Perlawanan dan kesaksian petani-petani Wawonii mengadang korporasi tambang nikel di Sulawesi Tenggara.
“HEWAN pun membutuhkan air. Kalau tidak ada air, mati konyol kita,” Ratna merutuk.
Ratna kesal. Pipa yang saban hari mengalirkan air bersih ke rumahnya kini membawa sedimentasi lumpur. Ratna meyakini lumpur itu mengandung tanah bekas galian nikel PT Gema Kreasi Perdana, anak perusahaan Harita Group, pemilik tunggal izin konsesi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Sebab, air yang digunakan selama ini tak pernah sekeruh itu walau di musim hujan.
Ratna menangis. Hatinya teriris. Ia marah bercampur kecewa. Marah kepada perusahaan yang dianggapnya semena-mena. Kecewa kepada siapa saja yang mendukung beroperasinya perusahaan tambang di pulau yang luasnya hanya 706 km² itu.
Hari-hari berikutnya, Ratna harus menunggu berjam-jam hingga air cukup jernih agar bisa digunakan mandi dan mencuci pakaian dan perabotan dapur. Untuk keperluan memasak, Ratna terpaksa membeli air yang harganya Rp8.000 per galon. Kondisi air belum pulih saat Wawonii Tenggara kembali diguyur hujan pada 21 Mei 2023, menyebabkan sumber mata air kian keruh.
Beberapa jam setelahnya, pipa yang mengalirkan air dari satu-satunya bak penampungan yang digunakan warga selama ini terputus. Warga menduga ada “oknum” yang sengaja memutus pipa agar masalah air tercemar tidak tersebar luas.
Ratna sudah menduga hal ini jauh sebelumnya. Tak heran ia mati-matian menolak masuknya tambang.
“Kata mereka yang jual lahan, aktivitas tambang tidak ada dampaknya. Sekarang sama-sama kita cari air bersih. Mereka dikasih bodo-bodo perusahaan.”
“Hancur kami di sini,” suaranya meninggi.
Ibu dua anak ini sudah 58 tahun menetap di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Sejak lahir, berumah tangga, dan sekarang memiliki cucu. Walau hidupnya tak berjalan mulus-mulus saja, ia masih mampu memenuhi kebutuhan hidup dan bertahan sampai hari ini. Apalagi sekadar mendapatkan air bersih.
“Kami perjuangkan pulau ini karena di sini kami lahir. Di sini tumpah darah kami.”
Pulau Wawonii telah menyediakan segala yang dibutuhkan. Tanaman jambu mete, pala, cengkih, dan kelapa, cukup untuk menopang hidupnya. Ratna tak pernah tergiur lahannya ditawari uang ratusan juta rupiah. Uang dari perusahaan bisa habis dalam sekejap, katanya, tapi hasil perkebunan bisa dinikmati terus-menerus.
“Setahun hasil pala bisa berton-ton. Kita dibilang tolak rezeki. Lantas, ini bukan rezeki?”
Lagi pula, tanpa hadirnya tambang, Ratna merasakan hidupnya telah berkecukupan. Hasil perkebunan memungkinkannya menabung dan membeli berbagai keperluan hidup. Hasil kebun itu juga telah membawanya umrah pada awal tahun 2023.
“Biar tidak ada uang, kita masih bisa makan. Kita punya pemikiran jangan cuma sejengkal. Harus berpikir jauh ke depan. Kita punya anak cucu.”
Ratna beranjak ke halaman rumah. Di sana, biji dan bunga pala dijemur di bawah terik matahari. Ditatapnya biji-biji pala yang tak lama lagi menjadi rupiah.
Ratna berkata telah bosan menyampaikan keresahan hatinya. Suaranya hanya dianggap angin lalu oleh para pengambil kebijakan. Padahal, tambahnya, “perempuan yang dirugikan karena kami memasak dan mengurus dapur.”
Di tengah berbagai penolakan dan gejolak yang terjadi, eksavator perusahaan terus menggunduli lahan dan mengeruk tanahnya. Kendaraan-kendaraan pengangkut ore nikel tetap lalu lalang menuju pelabuhan, yang letaknya hanya 200-an meter dari rumahnya.
Ratna bertekad tak akan menyalurkan hak pilihnya pada pemilu di tingkat lokal nanti. Ia kadung kecewa. Merasa ditinggalkan anggota dewan yang seharusnya menjadi penyambung suaranya. Merasa tak dipedulikan kepala daerahnya.
“Saya akan golput. Hanya suara kami yang dibutuhkan. Kita demo di DPR, diusir seperti binatang. Dibentak-bentak. Kita demo di Kendari, dihantam dengan gas air mata. Saya hampir mati karena sesak napas.”
“Katanya, mendatangkan investor untuk kesejahteraan, tapi malah menyengsarakan. Mematikan secara halus.”
“Sekarang tidak ada keadilan. Tidak ada perikemanusiaan. Kayak penjajahan Belanda kita dibikin. Penjajahnya negara sendiri.”
Bersembunyi di Hutan
Pukul 6 pagi pada pertengahan Mei 2023 di Desa Sukarela Jaya, Hastati sibuk membelah buah kelapa tua untuk dijadikan kopra. Totalnya 1.000 buah. Sebagian kelapa itu milik sendiri yang baru saja dipanen, sebagian lain dibeli dari warga sekitar. Saat itu harga kopra putih Rp7.500/kg dan kopra hitam Rp6.500/kg. Dalam satu kali panen, setiap tiga bulan, kelapa yang dihasilkan biasanya mencapai 3.000 buah. Selain daging kelapa, Hastati mendapatkan keuntungan ekonomi dari tempurung kelapa yang dibakar menjadi arang.
Hastati, 45 tahun, adalah ibu enam anak. Seperti warga lain yang menolak tambang, Hastati merasa sudah cukup atas hasil perkebunannya. Ia berkata pernah ditawari uang Rp1 miliar agar mau melepas tanah seluas 2 ha warisan orang tua. Ia juga bercerita ditawari umrah gratis berkali-kali, bantuan biaya pendidikan untuk anak-anaknya, dan pernah diajak bekerja di tambang.
“Tapi saya tolak. Kita mau mempertahankan lahan dan Pulau Wawonii. Lebih baik kita berdikari begini.”
Uang dari perusahaan, katanya, bisa habis dalam sekejap. Namun, lahan yang dimilikinya, selama tidak dirusak, bisa memberikan kehidupan hingga generasi mendatang.
“Kalau sudah habis gunung, perusahaan pulang. Sedangkan kita?”
Di lahannya tumbuh pala, cengkih, dan jambu mete. Baru setahun terakhir Hastati mulai membuat kopra. Pohon pala dan cengkih baru belajar berbuah. Tahun lalu, ia memanen 50 kg cengkih. Sementara pala sekali panen rata-rata 5 kg. Jambu mete menjadi tanaman andalannya. Setahun bisa menghasilkan 3-4 ton.
Hastati tinggal bersama suami dan empat anak dan seorang cucu. Sulitnya mendapatkan air bersih menghantam seluruh kehidupannya, tak cuma mempengaruhi ekonomi rumah tangga. Hastati tak pernah menyangka akan melalui fase ini. Sejak dulu, ia tak pernah kesulitan mendapatkan air bersih. Sumur di Roko-Roko rata-rata sudah ditutup lebih dari satu dekade sejak air dari mata air Banda mengalir lancar ke kampung.
“Dulu kita senang air mengalir ke rumah. Sekarang harus ke sungai untuk mencuci. Bagaimana kita tidak mau marah?”
Sebagai bentuk penolakan tambang, Hastati menolak menerima bantuan air dari perusahaan. Ini bukan hanya tentang air. Ini tentang prinsip, katanya. “Sekarang terpaksa pakai air kali untuk memasak.”
Hastati tak pernah lupa kejadian tahun 2022. Saat itu ia bersama ibu-ibu lain nekat melepas baju dalam aksi menolak tambang nikel. Ia juga pernah bersembunyi di hutan selama nyaris dua bulan. Ia takut ditangkap lantaran dianggap menghalangi pertambangan.
“Saya jengkel kepada perusahaan. Kita mempertahankan lahan malah dicari-cari polisi. Padahal kita tidak membunuh atau mencuri.”
Hastati bersembunyi di hutan bersama delapan warga lain. Di antara mereka ada Amlia yang menolak menjual lahannya untuk dijadikan jalan hauling atau jalan akses kegiatan pertambangan.
Saya menemui Amlia di kebunnya pada 20 Mei 2023. Ia berkisah bersembunyi di hutan lantaran takut ditahan polisi setelah menerima surat panggilan sebagai “saksi” oleh Kepolisian Resor Konawe Kepulauan.
“Kalau tidak dikasih lahannya, kita tidak dilepas di kantor polisi. Yang dipanggil ke polisi yang punya lahan. Kita bingung kenapa dipanggil. Lebih baik kita lari. Tidak usah kita hadiri panggilan polisi itu.”
Selama persembunyian itu, mereka melewati hari-hari cukup berat. Siang berpencar di hutan, malam mencari gubuk untuk berlindung. Dalam sehari, kadang tidak makan apa pun. Pernah mereka terpaksa makan singkong rebus basi.
“Biarpun makan, kita tidak rasa makan. Begitu juga kita duduk. Tidak tenang. Mau tenang bagaimana? Kita lari hampir dua bulan. Kita dicari-cari petugas polisi,” tutur Amlia.
Amlia juga pernah diiming-imingi gaji untuk anak pertama dan suaminya tanpa perlu bekerja oleh pihak perusahaan.
“Saya ditawari terserah mau berapa. Kalau mau, anak dikasih kuliah sambil kerja di kantor. Bapak dapat gaji biar tidak kerja. Anak yang paling tua juga dapat gaji biar tidak kerja.”
Tak jauh dari gubuknya, tumbuh pohon singkong berusia dua bulan dan tanaman lain seperti cabai, pisang, dan kelapa. Hujan deras beberapa hari sebelumnya menyebabkan sebagian lahan itu terendam air yang membawa sedimentasi lumpur merah setinggi pinggang orang dewasa. Amlia menduga tanah merah itu mengandung bekas galian nikel.
Kini Amlia dan suaminya harus berjalan kaki sejauh 2 km dari tempat memarkir sepeda motor mereka setiap kali ke kebun. Rute yang biasa dilalui telah menjadi jalan hauling PT Gema Kreasi Perdana. Saat masih bisa menggunakan sepeda motor, mereka biasanya ke kebun pukul 8 pagi. Sekarang paling telat berangkat pukul 6.30. Dari semula hanya setengah jam naik motor, sekarang mereka harus berjalan kaki selama dua jam untuk tiba di kebun.
Hasil panen pun dipikul dengan berjalan kaki melewati jalanan berbukit. Saat musim panen jambu, Amlia dan suaminya terpaksa mengangkut jambu seberat 20-30 kg dengan berjalan kaki.
“Walau sulit, kita berusaha tembus. Namanya petani. Pendapatan kita dari berkebun,” kata Amlia, yang membopong singkong seberat 20 kg dari kebun menuju parkiran motor sejauh 2 km dengan berjalan kaki.
Merusak Mata Air
Saharia, warga Desa Dompo-Dompo Jaya, seperti biasa bangun pagi hari untuk menyiapkan sarapan. Saat memutar keran untuk mencuci ikan, air yang keluar berwarna oranye. Ia terpaksa memasak dan mencuci bahan makanan menggunakan air hujan yang ditampung dari atap rumah beberapa hari sebelumnya.
Saharia, 50 tahun, adalah ibu tunggal empat anak. Keluarga ini memiliki kebun seluas 250 m² yang ditanami kelapa, jambu mete, pala, dan cengkih. Saharia mengolah kelapa yang buahnya dijadikan kopra dan tempurungnya dijadikan arang, dibantu ketiga anaknya. Salah satu anaknya saat ini mencari nafkah di perantauan.
Saat ini Saharia cemas kebun mereka bisa diserobot sewaktu-waktu oleh perusahaan.
PT Gema Kreasi Perdana, anak usaha Harita Group, melakukan produksi dan pengapalan ore nikel pada Agustus 2022. Lokasi penggalian korporasi berada di beberapa desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, yang diduga telah mencemari sumber mata air. Pamsimas (program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat) Sukarela Jaya dan Pamsimas Dompo-Dompo Jaya, keduanya menyuplai air bersih untuk dua desa tersebut, mengalirkan air berlumpur sejak hujan deras pada 9 Mei 2023.
Pada 19 Mei 2023, saya mendatangi mata air Banda di hutan Wawonii Tenggara, sekitar satu jam berjalan kaki dari Desa Dompo-Dompo Jaya. Mata air di dalam gua karst dengan ketinggian 119 mdpl ini mengalir ke beberapa anak sungai sebagai sumber pengairan kebun dan pertanian warga.
Pada 21 Mei, Wawonii Tenggara kembali diguyur hujan. Kawasan perairan di Desa Sukarela Jaya, Dompo-Dompo Jaya, dan Roko-Roko berubah warna cukup pekat. Di tengah hujan, warga yang tinggal di tepian laut membersihkan selokan, menghalau material lumpur yang terbawa air hujan. Menurut warga setempat, perubahan warna air laut kerap terjadi saat hujan, tapi tidak separah itu.
Saya memeriksa pipa di rumah warga. Airnya cokelat pekat. Tak sampai dua jam setelah hujan berhenti, aliran air di rumah-rumah warga terhenti. Dalam perjalanan, saya bertemu seorang wanita yang membawa bundel cucian di atas sepeda motor. Ia berteriak, “Saya mau pergi bilas cucian.” Perempuan lain menimpali, “Air ini sudah tidak ada gunanya.”
Saya mendatangi lokasi pertemuan sungai Roko-Roko dan Tambusiu-siu yang mengalirkan mata air Banda. Gradasi warna mencolok antara keduanya. Sungai Roko-Roko hanya sedikit keruh, sedangkan Tambusiu-siu berwarna kecokelatan. Sungai Roko-Roko adalah satu-satunya yang tidak tercemar dan masih digunakan warga Desa Roko-Roko, Sukarela Jaya, dan desa sekitar untuk keperluan mandi, mencuci, dan memasak. Perusahaan membagikan air bersih tapi sebagian warga menolak sebagai sikap penolakan atas aktivitas tambang di Wawonii.
Saharia termasuk warga yang menolak tambang. Sebagai ibu tunggal, ia mengemban peran ganda mengurusi rumah dan mencari nafkah. Ia harus ke sungai berjarak 500 meter untuk mendapatkan air bersih, selain mengandalkan air hujan. Ia dan keluarganya terpaksa mengurangi frekuensi mandi karena merasa tak nyaman menggunakan air kotor. Belum lagi anggota keluarga perempuan yang setiap bulan harus melalui fase menstruasi. Di rumahnya, ada tiga perempuan.
“Kita pusing tidak ada air begini,” keluhnya. “Pada masa-masa datang bulan itu berat sekali. Karena harus sering bersih-bersih. Sekarang mau apa? Kita tahan-tahan mi.”
Sampai pertengahan Agustus 2023, air bersih belum juga pulih. Padahal sudah memasuki musim kemarau. Walau tak begitu keruh, air masih berlumpur. Selain itu, saluran air kerap kali macet. Sejak terputus pada Mei, air kembali mengalir pada awal Agustus.
Perasaan takut menghantui Saharia setiap kali menggunakan air yang diduga kuat tercemar itu. Tapi tak ada pilihan lain. Untuk kebutuhan minum, ia kadang mengambil air di sumur warga lain yang berjarak 100 meter dari rumahnya, dengan menggunakan gerobak pasir untuk mengangkut air.
“Saya khawatir soal kesehatan. Biasanya habis mandi kita gatal-gatal. Tapi mau bagaimana lagi? Kita butuh mandi. Saya rindu kehidupan yang dulu,” katanya.
Diserang Gatal-Gatal
Sudah lama tidur Ristan tak nyenyak. Nyaris setiap malam ibu muda berumur 24 ini terbangun dan menyaksikan bayi kesayangannya kesulitan tidur. Abyan, anak lelakinya, diserang gatal-gatal sejak berusia lima bulan. Mulanya pada area betis dan pergelangan kaki muncul bintik-bintik kecil, lambat laun menyebar hingga ke jari dan telapak kaki. Sekarang usia Abyan sembilan bulan.
“Ini sudah lumayan membaik. Awalnya parah sekali. Penuh luka. Jorok,” ujar Ristan memperlihatkan kaki Abyan seperti parutan.
Penyakit itu juga menyerang Ristan, suaminya, dan kedua orang tuanya. Tubuh Nahati, ibu Ristan, berbintik hitam dan terasa gatal sekitar enam bulan lalu. Penyakit ini dialami hampir semua warga di tiga desa meliputi Mosolo, Sinar Mosolo, dan Sinaulu Jaya.
“Awalnya gatal di semua badan. Saat digaruk terasa panas. Bahkan sampai berdarah. Saya pusing. Kadang digaruk pakai sikat. Saya obati dengan meminum rebusan daun,” kata Nahati.
Sumber air yang digunakan Ristan sekeluarga berjarak kurang lebih 500 meter dari lokasi penambangan nikel.
Nahati bermukim di Mosolo sejak umur lima tahun. Sepanjang usianya yang sekarang 65 tahun, ia berkata belum pernah mengalami penyakit gatal-gatal seperti saat ini. Dulu, air menjadi keruh hanya jika hujan deras berhari-hari. Tak seperti sekarang. Air berubah warna walau hujan sebentar. Kini keluarga ini terpaksa menggunakan air kotor. Tak ada sumber air lain. Agar bisa digunakan, air harus didiamkan sampai cukup jernih.
Di Desa Mosolo, nasib Tika pun sama. Ibu dua anak berusia 24 tahun ini mengeluhkan gatal-gatal. Kondisi tubuh An, anak Tika berusia 1 tahun, mirip dengan Abyan. Kulit jari-jari kakinya terkelupas. Pada punggung kaki ada bekas luka-luka berbentuk melingkar kehitaman. Awal Agustus 2023, Tika memeriksakan diri dan anaknya ke dokter di Kota Kendari.
“Kata dokter, tidak ada masalah dengan susunya. Hanya dibilang mungkin pengaruh cuaca. Semua keponakan juga gatal-gatal. Saya sendiri gatal-gatal sejak bulan lalu.”
“Kita tidak pakai sumur bor. Hanya mengharapkan air dari mata air,” kata Tika.
Di Desa Sinaulu Jaya, Wa Muita tinggal bersama lima anggota keluarga, tiga di antaranya perempuan. Ia mengalami gatal-gatal dalam setahun terakhir. Ini rentang saat perusahaan tambang melakukan penggalian nikel. Penyakit gatal-gatal yang dideritanya tak kunjung sembuh, sementara kebutuhan air rumah tangga pun berwarna cokelat saat hujan deras pada Mei 2023.
“Kita pakai mandi, mencuci, memasak. Pokoknya kebutuhan sehari-hari. Di sini sungainya jauh. Kalau musim hujan, pasti merah juga.”
Wa Muita menderita gatal-gatal di beberapa bagian tubuhnya. Ia telah mencoba berbagai obat salep. Pernah berobat di puskesmas dan diberikan obat. Tak ada perubahan.
“Sudah berapa tablet kita minum, masih gatal-gatal. Mungkin karena air yang dipakai masih kotor. Jelas kita marah. Sebelumnya tidak pernah begini.”
“Awalnya muncul bintik-bintik merah. Kalau digaruk semakin gatal. Kita garuk sampai berdarah. Bahkan celana dalam kita berdarah-darah.”
Jumriati, warga Sinaulu Jaya berusia 24 tahun, khawatir sistem reproduksinya terganggu. Selain itu ia takut jika pertumbuhan anaknya berusia tiga tahun terganggu akibat terus-terusan mengonsumsi air tidak layak pakai.
“Harapannya, pemerintah bisa perhatikan keluhan kita di sini. Perhatikan masyarakatnya. Jangan biarkan masyarakat terdampak pencemaran tambang. Mereka raup keuntungan tapi kehidupan kami dikorbankan.”
Lahadi, penjaga penampungan air warga Sinaulu Jaya, membenarkan air mulai keruh dan kemerahan sejak perusahaan mengebor pada 2020. “Kita tidak bisa mendeteksi apakah pencemaran itu akibat aktivitas perusahaan atau bukan. Akan tetapi, ketika hujan selama satu hari, mata air mengalirkan gumpalan lumpur ke tempat penampungan,” katanya.
“Kita bicara begini bukan mengarang. Ada yang punya lahan di situ dan dia tahu persis bahwa lahan di sekitar itu telah dieksploitasi.”
Terkait dugaan pencemaran air, Kepala Bidang Penataan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Konawe Kepulauan, Hasnawati mengatakan air yang digunakan warga Roko-Roko masih sesuai baku mutu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengujian dilakukan pada mata air Pamsimas Sukarela Jaya dan Pamsimas Dompo-Dompo Jaya.
“Untuk hasil lab yang kami lakukan dan diperiksa di laboratorium terakreditasi (laboratorium Kabupaten Kolaka), hasilnya masih sesuai baku mutu sesuai Permen LHK. Untuk sungai Mosolo, kami pantau sebagai bahan laporan ke KLHK,” katanya.
Hasnawati belum memperlihatkan hasil uji lab tersebut sampai artikel ini dirilis. “Ada sama staf saya,” katanya.
Muhammad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), organisasi masyarakat sipil yang melakukan riset tentang gurita bisnis tambang nikel Harita Group, induk PT Gema Kreasi Perdana, berkata kasus gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya umum ditemukan di daerah tambang nikel. Di Sulawesi Tenggara, hal sama terjadi di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, dan Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan.
“Setahu kami hal itu sudah diriset oleh kampus,” kata Jamil.
Penelitian La Maga, Ahyar Ismail, dan Faroby Falatehan dari Institut Pertanian Bogor (2017) di Tinanggea menemukan warga setempat menderita penyakit kulit akibat menggunakan air bercampur material tanah dari lokasi tambang nikel. Penyakit kulit umumnya diderita petani saat pengolahan lahan. Selain penyakit kulit, warga mengalami penyakit batuk akibat debu aktivitas penambangan maupun pengangkutan material nikel dari lokasi penambangan ke pelabuhan. Radius pencemaran udara ini sampai 3 km dari lokasi tambang nikel.
Mempertahankan Lahan
“Perasaan saya hancur melihat pohon cengkih tumbang. Seperti melihat anak sendiri dibunuh,” kata Wa Muita, 43 tahun, warga Desa Sinaulu Jaya, mengenang peristiwa 10 Agustus 2023.
Sehari sebelumnya, warga desa menerima laporan bahwa kebun mereka yang terletak di bukit Mosolo, berjarak dua jam perjalanan, diterobos PT Gema Kreasi Perdana.
Sehari sebelumnya, Wa Muita dan suaminya, Amiri, menerima laporan bahwa kebun mereka yang berjarak dua jam perjalanan, diterobos pihak PT Gema Kreasi Perdana. Amiri bergegas mengecek kondisi kebun pada pukul 12 malam dan mendapati 40 pohon cengkih yang sedang berbuah telah rata tanah. Selain cengkih, perusahaan merobohkan 20 pohon merica yang baru belajar berbuah dan puluhan pohon jambu mete yang diperkirakan berbuah pada Oktober nanti. Saat ini harga merica Rp65 ribu/kg.
Wa Muita menyusul keesokan harinya pukul 6 pagi bersama 20-an warga. Mereka melihat pohon-pohon cengkih berumur 18 tahun yang sudah jadi tumpuan ekonomi keluarga itu hancur seketika.
“Saya kehabisan kata-kata. Cuma air mata yang keluar,” kata Wa Muita.
Tak lama kemudian, ratusan warga memenuhi kebun Wa Muita. Warga mempertanyakan alasan penerobosan lahan. Namun, perusahaan berdalih telah membeli lahan itu melalui orang lain. Wa Muita dan Amiri menegaskan tidak pernah menjual lahan apalagi menerima uang hasil penjualan lahan itu. Situasi menjadi tidak terkendali. Warga dan pihak perusahaan hampir saling menyerang dengan senjata tajam.
“Setiap ke kebun saya tidak pernah lupa berbicara ke cengkih, ‘Tolong berbuah. Kita rawat kalian seperti anak sendiri. Kalian yang biayai saudara yang sekolah,” tutur Wa Muita.
Wa Muita memiliki dua anak yang sedang kuliah; satu anak sekolah menengah atas; dan satu anak sekolah dasar. Biaya pendidikan empat anak itu bergantung pada cengkih. Pada 2019, hasil panen cengkih keluarga ini mencapai 1 ton. Harga pasar cengkih di Wawonii Tenggara saat ini Rp130 ribu/kg. Bagi Wa Muita, 40 pohon cengkih yang ditumbangkan itu sangat berharga.
Menahan diri dan berbesar hati, Wa Muita dan Amiri meminta PT Gema Kreasi Perdana tidak memperluas penyerobotan. Ada total 200 pohon cengkih di kebun mereka dan 120 pohon di antaranya telah berbuah.
“Kami ikhlas. Semoga perusahaan mau menyisakan sedikit hati nuraninya. Kami sudah meminta orang yang menjual lahan tanpa sepengetahuan kami untuk mengembalikan uang perusahaan.”
“Kami mau harap apa? Mau cari lagi di mana? Tidak ada. Ini lahan kami satu-satunya. Gaji kami hanya dari kebun,” kata Wa Muita.
Wa Muita pernah mempertahankan lahannya dengan berjaga di kebun selama empat bulan.
“Kadang mandi empat hari sekali. Hanya harapkan air hujan selama berjaga dari bulan Februari sampai Mei. Makan apa adanya. Saya berjaga dengan suami dan orang Mosolo lainnya.”
“Kita berjaga terus jangan sampai ada penerobosan. Ternyata, setelah kita turun dari kebun, pihak perusahaan lirik sudah tidak ada orang, perusahaan garap.”
Sebelum kehadiran tambang nikel, Wa Muita biasanya ke kebun dua kali seminggu. Kini ia terpaksa lebih sering ke kebun. Bergantian dengan warga lain untuk memantau situasi.
“Saya tidak tahu mau bilang apa. Ini sadis buat saya. Ngeri. Hancur perasaanku. Kenapa ada orang sejahat itu menerobos saya punya lahan? Mati-matian kita jaga, rawat, perjuangkan. Ujung-ujungnya diterobos. Setelah itu kita masih diancam juga mau digusur.”
“Saya berharap sama media atau siapa pun, tolong hentikan yang merusak ini.”
‘Kami Dibuat Terpecah Belah’
Belum cukup dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan tambang nikel, warga dibuat terpecah belah. Konflik tak cuma antara warga dan korporasi, tetapi merasuk ke konflik keluarga: antar-tetangga saling bermusuhan; orang tua dan anak saling membenci; sesama saudara tak lagi saling menyapa; suami dan istri bahkan sampai bercerai.
Situasi itu dialami Sanawia yang sudah tiga tahun tak bertegur sapa dengan kedua orang tuanya. Konflik bermula saat salah satu saudara Sanawia menjual lahan warisan orang tua. Tindakan itu didukung sang ayah.
Tanah itu dijual saat Sanawia sedang demonstrasi menolak tambang di kantor DPRD Konawe Kepulauan pada 2019. Di perjalanan pulang, Sanawia mendengar kabar lahan orang tuanya telah dijual kakaknya.
“Saya hanya bisa menangis. Lahan yang dijual itu sudah diratakan. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi ke rumah orang tua.”
Sanawia tak tahu pasti berapa luas lahan yang dijual, tapi kebun itu bisa menghasilkan 3.000 buah kelapa sekali panen.
Sanawia memiliki lima saudara, tiga di antaranya pendukung tambang. Saat orang tuanya sakit, ia enggan menjenguk. “Dulunya saya paling dekat dengan orang tua, sekarang tidak lagi.”
Ibu dua anak berusia 45 tahun ini ingin memperbaiki hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya, tapi “hubungan kita bisa diperbaiki asalkan tambang pergi,” tambahnya.
Aba, bukan nama sebenarnya, pria paruh baya, menyaksikan kesedihan putrinya ditinggal suami saat mengandung anak kedua. Menantunya menawarkan uang dari perusahaan sebagai ganti rugi lahan milik Aba yang dijadikan jalan hauling PT Gema Kreasi Perdana.
Aba pernah dibawa ke kantor polisi demi mempertahankan lahan. Karena itu, ia marah saat menantunya menyodorkan uang ganti rugi tanpa persetujuannya. Ia menolak uang tersebut dan minta dikembalikan ke perusahaan.
Saat hendak membangun rumah, si menantu meminta putri Aba mengutang. Putrinya menolak. Saat itulah si menantu mengungkit-ungkit soal uang ganti rugi lahan yang pernah ditolak Aba. Cekcok suami-istri ini berujung kekerasan dalam rumah tangga.
“Anak saya datang malam hari sambil menangis. Mata kanannya lebam. Saya berusaha mendamaikan. Sempat berbaikan. Tapi beberapa hari setelahnya, saat anak saya mencari kerang di laut, suaminya pergi dari rumah dan tidak pernah kembali sampai hari ini,” kata Aba.
Kini putri dan kedua cucunya tinggal bersamanya. “Saya tidak akan pernah menerima uang perusahaan. Saya memang sudah tua, tapi saya memikirkan masa depan cucu-cucu saya,” kata Aba.
Sanawia dan Aba adalah warga Desa Roko-Roko. Dan di desa ini, perpecahan warga akibat kehadiran tambang bukan rahasia lagi. Beberapa orang yang saya temui mengaku enggan bersosialisasi dengan siapa pun yang tidak sekubu, bahkan sekadar bertegur sapa.
“Situasi sosial di Wawonii Tenggara seperti api dalam sekam,” kata Erwin Suraya dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dalam diskusi publik mengenai kehancuran ekosistem Pulau Wawonii, belum lama ini.
Gugatan Hukum
Pulau Wawonii seluas 706 km² termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil sesuai Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km². Dengan demikian, sebagaimana diamanatkan undang-undang tersebut, aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan di Pulau Wawonii.
Ada 2.214 jiwa penduduk yang tinggal di Desa Dompo-Dompo Jaya (441 jiwa), Sukarela Jaya (550 jiwa), Roko-Roko (582 jiwa), Bahaba (160 jiwa), dan Teporoko (481 jiwa) yang terdampak penambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana, sebut kelompok masyarakat sipil terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), JATAM, KIARA, Trend Asia, dan LBH Makassar.
PT Gema Kreasi Perdana mendapatkan izin eksplorasi bahan galian nikel dan mineral pengikut sejak 2007. Pada akhir tahun 2019, anak usaha Harita Group ini mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi seluas 850,9 ha. Seluas 707,10 ha konsesi perusahaan merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Perusahaan mendapatkan wilayah izin area proyek seluas 192,4 ha serta pembangunan terminal khusus di perairan Selat Wawonii seluas 13,3 ha.
Menurut kelompok masyarakat sipil, pengerukan tambang nikel hingga pembuatan dermaga untuk tambang dengan menimbun perairan di Wawonii telah merusak ekosistem mangrove, terumbu karang, dan perairan. Keruhnya sungai menyebabkan warga semakin sulit mendapatkan ikan. Dermaga perusahaan juga menyebabkan ikan menjauh. Aktivitas pengangkutan ore nikel yang menghasilkan debu tebal mengganggu pernapasan warga, sebut koalisi.
Koalisi menaksir korporasi telah melakukan pengapalan ore nikel lebih dari 100 kali untuk diolah di fasilitas pemurnian atau smelter milik Harita Group di Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara. Harita Group, berkantor pusat di Jakarta, merupakan perusahaan raksasa di sektor sumber daya alam, mulai dari bisnis pertambangan nikel, bauksit, batu bara, perkebunan sawit, perkapalan, dan perkayuan. Perusahaan ini dimiliki keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.
Sekalipun sudah dilindungi undang-undang, Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2021 tentang RTRW Konawe Kepulauan 2021-2041 menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Konawe Kepulauan, Pulau Wawonii.
Warga Wawonii, yang diwakili firma hukum Denny Indrayana, mengajukan uji materiil perda tersebut. Pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan warga.
Dalam putusan No. 57 P/HUM/2022, Mahkamah Agung menyebutkan Pulau Wawonii merupakan “pulau kecil … yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem … termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity … yang harus dilarang … karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup.”
Mahkamah Agung juga menyebut Perda RTRW tersebut “… mengabaikan aspirasi masyarakat … melalui demo besar-besaran pada 6 Maret 2019 … menolak kegiatan usaha pertambangan.” Mahkamah memerintahkan Bupati dan DPRD Konawe Kepulauan merevisi Perda RTRW tersebut.
Namun, PT Gema Kreasi Perdana, diwakili direktur utamanya Rasnius Pasaribu lewat kuasa hukum Asmansyah & Partners, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai respons atas putusan Mahkamah Agung. Pokok gugatannya adalah pasal 23 ayat 2 dan pasal 35 huruf k dalam undang-undang tersebut, yang intinya melarang aktivitas penambangan mineral.
Pengacara perusahaan menilai Mahkamah Agung menafsirkan kedua pasal itu sebagai “larangan tanpa syarat” atas kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil padahal perusahaan “telah memiliki izin yang sah” sehingga “terancam harus menghentikan kegiatannya dan berpotensi mengalami kerugian konstitusional dan ekonomi.”
Perusahaan, dalam surat permohonan ke Mahkamah Konstitusi, menyebut telah mengeluarkan total investasi Rp37,5 miliar dan 77,3 ribu dolar AS sejak 2007, selain telah menyalurkan lebih dari Rp70 miliar atas pembayaran “pembebasan tanam tumbuh kepada masyarakat” sebagai “ganti untung” atas tanaman yang terdampak pertambangan pada lahan seluas 568 ha.
Perusahaan mengajukan permohonan perkara itu pada 28 Maret 2023. Berkas permohonannya pun sudah direvisi dan disidangkan pada 9 Mei. Mahkamah sudah menggelar sidang untuk perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 itu pada 31 Agustus. Sidang berikutnya dijadwalkan pada 12 September. Tahapan selanjutnya adalah sidang putusan.
Koalisi masyarakat sipil berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya menolak judicial review yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia dari cengkraman industri pertambangan.
“Jika dikabulkan, aktivitas tambang tak cuma dilegalkan di Pulau Wawonii, tapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,” Wildan Siregar dari Trend Asia mengingatkan. “Kerusakan ekologis hingga konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 akan semakin masif.”
Sementara perusahaan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, DPRD Sulawesi Tenggara resmi menghapus alokasi ruang tambang di Pulau Wawonii. Dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara 2023-2043, Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan ditetapkan sebagai kawasan perikanan terpadu.
Ketua Pansus RTRW DPRD Sultra, Fajar Ishak, mengatakan keputusan untuk meniadakan ruang aktivitas pertambangan di Konawe Kepulauan berdasarkan putusan Mahkamah Agung.
Putusan MA meminta Pemda Konawe Kepulauan untuk merevisi pasal alokasi tambang dalam RTRW kabupaten karena bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Keputusan (Mahkamah Agung) itu lahir di penghujung tahun 2022, maka kita tidak boleh membantah itu, sehingga kita tetap mempertahankan Pulau Wawonii menjadi kawasan perikanan terpadu dan tidak ada kawasan tambang di sana,” ujar Fajar Ishak dalam pembahasan revisi RTRW yang yang digelar di Hotel Claro Kendari pada 29 Agustus 2023.
Bantah Tudingan Pencemaran
Humas PT Gema Kreasi Perdana, Alexander Lieman, membantah perusahaan menyebabkan pencemaran lingkungan. Soal tuduhan polusi udara, katanya, perusahaan telah melakukan langkah preventif dengan cara memantau kualitas udara dan kebisingan secara rutin dua kali setahun, melakukan penyiraman jalan secara berkala, serta pengaturan kecepatan kendaraan operasional.
“Berbagai program ini kami jalankan sebagai bentuk komitmen terhadap ketentuan yang berlaku di bidang lingkungan hidup dan untuk menjaga kelestarian lingkungan Pulau Wawonii,” katanya.
“Bahkan sebagai bentuk iktikad baik kami terhadap masyarakat setempat yang menggarap lahan di wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kami, telah kami berikan ganti untung tanam tumbuh,” katanya.
Lieman berkata perusahaan tidak menyebabkan pencemaran air. Sebelum ada kegiatan pertambangan, setiap curah hujan tinggi melanda Pulau Wawonii maka menyebabkan air sungai keruh.
“Kegiatan pertambangan kami tidak menyebabkan pencemaran sungai di sekitar areal pertambangan.”
Lieman juga menampik tuduhan pencemaran air warga Mosolo. Katanya, air keruh pada bulan Mei hanya terjadi di dua desa, yakni Sukarela Jaya dan dan Dompo-Dompo Jaya.
“Kami tegaskan tuduhan ini salah. Boleh dikonfirmasi ke pemerintah desa dan Dinas Lingkungan Hidup setempat.”
Lieman menyebut perusahaan justru membantu masyarakat memenuhi kebutuhan air bersih, antara lain mendistribusikan air bersih dengan water truck ke desa-desa yang terdampak kekeruhan air sungai, menurunkan tim untuk mencari alternatif sumber air bersih, membersihkan bak penampungan air bersih warga, serta membuat sumur bor dan sumur cincin.
“Saat ini keadaan sungai sudah jernih kembali dan masyarakat sudah bebas mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Pernyataan Lieman tak sesuai fakta lapangan. Air yang mengalir di Desa Dompo-Dompo Jaya, Sukarela Jaya, dan Roko-Roko masih mengandung lumpur. Pada 18 Agustus 2023, air masih berwarna cokelat pekat padahal sudah cukup lama tak terjadi hujan deras.
Editor: Fahri Salam
Penyingkapan Peliputan:
Yuli Z. mewawancarai sedikitnya 20 rumah tangga penolak tambang yang tersebar di lima desa, yaitu Dompo-dompo Jaya, Sukarela Jaya, Roko-Roko, Sinaulu Jaya, dan Mosolo. Ia mendatangi lokasi liputan pada 19-23 Mei dan 13-19 Agustus 2023. Selama liputan, ia menginap di rumah warga Dompo-Dompo Jaya.
Warga pendukung tambang memanfaatkan bantuan air bersih dari perusahaan yang dibagikan melalui water truck. Yuli beberapa kali melihat aktivitas pembagian air. Air yang dibagikan tersebut diambil dari sungai Roko-Roko.
Perusahaan membuat dua sumur bor di Dompo-Dompo Jaya. Salah satunya di Sukarela Jaya. Satu sumur bor tidak mampu menyuplai kebutuhan seluruh rumah tangga yang ada di desa. Ketika suplai air begitu sulit, seperti yang terjadi pada Mei 2023, beberapa warga penolak tambang terpaksa memanfaatkan sumur bor ini.
Reportase yang menjadi bagian dari serial #HilirisasiOligarki ini adalah fellowship bersama Konde.co, didukung Earth Journalism Network (EJN).