Masyarakat adat Boti di Timor Tengah Selatan, NTT, gerak cepat saat Covid-19 mengancam provinsi. Kedekatan mereka dengan alam membuat mereka mandiri dan mampu karantina.
“Tidak perlu dibantu, negara tidak perlu pusing dengan desa Boti!”
Kalimat itu diucapkan Balsasar O.I Benu dengan nada kesal saat ia menjadi narasumber dalam talk show Ketahanan Masyarakat Boti di tengah Bencana Pandemi Covid-19, 20 Agustus 2020 lalu. Penyebab kekesalannya adalah perspektif pemerintah melihat kemiskinan dari kacamata urban untuk melihat kelompok masyarakat adat macam Boti. Itu membuatnya geram. Padahal, selama ini orang-orang Boti hidup berkecukupan.
“Secara ekonomi, desa Boti tidak perlu dibantu. Apalagi dalam masalah pandemi. Masyarakat desa Boti, secara alami telah memenuhi kebutuhan sendiri,” tegasnya.
Omongan Balsasar itu bukan bualan semata. Sebagai kepala desa Boti, ia berani menjamin bahwa tidak pernah masyarakat Boti meminta-minta bantuan ke pemerintah. “Tidak pernah!”
Jauh sebelum pandemi Covid-19 bikin kondisi Indonesia mengkhawatirkan, masyarakat Boti memang sudah hidup mandiri. Mereka hidup dengan pangan yang cukup di Desa Boti yang terletak di Kecamatan Ki’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat adat yang tinggal jauh dari kota dan masih memegang adat kerap dianggap kelompok yang harus dibikin modern dan maju oleh pemerintah. Tetapi praktik mereka yang dekat dengan alam justru membuat masyarakat Boti bisa relatif lebih tenang saat pandemi.
Pada masa pandemi, kondisi desa Boti tidak jauh berbeda aktivitasnya pada masa normal. Hal yang paling berbeda hanya soal desa lebih sepi karena mereka menutup kunjungan dari orang luar Boti, terutama orang dari luar negeri. Mereka menutup desa dari kunjungan orang luar setelah kasus Covid-19 pertama di NTT diumumkan pada 10 April 2020.
Lius Sae, keponakan raja Boti Namah Benu, bilang warga Boti pertama kali mendapat informasi tentang Covid-19 dari edaran pemerintah. Bupati Timor Tengah Selatan Egusen Pieter Tahun bahkan mengutus lima orang anak buahnya untuk mendatangi raja Boti terkait wabah ini.
Para utusan itu menjelaskan tentang apa itu Covid-19 dan meminta agar raja menutup sementara sonaf, rumah raja, dari kunjungan tamu, serta menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker untuk warga suku Boti.
“Kami terima tamu dari Kupang saja. Kalau dari luar negeri, kami suruh pulang karena ada tutup,” kata Lius.
Raja Boti Namah Benu pun sigap ketika kabar pandemi itu sampai ke telinganya. Warga langsung diperintahkan memperketat akses masuk ke desa. Mereka membuat posko pengawasan dan juga menyiapkan air untuk cuci tangan dan menerapkan anjuran 3 M meski daerah mereka sesungguhnya kekurangan air.
Menurut Deni Sailana, pendamping Desa Boti yang sering bolak-balik ke sana menyaksikan sendiri bagaimana Boti tidak pernah meremehkan pandemi ataupun lengah. Bila dibandingkan dengan desa lain, menurutnya Boti satu-satunya desa yang konsisten menerapkan protokol kesehatan.
“Saya berkunjung, desa sebelum Boti tidak lagi menjaga posko, di Boti mereka masih jaga posko. Mereka memproteksi diri lebih taat dari desa-desa lain. Mereka lebih taat, dalam konteks menjaga mereka sendiri di dalam,” kata Deni dalam talk show Ketahanan Masyarakat Boti di tengah Bencana Pandemi Covid-19, 20 Agustus 2020 yang diselenggarakan Kongres Kebudayaan Desa.
Konsistensi dan ketaatan masyarakat Boti ini yang menjadi salah satu kunci keberhasilan mereka bertahan di masa pandemi. Hal yang sangat berbeda justru ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia, misalnya soal ketegasan kebijakan. Pemerintah pernah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian digantikan dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), lalu menjadi PPKM Mikro sampai terakhir PPKM Mikro dengan “penebalan”.
Namun beragam kebijakan itu tidak efektif – terbukti dengan angka kasus baru yang kini meningkat pasca Lebaran – karena tidak pernah ada pengawasan yang konsisten.
Bukannya memberi contoh, Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, justru melanggar aturan ia buat sendiri. Pada saat berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), 23 Februari 2021, Jokowi mengundang kerumunan massa. Dari sebuah video yang beredar di media sosial terlihat Jokowi menyambut kerumunan warga dengan lambaian tangan dari atas mobil dan melempar kaos di tengah kerumunan warga.
Di saat warga Boti menerapkan posko penjagaan secara konsisten, pemerintah membuka pintu pelabuhan dan bandara dari arus masuk warga yang pulang dari luar negeri dan mensyaratkan karantina lima hari, yang dikritik sebagai tidak cukup. Akibatnya, varian baru Covid-19 B.1617.2 menyebar di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia WHO menyebut Covid-19 B.1617.2 varian Delta ini lebih berbahaya karena menyebar dengan cepat.
Kearifan Sembilan Hari Masyarakat Boti
Setelah setahun lebih pandemi Covid-19 masuk ke NTT, desa Boti sudah menerima kedatangan orang luar. Rumah Raja Boti Namah Benu yang disebut sonaf mempunyai halaman yang dipenuhi dengan pohon dan tanaman. Meski sonaf adalah rumah raja, model bangunan rumahnya sederhana, terbuat dari kayu. Beberapa rumah lainnya merupakan bangunan khas Timor–Lopo dan Ume Kbubu–yang terbuat dari bahan lokal seperti kayu, rumput ilalang, dan daun.
Hari itu, Minggu, 30 Mei 2021 merupakan hari ke sembilan dalam tradisi adat Boti. Dalam kalender harian masyarakat Boti, mereka mengenal sembilan hari dalam sepekan. Pada hari kesembilan, warga Boti Dalam berkumpul bersama di sonaf untuk mendapatkan petuah, petunjuk, dan ajaran tentang tradisi dan adat yang telah mereka pegang turun temurun.
Mollo Benu, adik perempuan Namah Benu memberikan saya sebuah buku yang membahas tentang sistem penanggalan di Suku Boti. Dalam Buku TTSKu Firdausku yang ditulis oleh Stef Mone Kaka dan Dominggus Da Costa itu dijelaskan bahwa sembilan hari suku Boti memiliki makna tersendiri.
Hari pertama adalah hari Api (Neon Ai). Hari itu hari yang baik, tapi perlu berhati-hati dengan penggunaan api karena dapat mendatangkan kebakaran. Hari kedua adalah hari Air (Neon Oe). Aktivitas masyarakat akan berorientasi pada air, yang mana masyarakat harus menggunakan air secara bertanggung jawab.
Hari ketiga adalah hari Besi (Neon Besi). Hari itu dikeramatkan bagi barang-barang yang berbau besi, sehingga mereka harus hati-hati menggunakan benda tajam seperti pisau, parang, tombak, dan parang. Hari keempat adalah hari Dewa Bumi dan Dewa Langit (Neon Uis Pah ma Uis Neno). Hari keempat itu semua makhluk hidup memuliakan pencipta, pemelihara hidup, dan pemberi kesuburan.
Hari kelima adalah hari Perselisihan (Neon Suli). Hari itu digunakan untuk menyelesaikan setiap perselisihan dalam komunitas mereka. Hari keenam adalah hari Berebutan (Neon Masikat), hari kesempatan bagi warga untuk memanfaatkan secara efisien dan efektif komunikasi dan aktivitas baik dengan sesama maupun lingkungan alam.
Hari ketujuh adalah hari Besar (Neno Naek), yang penuh nuansa persaudaraan sehingga perlu menjauhkan diri dari sengketa dengan sesama. Hari kedelapan adalah hari Anak-anak (Neon Li’ana), hari bagi anak-anak untuk bermain dan bergembira. Dan hari terakhir adalah hari kesembilan atau hari Istirahat (Neon Tokos). Pada hari itu, hari yang tenang, masyarakat Boti dapat melihat bagaimana hubungan dengan sesama dan alam, serta bersyukur atas berkat selama sepekan kemarin.
Dekan Fakultas Sosiologi Universitas Muhammadiyah Kupang, Idris M. Ali, mengatakan sistem sembilan hari itu membuat kehidupan suku Boti sudah terpola. Itu pula yang membuat masyarakat Boti bisa bertahan hidup dengan kemandirian, terutama di tengah pandemi.
“Boti tidak pernah menerima bantuan. Sangat naif dan malu buat mereka jika menerima bantuan padahal mereka bisa melakukannya sendiri. Prinsip mereka, Tuhan sudah memberikan semua panca indra kita untuk bekerja, memenuhi kebutuhan sendiri,” katanya.
Sistem adat ini pula yang membuat, pandemi tidak berdampak banyak pada kehidupan masyarakat Boti. Sebagian besar masyarakat Boti bertani dan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka memproduksi bahan makanan secara mandiri, yang sebagian besar sebenarnya sudah disediakan oleh alam.
Pada masa pandemi, kepercayaan sembilan hari ini tidak lantas ditinggalkan. Sebaliknya, warga justru lebih taat menjalan kepercayaan itu. Aktivitas sembilan hari itu seperti sebuah ritual kepercayaan yang ketika dijalankan dengan segenap hati dan penuh ketaatan justru mendatangkan kebaikkan.
“Filosofi orang Boti kembali ke alam. Selama tidak berbuat merusak alam, maka mereka yakin hidup mereka tetap aman,” terang Idris.
Ketahanan Pangan dan Obat dari Alam
Dalam suatu kesempatan Deni Sailana, pendamping desa Boti bertanya kepada raja Namah Benu terkait dengan masalah pandemi yang tak kunjung berakhir. “Apa yang harus dilakukan warga Boti, seandainya pandemi Covid-19 berlangsung lama?”
Namah Benu menjawab pertanyaan itu dengan semangat dan lantang, “Kita harus jaga ketahanan pangan. Kita harus menjaga ketahanan pangan, dengan cara sederhana yaitu bersahabat dengan alam.”
Menjaga ketahanan pangan bagi warga Boti sejatinya perkara yang sudah mereka jalani selama ini. Mereka memahami keterbatasan serta kelemahan daya hidup masyarakat. Misalnya mereka memiliki kesadaran bahwa mereka hidup di atas bukit yang sulit untuk mendapatkan air, karena itu mereka sangat bijak dalam menggunakan air dan menjaga sumber mata air.
Deni bilang, masyarakat Boti memaknai pandemi sebagai upaya transformasi kelemahan menjadi kekuatan. Kesadaran untuk berubah dan beradaptasi dengan pandemi benar-benar sudah tertanam dalam setiap laku mereka.
“Bahwa kita perlu berubah. Kita kekurangan air, karena ada di bukit, tapi mereka tidak kurang pangan. Mereka tetap bertani dan berkebun, ini membuat mereka justru lebih kuat di masa Covid-19, karena sudah terbiasa di kebun,” kata Deni.
Deni mengkontraskan bagaimana kehidupan warga Boti dengan masyarakat kota yang justru lebih rentan di masa pandemi. Misalnya masyarakat Boti sudah terbiasa hidup sederhana, makan di rumah, makanan disediakan secara mandiri. Sementara masyarakat kota cenderung bergantung pada pasokan bahan makanan dari desa yang pada masa pandemi menjadi terbatas.
Dalam situasi terburuk pandemi, ia meyakini masyarakat Boti jauh lebih siap dari masyarakat kota. “Jadi penggalan cerita ini menunjukkan bahwa masyarakat Boti sangat siap menghadapi pandemi,” ujarnya.
Selain soal ketahanan pangan, alam juga sudah menyediakan berbagai macam ramuan obat untuk menjaga kesehatan warga Boti. Ketika ada di antara mereka sakit, mereka tak perlu repot pergi ke puskesmas. Alam menyediakan kebutuhan obat mereka.
Mereka menggunakan beberapa hasil alam untuk menyembuhkan sakit. Misalnya kemiri. Jika dicampur air, buah kemiri efektif digunakan sebagai obat pijat. Lalu, buah kemiri juga bisa dihancurkan, dicampur kunyit, direbus, lalu diminum.
“Kalau jatuh dari pohon, pakai kemiri dan kunyit itu lalu minum. Atau pakai kunyit dengan kapur lalu gosok ke luka bekas jatuh. Buah nitas juga bisa dihancurkan, dicampur minyak kelapa, lalu gosok. Nanti sembuh,” jelas Lius Sae.
Untuk sakit lainnya, seperti sakit kepala, mereka akan menempelkan daun anone ke dahi. Jika tidak, daun bisa dihancurkan dan ditambah air, lalu dipakai di kepala. Kalau batuk, mereka meminum air rebusan kelapa dan kunyit.
Diakui Lius, puskesmas pembantu (pustu) sudah dibangun dekat dengan tempat mereka. Kini, mereka juga bisa menggunakan obat puskesmas jika sakit. Tapi, sejak dulu mereka terbiasa dengan obat tradisional dari alam.
“Kalau sakit, ambil daun yang biasa nenek moyang pakai. Kita pakai alam saja,” ungkap Raja Boti, Namah Benu.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat dan Lingkungan.