Bertani adalah masa kecil dan masa depan Sobirin di Desa Sukamulya. Orangtuanya menanam padi, cabai, kacang-kacangan, dan semangka di lahan mereka seluas 28 bata atau 392 meter persegi. Sobirin berkeinginan meneruskannya. Akan tetapi, keinginan itu berantakan oleh proyek infrastruktur pemerintahan Joko Widodo.
Proyek itu bernama Bandara Internasional Kertajati Jawa Barat. Lahan-lahan pertanian di Desa Sukamulya termasuk ke dalam sebelas desa yang tergusur proyek tersebut, sekaligus benteng terakhir perlawanan penduduknya berusaha mempertahankan tanah. Ada sekitar 700 hektare dari lahan desa ini, ditempati 1.478 keluarga, digunakan sebagai lahan pertanian.
Pada 2016, ratusan warga desa di Kecamatan Majalengka itu memprotes pembangunan bandara, menduduki tanah sawah mereka untuk mengadang para petugas pengukuran lahan, berhadapan dengan 2.000-an tentara, polisi, dan Satpol PP. Warga petani yang berkerumun itu pecah dan berhamburan, menyelamatkan diri sambil menangis, memohon pertolongan dan menyebut nama Tuhan ketika aparat gabungan menembakkan gas air mata ke arah mereka, menggeledah kampung, menangkap petani, melukai belasan orang; mengubah desa pertanian yang tenang itu mendadak senyap, berselimut ketakutan.
Setelahnya, Sobirin dan keluarganya terpaksa pindah, “Tidak ada pilihan lagi. Kami nggak kuat bertahan. Masak orang mempertahankan tanah sendiri mesti berdarah-darah?”
Dusun Cisahang, yang menjadi tempat bermukim Sobirin dan keluarganya saat ini, berjarak sekitar 4 kilometer dari Desa Sukamulya. Dusun ini terletak di kawasan hutan. Tak ada lahan sawah. Mayoritas warga petani korban penggusuran membuka lahan bertani di kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, di sela-sela perkebunan karet, pohon jati, dan kayu putih.
Ada banyak hambatan, kata Sobirin, salah satunya akses ke sumber mata air di kawasan hutan. Ia lebih sering gagal panen dibandingkan saat di Sukamulya. “Dulu [saat masih di Sukamulya], kami bisa memompa bor dari bawah tanah untuk mendapatkan air selama musim kemarau. Tapi, sejak pindah ke kawasan hutan, jadi sulit. Kadang nggak ketemu mata airnya,” cerita Sobirin, kini 36 tahun, pimpinan harian Serikat Petani Majalengka.
Jika biasanya Sobirin bisa panen padi tiga bulan sekali, kini hanya bisa mengandalkan musim hujan agar hasil panen maksimal. Sebagai perbandingan, saat musim hujan, Sobirin bisa menghasilkan 5 ton gabah basah dengan harga jual Rp3.500/kg. Namun, saat musim kemarau, Sobirin berkata, “dapat satu ton saja sudah bagus.”
Dengan modal awal Rp5 juta per hektare, hasil panennya tak cuma kurang tapi juga rugi besar. Pengalaman serupa dialami oleh teman-temannya sehingga kebanyakan memilih ganti pekerjaan. “Ada yang beralih jadi kuli pabrik ataupun kuli bangunan, tapi kebanyakan jadi pengangguran,” ujarnya.
“Ibarat Bom Waktu”: Tanah Adat Kami Dirampas
Di berbagai wilayah Indonesia, masyarakat petani termasuk masyarakat adat menghadapi situasi serupa saat berpaling ke lahan pertaniannya. Jhontoni, pemuda 34 tahun dari masyarakat adat Tano Batak, berkata belum ada pengakuan negara Indonesia terhadap masyarakat adat memunculkan kekosongan hukum sehingga mereka kesulitan mengatur batas-batas wilayah komunitas adat. Ini ibarat “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja, kata Jhontoni.
Sebagian wilayah Dusun Janji di kawasan Danau Toba tempat bermukim Jhontoni ditetapkan kawasan hutan oleh pemerintah Indonesia dengan meminggirkan peran masyarakat adat. Ia dan petani-petani muda cemas kawasan hutan itu bisa diperdagangkan oleh negara, istilah birokratisnya “alih fungsi lahan” atau “pengusahaan hutan”, sehingga mereka semakin dipinggirkan dan pelan-pelan tanahnya dirampas, kehilangan pengetahuan dan varietas lokal; sesuatu yang seharusnya setiap tindakan mengubah ruang hidup masyarakat adat melibatkan mereka, bukan mengeksklusinya.
Kecemasan Jhontoni begitu dekat. Kampung tetangganya, Desa Natumingka adalah bagian dari lahan komunitas adat Huta Natumikka. Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hutan negara, kemudian menjual konsesi ke PT Toba Pulp Lestari sebagai perkebunan eukaliptus.
Pada 18 Mei 2021, 500 aparat keamanan dan karyawan perusahaan bubur kayu itu mendatangi wilayah adat Natumingka dengan puluhan truk memuat bibit eukaliptus. Warga memortal akses masuk, tapi tetap diterobos. Warga dilempari batu dan kayu; puluhan warga luka-luka. (Menurut Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, organisasi pemberdayaan komunitas desa di Sumatera Utara, ada 23 komunitas masyarakat adat di kawasan Danau Toba yang menghadapi konflik lahan seluas lebih dari 20 ribu hektare dengan Toba Pulp Lestari. Peristiwa kekerasan terbaru itu memunculkan gelombang protes ‘Tutup TPL’.)
Jhontoni bersama para pemuda adat menolak pola perampasan tanah semacam itu terulang. Mereka mendesak pemerintah dan parlemen daerah serta penegak hukum untuk segera mengakui wilayah adat secara legal.
Tanpa tanah yang menjadi sumber penghidupan sekaligus pengetahuan petani, ujar Jhontoni, “Bagaimana kami bisa menanam padi, singkong, jahe dan memenuhi kebutuhan hidup kami?”
“Masak mesti sampai berdarah-darah dulu agar [tanah] kami diakui?” ujar Jhontoni.
Berhasil Menyetop Tambang, Menghadapi Tantangan Lain
Di Sinjai, Sulawesi Selatan, komunitas adat Barambang Katute menghadapi pola penyingkiran yang sama tapi berhasil menyetopnya. Kawasan hutan lindungi Bonto Katute pada 2010 berubah statusnya jadi lahan konsesi tambang emas PT Galena Sumber Energi. Masyarakat adat mengetahuinya pada 2011, lalu melancarkan protes besar-besaran. Protes itu berhasil. Pada 2013, izin tambang itu dicabut oleh pemerintah setempat.
Solihin, pemuda 26 tahun dari komunitas adat itu, menceritakan situasi sekarang masih relatif aman, tapi “belum ada [perizinan tambang yang masuk] bukan berarti tidak ada.” Karena pemerintah Indonesia sampai sekarang belum mengesahkan UU Masyarakat Adat, di dalamnya mengatur pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya, maka ancaman perampasan lahan itu bisa datang kapanpun saja.
Kekhawatiran macam itu kerap diutarakan oleh petani-petani muda di Barambang Katute. Sembari bercocok tanam, mereka berseloroh, “Bagaimana kalau tiba-tiba tambang masuk lagi ke sini?”
“Hancur kita,” jawab petani lain.
“Jadi buruh tambang kita,” gumam yang lain.
Solihin mengorganisir 20 anak muda di kampung untuk terlibat membangun kebun kolektif. Di tanah seluas 1,2 hektare yang dipinjam dari tetua adat dan warga lain, mereka menanam bawang, daun salam, umbi-umbian dan sayuran lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanaman-tanaman dengan masa panen pendek, dua sampai empat bulan, bisa menjamin anak muda bertahan di kampung tanpa perlu mencari pekerjaan di luar kota ataupun jadi buruh migran.
Meskipun begitu, kebun kolektif tak luput dari masalah. Krisis iklim menyebabkan cuaca susah ditebak, sewaktu-waktu gagal panen. Harga sayur di pasaran juga naik-turun, seringnya bahkan jatuh.
Cabai, misalnya, sudah dibayangkan bisa seharga Rp20ribu/kg saat musim panen tahun ini, tapi harganya anjlok hanya Rp3 ribu/kg. Begitupun bawang yang bibitnya seharga Rp25 ribu/kg, harga panennya merosot ke Rp10 ribu/kg.
“Terkadang kami lebih memilih hasil kebun kolektif dibagikan ke warga sekitar daripada dijual dengan harga murah,” ujar Solihin.
Situasi itu masih bisa mereka siasati. Berbeda dengan sayuran yang ditanam di kebun kolektif, mereka menanam kopi, cengkeh, dan pala di kebun milik individu untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Hasil panen tanaman-tanaman ini akan disimpan sebagai tabungan atau untuk biaya pendidikan.
Namun, proses bertanam jangka panjang menyimpan masalah tersendiri: tanaman-tanaman ini kerap bersinggungan dengan kawasan hutan lindung. “Ini berdampak sekali terhadap upaya pemajuan potensi ekonomi di kampung kami. Akses kami ke kawasan hutan sangat dibatasi,” kata Solihin.
Alhasil, tak sedikit anak-anak muda seumuran Solihin patah semangat. Meninggalkan pekerjaan petani, merantau ke Kalimantan atau ke Malaysia untuk menjadi buruh sawit, atau pergi ke Morowali untuk jadi buruh tambang nikel.
“Ada beberapa anggota kami yang putus asa… Ini persoalan ekonomi, kami nggak bisa menahan mereka,” Solihin berkata.
Kisah dari Wadas: Sumber Kekayaan dari Kebun Sudah Cukup, Kenapa Harus Dirusak?
Di Desa Wadas, titik panas konflik tanah terbaru di Jawa Tengah, anak-anak muda seperti Arofah dan Tommy kini harus menjelaskan bahwa sumber kehidupan dari bukit hutan dan kebun sudah sangat cukup bagi mereka, seakan-akan itu adalah sains yang rumit, ketika mereka harus menghadapi ancaman sewaktu-waktu perut bukit Wadas akan ditambang untuk material pembangunan Bendungan Bener, salah satu “proyek strategis nasional” pemerintahan Jokowi.
Arofah, yang masih kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta, selalu menantikan pulang kampung, ketika dia menyaksikan ayahnya pergi ke alas hutan setiap pagi untuk mengambil getah karet, mengecek tanaman kelapa, kopi, atau cengkeh, dan melihat lantai alas itu ditumbuhi jahe, kencur, temulawak, dan kunci. Bagi keluarganya, pohon-pohon itu tabungan; sesekali ditebang saat tumbuh besar, termasuk untuk membiayai pendidikannya di Yogyakarta.
Anak muda seperti Tommy, yang menetap di Desa Wadas selama tiga tahun terakhir, telah membudidayakan berbagai spesies lebah tanpa sengat atau lebah klanceng. Desa ini begitu asri sehingga lebah-lebahnya berkembang biak dan menghasilkan madu yang bagus, kata Tommy. Lebah-lebah itu menyerap sumber sari dari pepohonan yang ditanam warga di hutan seperti pohon pisang, nangka, kelapa, dan aren, selain Tommy juga mengembangkan bunga matahari, air mata pengantin, dan santo semon untuk mendukung tumbuh kembang lebah.
Tommy semula membudidayakan spesies umum lebah di Jawa Tengah seperti kelulut beruang (Heterotrigona itama), lalu bereksperimen ke kelulut kijang (Geniotrigona thoracica) dari Aceh dan Palembang, kemudian lebah trigona biroi (mestinya spesies endemik di Sulawesi). Total, ada tujuh spesies lebah tanpa sengat yang dibudidayakan Tommy di dekat kebun Wadas.
Ada lebih dari 600 sarang ditempatkan di tepi-tepi rumahnya di dekat bukit Wadas atau dititipkan ke kebun-kebun warga. Setiap koloni itu terdiri dari 1.000-2.500 lebah, secara bertahap menghasilkan madu seminggu sekali dari 100-200 sarang lebah, untuk selanjutnya dijual dalam kemasan 120 ml, 250 ml, dan 500 ml.
Pola pertanian multikultur ini telah jadi bagian kehidupan para petani Wadas. Sampai-sampai untuk menerangkan kekayaan dari bukit yang terancam bakal dikeruk ini, sebuah survei yang dilakukan oleh solidaritas ‘Wadas Melawan’, menjelaskan semua tanaman yang dibudidayakan di bukit itu menghasilkan ratusan juta hingga miliaran rupiah per tahun.
Ketenangan Desa Wadas terusik menjadi pola lazim dari konflik lahan di Indonesia: aparat keamanan merangsek dan membubarkan ratusan warga yang memprotesnya, menarik-narik para petani termasuk para ibu, menembakkan gas air mata dan menangkap paksa sejumlah warga maupun mahasiswa yang bersolidaritas. Warga kemudian menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, tapi hakim menolaknya pada akhir Agustus lalu. Warga kini mengajukan kasasi.
Bagi Tommy, merusak bukit di Wadas, yang oleh warga disebut sebagai ‘tanah surga di bumi Wadas’, bakal merusak biodiversitas sebagai rumah alami lebah-lebahnya. “Ketakutan saya saat ini, saya harus siap menyaksikan beberapa spesies lebah ini punah,” katanya.
‘Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?’
Gerakan Pemuda Adat Pulang Kampung
Bagi Jakob Siringoringo, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), bercocok tanam di kampung adalah upaya-upaya untuk mencapai kedaulatan pangan. Para pemuda adat ataupun anak-anak muda lain tidak perlu bergantung pada pekerjaan di luar kota untuk dapat hidup sejahtera.
BPAN mencanangkan program Gerakan Pulang Kampung, mendorong pemuda-pemuda adat kembali ke kampung masing-masing. Harapannya, pengetahuan yang mereka dapatkan di luar kampung dapat dikombinasikan dengan pengetahuan lokal untuk mensejahterakan kampung mereka. Idealnya, tercapainya kedaulatan pangan maka masyarakat adat dapat terhindar dari krisis pangan, yang jadi ancaman besar selama pandemi Covid-19. Gerakan ini juga membawa misi bila anak muda semakin dekat dengan tanah kelahirannya, mereka turut mendukung perjuangan mempertahankan wilayah adatnya.
Jhontoni dan petani muda lain di Tano Batak bercita-cita membangun Badan Usaha Milik Masyarakat Adat di tingkat dusun ataupun desa. Cita-cita ini coba diwujudkan perlahan-lahan, dengan pertama-tama membangun kelompok tani pada Maret 2020, dan mulai bertanam secara kolektif pada 9 Agustus 2020; Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.
“Mimpi kami melangit, tinggi sekali, tapi setidaknya kami sudah punya menyiapkan modalnya: sudah ada 45 kepala keluarga yang bergabung dalam kolektif. Jika kami melanjutkan ini sampai dua-tiga tahun ke depan, bisa terkumpul modal dari 200 keluarga atau satu kampung.”
Bagi Solihin, kendati banyak tantangan merawat kebun kolektif, upayanya telah menginspirasikan kampung-kampung tetangga untuk mengorganisir diri, justru di tengah kesulitan dan digerakkan oleh pandemi Covid-19.
“Sudah ada tiga komunitas, terlepas mereka tinggal di wilayah adat atau bukan, yang melakukan gerakan serupa. Beberapa anggota kami diajak untuk jadi fasilitator. Terlepas dari misi yang berbeda-beda, dari membangun kampung sampai mencapai kedaulatan pangan, tapi semangatnya sama: sama-sama semangat pulang kampung,” kata Solihin.
Hanya saja, Jakob tak memungkiri, “Sebagian besar wilayah adat telah dirampas,” yang telah “mempersempit ruang bagi pemuda adat untuk bekerja di wilayah adat.”
Kasus Covid-19 Naik, Akses Terbatas, Vaksinasi Minim: Pertahanan Masyarakat Adat Mulai Jebol
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, selama lima tahun terakhir, artinya periode pemerintahan Jokowi, ada 2.288 kasus konflik agraria. Sepanjang 2020, yang disebutnya “perampasan tanah berskala besar”, muncul 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran di 359 kampung atau desa, berdampak pada 135.337 keluarga, di atas tanah seluas 624.272,711 hektare.
Maka, bila ada seseorang yang mengajak anak muda untuk bertani dengan membayangkan tanpa problem perampasan lahan, lebih-lebih yang menyerukannya adalah seorang presiden, Jakob menilai ajakan itu tak perlu dianggap serius. “Karena kalau presiden serius,” tambah Jakob, “dia akan dorong RUU Masyarakat Adat segera disahkan di parlemen sesuai janji Nawa Cita dia pada 2018.”
“Kalau sudah ada pengakuan dan penghormatan, akan semakin banyak wilayah adat yang bisa kami kelola secara berkelanjutan. Tidak hanya memproduksi pangan, tapi sektor-sektor lain secara berkelanjutan, berdasarkan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal,” menurut Jakob.
‘Petani Bertarung Sendirian’
Tantangannya adalah hari ini dan masa depan. Apa yang terjadi akhir-akhir ini, berupa konflik lahan, perampasan tanah, harga panen yang anjlok, di antara hal lain, telah menggencet generasi keluarga petani putus asa, sebagaimana hal ini berulang setiap tahun.
Delima Silalahi mengisahkan bagaimana harga sayur-sayuran dan buah-buahan yang terus anjlok dalam beberapa bulan terakhir ini membuatnya mesti bersiasat. Ia tidak menjual hasil panennya tapi memilihnya sebagai pakan ternak. Sudah sebulan ini babi-babi ternaknya diberi makanan tomat dan aneka sayuran lain yang ia tanam.
Siasat ini lebih “menguntungkan”, kata Delima, dibandingkan jika harus menjualnya ke pasar. “Bisa rugi berkali-kali,” katanya. Sebab, untuk menjual hasil panen, ia harus membayar orang untuk memanen. Belum lagi biaya transportasi ke pasar karena tengkulak atau tauke biasanya emoh membeli hasil panen langsung dari petani.
Delima berkata nasibnya “lebih beruntung” daripada mayoritas petani lain. Delima adalah Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, organisasi yang mendampingi para petani di Tapanuli Utara, Samosir, dan Toba Samosir, Sumatera Utara.
Beberapa petani di kawasannya menjadikan hasil tani sebagai kompos. Ada pula yang terus merugi sehingga mesti berutang dengan meminjam ke tetangga atau ke Credit Union. Mereka bisa bertahan sementara dengan dana pinjaman tersebut, tetapi imbasnya mereka tak bisa menabung karena mesti menghentikan pembayaran angsuran.
“Harga pertanian yang bergantung pada mekanisme pasar itulah yang jadi permasalahan utama,” kata Delima. “Petani seperti bertarung dengan dirinya sendiri.”
Menjadi petani, bagi orang Batak, bukanlah cita-cita, ujar Delima. Hampir semua orang tua di Batak meminta anaknya untuk merantau karena mereka melihat kenyataan pahit, di antaranya, tak ada jaminan harga pertanian bisa stabil di negara ini, sementara akses mendapatkan pupuk bersubsidi pun sulit.
Orang tua yang memiliki sebidang tanah luas di kampung tidak serta-merta mendorong anaknya bertani. Kerap kali tanah mereka masuk ke dalam kawasan hutan negara, cerita Delima. Mereka khawatir suatu saat mereka tergusur, dan anak-anak mereka yang menjadi petani kehilangan sumber penghidupannya.
“Banyak keluarga yang merasa hidup mereka tidak terjamin dengan bertani,” katanya.
Di sekitar Desa Sukamulya, selagi Sobirin menghadapi teman-temannya secara perlahan meninggalkan pekerjaan sebagai petani, ia juga menyimpan perasaan waswas: Bertani dan menetap di kawasan hutan milik Perhutani membuat dirinya rentan kembali digusur.
Bandara Kertajati, yang menelan biaya Rp2,6 triliun dan menggusur lahan di sebelas desa, telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 2018. Disebut-sebut sebagai bandara terbesar kedua di Indonesia, nasib bandara ini rupanya sepi penumpang, berkebalikan dari gembar-gembor keuntungan infrastruktur, yang telah mengusir ratusan petani setempat.
Sobirin berkata ada lebih dari 120 keluarga korban penggusuran Bandara Kertajati dari Desa Sukamulya dan beberapa desa lain kini bermukim di wilayah hutan. Perhutani telah mengadukan warga petani dan menudingnya telah menebang hutan. Perwakilan warga telah dipanggil oleh polisi, cerita Sobirin.
Konflik tanah berpotensi kembali menyeruak. Imbasnya, kata Sobirin, sejumlah anggota Serikat Petani Majalengka memilih mengundurkan diri. Mereka takut. Trauma dengan peristiwa penggusuran paksa pada 2016.
“Jangankan memikirkan untung dari bertani,” kata Sobirin, “memikirkan tanah kami tidak diganggu lagi juga sudah menyita waktu.”
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat