Affan Kurniawan, ojol berusia 21, dibunuh polisi saat sedang mencari nafkah.
Mulanya, semua berjalan seperti biasa di perkampungan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, pada Kamis malam, 28 Agustus 2025.
Kira-kira sehabis Isya, Muri asyik bermain ponsel di bagian dalam warungnya. Di sebelah luar, dua tetangganya duduk-duduk santai. Salah satunya adalah Herlina, penyewa kos milik Muri yang letaknya hanya terpisah satu rumah dari warung tersebut.
Satu titik, Muri berhenti menggulir layar ponselnya. Ia tertegun menyaksikan satu video TikTok, yang menampilkan kerumunan orang memukuli mobil polisi. Mobil itu lantas melaju cepat, mencoba kabur dari serbuan massa, meninggalkan korban yang ditabrak dan dilindasnya.
Si perekam video berulang kali berteriak, “Itu mati! Itu mati! Itu mati Gojek!”
(Sumber: X)
Kamera lalu menyorot korban, yang memang mengenakan seragam hijau Gojek. Ternyata ia masih hidup, meski sangat tak berdaya. Mulut dan pipinya bersimbah darah. Orang-orang membantunya berdiri, berusaha menaikkannya ke sepeda motor untuk dibawa mencari pertolongan.
Muri terdiam.
Ia putar ulang videonya, lalu berhenti di bagian yang menunjukkan wajah korban. Ia tangkap layar, kemudian perbesar gambarnya untuk melihat lebih jelas.
“Ini Affan?” tanyanya dalam hati.
Yang dimaksud adalah Affan Kurniawan, anak tetangganya Herlina, yang sekarang sedang duduk santai di depan warungnya.
Muri alihkan pandangan ke Herlina. Ia berpikir cepat. Tak lama, ia berucap, “Empok, pulang gih. Mau hujan.”
Herlina sepakat, lalu pulang.
Setelah Herlina pergi, Muri menghampiri temannya satu lagi di warung, menunjukkan video TikTok yang ia temukan.
“Ini enggak asing, nih,” kata Muri, 50 tahun. “Kayak Affan.”
“Ah, gila lu, Bang.”
Temannya coba lihat betul-betul wajah korban di video.
“Mirip sih.”
Namun, tetap saja, keduanya tidak yakin.
Muri coba berpikir positif. Mungkin cuma mirip.
Di saat yang sama, video tersebut mulai viral, beredar di media sosial dan grup-grup WhatsApp warga. Adam Al-Rasyid, kakak Affan, juga menemukannya.
Adam berulang kali memutar video tersebut. Namun, ia tidak merasa si korban tabrak lari adalah adiknya. Ia masih tenang.
Semua berubah setelah Adam ditelepon bibinya. Bibinya bilang Affan meninggal setelah dilindas mobil polisi. Hati Adam mencelos.
Adam segera mengabarkan ibunya, Herlina, yang telah pulang dari warung Muri, dan adik bungsunya, Wulantika Ramadhanti. Ayahnya, Zulkifli, belum pulang kerja.
Sekitar pukul 9 malam, Zulkifli tiba di rumah. Anak-anak dan istri menyambutnya dengan histeris.
Sembari menangis, si bungsu memekau: “Bapak, abang meninggal!”
Kronologi
Affan Kurniawan dibunuh polisi di usia 21 saat sedang mencari nafkah.
Kamis malam itu, seperti yang diceritakan rekan-rekannya sesama ojek online atau ojol, Affan bertugas mengantar makanan ke Bendungan Hilir.
Sesampainya di daerah tersebut, ia kesulitan bergerak karena jalanan penuh rombongan pengunjuk rasa yang dipukul mundur polisi dari sekitar kompleks parlemen di Senayan.
Sejak pagi, demonstrasi memang berlangsung di depan gedung DPR. Mulanya, kelompok buruh berunjuk rasa menuntut penghapusan sistem outsourcing dan kenaikan upah minimum.
Siangnya, giliran mahasiswa dan kelompok masyarakat lain yang mengambil alih aksi. Massa kali ini mendesak pembubaran DPR di tengah kontroversi soal besaran penghasilan bulanan para wakil rakyat, yang diperkirakan mencapai sekitar Rp230 juta, dan kelakuan mereka yang kerap memamerkan kekayaan meski banyak orang kecil hidup serba susah di tengah impitan ekonomi.
Di sore hari, polisi mulai mencoba membubarkan massa, termasuk dengan menembakkan meriam air. Perlahan, kerumunan pun didorong menjauh dari Senayan, hingga sebagian masuk ke Bendungan Hilir.
Melihat kondisi tersebut, Affan memutuskan memarkir sepeda motornya, lalu lanjut mengantar pesanan dengan berjalan kaki.
Selesai mengantar, ia berjalan balik ke lokasi parkir sepeda motor. Ternyata, situasi memanas. Kendaraan taktis Barracuda milik Brigade Mobil (Brimob) Polri, yang beratnya bisa mencapai belasan ton, melaju ugal-ugalan ke arah kerumunan. Orang-orang berlarian.
Di tengah kekisruhan, Affan berusaha menyeberang Jalan Penjernihan I. Sial, ponselnya terlepas dari genggaman. Ia bergegas mengambil ponselnya, tapi justru tersandung dan terjatuh. Saat berusaha bangkit, Barracuda berlapis baja telah ada di mukanya.
(Sumber: X)
Mobil itu menghajar Affan, membuatnya terpental dan terseret di aspal. Kaget dan marah, sebagian massa segera menghampiri dan memukuli mobil tersebut. Bukannya turun atau memundurkan mobil yang bannya masih menjepit sebagian tubuh Affan, pengendara justru tancap gas, melindas Affan dan meninggalkannya begitu saja.
Benediktus Subardi, ojol berusia 45 yang menyaksikan langsung kejadian, mengatakan ia dan banyak orang lainnya telah meneriaki pengendara Barracuda agar mundur, memberikan ruang untuk menolong Affan.
“Kita mau narik rekan kita [Affan], tapi tiba-tiba langsung digencet. Benar-benar digencet,” kata pria yang akrab disapa Aping ini.
“Muntah dia langsung. Muntah darah.”
Tidak ada informasi pasti soal jam kejadian Affan dilindas mobil polisi. Sejumlah saksi hanya menyebut “sehabis Isya”.
Yang jelas, Affan segera dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia masih hidup saat masuk instalasi gawat darurat, tapi kondisinya kritis, kata Erna, humas komunitas ojol Unit Reaksi Cepat (URC) yang segera menyambangi RSCM setelah mendengar kejadian ini.
Dokter sempat memeriksa Affan, tapi tak lama berselang ia meninggal dunia. Erna bilang Affan wafat kira-kira pukul 8 malam.
“Sudah diperiksa dokter, lima menit berikutnya dicek lagi, nadinya sudah nggak ada,” kata Erna.
Setelah memastikan identitas Affan, Erna segera melaporkan Affan telah tiada ke rekan-rekan ojol lainnya. Kabar segera beredar. Video Affan dilindas pun kian viral, bersama rekaman-rekaman lain yang menunjukkan kekerasan aparat di lapangan.
Belum lagi, ada ojol lain bernama Umar Amarudin yang dikabarkan luka parah di leher, rahang, dan pinggang. Ia diduga kena hajar aparat setelah menurunkan penumpang karena dikira pendemo. Ia dilarikan ke RS Pelni, dan sempat disangka wafat, meski kemudian kabar ini diluruskan. Hingga kini, Umar masih mendapat perawatan.
Semua ini membuat publik murka. Di media sosial, orang-orang ramai menyampaikan kemarahannya, dari warga biasa hingga tokoh publik, dari yang jarang bersuara hingga yang selama ini vokal.
Komunitas ojol, yang di Jabodetabek saja populasinya diperkirakan lebih dari 1 juta, segera bergerak. Sebagian ke RS Pelni, sebagian ke RSCM, sebagian menggempur Markas Komando (Mako) Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, tempat Barracuda yang melindas Affan melarikan diri dan bersembunyi.
“Spontan saja. Nggak ada yang komandoin,” kata R. Harie Hartawan, ojol berusia 45 yang berdomisili di Jakarta Selatan.

Massa aksi, entah yang berjaket ojol ataupun berpakaian sipil, gigih berunjuk rasa di Kwitang untuk menuntut pertanggungjawaban polisi.
Masuk Jumat dini hari, 29 Agustus 2025, situasi kian intens. Pengunjuk rasa memaki serta melempar batu dan petasan, sementara polisi membentuk barikade. Satu per satu, mobil-mobil di sekitar markas dibakar entah oleh siapa. Perwakilan Brimob, juga TNI, mencoba berdialog dengan massa, tapi tidak berhasil menenangkan mereka.
Teriakan mereka justru lantang mengumandang: “Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”
Mengenang Affan
Jumat, pukul 4 pagi, Herlina duduk lunglai di samping jasad Affan Kurniawan yang terbungkus kain batik cokelat.
Saat itu, satu sudut di pertigaan Jalan Cepu dan Lasem di Dukuh Atas telah disulap jadi rumah duka. Kira-kira satu jam sebelumnya, jenazah Affan tiba di sana disambut tangisan keluarga.
Tangan kanan Herlina nyaris tak pernah lepas dari tubuh Affan yang telah kaku. Berulang kali ia mengusap kepala anak keduanya itu. Matanya sayu.
Puluhan orang menyesaki area luar rumah duka. Ada warga setempat, ojol, pun wartawan. Mereka tak henti membicarakan apa yang terjadi pada Affan dan rentetan kejadian setelahnya, termasuk aksi massa yang terus berlanjut di Kwitang.
Herlina tampaknya tak terusik hiruk pikuk di luar rumah duka. Tangannya tetap setia membelai tubuh Affan. Sesekali, ia merebahkan wajah di atas jasad anaknya, lalu menyeka air mata yang terus saja luruh.

Meski baru berusia 21, Affan telah menjadi tulang punggung keluarga.
Affan terpaksa berhenti sekolah saat kelas 1 SMK karena keterbatasan ekonomi. Sejak itu, ia fokus mencari uang.
Menurut Muri, pemilik kos yang ditempati Affan dan keluarga, Affan sempat menjajal beberapa pekerjaan, termasuk sebagai petugas keamanan lingkungan setempat dan penjaga kos. Karena rajin menabung, ia lantas bisa mencicil sepeda motor dan menjadi ojol beberapa tahun belakangan.
Muri hafal rutinitas Affan. Ia biasa berangkat ngojol pukul 5.30 pagi. Ia lantas pulang pukul 11 siang untuk istirahat dan makan, lalu lanjut kerja lagi sekitar pukul 3 sore. Pukul 8 malam, ia tiba di rumah.
Di tempat kos milik Muri, keluarga Affan menyewa dua kamar. Satu untuk orang tua: Zulkifli dan Herlina. Satu lagi untuk anak-anak: Affan beserta kakak dan adiknya.
Affan menanggung sendiri biaya sewa kamar kos dirinya bersama dua saudara. Harga normalnya Rp1 juta per bulan, tapi Muri bilang ia kerap memberi potongan sehingga Affan hanya perlu menyetor Rp800.000.
Di luar itu, Affan menyisihkan pemasukannya untuk membayar cicilan sepeda motor baruāyang mulai ia cicil dua bulan laluādan biaya sekolah adiknya yang masih di bangku SMP.
Orang tua Affan sebenarnya masih bekerja. Zulkifli juga ojol, sementara Herlina adalah buruh cuci. Namun, menurut Muri, pemasukan keduanya lebih banyak digunakan untuk keperluan harian plus membayar sewa satu kamar kos lagi. Karena itu, Affan disebut benar-benar membantu meringankan beban orang tuanya.
“Pokoknya, fokus dia tuh nyari duit,” kata Muri. “Rajin anaknya.”
Dengan segala tanggungan tersebut, Affan bahkan masih sesekali memberikan uang pada orang tuanya. Kadang Rp2 juta. Di lain waktu bisa Rp5 juta. Buat beli tanah dan bangun rumah di kampung halaman di Lampung, katanya.
“[Harapannya] satu hari bisa punya tempat. Kalau pulang kampung jadi ada rumah,” ujar Muri.
Karena sibuk bekerja, Affan tak punya waktu untuk nongkrong. Bila ada waktu kosong, ia disebut lebih memilih istirahat.
Apalagi, pada dasarnya Affan bukan orang yang senang berkumpul ramai-ramai. Sejumlah tetangga menyebut ia pendiam dan kerap kikuk di tongkrongan. Namun, ini pula yang kerap menghibur kawan-kawan Affan.
“Dia kan orangnya cukup canggung. Kalau bercanda suka awkward. Jadi aneh, tapi lucu begitu,” kata seorang tetangga yang enggan disebutkan namanya, yang telah mengenal Affan sejak bocah.
Meski begitu, Affan disebut sebagai orang yang siap membantu bila dibutuhkan. Anaknya pun tidak neko-neko. Karena itu, banyak yang sayang padanya dan begitu kaget mendengar kabar ia meninggal dunia.
Saat ada dugaan Affan ikut berunjuk rasa sebelum dihajar mobil polisi, orang tua dan tetangga dengan tegas menepisnya.
“Anak saya tidak berbuat semacam itu. Anak saya orangnya sangat takut kayak begitu-begitu,” kata Zulkifli, sang ayah.
Yang Zulkifli tahu, hari itu Affan bilang mau pergi bekerja seperti biasa.
“Kalau anak saya sudah ngomong A, ya A,” kata Zulkifli. “Dia nggak berbohong.”
‘Aksi Rakyat Bukan Makar’
Kamis itu, sekitar pukul 8.30 malam, hujan memaksa Boy meminggirkan sepeda motor dan mencari tempat berteduh.
Ojol berusia 36 itu sedang di Cikokol, Tangerang, baru selesai mengantar penumpang. Iseng, ia buka TikTok, mencari tontonan untuk menghabiskan waktu.
Satu titik, Boy berhenti menggulir layar ponselnya. Ia tertegun menyaksikan satu video yang menampilkan kerumunan orang memukuli mobil polisi. Mobil itu lantas melaju cepat, mencoba kabur dari serbuan massa, meninggalkan korban yang ditabrak dan dilindasnya.
Si perekam video berulang kali berteriak, “Itu mati! Itu mati! Itu mati Gojek!”
Kamera lalu menyorot korban, Affan Kurniawan, yang memang mengenakan seragam hijau Gojek. Ternyata ia masih hidup, meski sangat tak berdaya. Mulut dan pipinya bersimbah darah. Orang-orang membantunya berdiri, berusaha menaikkannya ke sepeda motor untuk dibawa mencari pertolongan.
Boy sontak menangis.
Perasaan Boy campur aduk. Ia marah, sedih melihat rekan seperjuangan mencari nafkah di jalanan diperlakukan begitu tidak manusiawi.
“Biadab ini,” kata Boy, bukan nama sebenarnya.
“Kita aja kalau nabrak kucing, kita minggir. Tapi kok ini… manusia segede ini [dilindas], kok nggak ada perikemanusiaannya?”

Kemarahan dan kesedihan ini, menurutnya, dirasakan bersama oleh begitu banyak ojol lainnya. Karena itu, semua sama-sama bergerak. Banyak yang melayat ke rumah keluarga Affan di Dukuh Atas. Banyak pula yang langsung mengepung Mako Brimob di Kwitang, menuntut pertanggungjawaban polisi.
Igun Wicaksono, ketua umum Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, mengatakan peristiwa tersebut adalah “pukulan berat” bagi seluruh ojol di Tanah Air.
“Nyawa rakyat tidak boleh menjadi korban akibat kelalaian, apalagi tindakan represif aparat,” kata Igun secara tertulis, Jumat pagi. “Negara harus hadir melindungi, bukan mencederai.”
Karena itu, Garda Indonesia mendesak pemerintah membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen untuk mengusut tuntas “tindakan represif aparat” yang membuat Affan meninggal dunia.
Mereka menuntut transparansi dan akuntabilitas Polri dalam menyampaikan kronologi kasus Affan, serta hukuman bagi pelaku yang melindas korban.
Garda Indonesia lantas mengajak komunitas ojol dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk mengawal kasus ini hingga tuntas demi tegaknya keadilan bagi korban, serta mendesak pemerintah agar memastikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi seluruh ojol yang setiap hari bekerja di jalanan.
Sejumlah komunitas ojol regional tergerak berunjuk rasa dan menyampaikan tuntutan senada setelah kematian Affan. Ini misalnya terjadi di Kota Pekanbaru, Riau, dan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Sementara itu, Jumat pagi, ribuan ojol mengantar Affan ke pemakamannya. Mereka berangkat kira-kira pukul 9.30 dari Dukuh Atas, dan tiba di TPU Karet Bivak setengah jam berselang.
Rombongan berjaket hijau, diselingi kuning dan oranye, membanjiri jalanan, seakan ingin memastikan Affan tidak kesepian di perjalanan terakhirnya.
Sesaat sebelum berangkat, satu ojol tampak menjelaskan kepada seorang perempuan muda di pinggir jalan: “Hari ini nggak narik dulu, Mbak. Mau antar teman.”

Tak hanya itu, tokoh publik satu per satu datang menyampaikan belasungkawa, entah di rumah duka, pemakaman, atau rumah keluarga Affan setelahnya. Ada sejumlah pejabat, politikus, selebritas, dan juga tokoh agama.
Sejak Kamis malam hingga Sabtu pagi, publik seakan mendapat momentum untuk mendorong perubahan besar-besaran, tak hanya di tubuh kepolisian tapi juga parlemen dan pemerintahan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo, dan Ketua DPR Puan Maharani bergantian meminta maaf.
Aparat pun telah mengidentifikasi tujuh anggota polisi yang ada di dalam BarracudaĀ dan menyebut mereka telah melanggar kode etik kepolisian.

Sopir Barracuda yang menabrak dan melindas Affan adalah Brigadir Polisi Kepala Rohmat.
Saat Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri melakukan pemeriksaan, Rohmat bilang: “Itu mobil kalau saya berhentikan, habis, Pak.”
“Mereka sudah nyerang pakai batu, pakai bom molotov. Nah, saya sebagai driver, saya harus mampu menyelamatkan orang dalam kendaraan saya.”
Di sebelah Rohmat, ada Komisaris Polisi Cosmas Kaju Gae. Sementara itu, lima orang lainnya adalah Ajun Inspektur Polisi Dua M. Rohyani, Brigadir Polisi Satu Danang, Brigadir Polisi Dua Mardin, Bhayangkara Kepala Jana Edi, serta Bhayangkara Kepala Yohanes David.
Sejak Jumat, 29 Agustus 2025, proses pemeriksaan saksi telah dimulai, yang rencananya akan berlangsung 20 hari. Divisi Propam Polri nantinya akan menggelar sidang lanjutan, sebelum keluar putusan akhir yang menentukan apakah ketujuh polisi itu akan dipecat dan apakah kasus Affan akan diusut secara pidana.
Presiden Prabowo Subianto pun sempat menyambangi rumah keluarga Affan pada Jumat malam. Meski tidak pernah keluar permintaan maaf dari mulutnya, Prabowo menyampaikan belasungkawa dan bilang kasus ini akan diusut tuntas secara transparan. Ia berjanji bakal “menjamin kehidupan” keluarga yang ditinggalkan, dan memberikan rumah pada mereka.
Meski begitu, apa yang terjadi pada Sabtu-Minggu menunjukkan perjalanan menuju perubahan tampaknya masih panjang.
Perusakan fasilitas umum entah oleh siapa di beberapa daerah, plus penjarahan rumah sejumlah anggota DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mendorong Prabowo memerintahkan TNI dan Polri untuk “mengambil langkah tegas“.
Pada Minggu, 31 Agustus 2025, Prabowo lantas bilang “ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum” yang mengarah pada “makar dan terorisme”, sehingga TNI dan Polri diperintahkan untuk bertindak “setegas-tegasnya”.

Menanggapi pernyataan presiden, Amnesty International Indonesia menegaskan aksi rakyat yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan bukan tindakan makar dan terorisme.
“Alih-alih meminta aparat keamanan menindak setegas-tegasnya yang berpotensi membuka peluang lebih banyak kekerasan aparat, presiden seharusnya mendengarkan tuntutan rakyat dan mengevaluasi respons institusi aparat keamanan terhadap hak rakyat untuk berpendapat,” tulis Amnesty International Indonesia.
“Jangan pecah belah masyarakat, dengan menuduh aksi demonstrasi sebagai bagian dari upaya memecah belah bangsa.”
Pil Pahit
Kamis malam, Zulkifli membawa sepeda motornya menembus gerimis ke arah rumah di Dukuh Atas setelah seharian mencari nafkah di jalan.
Pikirannya melayang ke mana-mana. Ada utang yang harus dibayar, sementara uang tak juga terkumpul meski ia sudah berusaha.
Dalam hati ia berdoa, āYa Allah, tunjukkanlah saya bagaimana caranya.ā
Terlintas di pikiran untuk meminta tolong Affan Kurniawan. Anaknya itu rajin. Tidak neko-neko. Selalu siap membantu orang tua.
Dengan pikiran berkecamuk, Zulkifli terus melaju.
Sekitar pukul 9 malam, Zulkifli tiba di rumah. Tak disangka, dua anaknya dan istri menyambut dengan histeris.
Sembari menangis, si bungsu memekau: “Bapak, abang meninggal!”
Zulkifli tak bisa berkata apa-apa. Hatinya remuk seketika.

Tak hanya Zulkifli. Begitu banyak orang patah hati mendengar apa yang terjadi.
Affan adalah satu dari jutaan ojol yang ada di Indonesia, yang sehari-hari terpaksa bekerja tanpa status dan upah pasti di tengah minimnya pilihan dan besarnya tekanan perekonomian.
Affan dan keluarganya hidup serba ngepas, mungkin tidak berani untuk sekadar bermimpi punya gaji ratusan juta rupiah seperti anggota dewan yang terhormat. Namun, ia toh tidak ambil pusing. Ia tidak ikut unjuk rasa. Yang ia tahu hanya bekerja meringankan beban orang tua, sembari berusaha mewujudkan angan punya rumah di kampung halaman.
Affan baru dua bulan mencicil sepeda motor baru. Ia menanggung setengah biaya sewa kos keluarganya, juga biaya sekolah adiknya.
Affan orang kecil, yang dibunuh polisi saat sedang mencari nafkah.
Affan pamit untuk bekerja, dan kini ia sudah tak ada.