Proyek Geothermal di Batu: Jangan Sampai Mata Air Menjadi Air Mata

Ronna Nirmala
8 menit
PLTP Patuha di Jawa Barat yang digarap oleh PT Geo Dipa Energi. Perusahaan itu berencana membangun PLTP dengan potensi kapasitas hingga 190 MW di Arjuno-Welirang, Batu, Jawa Timur. (Dokumentasi Kementerian ESDM)

Pembangunan geothermal di Kota Batu, Jawa Timur, menimbulkan kekhawatiran besar terhadap keberlanjutan sumber mata air yang menjadi nadi kehidupan masyarakat. Dengan potensi ancaman terhadap debit air, kualitas lingkungan, serta fungsi kawasan lindung, proyek ini dianggap lebih merugikan ekosistem dan kesejahteraan warga daripada manfaat energi terbarukannya.


KOTA BATU baru berumur 23 tahun. Namun, pesona wisatanya tidak kalah saing dengan Kota Malang yang sudah memasuki usianya ke-110 tahun. Batu, yang berada di lereng Gunung Arjuno-Welirang dan Pegunungan Kawi-Butak ini, menawarkan pemandangan alam nan hijau serta udara yang dingin dan sejuk. 

Kendati pariwisata menjadi sumber pendapatan unggulan, tetapi sektor ini perlahan menimbulkan banyak perkara di kota ini. Beragam bangunan penunjang wisata buatan terus dibangun di bekas ladang-ladang warga, mengubah lanskap yang semula perkebunan apel, jeruk, dan sayuran. Bukan hanya ladang, hutan dan sumber mata air turut dialihfungsikan. 

Kota Batu tercatat memiliki 111 sumber mata air yang menjadi bagian dari aliran hulu Sungai Brantas hingga ke Surabaya. Namun, hasil penelitian IMPALA Water Spring Research tahun 2018, menemukan hanya tinggal 52 mata air dan 17 di antaranya diprivatisasi. Mata air yang diprivatisasi untuk kebutuhan hotel dan obyek wisata buatan. 

Air adalah sumber penghidupan yang dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kebutuhan. Begitu pula dengan kawasan hutan yang menjadi wilayah lindung bagi kawasan hulu. 

Belum terurainya problem yang disebabkan industri pariwisata, proyek raksasa akan berdiri di Arjuno-Welirang dan Songgoriti di kawasan Pegunungan Kawi-Butak. Pada 2014, kedua gunung itu ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), atau area tertentu yang ditetapkan Negara untuk pengelolaan sumber energi listrik.

Rencana Pemerintah Kota Batu untuk merevisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang muncul sejak tahun 2019, terus menimbulkan penolakan. Dalam Revisi Perda RTRW ini disebutkan hampir seluruh desa di Kota Batu masuk dalam WKP. 

Dokumen Revisi Perda RTRW pada situs Bappeda Kota Batu menyebutkan pembangkit listrik panas bumi atau geothermal ini adalah bagian dari upaya mendorong produksi energi terbarukan. Tahun 2022 Walikota Batu telah menerima dokumen persetujuan subsistensi dari ATR/BPN, dokumen ini yang kemudian menggantikan Perda No.07 Tahun 2011 dan  menjadi karpet merah dalam melanggengkan proyek ini. 

Proyek ini persis seperti siluman, diam tapi terus bergerak. Tahun 2019, beberapa pihak di Sumber Brantas menyebutkan bahwa telah ada beberapa kelompok yang naik ke Gunung Arjuno-Welirang untuk melakukan survey titik panas bumi. Proyek ini rencananya akan dikerjakan PT Geo Dipa Energi, perusahaan yang menggarap PLTP di Dieng, Jawa Tengah, dan PLTP Patuha di Jawa Barat.

Geo Dipa berencana membangun PLTP dengan potensi kapasitas hingga 190 MW di Arjuno-Welirang. Sosialisasi yang dihadiri pemangku kepentingan, termasuk pejabat daerah di Batu, sudah dilakukan pada tahun 2017. Menyusul setelahnya, pada 2020, survei seperti uji geofisika untuk mempelajari struktur bawah permukaan bumi dan mengidentifikasi potensi sumber daya energi dilakukan perusahaan. 

Sebagai BUMN yang berada di bawah koordinasi langsung Kementerian Keuangan, Geo Dipa mendapatkan sumber pendanaan untuk eksplorasi di antaranya dari dana pemerintah, termasuk ekuitas negara dan pengelolaan dana hijau (green fund) dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Sumber dana hijau ini melibatkan lembaga keuangan internasional seperti World Bank yang mendukung proyek-proyek eksplorasi panas bumi di Indonesia.

Baru-baru ini, sosialisasi kembali dilaksanakan oleh sebuah lembaga think tank yang dipimpin akademisi dari universitas terkemuka di Kota Malang. Ia menyebutkan bahwa geothermal adalah harta karun, dengan merujuk pada potensi ekonomi dan bisnis. Perspektif ini tentunya didukung juga oleh pemerintah daerah bahkan DPR RI. Hal ini sangat disayangkan. Seorang akademisi yang memiliki pengetahuan tentang risiko geothermal justru mendukung proyek ini.

Sebelum Berubah Jadi Bencana

Tahun 2021, saya memiliki kesempatan untuk bisa datang ke Dieng, Jawa Tengah, bertemu sekawanan anak muda yang mengelola perpustakaan kolektif untuk mencari tahu bagaimana geothermal yang ada di sana. Sejak mendengar kata geothermal, saya belum bisa membayangkan bagaimana proyek ini akan beroperasi. 

Namun, mata saya tidak bisa berkedip sejak memasuki kawasan Dieng ini. tepatnya ketika mobil yang kami tumpangi melintas di depan kantor Geo Dipa Energi, kemudian semakin mengejutkan ketika saya dan rombongan melintasi pipa besar yang menjulang di atas mobil. Juga kepulan asap yang muncul dari di antara petak-petak ladang kentang, yang kemudian kawan di sana mengatakan sebagai wellpad atau sumur bor. 

Seketika saya bisa langsung membayangkan bagaimana Kota Batu ketika proyek ini berjalan. Pipa-pipa air akan bersanding dengan pipa-pipa milik proyek yang jauh lebih besar dan juga sewaktu-waktu dapat meledak. Juga sumur bor yang mungkin saja terletak di seberang wahana wisata. 

Jaringan pipa PLTP Dieng menjulang di atas kawasan pemukiman. (Dokumentasi Lila Puspita)

Beberapa hari menghabiskan waktu di Dieng membuat berbagai sisi buruk geothermal semakin terkuak. Mulai dari beberapa tragedi hingga merenggut nyawa akibat ledakan gas, lalu suara bising dari mesin, hingga tercemarnya air di sana. Tepat seperti beberapa rujukan yang menyatakan dampak-dampak geothermal dan air menjadi sebuah hal yang mengancam. 

Air pula yang kemudian menjadi refleksi saya sekembalinya ke Kota Batu. Seorang kawan yang sejak SMA telah terlibat dalam gerakan penyelamatan mata air Umbul Gemulo tahun 2012, di Kota Batu, menceritakan bahwa air menjadi hal penting yang akan sangat sensitif di wilayah ini. 

Perlawanan masyarakat yang dapat mengumpulkan ribuan orang memiliki alasan mendasar karena Umbul Gemulo menjadi penting bagi kehidupan mereka, selain dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Umbul Gemulo juga dipercaya sebagai wilayah sakral yang perlu untuk dijaga. 

Begitu pula dengan ancaman akan dibangunnya proyek geothermal. Ancaman terhadap keberadaan mata air sangat nyata. 

Warga melakukan protes terhadap pembangunan hotel di atas Umbul Gemulo. (Dokumentasi Nawakalam)

Menurunnya debit air dan pencemaran air menjadi dampak yang sangat mungkin ditimbulkan oleh proyek ini. Sebab proses pengeboran akan membutuhkan air yang banyak dan dapat sewaktu-waktu mengganggu akuifer di sekitar. Selain itu, dalam proses produksi nantinya juga akan meninggalkan residu yang berpotensi mencemari sungai di sekitar. 

Jika proyek di Arjuno-Welirang dan Songgoriti tetap dijalankan, tidak menutup kemungkinan puluhan sumber mata air di sekitarnya akan terancam. Bukan hanya masyarakat di Kota Batu yang merasakan, tetapi masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Sungai Brantas juga akan merasakan dampaknya.

Bukan hanya itu, kedua WKP juga masuk dalam kawasan lindung, termasuk di dalamnya wilayah konservasi Tahura Raden Soerjo di lereng Gunung Arjuno yang menjadi kawasan pelindung sumber mata air dan hulu Sungai Brantas. Kawasan ini juga akan terancam sebab proyek ini akan dengan mudah mengubah lanskap, salah satunya dengan membuka hutan untuk akses ataupun lokasi sumur bor. 

Merawat Air, Merawat Kehidupan 

Berbagai gerakan perlindungan sumber mata air telah ada di Kota Batu sejak dulu. Ini menjadi bukti bahwa air menjadi hal sensitif dan penting bagi warga sekitar. 

Serupa dengan perjuangan warga di Gemulo, kelompok warga yang memanfaatkan sumber mata air di Kasinan juga membuktikan bahwa air menjadi hal penting yang harus dirawat. 

Sumber mata air di hutan Kasinan. (Dokumentasi Lila Puspita)

Tahun 2020, hutan Kasinan yang memiliki sumber mata air resapan hendak diubah menjadi kawasan wisata buatan. Baru saja mulai dibangun, debit air di sana langsung menurun drastis. Hingga hari ini, sumber tersebut masih dikelola secara kolektif oleh warga melalui lembaga desa. Warga hanya perlu membayar dengan sukarela untuk kebutuhan perawatan. 

Sejak ancaman hadir, warga melakukan upaya penanaman dan perawatan kembali hutan secara gotong royong, untuk tujuan menjaga hutan dan sumber mata air. Upacara-upacara bersih sumber juga rutin dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan untuk menghormati leluhur yang dipercaya menjaga hutan tersebut. 

Warga melakukan upacara bersih sumber mata air di hutan Kasinan. (Dokumentasi Lila Puspita)

Proyek geothermal di Batu memang masih siluman. Namun, seluruh dokumen kebijakan telah menunjukkan bahwa sewaktu-waktu, siluman ini akan menunjukkan wujudnya. Tahun lalu, perusahaan mengatakan rencana pengeboran PLTP Arjuno-Welirang sudah pasti dilaksanakan

Kebohongan besar jika proyek ini masih dipromosikan untuk keperluan warga sekitar, sebab warga sekitar butuh hutan, tanah, dan air untuk kehidupan mereka. 

Berbagai dampak di wilayah lain yang telah terjadi akibat proyek ini cukup menjadi cerita bagaimana proyek ini sangat berbahaya. Tidak lagi pantas menempelkan label green energy sebab nyawa dan seluruh ekosistem terancam dengan adanya mata bor yang siap kapan saja menancap di gunung-gunung di kampung kita semua. Sehingga proyek ini perlu mendapat penolakan bahkan sebelum beroperasi. 

Saya tidak ingin merekomendasikan opsi energi yang lebih ramah lingkungan, sebab pelebelan ramah lingkungan yang saat ini banyak diserukan oleh pemerintah hanya berdasar pada pengurangan dampak emisi karbon dan mengabaikan berbagai dampak lain yang juga sama berbahayanya. 

Selama energi masih tersentral dan berskala besar, maka ia masih akan mengeksploitasi dan mengancam nyawa dan seluruh ekosistem. Energi harusnya dapat terdesentralisasi pada skala komunitas terkecil atau skala kampung yang pengelolaannya dikelola bersama dan untuk peruntukan komunitas atau kampung tersebut bukan untuk kawasan khusus ataupun industri. 

Namun, sepertinya tidak mungkin jika model energi yang terdesentralisasi dengan skala komunitas itu didapatkan dari panas bumi yang mengebor gunung yang skalanya pasti besar.

Lila Puspita adalah Manajer Kampanye dan Jaringan Publik WALHI Jawa Timur

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala
8 menit