DUA PULUH lima tahun yang silam, saya seorang perempuan usia 21 tahun yang menonton pameran di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, tentang sebuah pergerakan di Prancis 30 tahun sebelum 1998: Mei 1968 di Prancis. Satu pernyataan yang saya ingat tapi tak pernah sepenuhnya saya mengerti adalah “Be realistic, demand the impossible”, terjemahan bahasa Inggris dari “Soyez Realistes, Demandez L’Impossible”. Dulu bagi saya itu sekadar pernyataan yang lucu dan menarik, dan itu alasan mengapa saya ingat.
Beberapa tahun terakhir–setelah hidup dalam kapitalisme, neoliberalisme, dan kebijakan disetir pasar selama hampir 50 tahun–barulah saya paham pernyataan itu dan saya ingin mengajak pembaca esai ini untuk melakukan hal yang sama: Jadilah Realistis, Tuntutlah yang Tidak Mungkin.
Apa satu hal yang paling tidak mungkin di dunia ini sekarang? Yang paling tidak terbayangkan olehmu? Pikiran yang kalau dia terlintas di kepalamu, kamu malah menertawakan diri sendiri, “Ah bego, tidak mungkin.”
Mengutip Jameson dan Žižek, Mark Fisher menulis dalam bukunya, Capitalist Realism: Is There No Alternative?, bagi kita (populasi dunia sekarang) lebih mudah membayangkan dunia kiamat daripada berakhirnya kapitalisme. Dalam skala yang berbeda, patriarki pun sama. Sulit bagi kita membayangkan berakhirnya patriarki di mana tak ada lagi perempuan yang jadi korban kekerasan seksual.
Memikirkannya Saja Saya Sudah Malu Sendiri
Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya membuat satu posting di media sosial, saya lupa persisnya, tapi intinya mengkritik suatu praktik kapitalisme atau ekonomi pasar. Seorang mantan kolega saya, dulu jurnalis, mengomentari tulisan singkat saya, sinis: “Terus apa maumu? Sosialisme?”
Saya langsung bungkam dan malu pada diri saya sendiri karena berlaku tolol, mengkritik kapitalisme dan membayangkan seolah ada alternatif. Tentu saja tak ada alternatif itu, ya kan?
Saya dan teman saya itu lahir di generasi yang secara relatif mudah mendapatkan mobilitas sosial hanya bermodalkan pendidikan yang baik dan juga masih murah. Kapitalisme belum terasa terlalu jahat sewaktu saya muda, ketimpangan tak separah ini, kerusakan lingkungan belum mengadang di depan mata. Uang kuliah saya di UGM tahun 1990-an adalah Rp225.000 per semester. Sebulannya lebih murah dari kosan saya yang waktu itu seharga Rp50.000 per bulan.
Papa saya hanya berijazah SMP, mama ijazah SMA. Pendidikan saya–swasta Katolik sejak TK hingga SMA dan UGM ketika kuliah–dibiayai oleh usaha warung kelontong dan pinjaman dari saudara-saudara. Sekarang hidup saya lebih baik dari orang tua saya, paling tidak dari ukuran misalnya, saya tak perlu pindah rumah 13 kali dalam kurun waktu 24 tahun. Orang tua saya dikenal dengan istilah “kontraktor” atau pindah dari satu rumah kontrakan yang satu dan yang lainnya beberapa tahun sekali.
Dengan modal ijazah UGM dari fakultas yang sebenarnya bukan fakultas yang menjanjikan secara finansial, saya bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji lumayan, dan pada tahun 2008, dengan gaji saya sendiri dan sedikit pinjaman dari saudara-saudara, saya bisa membeli rumah yang tidak akan bisa saya beli di tahun 2023 dengan penghasilan saya sekarang. Harga rumah sudah naik 5 kali lipat lebih, sementara gaji saya tidak naik 5 kali lipat.
Maka bisa dipahami jika saya, apalagi generasi sebelum saya, yaitu “boomer”, banyak yang tidak kritis terhadap kapitalisme dan ekonomi pasar bebas, bahkan membelanya. Generasi kami di seluruh dunia juga takut pada komunisme dan sosialisme. Indonesia, apalagi. Kita punya sejarah paling gelap dari yang tergelap di seluruh dunia jika berkaitan dengan pemberantasan komunisme. Apalagi, boomer dan Gen X adalah generasi yang digembleng oleh Orde Baru selama puluhan tahun untuk menjadi massa mengambang, yaitu rakyat yang menurut Made Supriatma, “tidak punya ideologi atau keyakinan, tidak punya imajinasi tentang masa depan.”
Kapitalisme membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik bagi generasi yang menonton Thatcher dan Reagan di TVRI dan menikmati film-film American Dream produksi Hollywood. Dia membawa pembebasan individu dan janji bahwa jika kita masing-masing orang kerja keras maka kita bisa jadi kaya.
Tidak heran, mantra banyak orang Indonesia di generasi saya ketika membaca ada masalah sosial, apa saja, mulai dari kesulitan mencari kerja, stunting, dan pejabat korupsi, solusinya selalu: KUNCINYA MEMANG DI PENDIDIKAN. Artinya, yang salah orang-orangnya yang bodoh dan tidak makan bangku sekolahan, bukan sistemnya yang memang tidak adil. Tak terbayangkan orang-orang ini akan bilang: revolusi meruntuhkan kapitalisme dan patriarki.
Sekarang, Kapitalis Pun Bilang Kapitalisme Rusak
Kira-kira 10 tahun terakhir, saya menandai era baru dalam ayunan pendulum kapitalisme. Ini masa di mana para pemikir dan pendukung kapitalisme pun bahkan menulis bahwa kapitalisme sudah rusak.
Pada 2011 saya menyaksikan Occupy Wall Street, di mana orang AS yang kebiasaan menyalahkan orang miskin untuk kemiskinannya, mulai sadar bahwa ada yang salah di sistem mereka. Cara mereka sadar sungguh rasis sebenarnya: kalau orang kulit putih saja banyak yang terancam jadi tunawisma, artinya yang salah sistem dong, bukan manusianya. Selama ini mereka selalu menyalahkan rakyat kulit berwarna atas kemiskinannya.
Pada 2017, belasan penerima Hadiah Nobel di bidang ekonomi berkumpul di pulau Lindau dan membahas tentang ketimpangan yang jadi kecemasan bersama. Ketimpangan ini tentu hasil dari sistem ekonomi kapitalisme. Bahkan Bank Dunia, pelaku utama dalam sistem ekonomi kapitalistik, sudah memperingatkan bahwa ketimpangan sudah mengkhawatirkan.
Mereka menulis ini dan itu untuk memperbaiki kapitalisme, atau dengan kata lain mempertahankannya, hanya saja menjadikannya lebih baik.
Dalam bidang saya sendiri, jurnalisme dan industri media, kapitalisme sudah diakui akademisi dari AS, sentral kapitalis, sebagai biang kerok dari hampir semua masalah jurnalisme. Menurut Victor Pickard, seorang profesor di Sekolah Komunikasi Annenberg di Universitas Pennsylvania, kapitalisme membunuh media lokal yang independen, mempersenjatai media sosial sehingga mereka bisa mengeruk keuntungan dari data dan perhatian kita, dan menurunkan nilai kerja buruh media. Saran Pickard: Cerai!
Dengan senang hati. Makanya kami bikin Project Multatuli. Kami menyatakan cerai dari kapitalisme. Sekarang kami meraba-raba dalam remang-remang, mana jalan yang benar menuju keberlanjutan (sudah lima bulan ini neraca kami defisit, meski saya yakin kami belum bakal mati tahun ini). Pada 26 Mei 2023, saya bicara di sesi International Press Institute (IPI) di Wina, Austria, tentang keberlanjutan media pinggiran macam Project M. Seseorang bertanya, apakah kalian punya Plan B jika tak ada uang lagi? Jawaban saya: “Die peacefully.” Tiga pemimpin media pinggiran di sebelah saya–dari Portugal, Brazil, dan Romania–ketawa pahit namun paham. Kemungkinan media kami mati sewaktu-waktu sangat riil di depan mata.
Memang sungguh sulit membayangkan kiamat kapitalisme dan alternatifnya, sementara kiamat dunia dengan mudah saya bayangkan: krisis air, udara kotor, sampah menggunung, banjir hari ini, kekeringan esok hari.
Jadilah Realistis, Tuntut yang Tak Mungkin
Sesulit apapun membayangkan berakhirnya kapitalisme, menerima kenyataan saat ini, dengan segala ketimpangan di berbagai lini dan kerusakan lingkungan yang menyesakkan, bukanlah tindakan yang realistis. Membayangkan perbaikan kapitalisme pun dihantui pertanyaan runyam, “Mulai dari mana?”, “Apakah pemegang kuasa mau menyerahkan kekuasaannya?”, “Apakah yang lemah, si 99%, bisa bersatu melawan bukannya malah berantem sendiri seperti cebong versus kadrun dan Demokrat vs Republikan di AS?”.
Memang alternatifnya tidak terbayangkan.
Apakah melawan bisa menang? Lihat perlawanan rakyat terhadap Yogyakarta International Airport (YIA). YIA tetap berdiri, dan orang-orang yang mau boikot pun sulit juga untuk boikot karena semua pesawat lama-lama akan dari sana semua.
Saya ngobrol dengan sopir taksi yang kehilangan pekerjaan karena ketidakadilan di salah satu pabrik milik perusahaan raksasa di Surabaya. Saya tanya, “bukankah ada serikat?” Ia bilang, “percuma, ikut serikat malah dipecat.” Mungkin maksudnya dipecat lebih cepat, karena toh akhirnya dia juga dipecat tanpa pesangon. Karena contoh-contoh ini, banyak orang yang tidak melawan lalu menerima kenyataan.
Di Morowali Utara, banyak kasus kecelakaan kerja, tapi dari 11.000 buruh, hanya 80 yang ikut serikat karena banyak yang takut dipecat. Mereka memilih berjudi dengan nyawa ketimbang dipecat. Sebanyak 10.920 buruh memilih menerima sistem karena sulit membayangkan sistem bisa berubah.
Tetapi bagi saya, menerima kenyataan bahwa perempuan diperkosa dan pelakunya bebas tanpa hukuman, tidaklah realistis. Menerima kenyataan bahwa polisi mengabaikan laporan perempuan korban kekerasan seksual, korban pinjol, penipuan developer, juga tidak realistis.
Tidak realistis bagi kita menerima kenyataan bahwa anggota DPR dan DPRD setiap hari mengkhianati rakyat yang dia wakili dan malah bekerja untuk elite dan oligarki. Apakah realistis jika para buruh menerima kenyataan kerja capek-capek tapi masih harus utang buat makan karena perusahaan tak bayar lembur?
Tidak realistis menerima kenyataan bahwa jurnalis tiap hari kerjanya menulis omongan 10 menit laki-laki paruh baya di Jakarta yang dipecah jadi 10 utas berita. Tidak realistis menerima kenyataan bahwa media jarang membela buruh karena pemiliknya adalah para majikan atau medianya bergantung pada iklan para majikan. Tidak realistis juga menerima kenyataan bahwa jika Project M ingin dimiliki buruhnya sendiri maka kami tidak bisa bertahan lama.
Akhirnya setelah 25 tahun, saya paham, apa yang dimaksud demonstran bulan Mei 1968 di Prancis itu. Jadilah realistis, tuntut yang tidak mungkin!
Karena metode paling mendasar dari penindasan adalah mematikan imajinasi kita tentang hidup yang lebih baik. Seorang budak yang lahir tidak bebas akan kesulitan membayangkan dunia di mana dia bisa duduk satu meja dengan majikannya, makan makanan yang sama. Kita harus meretas kebuntuan imajinasi kita.
Itu sebabnya saya sepakat dengan pemikiran Paus Fransiskus tentang “penyair sosial”. Paus menyebut orang-orang yang memulai perubahan sosial sebagai penyair sosial.
“Aku ingin menyebut kalian ini: Penyair Sosial, karena kalian mampu dan berani membuat harapan di saat yang terlihat hanya kesia-siaan dan peminggiran. Puisi artinya daya cipta (kreativitas), dan kalian menciptakan harapan,” kata Paus.
Para penyair sosial ini, mengingatkan kita, kata Paus, bahwa kita “tidak dikutuk untuk mengulang atau membangun masa depan berdasarkan eksklusi dan ketimpangan, penolakan atau ketidakpedulian; di mana budaya privilese membentuk kekuasaan yang tak terlihat dan tak terbendung, dan eksploitasi serta penindasan adalah metode yang sudah kita anggap wajar demi bertahan hidup.”
Itu sebabnya juga saya sangat tergetar dengan Manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan, yang mengajak kita membayangkan: “Masa depan yang kami gambar bertumpu pada semangat kolektif, solidaritas, dan kasih sebagai kekuatan meretas pagar-pagar kapitalis, patriarkis, dan heteronormatif.”
Lantas alternatif apa yang mesti kita tuntut?
Selain hal yang telah ditulis di manifesto Sekolah Pemikiran Perempuan, saya mengajak kalian menuntut, keras-keras dan seberisik mungkin, hal-hal yang “tidak mungkin” di dunia kapitalistik ini: buruh dan majikan sama-sama sejahtera, buruh big tech bisa istirahat mulai jam 7 malam tanpa diganggu pesan dari bos, pejalan kaki di Jakarta tak perlu naik JPO untuk menyeberang, penguasa berhenti membabat hutan, penguasa tidak ugal-ugalan menggusur rakyat demi mega proyek yang menguntungkan hanya elite, tak ada lagi perempuan yang jadi korban kekerasan seksual, tak ada lagi anak perempuan yang masa depannya hancur karena dihamili, listrik Indonesia didominasi tenaga surya, semua rumah sakit menerima BPJS Kesehatan, Indonesia punya presiden perempuan orang asli Papua, dan media independen bertahan seribu tahun, pekerjanya sejahtera, berkat puluhan ribu pembacanya yang jadi Kawan M.