Selama tiga tahun lebih Pemerintah Desa Sinduadi berupaya mengajukan permohonan sertifikasi tanah desa kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sleman. Namun, selama rentang waktu itu pula nyaris tak ada satupun tanah desa yang berhasil disertifikasi.
“Belum ada kejelasan, ini nanti harusnya atas nama siapa. Masih tarik ulur antara pemda, BPN, dan Kasultanan. Sejak 2017 sudah tidak boleh (mensertifikasi),” ungkap Sumarno selaku Sekretaris Desa (Carik) Sinduadi saat ditemui Tim Kolaborasi terdiri Project Multatuli, Suara.com, Tirto.id, Jaring.id, dan Kompas.com, pada 17 Mei 2021.
Serupa di desa lain, tanah desa di Sinduadi terbagi atas pengarem-arem (bagian dari tanah desa yang dipergunakan untuk tunjangan bagi kepala desa dan perangkat desa yang purna tugas), pelungguh (tanah desa yang dipergunakan untuk tambahan penghasilan kepala desa dan perangkat desa), tanah kas desa, dan tanah untuk kepentingan umum. Di desa yang terletak di Mlati, Sleman ini terdapat kurang lebih 110 ha tanah desa. Pemanfaatannya beragam, dari taman wisata keluarga seperti Sindu Kusuma Edupark, gudang pertanian, tempat hiburan malam Liquid Club, hingga disewakan untuk pusat perbelanjaan seperti Jogja City Mall.
Tarik-ulur upaya sertifikasi tanah desa itu mencuatkan kekhawatiran. Mengacu pasal 11 Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, sertifikasi atas nama pemerintah desa yang semula dengan hak pakai di atas tanah negara, diubah menjadi hak pakai di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Puro Pakualaman. Peraturan itu praktis bakal mengubah status kepemilikan seluruh sertifikat tanah desa menjadi milik Kasultanan atau Kadipaten. Pada akhirnya kewenangan desa sebatas mengelolanya.
Selain itu, kehadiran Perdais DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten serta Perdais Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, disinyalir menjadi perkakas legitimatif bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mengatur setiap hal terkait pertanahan di DIY.
Dalam proses pengesahan Perdais Pertanahan, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) DPRD DIY sebetulnya telah mengalamatkan nota keberatan (Minderheids Nota) pada 30 Desember 2016. Dalam nota itu, termaktub, pertama, political dan legal standing FPAN terhadap pengaturan urusan keistimewaan bidang pertanahan. Kedua, proses pembahasan raperdais yang menyalahi banyak prosedur dan kepatutan. Ketiga, beberapa permasalahan prinsip terkait substansi dan materi.
FPAN memandang perdais ini semestinya memuat semua asas pengaturan keistimewaan sebagaimana tercantum pada Pasal 4 UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pasal itu menyebutkan ada tujuh asas Pengaturan Keistimewaan, yaitu pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.
Nota keberatan yang ditandatangani Ketua dan Sekretaris FPAN Suharwanta dan Arif Setiadi itu, merinci atas pertimbangan yang tidak pernah dijelaskan oleh pihak pengusul, Pasal 2 Raperdais hanya memuat 3 dari 7 asas yang ada pada UU Keistimewaan. Ia hanya meliputi pengakuan atas hak asal-usul, efektivitas pemerintahan, dan pendayagunaan kearifan lokal. Dalam pandangan FPAN, hal itu merupakan sikap ketidaktaatan terhadap asas dalam UU Keistimewaan tanpa dasar hukum jelas.
FPAN juga berpendapat tanah desa bukan merupakan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten bukan keprabon (dede keprabon). Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan Kasultanan maupun Kadipaten untuk bangunan Keraton dan Pura, upacara adat dan kelengkapannya. Tanah milik Kasultanan dan Kadipaten di luar penggunaan itu disebut dede keprabon.
FPAN berpendapat, berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY, telah ditegaskan desa sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah. Tanah itu disebut tanah desa. Hal itu menandai satu fakta penting bahwa hak anggaduh yang dipandang hak asal-usul tanah desa sebagaimana yang berulang kali disampaikan oleh pihak pengusul pada dasarnya telah gugur dan berganti menjadi hak milik desa, demikian nota keberatan FPAN. Hak anggaduh yang disebut itu merupakan hak adat yang diberikan Kasultanan atau Kadipaten untuk mengelola dan memungut/mengambil dari tanah Kasultanan atau tanah Kadipaten terhadap tanah bukan keprabon kepada desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa dalam jangka waktu selama dipergunakan.
Kini, guna “mengembalikan” tanah-tanah desa di Yogyakarta menjadi milik Kasultanan atau Kadipaten, Pemerintah Daerah DIY kemudian berupaya menarik sertifikat-sertifikat tanah desa itu.
Pada November 2019, kabar sertifikasi tanah desa menjadi tanah milik Kasultanan dan Kadipaten itu mencuat lewat program penatausahaan tanah Kasultanan dan Kadipaten. Adalah Kundha Niti Mandala sarta Tata Sasana alias Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY yang kemudian diberi wewenang untuk mengakomodir penarikan sertifikat, dengan memberikan surat tembusan ke setiap kabupaten untuk segera menghimpun sertifikat yang masih disimpan di desa-desa.
Pencoretan Sertifikat Desa dan Proyeksi Agrowisata di Sidoluhur
Ketika Tim Kolaborasi memeriksa salinan sertifikat tanah Desa Sidoluhur tertanggal 15 Desember 2003, ada kejanggalan yang termuat di sana. Pada bagian “Penunjuk” di sertifikat, kata “Negara” dan “bekas” pada kalimat “Tanah Negara bekas hak adat persil xxx xxx” dicoret. Sehingga, pada sertifikat tanah desa yang berada di Godean, Sleman itu, terbaca “Tanah hak adat persil xxx xxx”.
Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Sleman tidak memberikan jawaban yang pasti perihal siapa yang mencoret sertifikat itu dan apa alasan yang melatarbelakanginya. Sedangkan saat Tim Kolaborasi mengkonfirmasi pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sleman pada 24 Juni 2021, Kepala BPN Sleman, Bintarwan Widiasto, sama sekali tidak mengetahui tentang pencoretan itu.
“Itu saya tidak tahu siapa yang coret. Sertifikatnya di sana dicoret, saya tidak mengerti, apalagi saya. Tapi data asli di kami tidak dicoret, yang digunakan kami asli,” sangkal Bintarwan.
Anna Prihaniawati selaku Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN DIY, juga menguraikan penjelasan serupa dengan yang disampaikan Bintarwan. Anna mengaku tidak mengetahui kapan dan siapa yang melakukan pencoretan pada sertifikat Desa Sidoluhur.
“Saya malah tidak mengerti ini, yang coret bukan saya. Ini hanya salinan buku tanah, kalau dicoret tidak sesuai pasti di arsip kami sudah ada. Kami harus lihat arsip buku tanahnya. Pencoretan salah bisa jadi karena penyebutan luas salah, pencoretan biasanya ada parafnya,” kata Anna saat dikonfirmasi Tim Kolaborasi pada 17 Juni 2021.
Pada sertifikat yang dicoret itu tampak paraf seperti huruf “p” kecil ditorehkan pada salinan. Anna mengaku itu bukan parafnya. Keganjilan pencoretan ini ditemukan ketika Tim Kolaborasi menelusuri Desa Sidoluhur yang menjadi salah satu percontohan sertifikat tanah desa atas nama kepemilikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Desa Sidoluhur merupakan salah satu proyek percontohan sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan pada 2020. Kasi Pemerintahan Desa Sidoluhur, Adi Arya, menjelaskan kepada Tim Kolaborasi bagaimana awalnya Desa Sidoluhur ditunjuk sebagai pilot project sertifikasi tanah desa di DIY.
“Kelurahan Sidoluhur mulanya mendapat arahan dari Dispertaru Kabupaten maupun DIY, untuk menjadi percontohan sertifikasi tanah kas desa. Total yang disertifikasi adalah 50 bidang dari sekitar 130-an bidang tanah kas desa di Sidoluhur,” urai Adi Arya saat ditemui di ruang kerjanya pada 25 Mei 2021.
Sertifikasi tanah desa di Sidoluhur itu baru memasuki tahap pertama. Adi Arya menyebut Pemerintah Desa Sidoluhur hanya mengikuti apa yang menjadi arahan dari Dispertaru Kabupaten.
“Kami mengikuti setiap aturannya, atau bagaimana progres yang akan berjalan. Karena ini asetnya anggaduh dari Kasultanan. Sehingga apabila nanti prosesnya bagaimana, kami juga bakal mengikuti,” sambung Adi Arya.
Ketika ditanya latar belakang kenapa Sidoluhur dijadikan sebagai percontohan, Adi Arya tidak mengetahuinya secara pasti. Namun, dari pengakuannya, Desa Sidoluhur memang fokus pada pertanian dan diharapkan menjadi lumbung pangan. Karena menurutnya, blok Sleman Barat (termasuk Sidoluhur) tetap dipertahankan untuk ketahanan pangan sesuai tata ruangnya.
“Kalaupun ada wisata, itu wisata yang berbasis pertanian,” imbuhnya.
Kendati demikian, Adi Arya menambahkan bayangan topografi terbaru dengan kehadiran bandara Yogyakarta International Airport (YIA). “Dengan adanya bandara (YIA), kita ini membalik muka atau terasnya Sleman itu jadi di Sleman Barat. Mungkin nanti kita genjotnya di pariwisata pertanian (agrowisata),” jelas Adi Arya.
Penjelasan Adi Arya itu memunculkan dugaan bahwa kelak pada jangka waktu ke depan, bisnis agrowisata di Desa Sidoluhur atau Sleman Barat, bisa mengakomodir kebutuhan pariwisata dari kehadiran bandara YIA.
Dari pelbagai sumber daya serta potensi jangka panjang yang dimiliki oleh Desa Sidoluhur itu, pantas rasanya jika desa itu menjadi percontohan sertifikasi tanah desa. Selain memang untuk mengamankan Sidoluhur sebagai lumbung pangan, proyeksi agrowisata bisa menjadi alasan kuat mengapa desa Sidoluhur yang didahulukan untuk disertifikasi tanah desanya.
Muasal Lahirnya Juknis Sertifikasi Tanah Desa
Penghentian sementara sertifikasi tanah desa pada periode 2017 oleh Kanwil BPN DIY dibenarkan oleh Kabid Penetapan Hak dan Pendaftaran Anna Prihaniawati.
Menurut Anna, hal itu dilakukan karena belum ada payung hukum dari Pemda DIY ataupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN Pusat) terkait penyesuaian sertifikasi tanah-tanah desa di DIY. BPN enggan salah langkah bersama Pemda DIY dalam mensertifikasi tanah desa setelah terbit UU Keistimewaan pada 2012 dan Perdais Pertanahan pada 2017.
“BPN belum ada payung hukumnya. Kami menunggu petunjuk teknis (juknis). Kalau desa mendaftarkan untuk sertifikat, sedangkan itu tanah Kasultanan, nanti kami dimarahi Sultan. Sudah ada UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan, kok BPN mendaftarkan tanah desa?” ungkap Anna.
Anna tidak membantah Kanwil BPN DIY meminta arahan kepada Kementerian ATR/BPN atas dorongan Pemda DIY. “Kami bareng-bareng minta petunjuk kepada Pak Menteri khusus pengaturan tanah di DIY. Pusat yang menentukan payung hukum itu, berupa permen (peraturan menteri), SE (surat edaran), atau juknis,” sambung Anna.
Upaya itu menuai hasil pada 29 Oktober 2019. Sofyan A. Djalil selaku Menteri ATR/BPN membuat kebijakan dalam bentuk Juknis Nomor 4/Juknis-HK.02.01/X/2019 tentang Penatausahaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Wilayah Provinsi DIY.
Kementerian ATR/BPN meyakini dasar untuk sertifikasi tanah desa melalui juknis sudah sangat kuat posisinya. Juknis dinilai mampu memudahkan BPN DIY kembali melanjutkan proses sertifikasi tanah desa menjadi milik Kasultanan atau Kadipaten.
Menurut Anna, Juknis bukan pilihan tunggal yang saat itu menjadi dasar mekanisme sertifikasi tanah desa. Mekanisme lain yang ditawarkan Kanwil BPN DIY adalah Kasultanan maupun Kadipaten mengajukan permohonan hak tanah secara langsung kepada negara.
Tawaran itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Namun, tawaran itu ditolak oleh Kasultanan. Dalih Kasultanan enggan melakukan permohonan itu karena mengklaim tanah desa adalah tanah milik Kasultanan.
Anna bilang idealnya pemerintah desa melepaskan haknya dulu menjadi tanah negara, baru dimohon menjadi tanah Kasultanan dan Kadipaten. “Mekanisme ini memang butuh waktu agak lama. Kasultanan dan Kadipaten tidak mau memohon kepada negara, karena itu tanah mereka,” tutur Anna.
Dalam juknis tertera tanah desa yang asal-usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten dengan hak anggaduh termasuk tanah bukan keprabon atau dede keprabon. Tanah desa yang belum terdaftar atau belum bersertifikat, bakal dilakukan pendaftaran tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik atas nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Puro Pakualam.
Untuk melakukan pendaftaran tanah, syaratnya mesti melampirkan akta pemberian hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak milik atau serat kekancingan. Serat kekancingan merupakan surat keputusan pemberian hak atas tanah dari Kasultanan atau Kadipaten kepada pihak ketiga yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
Adapun mekanisme penyesuaian sertifikasi tanah desa yang telah terdaftar atau sudah bersertifikat, dilakukan dengan ketentuan berbeda. Sertifikat tanah desa lama tidak akan diganti dengan sertifikat baru untuk memperjelas kepemilikan tanah desa merupakan milik Kasultanan atau Kadipaten. Melainkan, di dalam buku tanah dan sertifikat lama hanya akan dibubuhi catatan pada kolom “sebab perubahan” berupa “Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Nomor…, Desa/Kalurahan…, berada di atas Tanah Milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kadipaten Pakualaman”. Catatan itu bisa menggunakan stempel, cap, atau tera yang ditandatangani langsung oleh Kepala BPN kabupaten/kota.
Sementara itu, Achiel Suyanto selaku kuasa hukum Keraton berkata terkait upaya sertifikasi tanah desa di mata keraton. “Semua tanah di DIY yang tidak atau belum dilepaskan haknya itu tanah Kasultanan, termasuk tanah desa. Tanah desa bukan berarti milik desa. Kan dulu banyak tanah desa yang tanah Kasultanan, sekarang disertifikatkan di atas tanah Kasultanan, nanti diberikan hak pakai, HGB, kepada desa atau kepada masyarakat yang memanfaatkan,” urai Achiel ketika dikonfirmasi Tim Kolaborasi pada 1 September 2021.
Achiel menjelaskan soal permasalahan terkait sertifikasi tanah kas desa karena belum diatur dengan detail oleh BPN. Menurut Achiel, yang mesti dilihat adalah UU Keistimewaan. Hal itu lantaran UU Keistimewaan dianggap UU khusus atau lex specialis dan semuanya sudah diatur dalam UU khusus ini.
“Persoalan yang muncul adalah, loh tanah desa kok disertifikatkan? Tanah desa itu tanah Kasultanan kok memang asal-usulnya,” imbuh Achiel, “maka disertifikatkan hak milik Kasultanan dulu.”
Perihal Juknis sertifikasi tanah desa, Achiel menganggap itu tidak perlu. “Saya menentang Juknis habis-habisan saat itu. Di UU tidak ada perintah untuk membuat juknis seperti itu. Kalau masalah internal di BPN, ya silakan. Dari menteri menginstruksikan kepada BPN suruh begitu-begini, itu internal, ya silakan. Asal tidak bertentangan dengan UU Keistimewaan. Kalau Juknis bertentangan dengan UU Keistimewaan, ya nggak boleh,” sambung Achiel.
Ketika dikonfirmasi perihal di dalam UU Keistimewaan tidak termaktub aturan terkait tanah kas desa, namun kemudian baru dimunculkan dalam perdais, Achiel menyanggahnya.
“Bentar, jangan keliru. Lihat di asal-usul desa itu dari mana munculnya. Jangan keliru. Jangan seolah-olah (menganggap) desa itu berdiri sendiri. Desa itu bagian dari Kasultanan juga. Pada waktu itu begitu sejarahnya, maka tanah kas desa yang diberikan Kasultanan itu dikelola desa untuk pelungguh, untuk gaji para perangkat desa, zaman itu dulu begitu,” timpal Achiel yang mengimbau untuk tidak mencampuradukkan seolah-olah desa menjadi entitas yang terpisah, terutama dalam meneroka persoalan sertifikasi tanah desa.
Selain itu, Achiel menyebut apabila ada perangkat desa yang merasa khawatir akan sertifikasi tanah desa oleh Kasultanan dan Kadipaten, dia menganggap perangkat desa itu tidak memahami UU Keistimewaan.
“Kalau dia paham, nggak begitu pemikirannya. Yang dimanfaatkan oleh desa, ya dimanfaatkan oleh desa. Tetap. Tidak diambil oleh Kasultanan. Status hukum tanah itu milik Kasultanan, yaitu dengan sertifikasi. Pemanfaatan serta penggunaanya masih digunakan oleh desa. Cuma desa tidak boleh menjual, tidak boleh meminjamkan kalau tidak ada izin Keraton,” kata Achiel.
Permaisuri Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas memaparkan hal serupa dengan apa yang dikatakan Achiel terkait upaya sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan dan Kadipaten.
“Kami ini tidak mengambil kembali. Bukan mensertifikasi juga. Kami menata kembali. Bentuknya pendataan,” kata GKR Hemas saat dikonfirmasi Tim Kolaborasi di Bale Raos Keraton Yogyakarta pada 27 Agustus 2021.
Selama ini, menurut GKR Hemas, tanah desa memang belum terverifikasi. Dia menegaskan tidak ada maksud dan tujuan apa-apa dalam upaya sertifikasi itu. “Kami hanya mendata saja yang selama ini kami masih belum melengkapi dari periode ke periode,” tegas anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu.
Menolak Pengambilalihan Tanah Desa
Beralihnya hak tanah desa menjadi tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualam ini menimbulkan kekhawatiran bagi desa yang ditengarai bakal kehilangan kedaulatannya untuk mengelola tanah seperti dahulu.
Danang Wahyu, Kasi Pemerintahan Desa Maguwoharjo, Depok, Sleman, mengungkapkan betapa khawatirnya pemerintah desa perihal upaya sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan dan Kadipaten itu. Dari pengakuannya kepada Tim Kolaborasi, ia belum mengajukan sertifikasi tanah desa hingga saat ini, lantaran khawatir desa akan kehilangan aset apabila tanah desa diambil alih Kasultanan maupun Kadipaten.
“Kalau ada kepentingan pembangunan (yang mensyaratkan) kami digusur, harus dilepas, harus cari lahan. Padahal penerima pengganti bukan desa. Kami ploting untuk pendidikan kalau ada kepentingan lain. Karena tanahnya milik Kasultanan, izinnya tidak ke desa lagi. Hal yang sudah direncanakan desa bisa kalah dengan kepentingan (Kasultanan),” tutur Danang saat ditemui di Kantor Kelurahan Maguwoharjo pada 5 Mei 2021.
Kekhawatiran itu beralasan, sebab Pendapatan Asli Desa (PAD) Maguwoharjo pada 2020 mencapai Rp1 miliar dari pemanfaatan tanah desa. PAD itu secara optimal bisa dialokasikan untuk pelaksanaan program yang menunjang kesejahteraan masyarakat.
Danang bercerita ia mengetahui ada pencoretan dalam sertifikat Desa Sidoluhur. Secara tegas, Danang menyatakan pemerintahan Desa Maguwoharjo menolak pencoretan sertifikat itu. “Saya jelas (menolak), kami Maguwo minta terakhir sendiri (untuk sertifikasi). Maguwo tidak usah percontohan tidak apa-apa,” terang Danang.
Wahyu Widodo, Kasi Pemerintahan Desa Tirtomartani, Kalasan, Sleman, juga mencemaskan hal serupa. Ketika mendengar kabar pada November 2019 soal rencana sertifikasi ulang tanah desa di DIY atas nama Kasultanan dan Kadipaten, Wahyu merasa program itu bakal melucuti hak pengelolaan tanah desa oleh pihak desa sendiri.
“Sepemahaman saya, sertifikat tanah desa nanti akan ditambah keterangan bahwa itu (tanah desa) menjadi milik Kasultanan,” kata Wahyu kepada Tim Kolaborasi pada 21 Juli 2021. Menurut Wahyu, desa digadang bakal merugi karena kehilangan aset yang terdampak program itu.
Wahyu menduga desa tak bisa lagi memperoleh pendapatan dari hasil pengelolaan tanah desa. Kemudian, dampak selanjutnya bakal terganjalnya penyelenggaran program untuk kesejahteraan masyarakat. Para pamong desa, menurut Wahyu, merugi karena tak bisa lagi memperoleh tambahan penghasilan dari hasil pengelolaan tanah pelungguh. Terlebih, muasal semua tanah desa yang berjumlah sekitar 200 bidang di Tirtomartani dari Kasultanan dengan hak anggaduh.
Sebelum ada program penatausahaan tanah Kasultanan dan Kadipaten, Pemerintah Desa Tirtomartani sama sekali tak mengantongi dokumen asli sertifikat tanah desa mereka. Pihak desa hanya menyimpan salinannya. Wahyu menyebut sertifikat tanah desa Tirtomartani sesudah diterbitkan oleh BPN, langsung disimpan oleh Dispertaru Sleman.
“Pemdes akhirnya cuma bisa pasrah terkait kebijakan tanah desa di DIY. Termasuk, jika sertifikat akan diubah sewaktu-waktu,” imbuh Wahyu.
Terhitung hingga pengujung Juli 2021, Wahyu mengaku sama sekali belum mengetahui ihwal nasib sertifikat tanah desa Tirtomartani yang disimpan di Dispertaru Sleman. “Apakah sudah ditambahkan keterangan menjadi milik Kasultanan atau belum?” cemas Wahyu.
“Takut-takut gimana gitu kalau seumpama tanah desa diminta Kasultanan. Desa jadi kehilangan tanah desa, sementara kami (pamong) jadi tak punya bengkok. Tapi wis manut wae lah, wong yo ngisore kok (pasrah saja lah, karena hanya bawahan),” ucap Wahyu. Di sisi lain, dia berharap desa tetap mempunyai hak pengelolaan tanah desa, meski ada peralihan sertifikat menjadi milik Kasultanan.
Bukan hanya Wahyu yang mencemaskan situasi itu. Rekan-rekan pamong di Desa Tirtomartani juga merasakan hal serupa dengan Wahyu. “Teman-teman sama khawatir. Di grup-grup (aplikasi pesan instan WhatsApp) perangkat desa pada tanya, Piye sesuk (bagaimana besok)? Di grup Jagabaya (kasi pemerintahan desa) se-kabupaten juga sama (menyampaikan kekhawatiran). Tapi, ramai pas awal. Sekarang tidak digagas (diperhatikan) lagi. Akhirnya, kan, pasrah,” tutup Wahyu.
Ketika dikonfirmasi, Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Pusat, Suyus Windayana, memaparkan sertifikasi ulang tanah desa di DIY dilakukan atas amanat UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan.
Menurut Suyus, program sertifikasi itu hanya menyentuh ranah pencatatan, di mana tanah desa yang dikelola pemerintah desa berdasarkan hak anggaduh adalah tanah Kasultanan atau Kadipaten. Sedangkan pengelolaannya tetap berada pada wewenang pemerintah desa.
“Sebetulnya tidak ada maksud Kasultanan mengambil tanah,” jelas Suyus dalam wawancara daring dengan Tim Kolaborasi pada 5 Juli 2021.
Dwi Purnama, Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, yang mendampingi Suyus pada sesi wawancara daring, menambahkan dengan penerbitan UU Keistimewaan, Kasultanan dan Kadipaten menjadi badan hukum yang memiliki hak milik atas tanah.
Sementara itu, berdasarkan Perdais Pertanahan, tanah desa yang sudah bersertifikat atas nama desa dan asal usulnya merupakan tanah Kasultanan dan Kadipaten, wajib disesuaikan menjadi tanah hak milik Kasultanan dan Kadipaten. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) DIY menindaklanjuti amanat itu melalui diskusi dengan ahli pertanahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan menyusun naskah akademik. Kanwil BPN DIY diketahui berkonsultasi juga dengan Kasultanan dan Kadipaten, serta praktisi hukum di DIY.
“Di DIY, kami (Kanwil BPN DIY) sampaikan ke kementerian untuk menindaklanjuti amanah UU Keistimewaan dan perdais, maka keluarlah juknis khusus tanah desa (petunjuk teknis penatausahaan tanah Kasultanan dan Kadipaten) di DIY,” tambah Dwi.
Tim kolaborasi menonfirmasi ke Staf Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto. “Memang tanah desa itu kan belum semua bersertifikat, dulu sudah ada yang dilayani badan pertanahan, karena dulu belum ada UU Keistimewaan dan kesepakatan bersama antara Pemda, Pemdes, BPN, dan dulu sertifikat tanah desa dikeluarkan di atas tanah negara. Jadi bunyinya sertifikat hak pakai desa di atas tanah negara. Dan itu secara kesejarahaan tidak betul,” urai Suryo.
Karena alasan itu, tanah desa akan disertifikatkan kembali. “Nanti tanah-tanah desa yang sudah sertifikat di atas tanah negara akan disesuaikan menjadi di atas tanah Kasultanan, dan berikutnya tanah-tanah yang belum bersertifikat akan diatasnamakan Kasultanan,” pungkasnya.
Pertaruhan Otonomi Desa dan Standar Ganda Aturan
Erwin Suryana, salah satu peneliti dari Agrarian Resources Center (ARC), turut angkat bicara tentang upaya sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan maupun Kadipaten. Menurut Erwin upaya penguasaan tanah desa dengan sertifikasi atas nama Kasultanan dan Kadipaten itu malah bakal mempreteli otonomi desa.
“Semakin kehilangan. Justru dicabut otonominya, dihilangkan otonominya. Salah satunya, kebebasan untuk mengatur harta kekayaan desa. Itu masuknya kalau tanah desa, dimasukan ke dalam aspek kekayaan desa,” urai Erwin saat diwawancarai secara daring oleh Tim Kolaborasi pada 19 Februari 2021.
Erwin menyebut upaya memanfaatkan dan mengolah tanah (termasuk tanah kas desa) adalah amanat konstitusi dan UU Pokok Agraria. Siapapun masyarakat yang memanfaatkan serta mengelola tanah untuk kesejahteraan dan keberlangsungan hidup sesamanya, Erwin menganggap mereka tengah menjalankan amanat konstitusi. Maka, ketika hal itu dicerabut semisal oleh upaya sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan dan Kadipaten, terang saja itu mencederai amanat konstitusi dan UUPA.
“Pada dasarnya selama kekuasaan Kasultanan dan Kadipaten atas tanah itu tidak diamputasi oleh pemerintahan nasional, ya akan terus seperti begini. Akan terus berlangsung proses tumbukan antar klaim itu dan muncul menjadi konflik pertanahan itu sendiri di Jogja,” tegas Erwin.
Ahmad Nashih Lutfi, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), mengatakan sertifikasi tanah desa atas nama Keraton dan Kadipaten ini tidak masuk dalam UUPA sekaligus standar ganda.
“Kalau untuk [kepentingan] di Jogja, konstruksi (sertifikasi tanah desa menjadi tanah Kasultanan) semacam ini dianggap kompromi. Kalau pakai UUPA ini tidak dikenal. Karena pemerintah desa masih punya pemegang hak, tapi tidak sepenuhnya karena digandholi (diberi) catatan. Kalau dikonfrontir UUPA ini jelas tidak dikenal,” urai Lutfi saat diwawancarai secara daring oleh Tim Kolaborasi pada 15 Juni 2021.
“Ini, kan, pertama anomali (dalam konstruksi hukum normatif); kedua, standar ganda,” sambung Lutfi.
Menurut Lutfi, sertifikasi tanah itu menggunakan dua konsep yang digabung. Di mana alasnya menggunakan tanah Kasultanan, tapi ketika diberikan hak pakainya menggunakan hukum formal, yakni UUPA.
Nomenklatur “hak pakai” merupakan pengertian UUPA, di mana hak pakai tidak bisa dialihkan kepada subjek lain di luar yang ditunjuk atau yang diberikan karena posisinya sebagai pihak kedua (pemerintah desa).
“Beda lagi dengan HPL (Hak Pengelolaan). Alasnya negara, kemudian negara memberikan hak pengelolaan kepada instansi pemerintah. Nah bisa bekerjasama dengan pihak ketiga untuk kelola tanah.”
Selain menyebut konsep sertifikasi itu sebagai anomali dan standar ganda, Lutfi menyebut konsep itu membingungkan semua. Lutfi menilai kekhawatiran pihak desa atas program sertifikasi ini beralasan.
“Karena klausulnya tidak rigid antara hak dan kewajiban. Karena menggunakan dua relasi tenurial yang digabung. Satu sisi, hak pakai menggunakan pengertian UUPA, tapi sifat adatnya patrimonial tradisional. Pemberi hak (Kasultanan) sewaktu-waktu bisa menggunakan kekuatannya untuk mengendalikan. Sebenarnya kalau satu saja dipakai, hak pakainya gunakan UUPA. Sehingga kewenangan sepenuhnya itu pemerintah desa dengan pihak ketiga,” ujar Lutfi. Menurut Lutfi, pada akhirnya keuntungan upaya sertifikasi tanah desa ini teraglomerasi untuk kepentingan Kasultanan dan Kadipaten.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ni’matul Huda juga menegaskan upaya sertifikasi tanah desa atas nama Kasultanan dan Kadipaten tidak sesuai prosedur yang berlaku. Hal itu ditengarai lantaran upaya sertifikasi hanya berdasarkan juknis Menteri ATR/Kepala BPN dan Pergub Pemanfaatan Tanah Desa.
“Tidak ada itu melalui Pergub (peraturan gubernur) boleh mengubah status tanah negara jadi tanah desa. Sepanjang yang saya tahu begitu. Juknis itu hanya untuk mekanisme, tidak terkait dengan legalitas,” jelas Ni’matul ketika diwawancara daring pada 14 Juni 2021.
Selain itu, ia menilai kementerian tidak berani mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) karena takut menghadapi gugatan apabila terlalu memaksakan diri membuat regulasi tanpa dasar hukum jelas.
Tulisan ini merupakan laporan kedua dari laporan yang digarap tim kolaborasi investigasi agraria. Laporan pertama bisa dibaca di sini. Media yang terlibat dalam kolaborasi ini yakni Project Multatuli, Kompas.com, Tirto.id, Jaring.id, dan Suara.com