Kemenangan warga Kalimantan Selatan dalam gugatan class action banjir bandang 2021 merupakan bentuk kerja kolaborasi antara aktivis lingkungan, pengacara, akademisi, dan warga. Mereka berperan sesuai kompetensi masing-masing, saling belajar, menguatkan, dan saling memberi makna penting bahwa tidak ada kehidupan yang boleh terabaikan.
Pada 29 September 2021, Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin memenangkan gugatan perwakilan kelompok atau class action 53 warga korban banjir bandang Kalimantan Selatan Januari 2021. Warga dari berbagai kabupaten/kota itu menggugat Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor karena dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad); tidak menyediakan informasi peringatan dini (early warning system), lambatnya penanggulangan saat tanggap darurat, dan tidak membuat peraturan petunjuk teknis penanggulangan bencana.
Mereka menuntut pemerintah untuk memperbaiki kinerja, meningkatkan perspektif kebencanaan, dan mengganti kerugian warga terdampak. Majelis hakim yang diketuai Andriyani Masyitoh mengabulkan sebagian tuntutan warga.
“Ini pengalaman baru bagi kami, apabila nanti terjadi lagi kami sudah tau cara mempersiapkan gugatan,” kata Syahrul Effendi, salah satu penggugat dari Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
“Tapi mudah-mudahan tidak terjadi lagi.”
Awal Januari 2021 banjir bandang melanda seluruh bagian provinsi di 13 kabupaten kota, dengan ketinggian air yang beragam, mulai dari 0,3 meter sampai 3 meter, bahkan beberapa wilayah disertai bencana tanah longsor. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Selatan mencatat sebanyak 176.290 Kelapa Keluarga (KK) atau 633.723 jiwa menjadi korban, 135.656 orang mengungsi, 123.410 rumah terendam, dan 46 orang meninggal dunia. Negara menaksir kerugian sebesar Rp1,349 triliun akibat lumpuhnya berbagai sektor perekonomian.
Itu bencana banjir terbesar yang terjadi di Kalimantan Selatan dalam 50 tahun terakhir.
Banjir Besar dan Gugatan
Syahrul Effendi, petani ikan air tawar berusia 55 tahun, menunjukkan kepada saya video seekor kucing dari ponsel miliknya. Kucing piaraanya sedang menggerogoti tongkol jagung mentah, satu tongkol mulai tandas dan sisanya sudah tergeletak tuntas. Kucing itu berdiri di atas papan kayu yang nyaris dilumat air. Tak jauh dari kucing itu, satu unit sepeda motor milik Syahrul terendam air sebatas jok dan di belakangnya ada pohon kelapa yang seolah mengapung. Syahrul merekam dari teras rumahnya pada 20 Januari 2021. Hanya dalam waktu 1-2 jam ketinggian air mencapai 2-3 meter.
“Itu banjir yang besar sekali,” kenang Syahrul. “Posisi kami 15 km dari pusat banjir bandang dari rumah yang hanyut dan makan korban. Mereka yang di pegunungan cuma 10 menit air bisa 4-5 meter.”
Selama 46 tahun tinggal di Barabai, Syahrul perdana mengalami banjir seperti itu. Waktu ia masih kecil dan belum sekolah, banjir kerap terjadi saat hujan lebat namun butuh berjam-jam untuk mencapai ketinggian air 10-20cm. Begitu ia dewasa, ketinggian air menjadi 40 cm-70 cm dalam waktu berjam-jam. Pantas kalau ia sebut banjir kemarin sebagai bencana besar.
Banjir menghanyutkan mata pencaharian Syahrul; bibit ikan dan bibit tanamannya hilang tersapu air. Sebagian rumah dan perabotan termasuk kendaraan rusak. Syahrul memperkirakan kerugiannya sekitar Rp25 juta, nominal yang ia masukan ke dalam gugatan.
“Sehabis banjir saya sibuk luar biasa, ekonomi saya susah jadi harus kerja keras,” kata Syahrul, yang mulai meragu berbisnis ikan.
“Was-was takut banjir nanti ikan hilang lagi. Orang pun jadi malas pelihara ikan, ikan saya tidak laku.”
Barabai merupakan wilayah pusat pemerintahan dan perekonomian Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Memiliki topografi yang cekung dan dataran yang rendah. Letaknya di bawah kaki Pegunungan Meratus–yang sedang mengalami konflik lingkungan antara warga dengan perusahaan tambang batu bara. Barabai dilintasi sungai Barabai yang sejalur ke aliran sungai Batang Alai, sungai Nagara, dan sungai Barito. Menurut Syahrul, sungai Barabai pernah dipecah untuk menanggulangi bencana banjir namun setelahnya tak pernah dirawat pemerintah dengan baik sehingga mengalami pendangkalan.
“Sungai Barabai ini kecil dan bentuk Barabai kayak di tengah wajan. Begitu banjir, air susah keluar dari sini. Sungainya pun tertutup lumpur tidak dipelihara, kalau belum ada deadline dari pusat, [dirawat] seadanya saja. Alat EWS pun tidak ada. Kalau kita sudah tau curah hujan tinggi, seharusnya ada perhatian pemerintah,” kata Syahrul.
Itulah sebabnya Syahrul tidak sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan “curah hujan yang tinggi hampir 10 hari berturut-turut” sebagai penyebab banjir bandang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan juga sempat mengkritik Jokowi yang tak berani jujur, bahwa ada faktor kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di bagian hulu sehingga jumlah air tak mampu tertampung di bagian hilir.
“Saya yakin masalah banjir ini kalau lingkungannya tidak diperbaiki, masalah banjir tidak akan pernah selesai. Saya yakin, saya yakin itu,” kata Syahrul.
Hasil analisa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyatakan curah hujan tinggi sejak 12-13 Januari 2021 hanyalah salah satu faktor penyebab banjir bandang di Kalimantan Selatan. Faktor penyebab lainnya: terjadi perubahan pada tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dan penurunan luas hutan primer sebesar 13 ribu ha, hutan sekunder 116 ribu ha, sawah 146 ribu ha, dan semak belukar 47 ha dalam waktu 10 tahun (2010-2020). Sementara luasan area perkebunan bertambah signifikan sebesar 219 ha.
Syahrul menunjukkan tiga foto dari ponselnya kepada saya. Foto pertama, memperlihatkan empat rumah terendam banjir hingga menyisakan atap seng; foto kedua, penampakan rumah yang berbeda dengan ketinggian banjir yang sama; foto terakhir, empat pria duduk di atas atap rumah yang nyaris tenggelam dan di samping mereka terparkir perahu karet berwarna kuning.
Syahrul bercerita, beberapa tetangganya terpaksa tidur di atap rumah dan tidak makan dua hari akibat lambatnya bantuan pemerintah pada awal bencana. Sedangkan ia dan keluarga bertahan di lantai dua rumah dengan kecemasan dan persiapan bertahan hidup seadanya.
“Harusnya yang menggugat kemarin bukan hanya 53 warga, seharusnya puluhan ribu orang. Hanya saja masyarakat ada yang takut,” kata Syahrul.
Kelalaian dan Solidaritas
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan lamban dalam menangani banjir. Hujan deras yang mengguyur wilayah itu sejak 9-13 Januari 2021 merendam seluruh kabupaten/kota. Sedangkan Pemprov baru menerapkan status tanggap darurat banjir pada 14 Januari. Banyak warga yang tidak siap sehingga kelimpungan menyelamatkan diri. Mereka terpaksa saling bahu-membahu mengevakuasi sesama.
Dari dokumen putusan PTUN Banjarmasin diketahui bahwa sebenarnya sudah ada alat Early Warning System (EWS) yang terpasang di beberapa wilayah rawan banjir. Namun alat tersebut rusak karena tidak terpelihara.
Bencana itu pun luput dari perhatian pemerintah pusat. Ketika Presiden Jokowi mencuitkan pesan simpatik untuk korban gempa Sulawesi Barat dan korban tanah longsor Sumedang, ia tidak menyebut Kalimantan Selatan. Sontak tagar #KalselJugaIndonesia ramai di media sosial ketika itu.
Situasi penanganan bencana yang runyam, memantik Muhamad Pazri, seorang pengacara dan warga terdampak, untuk menghimpun gerakan massa. Ia mulai dengan menginisiasi pembentukan Tim Advokasi Korban Banjir Kalimantan Selatan, yang berisi 20 pengacara lokal dari berbagai kantor hukum. Ia mengandalkan jejaring pengacara yang sudah ia kenal baik. Untuk menghindari potensi konflik kepentingan dalam gerakan. Itu sebabnya dua pengacara mengundurkan diri karena mereka pernah mendampingi pemerintah daerah.
“Ada ribuan lawyer di Kalsel, kami tau karakter masing-masing. Dari awal kami screening benar-benar, kami ajak mereka yang punya integritas dan berjiwa aktivis. Penguatan tim itu penting agar satu visi,” kata Pazri.
Kemudian Tim Advokasi Korban Banjir bekerjasama dengan Walhi Kalimantan Selatan, yang memiliki kajian dan data kerusakan lingkungan di sana. Bersama-sama mereka merancang strategi gerakan: upaya hukum dan mobilisasi massa. Tujuan mereka satu: perlu ada evaluasi terhadap kinerja pemerintahan baik di daerah dan pusat.
“Kerusakan alam ini mesti diperhatikan pemerintah. Agar gaungnya besar, salah satu caranya dengan upaya hukum,” kata Pazri.
Berusaha tidak gegabah dalam mengambil langkah hukum, mereka intens berdiskusi dengan berbagai lapisan masyarakat: warga terdampak, akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), hingga Komnas HAM. Termasuk mempelajari gugatan class action di beberapa kota. Mereka melihat ada beberapa gugatan class action yang tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) hakim karena salah pengadilan. Itu menjadi catatan penting mereka.
“Setelah ada Perma 2/2019 segala perbuatan melawan hukum pemerintah itu kewenangannya di PTUN bukan di pengadilan negeri. Dari sana kami buat kajian. Walhi yang mendesak BPBD dan pemangku kebijakan untuk menetapkan tanggap darurat. Mereka tahu bagian itu. Dan itu yang kami pakai untuk memperkuat gugatan di persidangan,” kata Pazri.
“Walhi melakukan audiensi, aksi massa, dan jalur hukum peradilan. Semua kita tempuh. Strategi kerja ini memang kolaboratif. Ini sesuatu yang baru dan harus kita lakukan,” timpal Direktur Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.
Mereka sepakat untuk menempuh dua upaya hukum: gugatan perwakilan kelompok (class action) dan gugatan secara lembaga melalui Walhi. Skenarionya begini: mereka mengajukan dua gugatan sekaligus atau gugatan class action lebih dulu dan kalau kalah maka Walhi akan mengajukan gugatan susulan.
“Ternyata class action menang dan pemerintah tidak banding. Seandainya mereka banding, kita banding dan kita tambah dengan legal standing Walhi,” kata Kisworo.
Untuk mengajukan gugatan class action, mereka memerlukan partisipasi warga terdampak sebagai pemberi kuasa. Mereka mendirikan posko pengaduan di kantor Borneo Law Firm, Kota Banjarmasin dan berharap warga bersedia mengadukan nasib nahasnya ke sana.
Namun progres posko pengaduan berjalan lambat. Tidak banyak warga yang datang membuat pengaduan. Sehingga mereka memperpanjang masa posko dari seminggu menjadi sebulan dan mendatangi warga secara langsung ke tiap wilayah bencana untuk memberikan pemahaman hukum. Kerja keras mereka menghasilkan 200 orang, meski kemudian hanya 53 warga yang bersedia melanjutkan sebagai penggugat.
Ada banyak faktor yang membuat warga tidak mau menjadi penggugat. Semisal warga yang tidak berani karena mereka merupakan penerima bantuan pemerintah, ada yang posisinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Desa, ada yang khawatir diintimidasi, khawatir akan kesulitan saat mengurus administrasi di desa, dan takut dilaporkan balik oleh pihak pemerintah.
“Kami sampaikan bahwa dalam gugatan TUN tidak ada gugatan balik. Seandainya ada intimidasi pun kami bersedia melindungi hak dan kewajiban mereka. Intinya mereka takut kalau melawan pemerintah,” kata Pazri.
“Ya, banyak faktor memang. Ada warga yang sudah pesimis ‘oh paling kalah’ apalagi menggugat pemerintah. Selama ini nggak ada orang menggugat pemerintah karena banjir. Apalagi kemarin mendekati Pilkada,” imbuh Kisworo.
Proses advokasi berbarengan dengan sengketa hasil pemilihan Gubernur Kalsel Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, antara pasangan calon gubernur Denny Indrayana-Difriadi selaku pemohon dengan petahana Sahbirin Noor-Muhidin. Perselisihan tersebut dimenangkan oleh Sahbirin Noor-Muhidin, yang kemudian dilantik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pejabat gubernur terpilih pada Agustus 2021. Situasi ini turut memengaruhi persepsi publik terhadap gerakan para korban banjir.
“Kami baca komentar di medsos tidak semua menilai positif gerakan ini, kami dituduh semi politik dan mencari panggung. Padahal ini murni gerakan untuk mengedukasi masyarakat. Dari tim kami pun tidak ada yang menjadi tim pemenangan atau mem-backup paslon,” ujar Pazri.
Untuk mengamplifikasi gerakan, mereka juga berjejaring dengan media massa. Hal ini bertujuan meraih dukungan masyarakat di level nasional. Sebab mereka menyadari gerakan masyarakat di Kalimantan Selatan kerap tersisihkan dari perhatian publik. Apalagi jika isu yang diangkat menyinggung persoalan lingkungan hidup, semisal perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
“Risikonya di Kalsel ini, tidak semua media berani mengangkat beritanya, tidak semua orang dan kelompok berani bersuara. Ini kenapa pentingnya kita kolaborasi antara aktivis dan kawan-kawan termasuk media yang ada di Jakarta. Agar isu di Kalsel bisa menjadi isu nasional,” kata Kisworo.
“Tidak bisa hanya tim hukum saja dan masyarakat. Kita butuh berjejaring dengan aktivis, akademisi, dan media. Saling dukung, berikan pendapat, dan data,” timpal Pazri.
Selanjutnya Tim Advokasi Korban Banjir dan Walhi Kalsel mematangkan sikap 53 warga pemberi kuasa. Mereka melakukan wawancara mendalam sekaligus mengajukan surat pernyataan agar tidak mundur di tengah jalan. Mereka juga menerangkan bahwa gerakan ini akan bebas dari pungutan biaya, semua pembiayaan operasional gugatan ditanggung pengacara.
“Saat jemput bola sudah kita jelaskan, semua ini gratis. Kalau pun kalah tidak keluar uang, jika menang bisa dapat uang karena ada gugatan ganti rugi,” kata Kisworo.
Seluruh warga sepakat termasuk Syahrul. Ia sebenarnya hampir menerima banjir bandang sebagai takdir alam, sebagaimana banjir-banjir sebelumnya yang kerap melanda kawasan Hulu Sungai Tengah, dan karena itu ia merasa tidak bisa mempersalahkan siapapun. Namun ia segera paham setelah berdiskusi dengan Walhi Kalsel, bahwa mesti ada tanggung jawab pemerintah dalam setiap bencana. Selanjutnya Walhi Kalsel menghubungkan Syahrul dengan Tim Advokasi Korban Banjir untuk proses litigasi.
“Saya hanya petani bukan orang hukum. Tapi kata Walhi ada celah melalui class action. Kenapa tidak kita usahakan? Kenapa tidak kita menggugat? Ada hak kami di situ, hak yang terabaikan,” kata Syahrul.
“Ya, itu [class action] adalah hak kita sebagai warga negara. Jika tidak diambil, kejadian ini akan terulang terus. Minimal ini menjadi pembelajaran bagi kita rakyat dan pemerintah yang sudah kita sumpah dan gaji,” timpal Kisworo.
“Sebenarnya kalau saya tau proses hukumnya bagaimana, saya sendiri yang akan menggugat. Tidak perlu diajak-ajak,” imbuh Syahrul.
Setelah melalui serangkaian proses persidangan. Gugatan warga menang. Pemprov Kalimantan Selatan melakukan beberapa tender pengadaan barang dan jasa untuk pengendalian bencana banjir. Menggunakan dana APBD tahun anggaran 2022, mereka belanja alat Early Warning System (EWS) sebesar Rp771,5 juta, pembuatan pos EWS sebesar Rp2,2 miliar, dan rehabilitasi rumah tak layak huni di 5 Kabupaten/Kota sebesar Rp376 juta.
“Ketika ada upaya hukum, kan, memang benar faktanya ada aturan yang tidak jalan, pemerintah kalang kabut tidak siap, terjadi bencana tapi tidak tanggap bencana. Gerakan ini agar mereka tidak formalitas saja dalam menjalankan kebijakan. Ternyata hasilnya bagus dikabulkan sebagian,” tandas Pazri.
Pembelajaran
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 memberikan kesempatan bagi penggugat untuk meminta ganti rugi akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan badan atau pejabat pemerintahan. Ini menjadi salah satu alasan warga mau mengajukan gugatan class action.
Tim Advokasi Korban Banjir menyertakan 24 bukti sebagai bahan pertimbangan majelis hakim. Berupa foto dan video yang menunjukkan rumah, alat elektronik, lahan pertanian dan perkebunan milik warga yang terdampak banjir bandang. Total kerugian warga sebesar Rp890.235.000 untuk kerugian materiel dan Rp1.349.000.000 untuk kerugian immateriel.
Namun hakim PTUN Banjarmasin tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi bagi warga.
“Majelis hakim berpendapat setelah mencermati bukti-bukti surat dan keterangan saksi di persidangan dan tidak menemukan alat bukti apapun yang dapat membuktikan kerugian materiel maupun kerugian immateriel yang dialami para penggugat,” tulis majelis hakim dalam berkas putusan.
Majelis hakim menginginkan bukti kwitansi pembelian untuk setiap harta benda warga yang rusak karena banjir bandang. “Mana masyarakat kepikiran pada saat bencana,” ujar Pazri.
“Pemerintah bilang kerugiaan akibat banjir ini mencapai triliunan. Muncul angka. Tapi saat gugatan korban menuntut ganti rugi tidak dikabulkan,” timpal Kisworo.
Tentu saja warga kecewa. Penggantian kerugian merupakan hal konkret bagi mereka. Pada akhirnya mereka tetap bersukacita menerima kemenangan class action meski dengan catatan tebal.
“Kami memang mengharapkan ada ganti rugi, tapi kami sadar ada kekurangan penggugat saat itu. Seandainya kami simpan bukti kerugiaan dan kwitansi pembelian barang yang rusak, kemungkinan besar ada ganti ruginya,” kata Syahrul.
“Mau apa lagi? Kami akan belajar dari ini.”
Sekalipun gugatan class action warga menang. Persoalan banjir di Kalimantan Selatan tidak benar-benar tuntas. Sepanjang tahun ini hampir setiap bulan terjadi banjir dengan berbagai level di sana. Maret lalu, banjir melanda empat kabupaten: Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, dan Hulu Sungai Tengah.
Syahrul memperlihatkan satu video lagi kepada saya, yang ia rekam pada 17 Maret 2023. Menunjukkan halaman rumah panggungnya yang tergenang banjir dan merendam sebagian tanaman miliknya. Ketinggian air mencapai 70 cm dan belum masuk ke dalam rumah.
“Hujannya hanya sedikit langsung jadi kolam,” katanya. “Mungkin nanti saya bisa menggerakan teman-teman untuk class action.”