Maggiri berarti menusuk senjata tajam di beberapa bagian tubuh yang bertujuan membuktikan kesetiaan kepada raja, namun kini lebih bermakna sebagai menunjukkan kesucian bissu di hadapan Tuhan.
(Peringatan: Pemakaian senjata tajam dalam aktivitas seni dilakukan oleh praktisi)
GAGASAN gender non-biner yang semakin tabu di tengah masyarakat konservatif membuat keberadaan bissu di Sulawesi semakin terpinggirkan.
Orang Bugis pada masa lampau (Attoriolong) mengenal lima jenis gender yang berbeda; oroane (pria), makkunrai (wanita), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan), dan bissu. Mengutip studi Petsy Jessy Ismoyo (2020), bissu dimaknai sebagai makhluk spiritual, bukan laki-laki, bukan juga perempuan. Bissu adalah rohaniawan bagi agama asli Suku Bugis.
Tidak semua keturunan Suku Bugis calalai atau calabai bisa menjadi bissu. Menjadi bissu adalah anugerah yang pertandanya bisa hadir melalui mimpi atau sakit.
Ardiansyah Anwar atau Anca (23), sosok yang dipercaya sebagai generasi terakhir bissu memulai perjalanan spiritualnya melalui petunjuk di mimpi. Kala itu, Anca bermimpi bertemu dengan tetua bernama Sanro Seke’ yang pernah menjabat sebagai Puang Matoa Bissu Segeri atau posisi tertinggi dalam komunitas bissu. Di mimpi itu pula, Sanro Seke’ mengatakan bahwa kelak Anca akan menjadi Puang Matoa selanjutnya.
“Tentunya sebelum menjadi seorang bissu sudah mulai merasakan diri saya sebagai non-biner. Di satu sisi saya seorang laki laki namun, di sisi lain, jiwa feminin saya tidak dapat saya sembunyikan,” kata Anca.
Anca tidak serta-merta langsung menjadi bissu. Ada proses spiritual yang perlu dilaluinya untuk menjadi bissu seutuhnya. Saat ini, Anca tergolong sebagai bissu mamata (pemula).
“Menjadi bissu asli harus melalui proses panre lise. Sebelum panre lise calon bissu akan madoko dewata atau sakit seperti yang pernah dialami juga oleh almarhum Puang Matoa Saidi,” katanya.
Studi Titiek Suliyati (2018) mencatat setidaknya ada beberapa prosesi sakral seperti berpuasa, bernazar, hingga dimandikan air suci.
Ada sebuah janji dalam proses pelantikan bissu yaitu kekuataan adat dan kekuatan agama harus seimbang, lanjutnya.
“Tuhan katakan dalam agamaku, kejar duniamu tapi jangan lupa akhiratmu,” kata Anca
Selain menjalani ritual sakral, seorang bissu harus mengabdi kepada masyarakat Bugis.
“Saya kalau melihat video bissu masa lalu, saya merasa magis. Ternyata seberat ini orang dulu menjadi bissu, ternyata sesusah ini mempertahankan adat hingga bertahan sampai saat ini,” kata Anca.
Sebagai bagian dari generasi modern, Anca memiliki cara sendiri untuk memenuhi kewajibannya mengabdi pada masyarakat.
Anca menjadi generasi bissu yang menempuh pendidikan sampai di perguruan tinggi. Anca, yang berasal dari Barru – Segeri, adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan seni pertunjukkan di salah satu perguruan tinggi di Makassar.
Dalam kesehariannya sebagai pelajar, Anca juga menyempatkan waktu untuk melatih mahasiswa tingkat awal menari dengan gerakan ciptaannya. Gerakan itu menggambarkan perjalanan dan proses menjadi bissu.
Bagi Anca, pendekatan budaya adalah penting untuk mengenalkan sekaligus melestarikan bissu kepada generasi selanjutnya. Terlebih, keberadaan bissu semakin tersingkir bahkan oleh pemerintah daerah setempat sekalipun.
Tahun lalu, komunitas bissu mulai tidak dilibatkan dalam ritual adat tahunan dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bone ke-692.
Pergeseran gender menjadi biner dan perlahan menyingkirkan kelompok bissu di Sulawesi Selatan tercatat dimulai sejak kehadiran Islam di wilayah itu pada abad ke-17. Tahun 1965, kelompok bissu menjadi sasaran utama Operasi Toba’ (Tobat) di bawah komando Kahar Muzakkar (Darul Islam/TII). Mereka juga dituding sebagai kelompok sesat pada peristiwa pembantaian orang-orang yang dianggap anggota atau terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Andi Muhammad Akhmar, akademisi ilmu linguistik Universitas Hasanuddin, menggarisbawahi bahwa bissu memiliki peran yang masih relevan dalam kehidupan masyarakat Bugis hari ini.
“Mereka adalah pemimpin ritual yang bisa mengobati, memelihara atau merawat arajang,” kata Andi. Arajang adalah benda-benda sakral peninggalan raja-raja zaman dahulu.
Andi menambahkan, bissu juga dapat menjalankan peran yang dinamis mengikuti perkembangan zamannya, seperti yang dilakukan oleh Anca.
“Bissu sekarang melek teknologi. Dia bisa memahami kebutuhan dan perkembangan saat ini,” katanya.
Tidak peduli dengan banyaknya cibiran terkait keputusannya menjadi bissu, Anca mengaku akan tetap melanjutkan warisan adat yang ia terima melalui pendekatan seni.
“Banyak orang yang menyatakan ngapain jadi bissu? Bissu bertolak belakang dengan agama,” katanya.
“Saya percaya semua hal yang terjadi di dunia ini kehendak Tuhan. Tidak mungkin saya berada di fase yang dapat dikatakan sebagai gender bissu kalau Tuhan tidak kehendaki.”
Esai foto ini merupakan bagian dari lokakarya fotografi #SetaraBercerita yang diselenggarakan Project M pada 1-3 September 2023. Pelatihan foto diikuti 9 perempuan dan gender minoritas muda di Indonesia.
Mentor: Rosa Panggabean