-
Pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal membutuhkan air dalam jumlah besar untuk mengekstraksi cairan panas dari perut bumi. Aktivitas ini memicu keluarnya berbagai mineral berbahaya ke atmosfer.
-
Di Dieng, geothermal yang dioperasikan PT Geo Dipa menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah. Di salah satu dusun dekat PLTP, bau gas seperti telur busuk mudah tercium. Warga mengeluhkan kualitas air yang terasa asin, sebagiannya berbau dan berwarna kekuningan.
-
Pertengahan September, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta jajarannya mempercepat izin energi panas bumi demi komitmen untuk transisi ke energi hijau. Di sisi lain, ekspansi Geo Dipa akan dimulai tahun 2025.
Pawuhan, sebuah dusun di Kabupaten Dieng Banjarnegara, dulunya dikenal sebagai tempat pembuangan kotoran gajah. Tapi, kotoran gajah justru jadi berkah. Tanah subur, hasil pertanian melimpah. Lima tahun terakhir, kesuburan tanah di Pawuhan berubah. Air semakin sulit, sebagiannya tercemar. Keberadaan pembangkit listrik panas bumi yang digadang sebagai energi baru terbarukan jadi sorotan.
DI JALAN setapak menuruni Bukit Sipandu, mata Hariyati (35) jeli memandang ke sudut-sudut ladang, lalu memetik labu siam yang tumbuh menjalar di sekitarnya. Ia tak peduli dengan bentangan perbukitan hijau dengan kabut menggantung yang menjadi khas wisata Dieng di Jawa Tengah.
Sesekali ia memunguti beberapa kentang yang tercecer dari para pengepul motor hasil panen di beberapa petak ladang. Sayur-sayur yang diambilnya bakal ia simpan untuk dikonsumsi.
“Kentang itu harta karun orang Dieng,” ucap Hariyati, yang ditemui usai bekerja di ladang pada akhir Agustus.
Hariyati adalah buruh tani. Sudah hampir 10 tahun ia bekerja di ladang kentang milik warga di Dusun Pawuhan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Upahnya harian, berkisar Rp35 ribu-Rp50 ribu, dengan jam kerja sejak 6.30 hingga 12.00. Bila musim panen ia bisa dapat upah tambahan hingga Rp500 ribu.
“Tergantung dapat berapa ton. Kalau lebih dari satu ton, bisa dapat lebih dari itu. Tapi, sekarang panen seringnya turun,” kata Haryati, lalu menyimpulkan penyebabnya, “susah air.”
Alasan utamanya kemarau, katanya. Tetapi, musim kemarau dalam lima tahun terakhir ini berbeda, air dirasa semakin menyusut.
Untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, warga tak lagi mengambil dari tanah. Air diambil dari Gunung Prau yang berjarak sekitar 8 kilometer. Barisan pipa-pipa air yang memanjang melalui rumah, penginapan, dan jalan raya menjadi pemandangan lazim ditemui di Dieng.
“Kalau untuk minum sudah enggak mungkin dari air tanah. Airnya bau, rasanya juga sudah asin,” kata Hariyati yang lahir di Pawuhan.
Tapi Haryati tak punya pilihan. Air tanah tetap dipakai untuk mandi dan mencuci. Air dari Gunung Prau untuk konsumsi. Bila tidak dapat jatah air dari Prau, ia terpaksa membeli air galon dengan harga Rp16 ribu.
“Dari sumur enggak bisa diminum, cuma untuk cuci dan mandi, yang penting jangan diminum.”
Ia menyaksikan kualitas air di kampungnya semakin menurun sejak banyak pengeboran untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi (Persero), sejak lebih dari 15 tahun silam.
Dusun Pawuhan diapit dua tapak sumur bor (well pad) Geo Dipa, Well-Pad 28 dan Well-Pad 31. Di antara pemukiman dan well pad, terdapat kantor “temporary” Geo Dipa dan waduk-waduk penyimpan air bekas sumur produksi geothermal.
“Sekarang itu bau airnya semakin mirip bau asap yang keluar dari pembangkit. Jadi, ya, takut juga kalau mau diminum.”
Indonesia menyimpan cadangan energi panas bumi terbesar di dunia. Totalnya sekitar 24 GigaWatt (GW) atau 40 persen dari cadangan di seluruh dunia. Pemerintah terus menggenjot pemanfaatan sumber panas bumi Indonesia yang diklaim sebagai salah satu solusi energi berkelanjutan.
Tahun 2024 saja Indonesia menaikkan target penurunan emisi menjadi 31,89% dengan bantuan sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030.
Saat ini terdapat 16 PLTP yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas terpasang mencapai 2,4 GW atau 10% dari total cadangan. Jumlah ini terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
PLTP Dieng adalah proyek geothermal kedua di Indonesia. Proyek pertama dimulai pada 1978, yakni Monoblok 25 MegaWatt (MW) di Kamojang, Jawa Barat.
*
BERJARAK sekitar 500 meter dari belakang kantor Geo Dipa di Pawuhan, Aziz (24) tengah mengecek aliran air dari mesin pompa untuk pengairan ladang.
Di lokasi tempat Aziz berdiri, tercium bau menyengat tajam. Baunya seperti gas dari tabung LPG yang bercampur telur busuk. Di jalan setapak terdekat terlihat aliran air berwarna hitam pekat dan berminyak.
“Satu tahun lebih sudah begini,” katanya.
Selain bau menyengat, air yang dipompa Aziz dari sungai di Pawuhan itu hangat, berbanding terbalik dengan cuaca Dieng yang cenderung sejuk pada siang hari.
Di salah satu petak ladang di dekat Aziz, ditemukan genangan air mengeluarkan gelembung berasap seperti kawah kecil. Baunya juga menyengat.
Aziz mengakui warga terpaksa tetap menggunakan air tanah di area dekat aliran sungai yang diduga tercemar itu untuk perkebunan kentang.
“Kadang gagal panen. Produksi tanaman, ya, turun. Bisa dilihat di sana itu banyak kuning-kuning di plastik [mulsa], di tanah, di daun-daun juga kuning. Tapi ada juga tanaman yang berhasil,” katanya.
Warga sudah mengeluh perihal tercemarnya air ke Geo Dipa, kata Aziz.
“Tapi cuma gimana, ya, orang perusahaan itu, dari Geo Dipa itu, enggak ada pergerakannya juga,” kata Aziz.
“Kalau minta ganti rugi, saya kurang paham, warga [pemilik ladang] yang paham. Cuma ini jelas merusak tanaman, apalagi musim kemarau gini.”
Sejauh ini perusahaan telah memasang tanda bahaya di sekitar lokasi. Tetapi wacana penggantian lahan di sekitar area itu belum pernah dibicarakan.
Dari pengakuan Aziz, air hangat dan kekuningan itu baru muncul di satu titik. Meski begitu, dari penelusuran lapangan, ditemukan bau gas dengan tekanan menyengat hingga sayup-sayup masih bisa tercium hingga radius 1 km, terutama pada dini hari.
Tahun lalu Geo Dipa melakukan tes kualitas udara di sekitar lokasi sumur, pembangkit listrik panas bumi, dan kantor mereka di Dieng. Hasilnya area-area tersebut bebas dari polusi.
Bambang Catur Nusantara, peneliti dan pengurus Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), baru-baru ini menemukan tingkat polusi di Pawuhan melewati batas aman seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50 tahun 1996, yakni 0,02 ppm (parts per million).
Dalam tes polusi udara sederhana menggunakan Gastec GSF 400 FT dengan tabung H₂S atau hidrogen sulfida pada Februari 2024, ditemukan kandungan gas beracun di Pawuhan mencapai 0,2 ppm.
Catur kembali melakukan tes serupa pada Juli 2024, dan menemukan konsentrasi di Pawuhan mencapai 2 ppm.
“Tes ini memang sederhana, bisa saja [ada yang] mengklaim kurang valid. Tetapi, polusi udara sangat mudah dideteksi dengan penciuman, apalagi H₂S. Ketika tercium bau yang berbeda dari udara yang bersih, maka ada sesuatu di situ,” kata Catur.
H₂S tidak berwarna tetapi memiliki bau menyengat, dan bersifat berbahaya serta mematikan.
Ketidakstabilan Tanah dan Air
Cara kerja pembangkit listrik geothermal adalah mengambil sumber panas di perut bumi dengan pengeboran hingga 3.000 m. Sumber panas yang terekstraksi dalam bentuk air dan uap di sumur produksi itu selanjutnya dialirkan melalui pipa untuk memutar turbin dan generator listrik.
Di Dieng, pipa-pipa uap mudah ditemui. Warnanya perak dengan diameter 40 cm, terpasang di dekat permukiman, dekat ladang, di pinggir jalan, hingga melintasi jalan raya. Dusun Pawuhan adalah satu dari beberapa wilayah yang terkepung pipa-pipa uap Geo Dipa.
Kendati demikian, persediaan sumber panas ini terbatas. Teknik yang digunakan untuk mengakalinya lewat sumur injeksi. Fungsinya mengalirkan kembali fluida panas sisa pembakaran dari turbin ke perut bumi.
Proses ini kerap dijadikan klaim bahwa geothermal adalah energi ramah lingkungan, selain menghasilkan emisi karbon 1/15 lebih rendah dibanding pembangkit batubara.
Hanya saja ambisi untuk meningkatkan produksi mendorong pengembangan teknologi Hydraulic Fracturing atau fracking. Cara kerja teknologi ini membuat rekahan pada sumber cadangan panas bumi demi menaikkan kemampuan tanah meloloskan air.
Kegiatan ini berisiko tinggi. Ia menyebabkan penurunan daya ikat pada batuan sehingga dapat memicu terjadi gempa bumi.
Gempa-gempa berskala sedang hingga tinggi sudah sering dialami, salah satunya oleh warga Desa Karangtengah dekat Well-Pad 9.
“Warga di sini sudah tahu, kalau ada gempa, pasti langsung ngecek [kegiatan] pengeboran. Karena kejadiannya selalu bareng,” kata Ahmad Habib Hutomo (50), petani kentang dari Desa Karangtengah, Kecamatan Batur.
Gempa bisa terjadi satu hingga dua kali dalam sebulan, pernah juga lebih dari itu, dengan durasi paling lama 1 menit, lanjut Habib. Ia mengatakan sejauh ini gempa tidak menimbulkan kerusakan bangunan maupun lahan miliknya, tapi meninggalkan trauma warga.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kerap mengatakan gempa yang berpusat di Dieng terjadi akibat aktivitas sesar aktif di wilayah dataran tinggi tersebut. Seperti gempa dengan magnitudo 3,1 pada September 2022, rentetan 16 gempa bumi pada Januari 2023, dan gempa berkekuatan 2,6 SR pada Maret 2024.
Merujuk Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 dari Pusat Studi Gempa Nasional, Kementerian ESDM, dataran tinggi Dieng memiliki empat sesar aktif yang dapat memengaruhi aktivitas geologi dan vulkanik di daerah itu. Keempatnya adalah Sesar Kalibening, Sesar Pamanukan-Cilacap, Sesar Bumiayu, dan Sesar Gunung Slamet.
Korelasi antara aktivitas eksplorasi industri dan gempa bumi beberapa di antaranya telah dibuktikan para peneliti di dunia, yang menyebutnya sebagai kegempaan terinduksi (induced seismicity). Pada penelitian lain, aktivitas geothermal pada daerah dengan sesar aktif juga bisa menyebabkan penurunan tanah.
Bosman Batubara, peneliti geologi Universitas Utrecht, dalam catatannya, “Dampak Negatif Energi Geothermal terhadap Lingkungan”, menambahkan bahwa gempa yang ditimbulkan geothermal biasanya berkisar di bawah 5 Skala Richter (SR) seperti pernah terjadi di Basel, Swiss, pada 2006, yang berujung pada penutupan PLTP tersebut.
Peristiwa pelesapan menyebabkan berkurangnya kepadatan tanah. Hal ini mengakibatkan struktur tanah menjadi tidak stabil dan mengalami kekeringan, sehingga peristiwa amblesnya tanah menjadi tak terhindarkan. Bila musim hujan, situasi ini berpotensi memicu bencana longsor, tulis analisis Bosman.
Sebuah dokumenter yang disiarkan pada 2014 merekam lahan pertanian warga dekat PLTP Mataloko, dioperasikan PLN di Nusa Tenggara Timur, mulai banyak bermunculan lubang-lubang kecil yang terus membesar dan berisi lumpur serta gas panas. Imbasnya, lima hektare sawah warga mati total dan tak dapat berproduksi lagi.
Pada Oktober 2023, koalisi warga lingkar tambang panas bumi sudah mengirimkan surat peringatan kepada BMKG terkait ancaman gempa dari geothermal. Surat juga diteruskan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belum ada tindak lanjut atas surat tersebut.
*
PROYEK geothermal membutuhkan pasokan air dalam jumlah sangat besar. Sebuah riset tahun 2020, yang diterbitkan Rigsis Energy Indonesia, mengestimasi kebutuhan air untuk sumur yang dimiliki Geo Dipa adalah 2.322 meter kubik. Jumlah ini termasuk keharusan bahwa cadangan air yang ada memiliki kapasitas 300% dari kebutuhan total.
Studi lain yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengkalkulasi kebutuhan air untuk aktivitas panas bumi adalah 40 liter/detik, atau sekitar 6.500-15.000 liter untuk menghasilkan 1 MW listrik.
Jika rata-rata kebutuhan air harian per rumah tangga (dihuni empat orang) adalah 644 liter, maka jumlah ini setara kebutuhan air harian untuk 10-23 rumah tangga.
Selain membutuhkan pasokan air sangat besar, kegiatan geothermal juga dapat berkontribusi dalam pencemaran air di lingkungan sekitar sumur dan pembangkit listrik. Kegiatan ini bisa terjadi dalam proses fracking ketika air bertekanan tinggi dan bercampur zat kimia ditembakkan ke bebatuan di inti bumi (barisfer).
Bukan tidak mungkin, larutan hidrotermal yang tercampur beberapa kontaminan seperti arsenik, timbal, dan boron, masuk ke dalam retakan-retakan dan tercampur pada aliran-aliran air bawah tanah.
Sebuah studi tahun 2021 yang dilakukan di PLTP Meksiko, berada di sekitar ladang pertanian, menemukan akumulasi kontaminan berbahaya dari aktivitas geothermal meningkatkan risiko keracunan bagi tanaman dan pencemaran tanah.
Kandungan konsentrat lain yang mengancam kestabilan tanah dan produksi pertanian adalah silika (SiO2) dengan kandungan berat 65-75% dalam fluida panas bumi.
Jurnal ‘The behavior of silica in geothermal brine from Dieng geothermal power plant, Indonesia’ (Maret, 2015) menjelaskan silika dalam konsentrasi tinggi akan terbawa dalam brine (cairan panas) yang dihasilkan selama proses pengeboran.
Silika tinggi yang terakumulasi dalam tanah dapat mengubah kemampuannya menyerap dan menahan air. Meskipun silika dapat bermanfaat sebagai pupuk bagi beberapa tanaman, akumulasi silika tinggi justru dapat mengganggu penyerapan nutrisi lain.
Perusahaan menampung air sisa sumur produksi yang mengandung metal berat dengan waduk-waduk yang tak jauh dari sumur. Di Dieng, keberadaan waduk itu bisa terlihat dengan warna air seperti hijau kebiruan hingga abu-abu.
Selain dari proses pengeboran, kandungan silika tinggi dan konsentrat berbahaya lainnya juga bisa dihasilkan dalam proses pengujian sumur atau well-testing. Proses pengujian ini dilakukan untuk menilai produktivitas dan keamanan sebelum sumur digunakan untuk produksi energi.
Namun, proses pengujian sumur itu sering berdampak fatal bagi tanaman warga.
Habib mengatakan setiap perusahaan melakukan pengujian sumur, selang dua hari kemudian, tanaman-tanaman kentang di dekat lokasi sumur akan mengalami kekeringan, seperti terbakar, dan lama-kelamaan mati.
“Jadi waktu uji coba sumur produksi itu uapnya dijebolkan. Itu bisa terbang jauh, bisa satu kilometer mengikuti arah angin. Misalnya arahnya ke timur, ya, tanaman mati banyak di situ,” kata Habib.
Warga pernah mengajukan komplain ke perusahaan tetapi tidak ditindaklanjuti, lanjutnya. Alasannya karena perusahaan membutuhkan bukti konkret, salah satunya dari uji laboratorium yang bersertifikasi.
“Kenapa warga yang harus dibebankan uji lab seperti itu? Kan, kita di sini korbannya. Yang kita tahu setiap well-testing itu tanaman mati, selalu seperti itu, sudah berkali-kali. Kalau mereka 20 kali well-testing, ya, sebanyak itu juga lahan mati,” katanya.
Ledakan Gas Beracun dan Ancaman Kesehatan
Maret 2022, pipa gas dari Well-Pad 28 di Pawuhan mengalami kebocoran. Satu pekerja meninggal dunia di lokasi karena keracunan hidrogen sulfida (H₂S). Delapan pekerja lain mendapatkan perawatan intensif di RSUD Wonosobo, sementara puluhan lain termasuk warga mengalami luka-luka dan mual-muntah.
Geo Dipa mengatakan kebocoran terjadi karena malafungsi alat pada bagian kepala sumur.
Kejadian ini bukan yang pertama. Lokasi pipa yang berdekatan dengan permukiman juga mengancam keselamatan jiwa. Habib mengatakan, jalur pipa yang berada dekat desanya di Karangtengah pernah meledak. Suara dentuman begitu keras.
Habib mengatakan saat itu sepupunya yang melintas dengan sepeda di dekat pipa gas tersebut terlempar hingga 25 meter.
“Jadi katanya dia, pipa sebelum meledak ngulet-ngulet. Pipa-pipa yang besar itu meliuk-liuk seperti ular,” kata Habib.
Sepupunya dilarikan ke puskesmas terdekat untuk perawatan luka dan paparan H₂S. “Selain luka, dia mual-mual,” katanya, dan menambahkan belasan warga Karangtengah juga mengalami gejala serupa akibat paparan gas beracun.
Selain korban jiwa, sejumlah rumah warga rusak akibat ledakan, begitu juga fasilitas umum seperti jalan akses permukiman.
“Ketinggian ledakan enggak terukur. Potongan pipanya juga sudah jatuh jadi kepingan lempengan,” katanya.
Juni 2016, sebuah ledakan di Well-Pad 30 terjadi sekitar pukul 09.30 akibat terlepasnya tutup pengaman gas di lokasi sumur saat pemeliharaan oleh teknisi. Geo Dipa mengatakan enam pekerja mengalami luka bakar berat dan ringan.
Namun, dari pengakuan warga, dampak yang ditimbulkan bukan hanya mengancam jiwa tetapi mata pencaharian mereka.
Ledakan itu mengakibatkan lubang di lahan pertanian warga seluas 10 meter dan kedalaman 1 meter. Selain itu, semburan uap panas mengakibatkan banyak tanaman warga gagal panen akibat tumbuhan mengering.
Geo Dipa mengklaim telah membayar ganti rugi untuk 500 dari 623 warga terdampak. Nilai penggantian berkisar Rp700 ribu hingga Rp188 juta. Rata-rata warga dengan lahan sekitar 100 m² mendapat penggantian kurang dari Rp1 juta. Nilai penggantian itu ditentukan melalui kajian Kantor Jasa Penilaian Publik.
“Diganti, sih, diganti. Tetapi tetap rugi. Petani itu bukan cuma dihitung dari masa panen saja, ada biaya beli bibit, pupuk, tanam, upah,” kata Habib.
“Belum lagi petani yang harus utang ke bank untuk bertanam. Uang [dari Geo Dipa] untuk bayar utang, tapi lahannya enggak menghasilkan apa-apa.”
*
EKSPLORASI geothermal menggunakan suhu tinggi memicu H₂S terlepas ke atmosfer melalui gas dan cairan panas. H₂S bisa menempel di udara, air, tanah, hingga vegetasi.
Studi Kourtidis, Kelesis, dan Petrakakis (2008) menemukan kandungan H₂S adalah salah satu penyebab masalah lingkungan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Dikutip dari laman web Badan Registrasi Zat Beracun dan Penyakit Amerika Serikat (ATSDR), paparan H₂S secara terus-menerus bisa menimbulkan risiko jangka panjang bagi kesehatan manusia. Beberapa di antaranya gangguan pernapasan kronis seperti bronkitis atau penyakit paru kronis. Pada laporan lain, paparan H₂S tinggi juga bisa menyebabkan diare.
Di Dieng, sumber panas bumi sudah dieksplorasi sejak era pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1918. Eksplorasi terhenti pasca-1945. Kemudian dilanjutkan oleh PT Pertamina (Persero) pasca-1965 setelah UNESCO menetapkan Dieng sebagai daerah dengan prospek panas bumi di Indonesia dengan cadangan mencapai 400 MW.
Eksplorasi Dieng kemudian berpindah tangan ke Himpurna California Energy (HCE), perusahaan asal Amerika Serikat, pada 1994. Ketika itu HCE membangun sekitar 27 sumur produksi di Dieng Banjarnegara dan Dieng Wonosobo. Krisis keuangan tahun 1998 menghentikan kegiatan eksplorasi panas bumi hingga akhirnya HCE hengkang dari Indonesia.
Pengelolaan pembangkit dengan kapasitas 60 MW ini kemudian diserahkan kepada Geo Dipa sebagai perusahaan patungan PLN dan Pertamina pada 2002. Kebutuhan penguasaan aset-aset PLTP oleh negara mendorong perubahan status Geo Dipa menjadi BUMN pada 2011. Sejak itu Geo Dipa berada di bawah koordinasi langsung Kementerian Keuangan.
Lamanya masa eksplorasi dan operasional pembangkit geothermal di Dieng memunculkan pertanyaan: Sudah separah apa paparan H₂S yang mengendap dalam tubuh warga sekitar pembangkit?
Dicky Budiman, ahli epidemiologi dan kesehatan lingkungan Universitas Griffith, Australia, mengatakan dampak H₂S pada kesehatan sangat jarang terdeteksi karena keterbatasan tenaga medis dalam menganalisis dan mendiagnosis paparan secara spesifik.
“Banyak yang merasa ini enggak apa-apa karena gejalanya dilihat masih umum, mirip dengan penyakit lain. Jadi sering menihilkan, me-reduce potensi risiko. Atau jangan-jangan juga karena kesengajaan, dikaitkan penyebabnya yang lain,” kata Dicky melalui sambungan telepon, pertengahan September.
Project Multatuli menghubungi Puskesmas Batur di Pawuhan untuk menanyakan apakah pernah melakukan deteksi kesehatan khusus untuk mengecek paparan H₂S pada warga, tetapi tidak mendapatkan respons.
Dicky mengatakan paparan H₂S bisa dideteksi dengan tiga cara, melalui tes darah, urin, dan pernapasan. Namun, tantangannya adalah tes ini perlu dilakukan sesegera mungkin setelah terpapar karena sifat H₂S sangat cepat terurai bila masuk dalam aliran darah.
“Terutama tes pernapasan, hanya efektif kalau kurang dari 1 jam,” ujarnya.
Kendati demikian, deteksi paparan H₂S tetap bisa dilakukan secara berkala, termasuk pengujian fungsi paru-paru. Uji berkala bisa dilakukan pada kelompok paling rentan seperti pekerja industri, anak-anak, dan lanjut usia.
“Daerah-daerah eksplorasi minyak dan gas, gunung vulkanik, sudah pasti H₂S-nya tinggi dan sudah pasti sangat toksik. Tenaga medisnya harus di-empower untuk lebih sensitif dalam membuat diagnosis,” katanya.
Bila menelisik data Badan Pusat Statistik (BPS) di Kecamatan Batur maupun Kabupaten Banjarnegara, jumlah pengidap pneumonia, tuberkulosis paru, hingga diare, berfluktuasi sepanjang tahun 2018-2023.
Di Kecamatan Batur, pasien pneumonia tertinggi terjadi pada tahun 2019, dengan 338 orang, sementara pengidap TB paru tertinggi terjadi pada 2020 dengan 18 orang, dan 1.420 orang mengidap diare pada 2021.
Sementara di Kabupaten Banjarnegara, pengidap TB paru tertinggi muncul pada tahun 2020, dengan 553 pasien, sementara pneumonia menjangkit 4.581 orang pada 2019, dan diare terbanyak terjadi pada 2018 dengan 18.112 kasus.
Jumlah penduduk di Kecamatan Batur adalah 40.655 jiwa. Sementara secara keseluruhan, jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara mencapai 1,04 juta jiwa.
Dicky menyarankan pelaku industri dan pemerintah untuk responsif dalam upaya pencegahan, yakni dengan memasang sebanyak-banyaknya alat pendeteksi H₂S di lokasi-lokasi berbahaya dan berdekatan dengan area permukiman atau yang dilalui warga.
“Efek racun ini bukan hanya semata langsung sakit, tetapi juga lingkungan yang tidak ramah huni. Di luar negeri itu tidak boleh tinggal dekat pipa gas. Ini yang jadi isu di kita. Bukan hanya H₂S saja, di kita juga banyak rumah dekat sutet,” ujarnya.
Hingga kini terdapat hampir 40 sumur produksi untuk PLTP-1 Dieng. Namun, saat ini hanya tersisa lima di antaranya yang masih berproduksi. Sebagian sumur yang tidak berproduksi dibiarkan begitu saja, sebagian lagi ditutup.
Selain H₂S, sumber limbah beracun dan berbahaya lain dari pembangkit geothermal adalah ammonia (NH3), air raksa (hg), magnesium (Mg), karbon dioksida (CO2), dan karbon monoksida (CO).
Produksi Kentang dan Potensi Ekonomi yang Lenyap
Pertanian kentang ditanam warga Dieng pada 1980-an. Sebelumnya sejak awal abad 19 hingga pertengahan abad 20, masyarakat pertanian Dieng menikmati kemakmuran dari tembakau.
Tanaman tembakau, yang dibawa oleh Portugis ke Jawa, dikeringkan dengan metode pengasapan atau dikenal sebutan tembako garangan. Namun kehadiran rokok kretek meredupkan pamor tembako garangan khas Dieng.
Tembakau digantikan kentang setelah migrasi petani dari Jawa Barat pasca-erupsi Gunung Galunggung. Durasi penanaman kentang hingga panen yang relatif lebih singkat serta keuntungan lebih tinggi dari tembakau, dengan mudah mencuri perhatian petani Dieng.
Kentang Dieng dengan mudah menjadi produk unggulan di pasar lokal dan internasional. Beberapa catatan menyebutkan kentang Dieng memiliki rasa dan tekstur lembut dan manis dibandingkan kentang lain. Selain itu kentang Dieng disebut lebih tahan lama sehingga unggul dalam proses distribusi.
Di Jawa Tengah, Banjarnegara adalah daerah penghasil kentang terbesar. Pada 2023, total produksinya mencapai 840.594 kuintal. Bila harga kentang per kg adalah Rp10.000, maka nilai ekonomi dari panen mencapai Rp840,59 miliar.
Laporan BPS mencatat Banjarnegara memiliki luas 106,9 ribu ha, dengan 67,03% di antaranya lahan pertanian bukan sawah, lahan untuk bangunan dan serupa sebanyak 21,15%, sementara sisanya lahan sawah.
Di tingkat nasional, Jawa Tengah adalah daerah penghasil kentang terbesar kedua setelah Jawa Timur. Singapura adalah negara tujuan ekspor kentang tertinggi dengan nilai mencapai $150 juta pada 2021, disusul China, Filipina, dan Australia.
Kendati demikian, sepanjang 2023, terjadi penurunan produksi panen kentang di Jawa Tengah. Tren penurunan itu terdeteksi dengan penurunan jumlah lahan dan produksi kentang di Banjarnegara, khususnya Kecamatan Batur sebagai produsen kentang tertinggi di kabupaten.
Yeyen Abadi Susanto (49), petani kentang dari Desa Bakal di Kecamatan Batur, mengatakan petani tak punya pilihan selain bersiasat menggali sumber-sumber air di sekitar mereka untuk tetap bisa mengairi lahan yang menjadi sumber pendapatan utama ekonomi rumah tangga.
“Sekarang petani bisa apa? Kita ini bersaing dengan perusahaan yang bisa menyedot air lebih besar dan lebih cepat. Sementara kalau kita enggak bertani atau gagal panen, kita enggak bisa makan. Anak-anak enggak bisa sekolah. Kerugian itu lebih besar ditanggung warga,” katanya.
Selain masalah air, penurunan produktivitas kentang di Kecamatan Batur turut dipengaruhi dari industri pariwisata. Indikasinya, menjamurnya penginapan di sekitar Dieng Banjarnegara.
Yati, pemilik gudang kentang di Pawuhan, mengatakan saat ini harga kentang melonjak tinggi karena pasokan semakin berkurang. Harga kentang besar (diameter 6-8 cm) mencapai Rp18.000/kg, sementara ukuran sedang (diameter 4-6 cm) yang banyak ditemui di pasar tradisional berkisar Rp15.000/kg.
“Kalau dari harga memang bagus, tinggi, tapi produksinya sedang enggak ada,” kata Yati.
Sepanjang tahun 2024 tanaman kentang Yati sudah dua kali gagal panen. Ia mengatakan angin kencang pada musim kemarau juga menambah masalah produktivitas selain pasokan air.
Yati biasanya tiga sampai empat kali panen dalam setahun, dengan masing-masing periode panen menghasilkan 4-5 ton kentang. “Kemarin pas gagal panen, dapat paling cuma setengah ton.”
Tanaman kentang membutuhkan pasokan air yang banyak dan stabil untuk memastikan pertumbuhannya dengan maksimal. Dalam masa pertumbuhan bunga, penyiraman bisa dilakukan hingga 14 jam dalam sehari.
Mudofi (44), petani kentang di Patakbanteng, Dieng Wonosobo, mengatakan musim kemarau adalah masa panen yang paling baik karena minim hama ketimbang saat musim hujan.
“Tetapi sekarang musim kemarau pun turun produksinya karena angin dan air itu,” katanya.
Petani biasanya menyiram dengan sistem 3-1 pada musim kemarau, atau tiga kali dalam empat hari, kata Mudofi.
Penyemprotan pestisida dan fungisida pada musim kemarau bisa dilakukan selama 8 kali dalam 4 bulan atau satu periode panen. Jumlah penyemprotan pestisida dan fungisida bisa meningkat dua hingga tiga kali selama musim hujan lantaran tanaman lebih rentan berjamur dan terserang hama.
“Sebenarnya musim kemarau justru lebih rendah penggunaan pestisidanya, tapi memang yang penting airnya itu, jangan sampai kekeringan juga,” kata Mudofi, seraya menambahkan bahwa ia tidak pernah menghitung secara detail berapa total kebutuhan air per 1 ha lahan.
Mudofi menggali sumur sedalam hampir 4 meter di belakang rumahnya untuk membantu mengairi lahan dan kebutuhan rumah tangganya.
Yati juga menggali sumur hampir 3 meter di rumahnya untuk pengairan, tetapi tidak untuk diminum. Sama seperti kebanyakan warga Pawuhan, ia juga menarik pipa dari Prau untuk memasok air konsumsi.
*
HINGGA saat ini, belum ada penelitian khusus yang membuktikan ada hubungan antara pencemaran air dan udara dari aktivitas geothermal pada produksi pertanian di Dieng.
Dalam uji kualitas air yang dilakukan Geo Dipa pada Semester I/2023, disebutkan kandungan oksigen terlarut, nitrat, dan fosfat di tiga sumber mata air di sekitar lokasi sumur dan PLTP Dieng, Situlu, Sidandang, dan Siranthi, melebihi ambang batas.
Perusahaan mengklaim bahwa tingginya konsentrasi itu juga disebabkan penggunaan pupuk dan pestisida pada area pertanian. Perusahaan mengklaim wilayah kerja Geo Dipa berada pada lokasi water stress tingkat menengah hingga tinggi.
David Montgomery, pakar geomorfologi di Universitas Washington, mengatakan limbah dari aktivitas geothermal bisa memiliki dampak kontaminasi yang lebih berat daripada pupuk dan pestisida.
Ia menjelaskan, dalam pertanian konvensional, pencemaran memang bisa terjadi karena penggunaan pupuk nitrogen dan fosfor yang berlebihan. Begitu juga dengan pestisida. Namun, untuk fluida geothermal, yang dalam hal ini mengandung banyak logam berat, bisa menjadi masalah lebih besar karena sangat sulit untuk diatasi.
“Salah satu solusinya adalah fitoremediasi atau menggunakan mikroba atau jamur, misalnya dengan menanam tumbuhan yang menyerap logam berat tersebut dan kemudian memperlakukan dan mengelola tumbuhan itu sebagai limbah beracun,” katanya.
“Tetapi, ini proses yang mahal dan sulit dilakukan.”
David mengatakan tanah yang terkontaminasi pada dasarnya memiliki kemampuan untuk regenerasi, baik secara alami maupun intervensi manusia. Namun, proses ini bisa berlangsung sangat lama.
Dalam penelitiannya, rata-rata erosi yang menyebabkan pengikisan tanah setebal 2,5 cm terjadi dalam 20 tahun. Sementara untuk mengembalikan ketebalan tanah dalam ukuran yang sama bisa membutuhkan waktu lebih dari 1.000 tahun.
“Ketidakseimbangan ini telah memengaruhi dinamika manusia selama 10.000 tahun terakhir dan terus berlanjut hingga saat ini, dengan dampak pada degradasi dan kehilangan tanah serta materi organik tanah,” katanya.
Menjamu Geo Dipa dengan Air Pawuhan
Pada 2019, Geo Dipa mengumumkan rencana ekspansi pengeboran dan konstruksi untuk PLTP Dieng 2 dan 3, dengan masing-masing kapasitasnya 55 MW. Perusahaan mengklaim telah mengantongi izin lingkungan (amdal) untuk ekspansi.
Rencana ini mendapatkan penolakan serius dari masyarakat. Lokasi ekspansi PLTP Dieng 2 berada di atas lahan seluas 6 hektare di Desa Karangtengah.
Pada 2022, perusahaan mulai mengoperasikan alat berat untuk meratakan tanah yang hanya berjarak dua meter dari beberapa rumah warga. Setelah diratakan, perusahaan memagari area itu dengan tembok beton dan papan.
Habib mengatakan perusahaan mengaku akan membangun asrama karyawan dan fasilitas kesehatan. Namun, belakangan baru diketahui di lokasi itu akan dibangun pembangkit baru.
“Di situ warga komplain. Kita ramai-ramai protes. Kita usir alat-alat berat yang mau masuk ke lokasi. Terus-terusan begitu. Pokoknya setiap ada kegiatan, warga akan demo. Sampai ada pertemuan dengan Geo Dipa, Kejari, dan bahkan Kejagung,” kata Habib.
Warga mendesak perusahaan untuk menjauhkan PLTP dari permukiman warga. Warga masih menyimpan trauma dari rentetan kebocoran dan ledakan gas. Selain itu, warga tidak ingin lahannya rusak akibat aktivitas geothermal.
Habib menggarisbawahi warga tidak menolak pembangunan. Sewaktu Geo Dipa mengumumkan rencana pembangunan asrama dan fasilitas kesehatan, warga justru menyambut baik. Karena dengan begitu, Geo Dipa bisa lebih responsif ketika terjadi kebocoran atau ledakan gas.
Pasalnya, dalam peristiwa kebocoran pipa gas yang lalu, warga sempat menyambangi kantor “temporary” Geo Dipa di Pawuhan untuk meminta pertanggungjawaban. Namun, warga menemukan kantor itu kosong, padahal ledakan terjadi sekitar pukul 10 pagi.
“Makanya, kita sambut kalau ada pegawai yang mau tinggal di sini. Biar sama-sama menghirup baunya, minum airnya, bareng masyarakat desa. Nyatanya mereka juga enggak mau, kan?” kata Habib.
Dalam pertemuan mediasi lahan ekspansi dengan Geo Dipa, warga juga sempat menyuguhkan air yang diambil langsung dari Pawuhan kepada jajaran direksi.
“Kita siapkan dalam termos, airnya kita masak dulu, lalu minta dia minum. Ya, termosnya cuma dibawa, mungkin di jalan dibuang,” katanya, tersenyum.
Untuk rencana ekspansi ini, Geo Dipa telah mengantongi pinjaman senilai $300 juta dari lembaga keuangan multilateral asal Jepang, Asian Development Bank (ADB), pada Mei 2020. Dana ini juga meliputi pinjaman senilai $35 juta dolar dari Clean Technology Fund (CTF), lembaga keuangan Bank Dunia untuk proyek teknologi ramah lingkungan di negara berkembang.
Hanif Osman, Direktur Keuangan Geo Dipa, mengatakan rencana pembangunan PLTP Dieng 2 akan kembali dilanjutkan pada pertengahan 2025. Hanif bilang mundurnya rencana ekspansi terjadi karena Geo Dipa terhalang aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk infrastruktur kelistrikan yang mencapai 34%.
Pada Juli 2024, aturan relaksasi TKDN untuk infrastruktur energi terbarukan dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2024 ditandatangani mantan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Aturan itu memberikan karpet merah bagi perusahaan seperti Geo Dipa yang mendapatkan utang melalui development finance institutions (DFI) untuk tidak mencantumkan syarat TKDN dalam kontraknya.
Sementara terkait lahan yang menjadi protes warga, Hanif mengklaim masalah itu sudah diselesaikan.
“Kemarin protes masyarakat lebih kepada karena dekat dengan pemukiman. Memang kita akan pindahkan, tapi masih di area yang sama juga, masih di tanah kita, cuma akan lebih bergeser, berjarak,” kata Hanif di Jakarta.
Hanif mengatakan penentuan lokasi itu tidak melanggar aturan, dalam hal ini ia merujuk Peraturan Presiden Nomor 21/2014 yang ditandatangani mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Secara teknis tidak masalah, masih aman,” katanya, seraya menegaskan lokasi tersebut juga sudah ditinjau berikut aspek lingkungannya. “Semua sudah diperhitungkan, baik dari sisi cost dan lingkungannya.”
PLTP 2 Dieng ditargetkan selesai dan mulai beroperasi pada 2027. “Akan ada 10 sumur untuk PLTP 2, setelah selesai akan dilanjutkan pembangunan PLTP 3 Dieng,” tukas Hanif.
*
HARIYATI tak menjawab banyak ketika ditanyakan apa harapannya ke depan. “Kalau saya… Yang penting anak-anak bisa selesai sekolah, sehat, kayaknya itu aja cukup.”
Ia tidak tahu banyak soal rencana perluasan PLTP, tetapi ikut membayangkan kebisingan yang akan lebih sering muncul jika pembangkit sudah beroperasi nanti. Jarak Pawuhan dengan Karangtengah hanya berkisar 4 km atau 9 menit berkendara.
“Kalau [PLTP] Geo Dipa itu suaranya kencang sekali. Sering kedengeran suara bising, kalau ditambah lagi bisa makin seram,” katanya.
Namun begitu, ia tak punya keberanian untuk ikut dalam barisan penolakan. Ia tahu ada banyak warga di Pawuhan yang kerap mengajukan protes ke perusahaan untuk berbagai masalah yang dihadapi.
“Saya enggak mau ikut. Saya enggak mau balik diganggu, saya cuma orang kecil. Kalau diganggu, bisa hilang semuanya,” ucap Hariyati.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pada akhirnya masyarakat yang akan menanggung kerugian paling besar atas dampak lingkungan dari aktivitas geothermal.
Efek-efek pencemaran pada lahan pertanian hingga pasokan air untuk warga bakal menjadi risiko jangka panjang yang membebankan perekonomian masyarakat.
“Pertama, suplai air yang bukan hanya untuk irigasi tetapi juga kebutuhan rumah tangga. Kedua, dampak kesehatan. Uang yang seharusnya buat makan, pendidikan, harus di-spare juga untuk biaya kesehatan,” kata Bhima.
“Ketiga, yang paling penting adalah wilayah yang ada geothermalnya ini sebenarnya juga enggak berdampak pada pasokan listrik ke warga sekitar. Apalagi dengan kondisi Jawa yang oversupply [listrik].”
Sejak 2013, listrik pada sistem Jawa-Bali sudah mengalami kelebihan suplai utamanya dari pembangkit batubara. PLN, sebagai satu-satunya distributor dan operator transmisi listrik, tidak memiliki kemampuan untuk mengatur serta menyalurkan suplai secara merata dan murah.
Di tengah situasi ini, Presiden Joko Widodo pada 2015 meluncurkan program 35 GW yang menyebabkan sejumlah proyek pembangkit listrik skala besar tetap berlangsung di Pulau Jawa, meskipun berasal dari energi kotor.
Pada 2023, kelebihan listrik di Jawa mencapai 44% atau sekitar 4 GW. Setiap 1 GW yang tidak terpakai, PLN diestimasikan mengalami kerugian Rp3 triliun. Tetapi, sebagai perusahaan pelat merah, kerugian PLN akan tetap ditanggung negara melalui skema Penanaman Modal Negara (PMN). Dengan kata lain, kemampuan fiskal negara yang bisa dipakai untuk menambah kesejahteraan masyarakat akan terus tergerus.
Rizal Agung Setiawan, pemuda dari Desa Bakal yang berjarak kurang dari 3 km dari Karangtengah, mengatakan tanpa ada ekspansi, keberadaan pembangkit panas bumi yang ada saat ini sudah banyak menyusahkan warga.
“Di Dieng, semua aktivitas geothermal selalu dekat dengan manusia. Ada yang dekat dengan tempat wisata, pipa-pipa persis di depan rumah. Batas-batas manusia sudah enggak ada di situ. Semakin mereka dibiarkan, akan semakin tidak manusiawi,” kata Rizal.
Rizal mengatakan ancaman terbesar dari ekspansi adalah hilangnya mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Ia meminta perusahaan bertanggung jawab secara adil atas kerusakan alam yang terjadi di Dieng.
Ia menantang apabila perusahaan benar sudah mempertimbangkan semua aspek lingkungan, maka hal itu harus dibuktikan di hadapan masyarakat bagaimana cara memperbaiki kerusakan yang ada.
“Di Korea Selatan, geothermal itu sudah mulai ditinggalkan. Bayangkan, itu negara yang teknologinya lebih maju saja sudah ditinggalkan. Di sini kita masih coba-coba, dan masyarakat yang jadi kelinci percobaannya,” tukas Rizal.
*Kami menggunakan nama samaran untuk Hariyati & Aziz sebagai pertimbangan keamanan.
Liputan ini bagian dari kolaborasi bertajuk “Ground Truths” untuk menelusuri kondisi tanah di kawasan Asia Pasifik. Liputan didukung Earth Journalism Network (EJN).
Laporan lain dalam kolaborasi dapat dibaca pada tautan ini.