidikan.

“Jadi guru disarankan memang harus aktif di PMM. Satu, penilaian untuk sekolah baik. Sisi lain juga untuk gurunya bisa mengembangkan karirnya,” kata Rusdi.

Meski begitu, pengembangan diri dalam PMM berjenjang dan memakan waktu panjang. Rusdi keteteran membagi waktu antara mengajar, mengisi berbagai dokumen, hingga ikut diklat dan seminar. Bahkan, tak jarang itu semua dikerjakan di dalam kelas.

“Dengan mengisi PMM, guru bisa ikut berbagai program-program pemerintah seperti PPPK,” ujarnya.

Dalam laman kemdikbud.go.id, disebutkan PMM adalah sebuah platform yang menyediakan berbagai konten pendidikan untuk guru di Indonesia. Di sini, guru dapat menemukan bahan ajar, buku teks, modul ajar, paket soal asesmen, dan program pelatihan. Platform ini dibangun untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka, membantu guru dalam mendapatkan referensi, inspirasi, dan pemahaman tentang kurikulum tersebut.

Untuk mengaksesnya, guru dapat menggunakan aplikasi pada perangkat Android atau melalui website guru.kemdikbud.go.id. Di dalamnya terdapat beberapa fitur, yakni belajar Kurikulum Merdeka; Kegiatan Belajar Mengajar yang meliputi asesmen murid, perangkat ajar, dan video inspirasi; serta Pengembangan Diri melalui pelatihan mandiri dan komunitas.

Akan tetapi, pengisian PMM ini cukup menyulitkan guru-guru yang sudah sepuh. Rusdi mengatakan kelompok guru ini biasanya dibantu oleh guru-guru muda yang lebih melek digital.

“Sebut saja yang tua-tua memang kemampuan IT-nya kurang, kemudian melihat laptop sudah nggak kuat lama-lama,” ujarnya.

Selain menilai kinerja guru, menurut Rusdi, PMM juga berpengaruh terhadap predikat sekolah tempatnya mengajar.

“Kalau guru tidak mengisi PMM kan ke sekolah juga enggak bagus gitu. Tidak ada guru yang masuk ke PMM itu juga jelek. Jadi guru dianjurkan memang harus aktif di PMM,” ujar Rusdi.

Bawa Pekerjaan ke Rumah

Rusdi berhenti bicara sebentar. Ia mengambil botol air mineral di atas meja kaca, membuka tutupnya, lalu meneguk air di dalamnya.

“Di Kurikulum Merdeka, setiap hari banyak kerjaan. Saya sendiri kalau dalam Bahasa Sunda itu ngeureuyeuh (mengerjakan sedikit-sedikit atau perlahan-lahan karena tenaga sudah berkurang),” lanjutnya.

Rusdi tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya. Matanya memerah dan agak kering. Terlihat pula lingkaran gelap di bawah matanya.

“Sekarang ini saya sedang menyusun rapor untuk kelas 7 dan 8, juga menyusun rapor P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Nanti, sesudah ini selesai, lanjut menyusun jadwal sekolah untuk tahun ajaran baru,” paparnya.

Saking banyaknya pekerjaan di luar mengajar, Rusdi mau tak mau mengerjakan sebagian administrasi itu di rumah yang notabene di luar jam kerja.

“Jadi, kalau disebut tiap hari ada kerjaan, banyak,” katanya.

Agar pekerjaannya tak menumpuk, Rusdi bersiasat dengan mencicil pekerjaan administrasi dari jauh-jauh hari berdasarkan kalender sekolah. Sedikit demi sedikit ia kerjakan saat jam sekolah kosong dan di sela-sela istirahat di rumah.

“Jadi, nggak langsung banyak, ada waktu luang mengerjakan sedikit-sedikit. Kemudian, di ujung hari sudah selesai dikerjakan. Terus diimpleng (direncanakan), oh, nanti sebulan lagi, PR-nya ini,” ujarnya.

Bekerja Sebulan, Tapi Dibayar Sepekan

Rusdi mengajar di sekolah setiap Senin-Jumat dengan 24 jam pelajaran. Angka itu merupakan standar minimal bagi guru agar bisa mengikuti sertifikasi.

Jika ada guru yang tidak mencapai 24 jam pelajaran di satu sekolah, biasanya mereka memenuhi itu dengan mengajar di sekolah lain. Bahkan, tak jarang ada guru yang mengajar lebih dari dua sekolah.

“Mereka di sini misalnya 12 jam, sisanya mencari di sekolah lain,” kata Rusdi.

Beban kerja berlipat itu tak sebanding dengan bayaran Rusdi mengajar sebagai guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta tersebut. Ia hanya diupah satu pekan untuk pekerjaan satu bulan mengajar. Ia hanya menerima upah Rp30.000 dikali 24 jam, yakni Rp720.000 per bulan.

“Kalau 24 jam itu kan satu minggu. Nah, minggu kedua, ketiga, keempat itu tidak dibayar,” kata Rusdi tertunduk lesu.

Sistem pengupahan ini diterima Rusdi sejak pertama kali berkarir sebagai guru honorer pada 2003. Ini terjadi hampir di semua sekolah, baik swasta maupun negeri.

“Maunya saya pemerintah turut membantu, jadi minggu kedua, ketiga, dan keempatnya dihitung,” harap Rusdi.

Rusdi tak tahu pasti mengenai dasar hukum sistem pengupahan guru honorer seperti itu. Pengawas atau inspektorat pun sejak dulu tidak pernah mempermasalahkan hal ini saat memeriksa sekolah.

“Saya mencurahkan semua tenaga satu hari untuk sekolah, kemudian besok lagi, besok lagi. Gimana masa depannya kalau begitu [gaji kecil],” katanya.

Buat Rusdi yang punya satu istri dan satu anak saja sudah engap-engapan karena gaji minim. Apalagi buat guru yang mempunyai anggota keluarga banyak atau bahkan membiayai keluarga besarnya.

Untung saja jarak rumah Rusdi menuju sekolah tempatnya mengajar cukup dekat, jadi tidak mengeluarkan ongkos begitu besar.

Pontang-Panting Mengajar

Ilustrasi beban administratif dan ketidaksejahteraan guru dampak kurikulum Merdeka. (Project M/Wiratama)

Beda hal dengan Dinda, bukan nama sebenarnya, yang mengajar di tiga sekolah yang berlokasi di tiga daerah berbeda di Jawa Barat. Ia mengajar di salah satu Madrasah Aliyah (MA) di Purwakarta, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Karawang, dan salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Cikampek.

“Senin-Selasa mengajar di Purwakarta, Rabu-Kamis ke Karawang, Jumat-Sabtu meluncur ke Cikampek,” kata Dinda.

Saat dihubungi lewat saluran telepon, Rabu (19/06/2024) malam, Dinda baru pulang dari sekolah lantaran ada pekerjaan administrasi yang mesti segera diselesaikan menjelang libur semester genap.

Bagi Dinda yang mengajar di tiga sekolah sekaligus saja, gaji yang diterimanya masih sangat minim. Rata-rata ia hanya menerima gaji sekitar Rp400 ribu per bulan dari satu sekolah.

“Dibanding guru honorer, gaji tukang sapu lebih besar,” katanya.

Dinda mendapat tunjangan lain karena menjabat sebagai wali kelas dan guru bimbingan konseling (BK). Namun, ia tak sanggup jika menjadi guru merangkap staf sekolah.

“Staf juga kan pekerjaan administrasinya rumit, kalau ditambah guru, oleng,” katanya.

Perempuan berusia 30 tahun ini cukup kelimpungan dengan pekerjaan administrasi yang dibebankan kepada guru. Ia mesti menulis modul ajar atau RPP paling sedikit 175 halaman untuk satu mata pelajaran. Ia menyiasati tugas tersebut dengan membuat catatan pembelajaran setiap hari.

“Jadi saya ada ancang-ancang dulu nih, sebelum diserahkan atau ditulis secara benar gitu kan, nanti setelah itu baru disesuaikan. Kalau misalkan administrasi enggak dicicil, paling saya seminggu atau sebulan sekali menyiapkan waktu untuk pekerjaan tersebut,” jelasnya.

Selain modul ajar, Dinda juga mesti mengerjakan administrasi lainnya seperti AKM, absensi, rapor, hingga mengisi Platform Merdeka Mengajar.

“Belum semua sekolah menerapkan itu (Kurikulum Merdeka) karena untuk administrasinya pun sulit begitu, untuk membuat administrasinya bahkan lebih banyak lagi. Mungkin [modul] satu pelajaran itu tebalnya aja bisa, ya, proposal tesis juga kalah kayaknya,” ujarnya.

Dinda mengaku sudah dua kali ikut pelatihan terkait Kurikulum Merdeka, tapi masih belum paham secara utuh. Ia menilai Kurikulum Merdeka lebih rumit dibandingkan kurikulum sebelumnya.

“Kurikulum 2013 saja semua guru itu terbebani dengan banyaknya administrasi. Sekarang sudah beralih lagi ke Kurikulum Merdeka yang mana banyak guru belum paham, termasuk saya juga setengah paham sekarang,” ujar Dinda.

Beban Digital Guru dalam Kurikulum Merdeka

Tak hanya dialami Rusdi dan Dinda, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru), Iman Zanatul Haeri, menerima banyak aduan dari para guru di seluruh wilayah Indonesia terkait Kurikulum Merdeka. Para guru dibebankan untuk mengisi banyak dokumen, baik yang dikerjakan secara daring maupun dicetak fisiknya.

“Kegiatan guru secara administrasi itu banyak. Ada PMM, ada webinar, ada diklat, ada kita menyebut sebagai sasaran kerja pegawai, sosialisasi dari BKN, BKD, bidang pendidikan gitu, ya. Dan juga kewajiban-kewajiban lain yang harus dilakukan karena memang sudah seharusnya, misalnya mempersiapkan dokumen silabus setiap semester dan lain sebagainya,” kata Iman lewat saluran telepon, Rabu (19/06/2024).

Iman mencontohkan pekerjaan reguler guru yang belum disederhanakan dalam Kurikulum Merdeka, yakni pembuatan RPP yang berganti nama menjadi modul ajar. Ia melihat Kemendikbud Ristek hanya ingin terlihat beda dalam kurikulum anyar tersebut.

“Model RPP-nya Nadiem Makarim ini justru makin lebar, makin berat bebannya. Dulu kan bilangnya RPP satu lembar, ya. Ternyata modul ajar itu isinya RPP plus materi. Jadi materi ajar itu ditumplakkan ke modul,” jelasnya.

Menyikapi itu, P2G menggelar survei internal terhadap 204 responden jaringan guru di 26 provinsi pada 26 Desember 2023 sampai 26 Januari 2024. Hasil survei menunjukkan beban digital yang paling memberatkan guru, yaitu Platform Merdeka Mengajar (PMM) sebesar 78,5 persen, webinar dan diklat sebanyak 49,3 persen, sasaran kerja pegawai 47,8 persen, dan dokumen awal semester 47,3 persen.

“Dari 208 responden atau 83,4 persen mengaku PMM menambah beban administrasi guru,” kata Iman.

Iman mengatakan mayoritas guru menggunakan PMM berdasarkan instruksi vertikal dari Kemendikbud Ristek, dinas pendidikan, dan kepala sekolah. Instruksi itu diberikan secara berkala, baik harian, mingguan, hingga bulanan. Akibat banyaknya pekerjaan, mayoritas guru mengerjakan PMM karena tuntutan administrasi semata dan ingin segera selesai karena sudah lelah.

“Sebagian besar guru akhirnya membawa pekerjaan mereka ke rumah,” kata Iman.

Menurut Iman, waktu paling ideal mengisi PMM atau administrasi lainnya itu saat jam kosong di sekolah, yakni saat guru tidak ada jadwal mengajar di kelas. Tetapi, hasil survei menunjukkan para guru paling banyak mengisi PMM saat peserta didik pulang sekolah.

“Anak pulang sekolah ini bias banget, ya. Maksudnya ini di luar jam kerja, lembur ya, tapi nggak dihitung lembur gitu,” imbuh Iman.

Kemudian, sebagian besar guru lainnya mengisi PMM ketika berada di rumah, bahkan ada yang mengerjakan itu hingga larut malam. Yang paling ironis, menurut Iman, sebagian guru menjawab mereka mengisi PMM sambil mengajar.

“Nah ini agak unik lagi, kita bisa bayangkan sambil mengajar mengisi aplikasi itu gimana gitu. Ini jelas mengganggu kualitas mengajar,” katanya.

Iman melihat situasi ini sebagai kemunduran. Angka kehadiran guru di kota-kota besar boleh jadi menurun akibat mengurusi administrasi. Sebab temuan Survei P2G, saat di kelas, sebagian guru malah mengisi aplikasi hingga mengikuti webinar.

“Biasanya terjadi di daerah terpencil, angka kehadiran guru itu rendah. Nah, kan ironis kalau terjadi di kota-kota besar,” ujarnya.

P2G menilai Kurikulum Merdeka belum matang, bahkan terkesan dipaksakan. Kurikulum ini mulai diterapkan pada 2021, tapi naskah akademiknya baru dibuat pada 2024.

“Produknya belum jadi. Jadi 2020 dibuat, 2021 dibuat lagi, jadi 2022 dua kali berubah, 2023 dua kali berubah, 2024 satu kali berubah, selesai. Dan setelah kurikulumnya ditetapkan kemarin, pada bulan Maret 2024, keluar lagi sekarang capaian pembelajarannya,” paparnya.

Ia mencatat Capaian Pembelajaran (CP) pada Kurikulum Merdeka berubah sebanyak enam kali dalam kurun tiga tahun. Ini menunjukkan Kurikulum Merdeka dari 2021 sampai 2024 belum final.

“Misinformasi di antara para guru itu rumit. Namanya juga berubah 6 kali. Ada yang masih pakai versi kedua, ada yang versi ketiga,” tutup Iman.


Tulisan ini merupakan bagian dari serial laporan #BebanKerjaGuru yang didanai oleh Kawan M.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
12 menit