Panduan Bagi Rakyat untuk Mengawasi Polisi

Evi Mariani & Mawa Kresna
10 menit
Tulisan mengkritik polisi pada sebuah dinding di daerah Tangerang. (Project M/Evi Mariani)

Sementara pemerintahan baru memperlihatkan gejala militerisme dengan kemah tentara-tentaraannya, rakyat masih harus menghadapi masalah kepolisian yang sewenang-wenang. Kemarahan rakyat pada polisi sudah banyak terungkap di ruang publik. Selain mencurahkan kemarahan di media sosial dan tempat publik, apa yang bisa kita, rakyat kecil, lakukan untuk mengawasi kekuasaan Polri yang sedemikian digdaya?

Hampir bisa dipastikan semua orang pernah punya pengalaman berurusan dengan polisi. Selebihnya, jika belum pernah, pasti akan berurusan pada waktunya. Karena penggelembungan kewenangan polisi (bahkan hingga 36 wewenang) seperti yang ditulis dalam “Revisi UU Polri: Menjauhkan Reformasi Polri, Melekatkan Persepsi ACAB” membuat polisi semakin punya “kontak” dekat dengan warga. Itu artinya banyak urusan warga yang jadi urusan polisi. 

Meskipun makin dekat dengan warga, namun pengawasan terhadap kewenangan polisi justru makin jauh. Itu sebabnya banyak dari kita sudah kena batunya sehingga kemarahan masyarakat pada polisi banyak muncul ke permukaan di tembok-tembok grafiti, juga komentar di media sosial. 

Tak ada yang mengawasi polisi secara efektif saat ini. Lantas apa yang bisa warga lakukan untuk mengawasi polisi?

Kita Harus Ada untuk Mengawasi

Kalau kamu marah pada kepolisian, dan menginginkan perubahan, kamu tidak sendirian. Kamu punya teman berjuang bersama. Sejumlah orang telah berkumpul, saling rangkul, membangun rumah bersama untuk mengawasi dan mendorong reformasi kepolisian. Mereka berkumpul dengan nama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) beserta sekretariat bersamanya (Sekretariat Bersama Koalisi RFP). Mereka yang bergabung dalam koalisi ini datang dari berbagai latar belakang. Ada anak-anak muda, periset atau peneliti, desainer grafis, pengkampanye, praktisi hukum, jurnalis, akademisi, buruh atau pekerja, pegiat isu perempuan, pegiat lingkungan, pendamping kaum tani, hingga mahasiswa.

Koalisi ini berupaya mengawasi polisi karena pemerintah dan DPR gagal melakukannya. Sekber RFP yang baru berusia kurang dari setahun ini aktif mendorong ekosistem pengawasan terhadap kepolisian dan menggaungkan pentingnya reformasi total kepolisian.

Sekber RFP berdiskusi dengan banyak pihak, mulai dari jejaring mahasiswa, pelajar, akademisi, komunitas seni, komunitas korban, pegiat HAM, buruh, jurnalis dan berbagai simpul masyarakat sipil lainnya untuk bersama-sama mengawasi kepolisian. Tujuannya untuk membangun jejaring yang kuat.

Jika sewaktu-waktu terjadi suatu peristiwa yang melibatkan polisi, kita bersama-sama bisa mengawasinya. Hal konkrit yang Sekber dan anggota RFP salah satunya membuat rilis bersama menyikapi isu-isu terkait kepolisian. Atau, jika ada anggota koalisi merilis riset atau temuan tentang tindak tanduk polisi, seperti misalnya rilis ICW mengenai dugaan korupsi gas air mata, kami akan ikut mengamplifikasinya lewat berbagai kanal.  

Sekber RFP saat ini juga memulai diskusi live di Instagram secara berkala, podcast di platform YouTube, untuk memfasilitasi dan mengamplifikasi suara berbagai pihak terkait isu kepolisian di media sosial.

Sekber RFP dan anggota-anggotanya, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Indonesia Corruption Watch (ICW), Safenet, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bekerja sama dengan banyak pihak melakukan riset, khususnya berkenaan dengan RUU Polri hingga temuan praktik maupun kritik terhadap pola pemolisian. 

Kami bersama-sama sudah meneliti dan menyusun kebijakan apa saja yang diperlukan agar polisi akuntabel, lalu mengemasnya dalam berbagai bentuk publikasi. Produk ini diharapkan dapat merekam, menjahit, dan menstimulasi gagasan penting ihwal reformasi kepolisian berbasiskan semangat masyarakat sipil. Jika diperlukan, Sekber RFP akan memfasilitasi open source yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses semua bahan untuk kebutuhan gerakan sosial.

Terkhusus untuk advokasi RUU Polri, selain memproduksi kajian kritis, Sekber bersama anggota RFP telah melakukan advokasi baik dalam skala nasional maupun internasional. Kami mengunjungi sejumlah media, diskusi kelompok terfokus, mempublikasi rilis hingga membuat konferensi pers. Kami juga berkoordinasi dengan berbagai jaringan masyarakat sipil di banyak wilayah dan secara aktif mengampanyekan isu di media sosial, membuat petisi online, poster, cetak stiker. Kami juga membuat laporan pengaduan dan memaparkan temuan kritis ke sejumlah lembaga negara terkait, hingga melanjutkan pelaporan ke OHCHR (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights) di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Tetap Speak Up Meski Ada Risiko

Berdasar telaah tim kami, berbagai masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara independen sudah memotret bagaimana institusi Polri telah menjadi “aktor pemegang monopoli” kekerasan; pelanggar HAM, maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga dugaan praktik-praktik korupsi. Temuan-temuan ini kian menegaskan bahwa brutalitas-militeristik dan praktik korup di kepolisian sudah begitu sistemik.

Masalah itulah yang perlu kita suarakan dengan lantang. Memang, saat ini kita tidak leluasa untuk speak up karena khawatir sewaktu-waktu dikriminalisasi dengan pasal karet UU ITE. Meski demikian kita juga perlu menangkap semangat perubahan dan keberanian lewat ekspresi muak, kecewa, dan kemarahan banyak warganet lewat tagar di dunia digital seperti #PercumaLaporPolisi, #NoViralNoJustice, #PolisiBrutal, dan #DaruratKekerasanAparat.

Sebagai rakyat, penting bagi kita menyadari bahwa jumlah kita banyak. Ini adalah potensi yang perlu diaktivasi menjadi kekuatan yang terkonsolidasi. Hanya dengan begitu kita punya kekuatan besar mengawasi kekuasaan polisi. Jika polisi dibekali kewenangan-kewenangan dan senjata, kita punya demokrasi lengkap dengan berbagai instrumen hukum yang menjamin hak-hak kita. Karena demokrasi sejatinya adalah resistensi terhadap elitisme kekuasaan, instrumen perlawanan tak bersenjata bagi kaum yang tidak berpunya (Donny Gahral: 2010).

Ada konstitusi dengan berbagai pasal HAM-nya, ada UU 39/1999 tentang HAM, ada UU 9/1998 Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, ada UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan berbagai ketentuan hukum lainnya yang melindungi dan menjamin kita untuk berpendapat, berekspresi, berserikat, berkumpul, berpartisipasi, berkomunikasi, mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi, serta hak untuk tidak ditindas. Perangkat hukum ini berfungsi untuk melawan kesewenang-wenangan. Tidak terkecuali kekuasaan monopolistik sarat kekerasan seperti kepolisian. 

Kita harus yakin bahwa kita bisa mendorong sistem kepolisian yang profesional, akuntabel, transparan, demokratis, independen, dan humanis. Mengubah #PercumaLaporPolisi menjadi #BergunaLaporPolisi, dari watak polisi brutal menjadi polisi yang memanusiakan manusia, dari polisi pelayan kekuasaan (oligark) dan pemilik modal menjadi pelindung, pengayom, pelayan rakyat sepenuhnya. Kita yakin bahwa kita bisa mewujudkan kepolisian yang bekerja profesional dan objektif, tanpa perlu viral untuk mendapatkan justice

Kita punya cita-cita yang sama. Namun sudah sejak lama tiada gerakan terorganisir yang berfokus mengawasi dan mereformasi kepolisian. Kita bisa memulainya dengan mengikuti (follow) dan share konten-konten kritis dan pengawasan kepolisian dari berbagai akun media sosial (Instagram, Facebook, YouTube, X, TikTok) sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terlibat mengawasi polisi seperti YLBHI, KontraS, WeSpeakUp.org, Amnesty Indonesia, PBHI Nasional, AJI Indonesia, Kurawal, SAFEnet, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, ICJR, storyrakyat_, mahasiswa_bergerakk, Lokataru, HRWG, BersihkanIndonesia, Bangsa Mahardika, Imparsial, Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria, Trend Asia, LBH Pers, LBH-LBH naungan YLBHI, PBHI di daerah, dan berbagai akun media sosial lain yang juga ikut mengawasi polisi. Termasuk akun sekretariat bersama koalisi (Sekber RFP).

Jangan Remehkan Kekuatan Digital

Kita perlu kalian semua untuk ikut bersuara. Seperti kata Greta Thunberg, “You are never too small to make a difference.” Ada banyak cara untuk menunjukkan dukungan. Di banyak aksi perlawanan, kekuatan digital telah sering membuktikan diri sebagai kekuatan yang bisa mendorong perubahan sosial, setidaknya untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu tertentu.

Misalnya, yang baru-baru ini ramai di media sosial tentang Indonesia Darurat Demokrasi. Dalam waktu singkat postingan gambar dan video berlatar biru gelap dengan tulisan “siaran darurat” memenuhi lini masa sejumlah platform media sosial. Berbagai kalangan turut menyebarkan pesan ini, bahkan dari influencer yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ngomongin isu perpolitikan. Banyak pembuat konten yang turut menyebarkan isu darurat demokrasi Indonesia dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh audiens yang mereka targetkan. Video TikTok yang menganalogikan bahaya calon tunggal Pilkada dengan window shopping ini adalah salah satu contohnya.

Contoh lainnya adalah tagar #AllEyesonPapua yang viral beberapa bulan lalu. Aktivisme digital ini telah berhasil mengarusutamakan pembicaraan di jagat maya mengenai hutan Papua yang tengah terancam ekspansi industri kelapa sawit. Salah satu strategi yang digunakan oleh netizen adalah dengan membuat poster aksi digital di Instagram yang dapat diunggah ulang hanya dengan sekali klik menggunakan fitur “add yours“. Menggunakan fitur ini, salah satu poster kampanye #AllEyesonPapua telah diunggah ulang sekitar 3 juta kali. Dalam waktu singkat, petisi daring yang dimulai oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mendapat dukungan lebih dari 250 ribu tanda tangan. Perjuangan Suku Awyu dan Suku Moi untuk mempertahankan hak atas hutan adat mereka memang masih panjang, bahkan saat ini sedang kalah, tapi ini menjadi salah satu contoh bagaimana aksi digital dapat mengarusutamakan isu yang sebelumnya kurang terdengar di kalangan umum.

Banyak anak muda di Indonesia yang telah melakukan gerakan skala lokal untuk mendorong perubahan, meski tidak semuanya diketahui oleh publik. Di WeSpeakUp.org, di bawah program pelatihan We Create Change, kami memberikan pelatihan kepada penggerak muda dari seluruh Indonesia untuk dapat menggunakan strategi kampanye sosial yang lebih berdampak dengan memanfaatkan teknologi digital. Selama 2023-2024, ada 87 penggerak muda dari 24 provinsi yang telah mengikuti pelatihan kami. Salah satunya adalah seorang mahasiswa yang sedang kuliah di Yogyakarta dan aktif dalam gerakan Climate Rangers.

Dia mengkritisi rencana pembangunan beach club oleh Raffi Ahmad dan sejumlah investor lainnya di Gunungkidul yang berpotensi merusak kawasan karst. Kami membuat sejumlah konten Instagram, salah satunya dengan meminjam judul dan poster film yang waktu itu sedang ramai diperbincangkan, “How to Make Millions Before Grandma Dies”. Hasilnya, konten ini banyak disukai dan disebarkan ulang oleh netizen. Kami belajar bahwa menggunakan referensi budaya populer untuk membicarakan isu-isu yang lebih berat, seperti perusakan lingkungan, adalah salah satu strategi efektif untuk menggalang dukungan. Selain itu, belajar dari kampanye #AllEyesonPapua, kami juga membuat template poster “add yours” untuk mengajak netizen mendorong Raffi Ahmad agar membatalkan rencana pembangunan beach club ini. Dalam waktu 48 jam, poster ini telah disebarkan 131,000 kali. Tak lama kemudian, Raffi Ahmad mengeluarkan video berisi pernyataan bahwa dia akan menarik diri dari proyek tersebut.

Sejumlah anak muda lain dari Sulawesi Tengah yang juga mengikuti program We Create Change aktif membangun gerakan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku penambangan pasir dan batu di sepanjang pesisir Palu-Donggala. Aktivitas tambang yang diduga untuk pembangunan ibu kota negara (IKN) ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan berpengaruh terhadap kesehatan warga sekitar. Para anak muda ini, yang juga aktif di organisasi Walhi Sulteng, JATAM Sulteng, dan Yayasan Tanah Merdeka, mengorganisir banyak aksi offline, seperti pembagian masker, diskusi, aksi protes, menanam pohon, dan membuat perpustakaan untuk warga sekitar. Mereka juga aktif mendokumentasikan kegiatan dan menerbitkan artikel di media-media daring lokal. Kami membantu mengamplifikasi gerakan mereka dengan membuat sejumlah konten digital dan siaran pers. Hingga kini gerakan mereka banyak diliput media.

Kembali lagi ke gerakan desak reformasi kepolisian, kita juga bisa membuat, mengikuti, dan mengakses berbagai update informasi dari open source di berbagai platform milik organisasi masyarakat sipil yang fokus mengawasi polisi tersebut. Open source yang memungkinkan kita untuk bisa saling berbagi; upload dan download poster yang dapat dicetak sendiri, bila memungkinkan kita bisa mengunduh berbagai dokumen pengetahuan pendukung lainnya untuk kebutuhan bergerak bersama.

Berikutnya kita bisa menyuarakan; secara kompak menyerukan tagar semisal #ReformasiKepolisian, #BatasiKepolisian, #DefundThePolice atau tagar lainnya. Cara ini mungkin bakal lebih efektif ketimbang mengadukan polisi lewat kanal pengaduan yang baru dibikin Wapres Gibran.

Jika resource finansial cukup baik, kita juga dapat berdonasi melalui saluran crowdfunding yang dibuka berbagai organisasi bantuan hukum, seperti LBH Jakarta yang misalnya memiliki “SIMPUL LBH Jakarta” dan 17 LBH kantor lainnya di lingkungan YLBHI atau PBHI di daerah. Organisasi-organisasi bantuan hukum ini menjadi garda paling depan menghadapi polisi dan aparat lain pelaku kekerasan yang tidak terbatas pada saat demonstrasi saja, namun rutin menjadi pendamping dan pembela korban-korban penyiksaan, salah tangkap, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya.

Reformasi kepolisian belum selesai. Mari bekerja sama!


Aulia Rizal adalah Pengacara Publik dan Penanggung Jawab Advokasi dan Jaringan Sekber RFP. Sebelumnya bergiat sebagai Direktur LBH Pers Padang dan Kepala Advokasi LBH Padang.

Frida Kurniawati adalah campaigner di WeSpeakUp.org, yang berkomitmen untuk mendobrak narasi tunggal melalui berbagai cara.

Artikel ini adalah bagian serial opini  koalisi masyarakat sipil untuk reformasi Polri. Ikuti akun Instagram sekretariat reformasi kepolisian untuk ikut mengawasi polisi agar tidak ugal-ugalan. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Evi Mariani & Mawa Kresna
10 menit