Anak-Anak Muda Ini Jadi Korban Kriminalisasi Polisi di Aksi May Day. Mereka Melawan Balik

18 menit
Cho Yong Gi yang tergabung dalam tim paramedis dianiaya dan ditangkap polisi saat hendak menolong peserta aksi May Day 2025 di Jakarta yang menjadi korban kekerasan polisi. (Sumber: Istimewa)

Satu setengah bulan setelah aksi May Day, Jorgiana mendatangi gedung Bareskrim Mabes Polri. Bersama 13 demonstran May Day, ia memilih melawan: melaporkan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang polisi kepada mereka.

Jorgiana ditemani ibunya, Herlina. Saat dikerubungi wartawan, Herlina berkata: “Setahu saya kepolisian ditugaskan oleh negara untuk mengayomi masyarakat. Mengamankan saat demo. Tetapi apa yang terjadi? Anak-anak ini dituduh sebagai provokator. Anak saya, perempuan, dilecehkan dengan kata-kata yang tidak pantas.” 

“Saya izinkan anak saya ikut demo untuk belajar mencintai Indonesia. Tetapi ini yang kami dapat dari kepolisian.”


17.00 Bawah Flyover

Cho Yong Gi tidak bisa bernapas. Lehernya ditimpa paha lelaki berbadan besar dengan potongan rambut mullet. Gerombolan laki-laki berpakaian hitam mengeroyoknya. 

Sebelum kejadian itu, Jorgiana yang berada di dekatnya, berteriak, “Pak, Pak, itu paramedis! Itu teman saya!” 

Meraih dan memeluknya, Jorgiana menamenginya dengan tongkat trekking. Berharap gerombolan itu berhenti memukul. Tapi seorang pria menyelengkat kaki Cho Yong Gi. Keduanya terjatuh. 

Refleks, Jorgiana menutupi tubuh temannya, demi menghalau pukulan ke arah dada. Tapi justru pengeroyok mengarahkan kaki ke leher Cho Yong Gi — seakan “leher dan kepalanya mau dipisahkan.”

Sontak Jorgiana mendorong tubuh lelaki besar itu. Cepat-cepat melindungi kepala Cho Yong Gi dengan perutnya. Setelah itu Cho Yong Gi merasakan lehernya sakit luar biasa. Dan muntah-muntah.

“Aku kayak melihat percobaan pembunuhan di depan mataku,” kata Jorgiana. 

Serangan mereda. Kepada polisi berseragam, Jorgiana memperkenalkan dia paralegal tim paramedis. Menunjukkan surat keterangan dan KTP setelah diminta si polisi. 

Tak jauh dari tempatnya, sejumlah demonstran ditangkap polisi. Kondisinya babak belur. Kepala bocor, badan telanjang, barang-barang berserakan. Ia berkata kepada mereka agar tidak berbicara apa pun ke polisi sampai ada pengacara.

“Angkut! Angkut!” 

Seketika kerumunan polisi memaksa Jorgiana dan Cho Yong Gi masuk mobil tahanan. Jorgiana menanggapi dengan bertanya dasar penangkapan. 

Tapi polisi tidak menggubris. Malah menarik pakaian, memukul keduanya bertubi-tubi. Jorgiana merasa ada tangan memegang paha, payudara, dan pantatnya. Tali pakaian dalamnya ditarik. Ia berteriak, “Saya cewek! Jangan pegang-pegang!”

Terdengar suara makian, “Lonte! Perek! Pukimak!” 

Kakinya ditendang. “Telanjangin! Telanjangin!”

Kekerasan polisi terhadap Cho Yong Gi dan Jorgiana. (Sumber: Istimewa)

CHO YONG GI & JORGIANA

11.00-17.00 Gerbang DPR & Di Bawah Flyover Ladokgi

Cho Yong Gi, 22 tahun, datang ke aksi May Day sejak siang hari. Jorgiana, 27 tahun, tiba sore hari. 

Cho Yong Gi memanggul tas ransel berisi kebutuhan medis seperti kain kasa dan oksigen, juga air minum dan cemilan. Jorgiana membawa tas kecil, memakai kaus dan celana legging agar mudah bergerak. Tugasnya berjaga-jaga pendampingan hukum bagi tim paramedis saat berurusan dengan polisi.

Cho Yong Gi sudah beberapa kali datang ke unjuk rasa. Awal mula memakai jaket almamater, bersama mahasiswa lain. Tapi melihat di lapangan ada banyak peserta aksi bukan cuma mahasiswa yang membutuhkan pertolongan, ia memilih gabung tim paramedis pada aksi protes selanjutnya. 

“Aku berpikir bagaimana caranya membantu orang-orang ini biar lebih nyaman. Kalau mereka sakit, ada pertolongan cepat. Karena saat di titik aksi, ke mana-mana itu jauh. Harus jalan sekian kilometer dulu. Rumah mereka jauh-jauh,” ujarnya.

Di tim paramedis ia berkenalan dengan Jorgiana. Keduanya kemudian mendirikan posko medis, yang selanjutnya jadi rutinitas.

Posko medis May Day 2025 berada di bawah flyover Ladokgi, 600-an meter dari gerbang DPR. Di situ paramedis memasang tenda dan penanda khusus. Jorgiana berada di situ saat tiba. Teman-temannya menyebar di sekitar gerbang DPR. Ia menghampiri mereka sebentar. Menyapa, lalu kembali ke posko. 

Pukul 5 sore, Jorgiana menyaksikan massa aksi menjauhi gedung DPR. Langit masih terang. Ia berjalan ke arah pusat aksi dan melihat semburan meriam air

Di depan DPR, rombongan Brimob Polda Metro Jaya, berseragam hitam, memukul mundur demonstran. Mereka adalah bagian dari 4.793 personel gabungan dari Polri, TNI, dan Pemda Jakarta “mengawal” May Day. 

Saat itu Jorgiana dan Cho Yong Gi bertemu di halte bus dekat gerbang DPR. Mereka berjalan menuju posko. Cho Yong Gi berjalan bersama rombongan pers di trotoar. Jorgiana berjalan beberapa meter di belakangnya. Rombongan kendaraan taktis Brimob melewatinya.

“Kami nggak lari-lari. Kami di trotoar bareng pers. Bantu memayungi pers biar nggak kena timpuk. Juga supaya kalau ada yang ditangkap atau dipukuli, kami bisa bantu menarik mereka,” terang Cho Yong Gi. 

Saat mendekati posko paramedis, Cho Yong Gi mendengar teriakan, “Ada yang kepalanya sobek!” 

Bergegas ke posko, tempat itu sudah dikerubungi sekelompok pria berpakain sipil dan polo hitam bertuliskan ‘polisi’. Seorang demonstran berlumuran darah. Ia hendak menolongnya, tapi dihalangi dan dihalau para polisi. “Kalau butuh paramedis, saya hubungi!”

Seorang bahkan menuduhnya “provokator”. “Ini yang lempar-lempar!” 

Saat itu juga Cho Yong Gi dikerubungi gerombolan polisi. Menarik-narik tubuhnya. Memiting. Memukulnya bertubi-tubi. 

“Bawa! Bawa!” 

Jorgiana, yang menyaksikan temannya dikeroyok, segera berlari ke arah kerumunan. Mereka terjerembab bersama.

Detik-detik penangkapan paramedis. (Sumber: Istimewa)

GREGAH

16.45 – Depan Mobil Gig

Demonstran yang dikeroyok, yang hendak ditolong Cho Yong Gi, itu bernama Gregah. 

Mahasiswa Universitas Indonesia berumur 20 tahun itu mengikuti May Day seorang diri. Biasanya saat demo Peringatan Darurat dan Indonesia Gelap, ia bersama mahasiswa UI lainnya. Kali ini ia bersolidaritas dengan pekerja kampus. Gregah kuliah sambil bekerja di sebuah bisnis rintisan bersama dosen dan akademisi. 

“Saya tahu betapa buruk kesejahteraan mereka,” ujarnya.

Gregah berdiri di depan truk gig. Banyak anak-anak muda, ibu-ibu, dan anak kecil bersama orangtua di sekitarnya. Mendadak mereka panik menyusul polisi-polisi berseragam dengan kendaraan taktis membubarkan dengan menembakkan meriam air.

Berdesak-desakan di antara bus angkut peserta aksi dan kerumunan demonstran, ia berjalan menuju flyover Ladokgi. Di sana massa memenuhi trotoar yang sempit. Ia menyeberang ke bawah jalan layang. 

Polisi membubarkan paksa aksi May Day 2025 di depan gedung DPR. (Sumber: Watchdog Documentary)

Saat itulah sekelompok pria berpakaian sipil berteriak ke arahnya. Gregah kaget dan mundur. Tapi ia terjepit. Ada yang menarik dan mencekik lehernya. Ia dikeroyok. Dipukul. Ditendang. Mereka berteriak, “Kamu ngapain? Ngapain?”

“Saya nggak ngapa-ngapain.” 

Wajahnya dipukul. Bibirnya pecah. Cho Yong Gi dan tim paramedis datang dan berusaha menolongnya. Tapi pengeroyok itu mengalihkan serangan ke Cho Yong Gi. 

Gregah dibawa polisi ke bawah flyover. Tasnya dibongkar. Ponselnya diambil paksa. Ia disuruh duduk bersama demonstran yang badannya sudah babak belur. Ada yang tidak bisa bernapas. Ada yang kepalanya bocor. Polisi memiting, menginjak, dan menendang mereka. 

Di situ ia melihat seorang perempuan—kemudian hari ia tahu bernama Jorgiana–diinjak dan dijatuhkan, pakaian dalamnya ditarik. Gregah melerai dan melindunginya, tapi ia kembali digebuki polisi. 

“Saya benar-benar nggak bisa bernapas. Asma saya yang bertahun-tahun nggak pernah muncul, jadi muncul lagi,” cerita Gregah.

Ia berpikir polisi bakal melepaskannya. Tapi ia diangkut ke mobil tahanan bersama Cho Yong Gi, Jorgiana, dan demonstran lain. 

Penganiayaan terhadap Gregah. (Sumber: Jakartanicus)

DAMAR

17.30 Mobil Tahanan

Di dalam mobil tahanan polisi yang gelap dan minim ventilasi, Damar merasakan darah mengalir dari kepalanya. Napasnya sesak. Di mobil itu ada sebelas demonstran. Ada dua polisi yang berjaga.

Cho Yong Gi mengecek kepala Damar, membersihkan luka dengan air, membantu menekan luka dengan perban. Para korban lain saling membantu. 

Teguh, seorang paramedis yang ditangkap, mengingatkan agar teman-teman tidak berbicara apa pun ke polisi. “Tunggu pendamping hukum. Nanti mereka datang.” 

Ini pertama kali Damar mengikuti aksi protes di DPR. Ia datang bersama rombongan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), bagian dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Damar, 20 tahun, pernah mengikuti aksi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Indonesia Gelap 2025 di kampung halamannya di Pemalang. 

Damar memakai pakaian tiga lapis pada aksi May Day. Kaus hitam, kemeja, dan kaus merah berlambang KPBI. Saat panas-panasan, ia melepas kaus merah. 

Saat di mobil tahanan, ia berandai-andai, mungkin jika tetap memakai kaus merah, ia tidak akan babak belur dipukuli polisi. Polisi Indonesia punya stigma serampangan terhadap demonstran berpakaian hitam-hitam. Polisi menyebutnya “kelompok anarko”, “pelaku anarkis”, “penyusup”.

Damar bekerja sebagai administrator di perusahaan pengadaan alat perkantoran. Ia sering menjumpai kurir dan kuli panggul. Para pekerja harian ini tidak mendapatkan jaminan kesehatan. Ia teringat orangtuanya. Ibunya berjualan di pasar. Pekerjaan informal yang sama-sama tidak dijamin negara.

Atas dasar kepedulian sesama buruh, ia mengikuti aksi May Day. 

“Aku melihat realitas. Apa yang buruh alami sehari-hari. Apa yang ibuku alami sebagai buruh. Nggak ada alasan buatku nggak bersolidaritas,” ujarnya.

Pukul 5 sore, Damar melihat polisi menyemprotkan meriam air ke massa aksi. Ia membantu para buruh lain, terutama ibu dan anak, untuk segera masuk bus dan keluar dari DPR. Kemudian ia menjauhi pusat aksi, berencana mengambil motor dan pulang. 

Di jalan ia mendengar seseorang meminta tolong di belakangnya, sedang dikeroyok di samping flyover

“Aku nggak tahu siapa. Nggak kenal. Aku refleks putar balik. Aku tarik kakinya buat menolong.”

Para polisi tanpa seragam gantian mengeroyoknya. Ia dicekik dan dibanting. Kepalanya dipentung polisi pakai baton dan helm. Ia tersungkur, lalu dada dan perutnya diinjak. Kemeja, kaus, dan gespernya ditarik hingga terlepas. Ia menghitung ada tujuh pengeroyok.

Damar diseret ke bawah jalan layang. Kakinya dilindas motor trail oleh polisi berseragam.

ARIEF

17.00 Mal Senayan Park

Arief, mahasiswa Universitas Pamulang, datang ke aksi May Day demi menyaksikan The Brandals dan The Jansen, setelah melihat konten promo di media sosial. 

Anak muda 22 tahun ini menuju truk gig di depan mal Senayan Park. Mengikuti truk sampai depan gerbang DPR. Saat itu pukul 11.30.

Poster May Day Calling – Mobile Truck Gig menjelang 1 Mei 2025.

Sekitar pukul 5 sore, saat penampilan The Jansen, Arief berada di depan gerbang, menikmati musik bersama massa aksi lain. Tiba-tiba datang rombongan polisi membubarkan demonstran. Menyemprotkan meriam air. 

Saat itu The Jansen sedang membawakan lagu “Racun Suara”.

Represif
Bukanlah
Cara
Untuk
Kau
Berekspresif

Polisi menyemprotkan water cannon ke arah massa aksi. (Sumber: Pemerintahan Konten)

Lagu belum selesai. The Jansen berhenti bermain. Arief meninggalkan pusat aksi, berjalan seorang diri menuju mal Senayan Park. Tapi saat di lobi mal, seorang pria berpakaian sipil mendekatinya, lalu memiting dan mengeplak kepalanya. 

“Ini, ini yang nimpuk tadi!” seru orang itu.

Ia dikerumuni para pria berpakaian sipil. Tasnya diambil. Seluruh isinya ditumpahkan. Orang-orang itu mengambil dompetnya, mengeluarkan KTP dan kartu mahasiswanya, memotretnya dengan kamera ponsel. 

Setelah itu Arief digiring ke parkiran mal. Di sana ada gerombolan orang diduga polisi tanpa seragam, beberapa bahkan memakai kaus band bootleg. Mereka bertegur sapa dengan gerombolan orang yang menangkap Arief. 

“Udah, kooperatif aja!” kata mereka. Arief dituduh menimpuk-nimpuk barang; entah barang apa dan kepada siapa. Arief tidak pernah menimpuk-nimpuk. Ia meminta buktinya, tapi mereka menolak.

“Ada. Udah. Gue dari tadi ngeliatin lu,” kata seorang dari gerombolan itu. “Kooperatif aja. Kalau kooperatif ntar lo juga lepas.”

Setelahnya Arief dimasukkan ke mobil Avanza menuju Polda Metro Jaya. Di sepanjang jalan ia masih tidak habis pikir. “Saya sudah di mal. Saya sudah membubarkan diri. Kenapa saya ditangkap?”

EKA & ZILAN

1 Mei, 18.30 — 2 Mei, 21.00. Polda Metro Jaya

Empat belas demonstran korban penangkapan membabi-buta polisi dibawa ke lobi Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Di situ mereka disodorkan ‘formulir identitas pelaku tindak kriminal’. Mereka menolak mengisinya. 

Di antara 14 demonstran itu ada Eka, 20 tahun, dengan badan hancur-hancuran. Di sampingnya ada kawannya, Zilan, 22 tahun. Keduanya meramaikan May Day demi menonton The Jansen, sama seperti Damar.  

Eka bekerja di kedai kopi di Depok. Suka menonton konser musik. Dari hobi itu ia bertemu Zilan, mahasiswa yang bekerja sebagai kurir. Mereka menjadi sahabat dan sering nongkrong bareng. 

Selain ingin nonton The Jansen, Eka penasaran dengan suasana protes jalanan. Ia belum pernah ikut unjuk rasa. Zilan menemaninya. 

Mereka ditangkap di trotoar dekat flyover saat berjalan pulang. Kepala Eka bocor. Hidungnya mimisan. Gerombolan pria diduga polisi tanpa seragam mengerubungi dan mengeroyoknya. 

Penangkapan Zilan. (Sumber: Jakartanicus)

Di Polda Metro Jaya, Eka dibawa ke dalam ruang pemeriksaan tanpa kamera CCTV. Tanpa kehadiran pendamping hukum, ia diminta polisi memindai sidik jari dan tes urin. 

“Saya nggak tahu prosedurnya seperti apa. Jadi saya ikutin aja,” cerita Eka. 

Seorang polisi, yang tidak menjelaskan prosedur pemeriksaan, menginterogasinya.

“Kamu terorganisir dalam kelompok anarko?”

“Kamu dibayar berapa untuk ikut demo?”

Eka menjawab tidak tahu apa-apa dan tidak ikut kelompok apa pun. 

Zilan menjalani pemeriksaan serupa. Ia sudah diberitahu korban penangkapan lain bahwa pendamping hukum bakal datang dan menemaninya. Tapi seorang diri berada dalam ruang interogasi, ia merasa tersudut. Pengacara publik sebenarnya sudah datang sejak pukul 8 malam, tapi polisi menahan-menahan bertemu korban dengan alasan “masih pendataan”. 

Polisi tidak menjelaskan alasan Zilan ditangkap dan diinterogasi. “Cuma minta keterangan,” kata polisi. Zilan tidak tahu maksud “BAI” alias berita acara interogasi yang dilontarkan polisi. Belakangan ia tahu istilah “BAI” tidak dikenal dalam KUHAP. 

Penyidik memaksa Zilan menjawab pertanyaan dengan mengulang pertanyaan yang sama. Apakah mendengar suara peringatan pembubaran diri?

“Nggak dengar. Benar-benar nggak dengar. Karena saya nonton konser, kan.”

Ia hanya mendengar suara sirine polisi, dan langsung membubarkan diri.

Polisi meminta ponselnya. Ia bertanya untuk apa. Polisi menjawab, “Siapa tahu kamu masuk kelompok anarko.”

Ponsel diserahkan. Polisi minta akses membukanya, minta Zilan menuliskan kata kunci di secarik kertas. Ia curiga dan menolak. 

Polisi menaikkan nada suaranya. “Kalau merasa nggak bersalah, kenapa nggak mau kasih?” 

Ia tetap menolak tapi ponselnya tetap dipegang polisi.

Menjelang tengah malam pendamping hukum bisa menemui Zilan. Polisi yang menginterogasinya terkejut, “Kamu pakai lawyer?” 

Pengacara publik saat itu juga minta rehat. Zilan sudah lelah dan mengantuk. Tapi penyidik menolak. Interogasi itu berjalan nonstop hingga pukul 4 pagi. Zilan pun tidur hingga pukul 10 pagi. 

Pukul 11.30, penyidik memanggilnya. Tanpa pendamping hukum, polisi ingin melanjutkan interogasi. Zilan disodorkan secarik kertas yang memuat keterangan bahwa ia tidak perlu pengacara.

“Nggak usah ada pendamping, ya.”

“Untuk apa ada pendamping? Kamu nggak salah, kan?”

Zilan berkali-kali menjawab perlu menunggu pendamping hukum. 

Kata polisi, “Kamu bikin gondok aja. Kamu memperlambat proses pemeriksaan. Ini bisa memberatkan kamu.”

Polisi mengancam akan menyita barang-barangnya. Kaus, jaket, celana, sepatu, dan ponsel. Zilan keberatan. Ia minta polisi mengembalikan ponselnya. Tetapi polisi menolak, alasannya sebagai “barang bukti”. 

“Saya ini driver, Pak. Saya pekerja serabutan, nggak seperti Bapak yang digaji bulanan,” kata Zilan. “Kalau saya nggak ada HP, saya nggak punya uang. Gimana saya bayar kuliah? Bayar sekolah adik-adik saya?”

Zilan punya dua adik. Satu SD, satu TK. Ia membantu beban orangtua dengan membiayai sekolah kedua adiknya. Orangtuanya bekerja jasa kebersihan dengan upah pas-pasan.

Tetapi polisi tetap menyita ponselnya. Ia minta izin polisi untuk memakai ponselnya sebentar. Mau izin ke kampus tidak masuk kuliah hari itu.

“Saat saya cek, ponsel saya sudah aneh. Ada notifikasi dicolok USB. Sudah nge-lag. Nggak kayak biasanya.”

Polisi menginterogasi demonstran lebih dari 1×24 jam. 

Eka dilepaskan sekitar pukul 19.30. Polisi minta dia bikin video pernyataan: janji tidak akan mengulangi perbuatannya. Perbuatan apa? Eka tidak tahu. Ia juga harus menyatakan polisi telah memperlakukannya dengan baik tanpa ada intimidasi dan kekerasan fisik.

Zilan dibolehkan pulang pukul 9 malam. Ia keberatan atas permintaan polisi memanggil orangtuanya datang menjemputnya. “Kasihan kalau ke sini lagi. Besok pagi mereka harus berangkat kerja subuh-subuh. Saya nggak tega,” katanya. 

Tapi polisi tetap memaksa. Zilan menghubungi orangtuanya. Bapaknya datang. Orangtuanya kecewa atas apa yang ditulis media “…14 ANARKO PENYUSUP DEMO JADI TERSANGKA”. Orangtuanya percaya perkataan polisi.

“Sampai sekarang saya nggak ngobrol sama orangtua. Mereka nggak percaya saya. Mereka percaya berita. Saya jadi kepikiran terus,” kata Zilan.

SETELAH PENANGKAPAN

Seminggu setelah penangkapan, sebuah surat datang ke rumah Gregah. Isinya pemanggilan sebagai tersangka. Ia dikenakan pasal 212 (melawan pejabat), 216 (tidak menuruti perintah), dan 218 (menyerang martabat presiden atau wakil presiden). 

Pasal-pasal ini dikenal pasal karet untuk membungkam atau memenjarakan orang yang menyampaikan pendapat di muka umum. 

Gregah terkejut. Orangtuanya panik. 

Ke-14 korban penangkapan aksi May Day ditetapkan polisi sebagai tersangka. Empat paramedis dijerat pasal 216 dan 218. Sepuluh orang dikenakan pasal 212, 216, dan 218. Mereka menerima panggilan polisi pada 3 dan 4 Juni 2025. 

Gregah dan ke-13 demonstran paham mereka bukan cuma tidak bersalah. Mereka adalah korban penangkapan yang dibuat-buat polisi. Saat polisi menyemprotkan meriam air, mereka membubarkan diri ke satu-satunya jalan yang dibuka polisi.

Jembatan penyebrangan menuju Bendungan Hilir ditutup kawat berduri. Jalan raya menuju Gatot Subroto ditutup. Satu-satunya jalan keluar adalah Jalan Gerbang Pemuda menuju mal Senayan Park. Tetapi di sana polisi memasang perangkap: komplotan polisi tidak berseragam mengintai untuk menangkap dan mengeroyok peserta aksi May Day.

“Secara logika seharusnya para pengeroyok jadi tersangka, yang melakukan kekerasan. Saya tidak. Kenapa saya yang jadi tersangka?” kata Zilan.

Ke-13 korban penangkapan mengalami luka-luka sekujur tubuh; tiga orang mengalami luka bocor kepala. 

Kepala Damar bocor dan perlu dirawat enam jahitan. Saat diinterogasi, seorang polisi menoyor luka terbuka di kepalanya. 

Cho Yong Gi diinterogasi dalam kondisi luka berat. Ia mimisan dan muntah darah. Polisi tetap memaksa interogasi meski dokter di Polda Metro Jaya merekomendasikannya beristirahat. Sempat dihalang-halangi pergi ke rumah sakit, ia bisa dibawa ke RS Siloam di Semanggi pada dini hari.

Bukti pemeriksaan dengan kondisi kesehatan yang buruk. (Sumber: Istimewa)

Jadwal kuliah Gregah di Universitas Indonesia terganggu gara-gara polisi terus mengejar demonstran ditetapkan tersangka. Ibunya khawatir sampai sakit-sakitan. Gregah melakukan konseling ke psikolog. Ia didiagnosis mengalami gangguan kecemasan. 

Hubungan Zilan dan orangtuanya meregang. Orangtuanya masih mempercayai berita bahwa ia adalah pelaku, bukan korban. Ponselnya masih disita polisi. Karena itulah dia tidak bisa bekerja. Seluruh kontak pemberi kerjanya ada di ponsel. 

“Semua informasi soal pengiriman barang itu ada di sana. Saya sudah nggak dapat info  kerja lagi.”

Ibu Cho Yong Gi sempat menuduh anaknya jahat, tapi kembali mempercayainya setelah ia melawan balik tuduhan polisi, berani tampil di depan kamera media dan mengisahkan bagaimana ia ditangkap, dikeroyok, dibanting, dijepit lehernya oleh gerombolan polisi.

Trauma membayangi Arief. Ia sering paranoid. Ia ketakutan. Merasa seperti ada orang yang membuntutinya. Ia suka refleks menengok ke belakang saat berjalan atau menengok kaca spion saat naik motor. 

“Saya sempat konsultasi ke psikolog. Kata psikolognya, saya ada trauma karena saya jadi korban salah tangkap. Takutnya bukan karena saya salah, tapi karena saya bisa ditangkap padahal saya tidak salah.”

Trauma dirasakan Jorgiana. Tanpa disadari, tubuhnya masih mengingat lengkingan sirine polisi saat membubarkan aksi May Day di depan gerbang DPR. 

“Waktu itu aku sedang tidur pulas. Tapi ada bunyi pompa yang nyaring, mirip suara sirine polisi. Aku langsung terbangun. Badan tegang. Dari situ aku sadar, Oh… ini PTSD (post-traumatic stress disorder),” ujarnya. 

Di momen-momen tertentu, saat mengingat atau mengisahkan kekerasan seksual yang dilakukan gerombolan polisi kepadanya, ia menangis. “Nangis nggak berhenti. Bukan karena sedih. Aku marah.”

“Ketika kamu digebukin, identitas yang disasar adalah kamu sebagai warga sipil. Tapi kalau kamu mau ditelanjangi, diteriaki ‘lonte’, kamu disasar sebagai perempuan. Bahwa siapa pun itu, ketika kamu perempuan, itu perlakuan yang akan kamu terima. Aku sangat syok. Marah besar ketika sadar itu.”

Damar kecewa atas tindakan polisi. Ia hilang percaya kepada institusi kepolisian Indonesia. Semula ia cuma mendengar kasus-kasus serupa — kasus-kasus salah tangkap dan tindak kekerasan polisi yang serampang — dari berita. Tapi Ia tidak menyangka bakal jadi salah satu korbannya. 

“Harapanku,” kata Damar, “tidak ada lagi kawan-kawan yang ditangkap, menjadi korban kekerasan, karena menolong orang lain. Tidak ada lagi korban yang berjatuhan karena memperjuangkan haknya.” 

Pada 16 Juni 2025, 14 korban kriminalisasi bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan tindak pidana kekerasan ke Mabes Polri.

Laporan ditujukan ke Polres Jakarta Pusat sebagai terduga pelaku kekerasan. TAUD menilai para terduga pelaku, yang diduga kuat adalah polisi, telah melakukan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan seturut dalam Pasal 170 dan 351 KUHP ayat (1) dan (4). 

Para pengeroyok juga melakukan kekerasan seksual dalam pasal 5, 6, 11, dan 15 Undang-undang TPKS. Pasal 11 secara spesifik mengatur tindak pidana penyiksaan seksual yang dilakukan oleh pejabat resmi, dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. 

TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik kepolisian kepada Biro Pengawas dan Penyidikan dan Divisi Profesi dan Keamanan Mabes Polri. 

Di antaranya dugaan pelanggaran oleh Polda Metro Jaya, yaitu Subdit Kamneg Ditreskrimum, yang langsung menetapkan korban sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa sebagai saksi. AKBP Reonald Simanjuntak saat itu merilis informasi ke media bahwa polisi telah menangkap “anarko” dan “penyusup” untuk ke-14 demonstran.

Peta persebaran kekerasan oleh Polri sepanjang Juli 2024-Juni 2025 (Sumber: KontraS)

Cho Yong Gi berkata perlawanan balik ke-14 korban penangkapan dan kriminalisasi ini bukan cuma untuk mereka, tapi juga untuk membentengi kemerdekaan warga sipil yang terus diancam kriminalisasi di berbagai daerah, yang memperjuangkan tanah dan lingkungan, yang menolak tambang, yang membangkang pembungkaman.

Pada 17 Mei 2025, sebelas warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, ditetapkan tersangka oleh polsi. Mereka melakukan protes menolak tambang nikel. Pada 20 Mei 2025, 15 mahasiswa Universitas Trisakti ditetapkan tersangka setelah aksi peringatan 27 tahun Tragedi Trisakti di depan Balai Kota Jakarta.

Sepanjang Juli 2024-Juni 2025, KontraS mencatat ada 602 peristiwa kekerasan di Indonesia yang dilakukan polisi, dengan total 1.020 orang menjadi korban. 

Ada 89 kasus pelanggaran atas kebebasan sipil, lima di antaranya berujung kriminalisasi warga sipil. Total ada 982 orang menjadi korban penangkapan.

“Kami bersama kawan-kawan yang mengalami kriminalisasi,” seru Cho Yong Gi. “Kami tidak akan diam. Kami melawan.”*
14 Korban Kriminalisasi May Day
Arief, mahasiswa. Ditangkap di lobi mal Senayan Park saat berjalan pulang Bayu, mahasiswa. Ditangkap dan dikeroyok di dekat flyover saat berjalan pulang
Cho Yong Gi, paramedis. Ditangkap dan dikeroyok di bawah flyover saat menolong korban pengeroyokan Damar, anggota serikat buruh. Ditangkap dan dikeroyok di dekat flyover saat menolong korban pengeroyokan
Eka, pekerja lepas, Ditangkap dan dikeroyok di dekat flyover saat berjalan pulang Firdaus, mahasiswa. Ditangkap dan dikeroyok di bawah flyover saat berjalan pulang
Gregah, mahasiswa. Ditangkap dan dikeroyok di bawah flyover saat berjalan pulang Jorgiana, paralegal. Ditangkap dan dikeroyok di bawah flyover saat menolong Cho Yong Gi 
Kale, paramedis. Ditangkap dan dikeroyok di bawah flyover saat menolong korban pengeroyokan Satria, mahasiswa. Ditangkap dan dipukuli di dekat flyover saat beristirahat dan membeli kopi
Sugiyono, ojol. Ditangkap di sekitar mal Senayan Park Teguh, paramedis. Ditangkap di dekat flyover saat menolong korban pengeroyokan
Wisnu, mahasiswa. Ditangkap saat berjalan pulang Zilan, kurir. Ditangkap dan dikeroyok di dekat flyover saat berjalan pulang

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait