Impian Terkubur, Kemiskinan Menyubur: Korban Putus Sekolah dan Perkawinan Anak di Jawa Timur

Ronna Nirmala
16 menit
Putri (18) menggendong putranya (1) di sekitar rumah mereka di Kabupaten Malang, Jawa Timur. (Project M/Ardila Syakriah)

Bila kadung hamil, anak perempuan tak punya banyak pilihan. Ia akan putus sekolah, dan dipaksa menikah. Ia tak lagi punya kuasa penuh atas masa depan yang diidamkan. Di Jawa Timur, angka pernikahan anak masih tinggi dan justru meningkat selama pandemi. 

NIA kecil begitu aktif dan gemar mengikuti berbagai kegiatan fisik di luar rutinitas belajar di sekolah.

Nia ingin jadi polisi wanita. Ia tercantol dengan sosok polisi wanita yang ia saat tengah berjalan-jalan bersama kakek dan neneknya di alun-alun Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Saat di bangku sekolah dasar, ia ikut kegiatan menyanyi, basket, hingga mendaki gunung yang tak jauh dari rumahnya. Ia pernah meraih juara dua lomba lari antarsekolah, dan juara pertama dalam lomba organisasi kepanduan, Pramuka, bersama teman-temannya.

Masuk sekolah menengah pertama, Nia mendaftar ke perguruan pencak silat. Ia ingin mengikuti jejak kakak kelasnya yang berhasil masuk akademi kepolisian karena pencak silat itu. Satu langkah mendekati cita-citanya sejak kecil itu.

Namun, langkah itu harus terhenti.

Pada 2021, Nia, yang baru berusia 13 tahun, terpaksa berhenti pencak silat setelah mengetahui ia tengah hamil delapan bulan. Tak lama kemudian, Nia juga harus berhenti sekolah. Pihak sekolah memintanya mengundurkan diri.

“[Setelah melahirkan] Pengin lanjut silat tapi udah gak bisa lari, karena kalau dibuat lari sini [perut] sakit. Kayak udah gak kuat gitu lho kalau lari,” ujar Nia sambil menunjuk perutnya.

Nia mengandung anak dari pacarnya. Ia dan pacarnya itu tak pernah paham bahwa pergaulan keduanya itu punya konsekuensi. Pengetahuan tentang reproduksi tak pernah mereka dapatkan.

Seiring dengan tidak adanya niat keluarga laki-laki untuk bertanggung jawab, keluarga Nia melaporkannya ke polisi dengan tuduhan kekerasan seksual. Kedua pihak menjalani mediasi yang berakhir pada keputusan untuk menikahkan siri kedua anak.

Dengan terpaksa, Nia menjalani pernikahan karena dorongan orangtua yang ketika itu berharap bahwa pihak laki-laki dan keluarganya bertanggung jawab membesarkan anak mereka, Fitri. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya.

“Kalau dulu pas serumah cuma main HP aja, nggak ngapa-ngapain. Cuma bantuin orangtuanya. Nggak ada penghasilan. Males-malesan. [Kalau perlu] apa-apa juga [mintanya] ke ibuku,” kata Nia.

Kini keduanya tak lagi tinggal bersama. Status pernikahan siri membuat mereka merasa tidak perlu melegalkan perpisahan. Suaminya itu juga semakin jarang mengunjungi Nia dan Fitri.

Sementara Fitri, di tahun keduanya, semakin aktif melangkah. Ia semakin membutuhkan pengawasan dan biaya hidup. Bagi Nia, ini adalah akhir dari mimpinya menjadi polisi.

Nia (15) bersama putrinya, Fitri (1), tengah menikmati makanan ringan di rumah mereka di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. (Project M/Ardila Syakriah)

***

Menikahkan Nia, putri sulungnya, bukan keputusan yang mudah bagi Ninik.

“Hancur hati saya ketika [Nia] putus sekolah. Saya dulu kerja masak, jadi pembantu, sehari dapat 25 ribu untuk uang saku Nia dan adiknya,” kata Ninik.

Ninik berharap Nia bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi darinya yang lulusan SMP. Ninik muda pernah bermimpi jadi perawat, namun pupus karena harus membantu orangtuanya berjualan sayur keliling.

Umur 18 tahun, Ninik pernah menjadi korban penipuan dan kekerasan verbal dari agen buruh migran ketika hendak mengadu nasib di Hong Kong.

Ninik tidak pernah menyangka bahwa putrinya juga harus melalui kesusahan hidup di usia belia. Maka ia berharap dengan menikah, kehidupan Nia setidaknya tidak akan terlalu terpuruk. Anak dalam kandungannya akan memiliki bapak sehingga tidak ada lagi tekanan sosial dari lingkungan sekitar.

Ninik dan suami tidak punya pekerjaan tetap. Mereka kerap berkeliling menawarkan jasa cat atau reparasi perabot dan bangunan dari satu rumah ke rumah lainnya. Terkadang, Ninik dan Nia juga mencari bunga tabur untuk dijual ke pemakaman sekitar.

“Nia pengin kuliah, tapi saya gak ada uang. Kadang beli susu aja saya bingung. Dia pengin kerja di luar negeri untuk bayar biaya kuliahnya nanti,” sesalnya.

Tak Punya Kuasa Menolak

Pepatah mengatakan, ‘Butuh satu desa untuk membesarkan seorang anak.’ Bagi Putri, korban perkawinan anak asal Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang terjadi justru sebaliknya.

Putri hanya bisa mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD. Perundungan yang ia terima, mulai dari ejekan “anak orang miskin,” hingga jambakan rambut, membuatnya tak ingin kembali.

Trauma yang ia alami begitu membekas, meski sang ibu dan para guru terus membujuknya untuk kembali. Ia juga tak mau membebani kedua orangtuanya dengan biaya pendidikan dan memilih untuk menjaga neneknya yang tengah sakit.

Ibu Putri adalah buruh tani yang tidak lagi bisa sepenuhnya bugar karena kakinya yang kerap kejang setiap kali membabat di kebun. Sementara, ayahnya telah meninggal dunia setelah terbaring sakit selama tujuh tahun lamanya.

Pekerjaan rumah seperti memasak dan bersih-bersih menjadi tanggung jawab Putri karena sang ibu bekerja di kebun yang cukup jauh dari rumah. Saat berusia 15 tahun, ia bekerja di pabrik bakpao di Surabaya. Setelahnya, ia bekerja sebagai PRT dan penjaga toko di Blitar.

Di tengah upayanya menghidupi diri, Putri hamil. Kejadian itu terjadi tahun lalu, saat ia berusia 17, sementara pacarnya berumur 22 tahun. Sang pria enggan bertanggung jawab.

Putri menanggung kehamilannya sendiri. Semakin hari, perutnya semakin membuncit. Warga di sekitar tempat tinggal orangtuanya di Blitar mulai mempertanyakan kehamilannya.

“Di sana tetangga menghakimi sendiri. Saya dibentak, ‘Siapa yang hamilin?’ Saya jadinya takut. Di sana [saya] nggak diterima, saya diusir. Yang dateng ke rumah gak cuma satu dua orang, sedesa dateng,” kata Putri dengan suara tercekat.

Putri akhirnya memutuskan pulang ke desanya di Malang. Ia kemudian melahirkan buah hatinya.

Tak lama setelah melahirkan, seorang buruh tani berusia 40 tahun di desa tetangga melamarnya.

Lamaran tersebut disertai permintaan agar pernikahan dilakukan dengan segera dan mengubah usia Putri menjadi 19 tahun di KTP. Keluarga pria menanggung biaya Rp2 juta untuk mengubah tahun kelahiran Putri dari 2005 menjadi 2003.

Putri awalnya menolak lamaran ini. Namun, sang ibu menaruh harapan besar pada pernikahan ini karena iming-iming pria itu akan menafkahi dan mengurus Putri beserta bayinya.

“Saya pikir nunggu anak saya agak besar dulu. Saat itu umur anak saya tiga bulan. Orangtuanya langsung ngebet, langsung cari tanggal. Saya kaget udah ditentuin tanggalnya. Jadinya Ibu saya mau menolak juga gimana?” kata Putri.

Nahas, anggapan sang suami akan bertanggung jawab ternyata mimpi di siang bolong. Pernikahan mereka hanya bertahan enam bulan. Januari awal tahun ini, keduanya tak lagi tinggal bersama.

“Ke saya nggak menghargai. Ke anak saya juga gak mau. Masih ibu saya yang nanggung, popok habis, minyak telon habis, semuanya habis itu musti Ibu saya yang beliin,” kata Putri sambil menyusui anaknya.

Putra Putri (18) bermain di satu-satunya kamar di rumah mereka yang digunakan bersama ibu dan neneknya di Kabupaten Malang, Jawa Timur. (Project M/Ardila Syakriah)

***

Pendidikan di Tengah Maraknya Perkawinan Anak

Nia dan Putri adalah dua korban di antara tingginya angka perkawinan anak di Jawa Timur.

Tahun lalu, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat 15.408 pengajuan dispensasi kawin anak di Jawa Timur, hanya 300 di antaranya yang ditolak. Dari jumlah itu, sebanyak 31 persen disebabkan karena anak perempuan telah hamil, sebut Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan setempat.

Angka ini sebenarnya turun dari tahun 2021 dan 2020 yang masing-masing mencapai lebih dari 17.000, namun tetap dua hingga lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan 2019 dan 2018. Akan tetapi, jumlah ini belum mencakup anak-anak yang menikah siri seperti Nia, yang menurut aktivis perkawinan anak dari Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur, juga amat tinggi di beberapa wilayah Jawa Timur seperti Sumenep.

Restu Novi Widiani, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, mengatakan peningkatan jumlah itu terjadi karena pandemi COVID-19 dan pengesahan UU Nomor 16/2019, revisi UU Nomor 1/1974, yang mengubah mengatur batasan usia pernikahan perempuan dari 16 ke 19 tahun.

UU Nomor 1/1974 sebelumnya mengatur batas usia pernikahan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Revisi dari aturan tersebut adalah bagian dari upaya menekan angka perkawinan anak. Kendati demikian, masih ada celah bagi perkawinan anak melalui pengajuan dispensasi ke Pengadilan Agama. Artinya, jika sebelum revisi UU anak perempuan usia 16-18 tahun tak perlu mengajukan dispensasi. Kini, dengan batasan usia baru, permohonan mereka untuk menikah menjadi turut tercatat.

Pada 2018, sebanyak 1,2 juta perempuan menikah di rentang usia anak, dengan lebih dari 60 ribu di antaranya berusia di bawah 15 tahun, sebut analisis PUSKAPA dan UNICEF. Dengan kata lain, 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun di Indonesia kawin sebelum usia 18 tahun. Angka ini meliputi perkawinan yang tercatat maupun tidak oleh negara.

Dari pengajuan dispensasi di Jawa Timur pada tahun 2022, hampir 500 anak di antaranya belum menginjak usia 15 tahun dan 1.000 tidak bersekolah. Lebih dari 3.400 anak berpendidikan terakhir atau masih menempuh pendidikan SD, 6.800 SMP dan sisanya 4.100 SMA.

Bagi perempuan usia 20-24 tahun yang kawin di usia anak dan telah putus sekolah, menikah menjadi alasan terbesar (47,9 persen) mereka tidak melanjutkan pendidikan, diikuti dengan tugas rumah tangga dan ketidakmampuan membayar uang sekolah, mengutip laporan PUSKAPA dan UNICEF.

Hanya 11,8 persen dari perempuan berusia 20-24 yang menikah di usia anak yang telah lulus SMA.

Novi dari DP3AK Jatim menerangkan bahwa anak yang telah menikah dan hamil dapat menempuh pendidikan di sekolah yang sama, pindah ke sekolah lain, pendidikan informal atau kejar paket.

“Tidak boleh ada mengeluarkan dari sekolah, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikannya,” kata Novi.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan berbicara lain. Apa yang dialami Nia menjadi bukti bahwa ada sekolah yang memilih mengeluarkan pelajarnya yang hamil. Kalaupun anak tersebut bertahan di sekolah, mereka berisiko mengalami perundungan karena identitas dan masalahnya yang tersebar.

Nia misalnya, ia pernah mendapatkan pesan tak menyenangkan di media sosial.

“Ada yang gak kenal aku tapi ngata-ngatain kalau aku gak bakal bahagia. Aku juga gak terima anakku juga dikatain kayak aku,” kata Nia.

Nia (15) mengajak putrinya, Fitri (1), berjalan sore di sekitar rumah mereka di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. (Project M/Ardila Syakriah)

Perundungan kala itu membuat Nia enggan untuk kembali ke sekolah formal, kata pendamping rehabilitasi sosial anak dari Kementerian Sosial di Blitar, Titin Dwi Susanti, yang kala itu membantu memulihkan kondisi mental Nia.

Titin dan pendamping lain di Malang, Titing Rara Wulansari, juga menceritakan beberapa korban yang harus pindah sekolah ke kota lain agar identitasnya tidak diketahui guna menghindari penolakan dan perundungan.

Alwi Maulana, Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, menyatakan sejak 2022, sekolah telah diimbau untuk tidak mengeluarkan siswi hamil. Siswi dapat mengambil cuti atau mengikuti kelas secara daring sampai setelah melahirkan.

Kalaupun tidak bisa melanjutkan di sekolah yang sama, pihak sekolah diminta untuk segera menghubungkan sang anak dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk mengambil kejar paket dan juga dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

“Dilemanya itu kadang dari orangtua yang lain karena sekolah tidak mendahulukan moralnya. Harapannya memang sekolah tidak mengeluarkan, tapi memang seperti itu, ada tekanan dari wali murid,” kata Alwi.

Perkawinan anak pada akhirnya menempatkan para korban pada posisi rentan tak hanya dalam mengakses pendidikan dan kesehatan, namun juga kesempatan untuk memutus siklus kemiskinan antargenerasi.

“Anak putus sekolah, jadi pekerja dengan upah yang rendah dan kemiskinan terus berlanjut,” kata Rini Handayani, Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Urgensi Edukasi dan Akses Kesehatan Reproduksi

Pendidikan dan akses pelayanan kesehatan reproduksi menjadi hal yang juga tak kalah penting dalam upaya memutus jerat pernikahan anak. Sepanjang anak-anak tidak mengetahui risiko dari hubungan seks yang tidak aman, masa depan mereka akan terus terancam.

Rini dari KemenPPPA mengatakan pihaknya telah mendorong Kementerian Pendidikan untuk memasukkan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan secara spesifik.

“Selama ini sudah ada pendidikan kespro ini, tapi tidak spesifik terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Dan materi untuk pendidikan kespro ini sudah banyak, tinggal bagaimana ini menjadi bagian tersendiri dalam kurikulum pendidikan,” kata Rini.

Berbagai studi yang menemukan bahwa murid di Indonesia memiliki pengetahuan yang rendah terkait kesehatan reproduksi maupun pencegahan kehamilan.

Center for Reproductive Health Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Rutgers International pada 2019, merilis temuan bahwa hanya 45 persen murid yang berpikir bahwa remaja perempuan dapat hamil setelah hubungan seksual pertama mereka.

Hanya sepertiga yang percaya bahwa kondom dapat mencegah kehamilan, dan tak sampai 20 persen dari siswi mengetahui di mana mereka bisa mendapatkan alat kontrasepsi. Selain itu, hampir sepertiganya merasa malu untuk mengakses layanan kontrasepsi.

Alwi dari Dinas Pendidikan Kab. Blitar mengklaim pihaknya telah mengadaptasi pendidikan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual sejak jenjang SD melalui pendekatan agama, meski tak menyebutkan modul yang dimaksud secara spesifik.

“Tahun 2022 kami meluncurkan program mengkaji dan mengaji kitab suci. Harapan kami setidaknya dengan memberikan tambahan jam agama ini bisa membuat anak-anak lebih meningkatkan imannya, kami rasa sangat penting itu. Kita dari pendekatan agamanya,” ujarnya.

Hanya saja menurut Alwi, situasi menjadi kompleks ketika anak minim pengawasan di rumah, utamanya di kantong-kantong buruh migran seperti Blitar yang terkadang mengharuskan anak dititipkan ke nenek dan kakeknya, ditambah lagi dengan pengaruh Internet.

Dalam ringkasan kebijakannya, PUSKAPA menekankan bahwa kurikulum pendidikan seksual yang komprehensif hanya akan efektif jika diikuti dengan program pemberdayaan lainnya, seperti memastikan tidak adanya hambatan sosial dan budaya di masyarakat dalam mengakses informasi maupun pelayanan kesehatan reproduksi.

Menjadikan kesehatan reproduksi tabu untuk dibicarakan justru kian menempatkan anak pada posisi rentan dengan tidak membuat mereka kritis dalam mengambil keputusan.

Suti’ah, program manager dalam program pencegahan perkawinan anak di LPKP Jatim, mendorong agar aparat desa dapat meningkatkan alokasi dana ke kegiatan positif dan keperluan anak dan remaja.

Dukungan dari lingkungan terdekat ke keluarga dapat meringankan beban pengasuhan orangtua yang harus bekerja dan meninggalkan anak mereka.

“Tidak hanya faktor ekonomi yang dipenuhi, tapi pengawasan, pengasuhan [anak] juga harus dipikirkan secara kolektif masyarakat,” kata Suti’ah.

Apa yang Berubah Setelah Revisi UU Perkawinan Anak?

Tiga tahun pasca-pengesahan regulasi batas baru usia pernikahan perempuan, interpretasi atas kebijakan itu di tingkat daerah ternyata masih simpang siur.

“Belum semua aparatur kita itu setuju juga dengan upaya pencegahan perkawinan anak. Oknum pemerintah itu nggak bisa dikeluarkan dari kultural di mana mereka berada,” kata Suti’ah dari LKPP Jatim.

Aparatur yang dimaksudnya meliputi pemerintah daerah, penegak hukum, hingga perangkat desa.

Suti’ah hingga saat ini masih terus berupaya mengadvokasi dan mendorong agar pengadilan agama di kabupaten/kota di Jatim untuk tidak dengan mudah mengabulkan dispensasi perkawinan anak jika tanpa alasan darurat. Begitu pula dengan DP3AK dan aparatur desa agar tidak serta-merta memberikan rekomendasi untuk perkawinan anak.

Sayangnya, beberapa aparatur yang ia temui justru mendukung upaya orangtua untuk menghindari anaknya dari berzina dengan menikahkan mereka.

Hal ini didukung dengan temuan Australia Indonesia Partnership for Justice pada 2018, yang menyatakan bahwa pengadilan agama mengabulkan 99 persen dispensasi.

Dari ratusan dispensasi yang dianalisis, kehamilan sebenarnya hanya terjadi pada 3 dari 10 kasus. Alasan terbesar kedua karena anak disebut telah saling suka, diikuti dengan alasan anak berisiko melanggar aturan agama, anak telah berhubungan seksual, anak berisiko melanggar norma sosial dan berisiko berhubungan seksual.

Berbagai alasan ini seharusnya tidak berujung pada perkawinan anak, tegas Suti’ah. Bagi anak yang telah hamil pun, perkawinan semestinya tak serta-merta menjadi pilihan. Apalagi jika perkawinan justru berpotensi me-reviktimisasi anak dan hanya bertujuan untuk memenuhi tuntutan sosial dan kultural. Reviktimisasi menempatkan seorang korban kekerasan seksual pada posisi yang rentan menjadikannya korban kekerasan kembali.

Putri (18) bermain bersama putranya (1) di satu-satunya kamar di rumah mereka yang ia gunakan bersama ibunya di Kabupaten Malang, Jawa Timur. (Project M/Ardila Syakriah)

Suti’ah mendorong adanya alternatif selain menikah yang diberikan ke anak maupun keluarga mereka. Sekadar mengetatkan dispensasi dapat membuat keluarga memilih untuk menikahkan anak mereka melalui jalur lainnya, yang justru menjauhkan anak dari perlindungan hukum.

Artinya, anak tak bisa dilepaskan begitu saja, melainkan perlu diberikan alternatif dalam bentuk layanan dan akses pendidikan yang inklusif, bantuan dan pendampingan sosial, hingga layanan rehabilitasi yang mumpuni. Ini juga berlaku bagi mereka yang telah terlanjur menikah. Wadah yang bisa digunakan misalnya seperti UPTD PPA hingga Women’s Crisis Center.

“Selama ini, rehabilitasi atau pendampingan anak-anak yang menikah masih sangat terbatas. Yang dilakukan pemerintah itu baru anak-anak dalam kasus kekerasan, artinya nikah tapi nggak KDRT itu baik-baik saja asumsinya. Padahal belum tentu baik, bisa jadi dia gak baik-baik tapi gak melapor,” kata Suti’ah.

Rini dari KemenPPPA bersepakat, meski upaya pencegahan telah dilakukan melalui berbagai sektor, penanganan masih belum optimal. Beberapa daerah memiliki praktik baik, namun belum diadopsi secara regional maupun nasional.

“Ini yang masih terjadi. Pembiaran, dikeluarkan, dikucilkan di keluarga, dinikahkan buru-buru. Ini memang belum optimal di lapangan untuk penanganan pemenuhan hak anak,” kata Rini.

“Salah satu penyebabnya karena masih dianggap aib, tabu. Padahal pemenuhan haknya ini harus diutamakan. Kadang masih diumpetin, jadi tidak terdaftar. Ini banyak juga.”

Diskusi PUSKAPA bersama kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat sipil terkait menemukan bahwa layanan bagi anak yang telah hamil dan menjadi korban perkawinan anak belum terintegrasi dan memiliki prosedur yang rumit. Belum lagi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang bisa melakukan pendampingan dirasa masih kurang.

Hal ini merupakan realita umum yang ditemui pendamping anak di Blitar, Titin. Meski telah ada mutasi pendamping untuk meratakan jumlah pendamping sosial di setiap kabupaten/kota, masih ada beberapa pendamping yang harus menangani kasus di daerah tetangga.

Sebagai pendamping, ia juga hanya bisa mengakses anak-anak yang berhadapan dengan hukum atas rekomendasi kepolisian maupun desa. Masalahnya, tak jarang desa dan keluarga cenderung ingin menutup-nutupi.

“Sebenarnya anak yang kayak gini itu banyak. Lebih banyak lagi yang nggak berhadapan dengan hukum,” terangnya.

Suti’ah menekankan bahwa selama masih berusia anak menurut UU yang berlaku, maka seluruh hak anak perlu tetap dipenuhi, termasuk pendidikan.

“Itu yang belum secara sistematis terjadi. Karena seperti saya tadi bilang, lek wes rabi yo wes, kan wes gak anak [kalau sudah nikah, ya, sudah, kan sudah bukan anak],” kata Suti’ah.

Meninggalkan Mimpi, Melanjutkan Hidup

NIA menjadi salah satu yang beruntung mendapatkan pendampingan sosial. Setelah menikah siri dan melahirkan Fitri, ia mendapatkan bantuan untuk belanja kebutuhan dasar dan pemulihan mental agar bersedia kembali menempuh pendidikan, meski tak di jalur formal.

Pada Desember 2022, Nia bertekad mengejar ketertinggalannya di bangku pendidikan melalui program kejar paket yang diadakan seminggu sekali. Awalnya, ia sempat iri melihat teman-temannya bisa bersekolah tiap hari, namun kini kejar paket menjadi opsi paling memungkinkan baginya karena jam belajar yang fleksibel.

Dengan kelas yang berjalan singkat, Nia tak perlu uang saku dan bensin di tengah kesulitan kedua orangtuanya mencari kerja. Apalagi ia juga sudah menjual motornya demi memenuhi kebutuhan sehari-sehari setelah kelahiran Fitri.

“Kalau aku sekolah, ibu kerepotan nggak bisa urus rumah karena harus jagain Fitri,” ujarnya.

Rencananya, setelah mendapatkan ijazah SMP nanti, Nia akan mulai mencari kerja sebagai pekerja rumah tangga seperti ibunya.

Ia juga akan meneruskan kejar paket untuk mendapatkan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA), yang akan ia gunakan untuk mencari kerja sebagai buruh migran di luar negeri, juga seperti ibunya. Sementara, impian menggunakan seragam polisi ia kubur dalam-dalam.

“Penginnya kerja di luar negeri karena penghasilannya [banyak]. Ada tetangga umur 20 tahun ditinggal suaminya, dia akhirnya ke luar negeri dan sukses. Anaknya dijaga sama neneknya,” tutup Nia.


Seluruh nama korban perkawinan anak dan keluarganya pada artikel ini disamarkan atas permintaan narasumber. Wawancara dilakukan bersama dengan pendamping korban.

Laporan ini adalah bagian dari serial #DuniaPendidikan yang mengangkat beragam kekusutan sistem pendidikan Indonesia. Serial ini didanai oleh Kawan M. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
16 menit