Gerakan ini menjadi hal baru bagi warga miskin kota, sekaligus menjadi simbolis perlawanan warga atas iklim politik yang semakin tunggal warnanya. Ia juga merupakan bentuk protes atas tindakan meremehkan warga negara.
RABU, 27 November 2024, sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia secara serentak akan menggelar pemilihan kepala daerah. Hingga sisa waktu yang pendek ini, belum juga ada calon kandidat kepala daerah yang secara konkret menyatukan visi misi mereka dengan isu strategis rakyat, termasuk di Jakarta.
Sejak 2012, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) memanfaatkan pemilu untuk mendorong program yang selama ini abai dilakukan pemimpin daerah melalui kontrak politik. Rakyat miskin kota akan memberikan suara dengan imbalan kandidat memenuhi tuntutan yang tertuang dalam kontrak bila terpilih.
Dua kandidat yang pernah menandatangani kontrak politik dengan JRMK selama masa pilkada adalah Joko Widodo-Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dalam kontrak politik dengan Jokowi-Ahok, mantan Wali Kota Solo itu menandatangani tuntutan warga dengan tajuk, “Pro-Warga Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga.”
Sementara pada Pilkada 2017, Anies-Sandi meneken kontrak politik dengan JRMK yang berisi jaminan tidak lagi ada penggusuran seperti yang masif dilakukan pada era Gubernur Ahok, 2015-2016. Catatan LBH Jakarta menunjukkan ada lebih dari 25 ribu orang tergusur. Hasil dari kontrak politik ini adalah pemulihan hak warga yang tergusur dengan dibangunnya Kampung Susun Akuarium dan Kampung Susun Kunir di Jakarta Utara.
Kontrak politik juga pernah disodorkan kepada Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014 dan 2019. Kendati demikian, hasil yang diharapkan warga miskin kota jauh dari kontrak politik.
Namun pada pilkada DKI kali ini, tidak ada kontrak politik yang diajukan pada kandidat gubernur. JRMK, sebagai gerakan yang fokus memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin, mengambil jalan lain. “Gercos” alias gerakan coblos semua sebagai bentuk perlawanan atas tidak adanya keberpihakan para calon gubernur pada fokus isu mereka dalam kontes politik daerah ini. Alasan lainnya adalah Gercos merupakan penolakan terhadap dominasi kekuatan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang memberikan ruang gerak terbatas bagi aktor politik lain.
Dari tiga pasangan calon yang akan bertarung, Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardhana, dan Pramono Anung-Rano Karno, JRMK tidak melihat adanya keberpihakan mereka pada hak permukiman warga. Saat menjadi Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil justru membiarkan penggusuran warga Tamansari. Sementara Anies, calon yang didukung JRMK, gagal berlaga menjadi gubernur DKI pada Pilkada 2024 ini.
Gercos tentu rentan dicap sebagai pelanggaran pemilu karena dianggap mengajak publik untuk menjadi golput alias golongan putih, seperti yang termuat dalam Pasal 284 UU Pemilu. Ada dua jenis golput, pertama, tidak berangkat ke TPS dan tidak mencoblos; kedua, berangkat ke TPS, mencoblos semua kandidat yang ada dalam surat suara, dan mengakibatkan kertas suara tidak sah.
Fenomena “golput” (tidak berangkat ke TPS) dengan jumlah signifikan pernah terjadi dalam Pilkada Kota Medan pada 2020. Pilkada yang memenangkan pasangan Bobby Nasution dan Aulia Rachman itu, hanya diikuti kurang dari 50 persen dari total pemilih terdaftar (DPT). Sebabnya, sekitar 54,22% pemilih dalam DPT memutuskan untuk tidak berangkat ke TPS (golput).
Di tengah ketidakpastian jaminan hak dasar perumahan warga ini, kampanye “Gercos” JRMK ini mengajak warga DKI yang memiliki hak pilih untuk tetap datang ke TPS tapi tidak memilih satu pasangan calon, melainkan mencoblos semua calon.
Gercos menjadi keputusan kolektif JRMK. Gerakan ini menjadi hal baru bagi warga miskin kota, sekaligus menjadi simbolis perlawanan warga atas iklim politik yang semakin tunggal warnanya. Ia juga merupakan bentuk protes atas tindakan para elite (kandidat gubernur) meremehkan warga negara.
Setidaknya dalam Pileg 2024, anggota JRMK yang di antaranya yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima dan korban gusuran pernah ikut merasakan sengitnya pertarungan politik. Meski gagal, mereka yang mayoritas mencalonkan diri dari Partai Buruh, salah satu partai politik alternatif yang tidak dikuasai oligarki, berupaya memperlihatkan bahwa pemilu bukan cuma milik orang berduit.
Pilihan Penuh Risiko
Kalau ingin pragmatis, warga pinggiran ini bisa saja mendukung calon yang paling tinggi elektabilitasnya. Tapi hal ini pada gilirannya akan meletakkan warga tak beda dengan partai politik, dengan agenda-agenda pragmatisnya, dan menggadaikan nilai dan prinsip demokrasi ideal.
Ada risiko besar pada pilihan strategi ini: lenyapnya agenda-agenda hak dasar perumahan warga miskin kota.
Pilihan pragmatis pun bersifat rentan. Alasan utamanya adalah politik elektoral Indonesia berbiaya mahal. Per September 2024, biaya kampanye ketiga pasangan calon gubernur Ridwan Kamil-Suswono sebesar Rp1 miliar, Dharma-Kun Rp5 juta, dan Pramono-Rano sebesar Rp100 juta. Angka ini bisa saja meningkat berkali-kali lipat kalau melihat rerata biaya kampanye pasangan calon pada Pilgub DKI 2017 yang mencapai Rp60 miliar per pasangan calon.
Pertanyaannya, dari mana dana ini berasal? Dalam konteks perkotaan, kebijakan terpenting adalah pengelolaan tata ruang. Pengembang adalah aktor utama yang akan terdampak dari hasil Pilgub. Kajian yang dilakukan peneliti dari Jepang Arai Kenichiro menunjukkan sentralnya peran pengembang dalam pembangunan Ibukota Jakarta. Peneliti lain, Deden Rukmana, juga memetakan pelanggaran kebijakan tata ruang antara tahun 1985 sampai dengan 2005, terkait peruntukan tanah, yang hampir kesemuanya menjadi perumahan kelas menengah, dengan restu negara.
Developer adalah aktor kunci kebijakan tata guna lahan dan perencanaan kota secara umum, termasuk di Jakarta. Artinya, sumber pendanaan bisa jadi berasal dari kelompok ini. Hak permukiman rakyat di kota melalui penyediaan lahan, akan menjadi prioritas kesekian, siapapun gubernur yang terpilih. Pasalnya, para gubernur terpilih akan berhadapan dengan isu penataan ruang ini, sebagaimana yang terjadi dalam Pilkada 2017.
Dalam konteks penyediaan permukiman, sebetulnya bukan hanya rakyat miskin kota yang berkepentingan, tapi juga kelompok menengah. Mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta menghabiskan waktu minimal 3 jam per hari untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor. Mereka pun akan diuntungkan dengan kebijakan tata ruang dan perumahan kalau saja perumahan kelas menengah juga tersedia di pusat perkotaan, yang tak jauh dari tempat mereka mencari nafkah.
Artinya ada risiko berlapis dan penuh dilema bagi rakyat miskin kota di Jakarta dalam Pilgub 2024 ini. Mendukung salah satu calon gubernur DKI Jakarta akan berhadapan dengan para pengembang dan tidak memedulikan kepentingan rakyat.
Kedua, tidak mendukung atau melakukan gercos, akan menambah tantangan rakyat miskin yang sedang mempertahankan haknya, karena kemungkinan dampak penggusuran yang akan dilakukan pemimpin baru.
Memelihara Harapan
Lantas apa gunanya Gercos?
Gerakan ini adalah sebuah penegasan bahwa rakyat punya posisi penting dalam demokrasi, bahwa rakyat tidak bisa selalu ditekan, dibodoh-bodohi, dan diabaikan.
Orang sering mencibir inisiatif ini tidak akan berguna, percuma, dan membuang-buang waktu. Inisiatif sejenis pernah dilakukan pada Pilpres 2024 dalam bentuk “Salam 4 Jari.” Saat itu, target gerakan adalah pilpres dua putaran, dengan menolak calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sebaliknya, gerakan ini mendorong rakyat memilih paslon no. 1 dan no. 3, atau bila ditotal menjadi angka “4.”
Salam yang sama dapat menjadi alternatif gerakan dalam Pilkada, setidaknya menolak calon yang merepresentasikan kepentingan elit.
Di tengah iklim demokrasi elektoral yang semakin dikuasai elite, politik keluarga/dinasti, berbiaya mahal, dan tingkat kompetisi yang semakin rendah, Gercos adalah upaya memelihara “harapan gerakan masyarakat sipil.”
Memelihara harapan memang terdengar romantis diucapkan dan didengar. Ia membutuhkan pengorganisasian yang sistematis, dan daya tahan jangka panjang, dan api kemarahan pada ketidakadilan. Memelihara harapan dan memelihara kemarahan pada ketidakadilan adalah inti dari kehidupan.
Amalinda Savirani adalah dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.