SEBUAH gudang bambu yang usianya belum genap dua tahun berdiri kokoh di belakang rumah Mardi. Bangunan ini semula digunakan untuk mengeringkan tembakau jenis White Burley yang jadi bahan dasar utama sigaret putih.
Namun sejak PT AOI, perusahaan pemasok tembakau Burley dari Lumajang, menutup kegiatan operasionalnya di kota itu tahun 2020, gudang itu menganggur. Masih ada kursi-kursi dan balai bambu yang dilapisi karpet. Tiang-tiang yang sempat digunakan untuk mengeringkan tembakau berubah fungsi untuk menjemur pakaian. Onthel koleksi Mardi dan motor roda tiga pengangkut hasil panen, terparkir di sana.
“Saya buat (gudang) ini, modalnya sampai hampir Rp30 juta. Baru setahun dipakai, pabrik tutup. Mau saya hancurkan, sayang,” ungkap Mardi. “Sekarang gudangnya dipakai ngerumpi saja,” tawa Mardi berderai, terkesan menghibur diri.
Mardi tinggal di Desa Pulo, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang. KTP mencatat profesinya sebagai petani. Ia menanam tembakau sejak tahun 1990-an. Tak pernah terbayang di benaknya bakal mengakhiri kebiasaan bertani tembakau secepat ini.
Setahun belakangan setelah pabrik tutup, Mardi kerja serabutan. Uang hasil panen tembakau Burley sudah habis digunakan melunasi utang biaya produksi termasuk membayar upah tenaga kerja. “Tahun 2021 itu saya hancur. Ndak menanam total.”
Sampai tahun 2020, ia masih menanam tembakau jenis White Burley di lahan seluas 3 hektare, yang ia sewa Rp14,5 juta per hektarenya tiap kali musim tanam tembakau tiba.
“Satu tanaman menghasilkan sekitar 20, 23, 24 daun. Kalau saya paksa 25-26 itu kurang gemuk, dan kurang bagus,” katanya.
Pada panen terakhir itu Mardi mendapatkan 10 ton tembakau. Kualitas terbaik daun tembakaunya rata-rata dibanderol Rp32.500 per kilogram. Jauh dari harga patokan tertinggi atau top grade yang ditetapkan pabrik senilai Rp38.000.
Standar harga tertinggi pun menurun dibanding tahun sebelumnya. Yang semula Rp42.000 per kilogram menjadi Rp38.000 pada tahun 2019. Pihak Gabungan Perusahaan Rokok yang diwakili oleh Ketua Gapero Jatim, Sulami Bahar mengatakan, kadang pabrik kekurangan pasokan dalam negeri karena kualitasnya buruk. Sementara menurut kabar yang beredar, harga diturunkan karena bersaing dengan tembakau impor.
Data BPS menyebut, volume impor tembakau meningkat sejak 2016 hingga 2018, kemudian volumenya menurun 8,65 persen pada tahun 2019 menjadi 110,9 ribu ton dan kembali menurun 0,54 persen menjadi 110,3 ribu ton pada tahun 2020.
Meski tak puas dengan penentuan harga tersebut, Mardi pasrah. Yang lebih penting baginya, tembakau habis diserap pabrik sehingga uang hasil panen bisa dipakai untuk membayar utang, membayar upah tenaga kerja, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ia sangat paham, memilih bertani tembakau berarti memasuki arena pertarungan penuh risiko. Ia takkan selalu untung. Bahkan pernah pada satu masa, hasil penjualan panen tembakaunya tak cukup untuk sekadar menutup modal.
Mardi mengenang, tahun 1995 dan 2010, utangnya di bank nyaris saja tak terbayar. Ia sampai harus menjual beberapa aset untuk melunasinya. Meski begitu Mardi tak kapok. Tahun berikutnya ia tetap bertani tembakau. Di desanya, ia sudah dikenal sebagai salah satu juragan tembakau.
Ketika pabrik tutup pada 2020, ia terpaksa berhenti menanam, karena ia hanya menanam tembakau jenis White Burley, yang tak akan ada pembelinya. Benih-benih tembakau White Burley yang seharusnya ia tanam tahun 2021, masih disimpannya. “Ini benih dari perusahaan masih saya simpan di kulkas, biar mati jalu,” ucap Mardi, sambil menunjukkan kantung-kantung biru.
Di atas balai bambu berlapis karpet di gudang yang tak terpakai itu, Mardi gamang menimbang yang hendak ia lakukan ke depan; tetap bertani tembakau, atau yang lain.
Sekitar 30 menit dari lokasi rumah Mardi, sebuah gudang tembakau milik Ismail tak lagi berbentuk. Bangunan yang semula tegak menghadap ke jalan raya itu kini wujudnya sudah tak jelas. Tumpukan bambu berjajar, kultivator, dan sisa-sisa perkakas pertanian ditutupi terpal. Angin kencang merobohkan tempat untuk menjemur tembakau White Burley tersebut.
“Saya mau coba bikin tempat lomba burung (di bekas gudang Burley) saja. Mau saya sewakan, kan bisa dapat pemasukan juga dari sewa parkir, nanti istri saya bisa jualan makanan,” kata Ismail menceritakan rencananya.
Tak Terjawab
Kalau Mardi masih bimbang, Ismail sudah memutuskan. Tahun depan, ia bakal berhenti menanam tembakau. Ia masih tetap bertani, tetapi bukan lagi tembakau.
Ismail Hidayat adalah satu-satunya petani tembakau yang tersisa di Desa Tumpeng, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. Bapak tiga anak ini mulai bertanam tembakau pada 2001. Dulu, ada banyak tetangga menanam tembakau, tetapi rontok satu-persatu. “Dulu itu sampai 400 petani dari satu desa ini,” kata Mail, begitu Ismail biasa dipanggil.
Ismail semula menanam tembakau White Burley. Dari bertani tembakau ia bisa membangun rumah, membeli lahan, kendaraan, dan menghidupi keluarga. “Istilahnya, kalau punya keinginan, misalnya ingin punya motor, ingin punya apa, Alhamdulillah, waktu itu bisa.”
Namun memasuki 2015, Ismail oleng. Harga tembakaunya terjun bebas, padahal saat itu kualitasnya bagus. Ia curiga ini permainan grader pabrik. Kelak ia mengerti prasangkanya itu benar. “Waktu ada acara, kan ada sesi tanya-jawab dengan narasumber yang nge-grade itu, saya tanya, ‘Mas, kira-kira dengan luasan 800 meter persegi lalu menghasilkan 2 ton 3 kuintal itu termasuk bagus atau kurang?’” ceritanya.
“Waduh, buagus itu, Pak Mail,” Ismail mengutip jawaban grader waktu itu.
“Tapi waktu itu kok tembakau saya dihargai rendah sama njenengan. Bingung dia.”
Ismail ingat betul, waktu ngepres (mengemas), tembakau hasil panennya memang sampai tertekuk, karena terlalu panjang.
“Tapi gradenya kok malah rendah…”
Sang grader tidak bisa menjawab.
Gara-gara permainan harga itu, Ismail kesulitan membayar utang di bank. Uang hasil panennya jauh dari cukup untuk menutup utang biaya produksi. Ia kebingungan. Alhasil, tiga petak lahan yang sebelumnya ia beli dari hasil panen terdahulu, dijual demi melunasi utang.
Ismail memulai lagi semuanya. Kembali menanam tembakau. Semua baik-baik saja sampai kemudian pada 2020, pabrik penyerap tembakau White Burley tutup.
Namun ia belum berhenti. Ismail menanam tembakau lagi, tetapi beralih ke jenis Kasturi, karena satu-satunya pabrik yang tersisa di Lumajang, yakni PT IDS, menyerap jenis tersebut. Namun bukannya untung, Ismail justru rugi dan terpaksa tombok. Hasil penjualan panen tembakau Kasturi pada 2021 tak bisa menutup modal.
“Biasanya kan lahan saya tanami Burley, minimal dari lokasi itu dapat 1,5 ton, dan itu modalnya paling besar Rp20 juta. Ambil rata-rata harga Rp30.000 per kilogram, berarti kan dapat Rp45 juta. Itu paling rendah.”
Sedangkan saat menanam Kasturi, Ismail hanya mendapat separuhnya atau 7 kuintal tembakau dengan total Rp19 juta. Padahal upaya menanam kasturi bisa tiga kali lipat lebih berat dibandingkan White Burley baik dari segi biaya maupun tenaga.
Sialnya lagi, pabrik belum sepenuhnya melunasi uang hasil penjualan panen tersebut. Dari sekitar Rp19 juta, perusahaan baru membayar Rp7 juta.
“Kalau kata orang kan, berilah upah sebelum keringat, kan. Sekarang ini, kering keringatnya sudah lama, tapi belum-belum dibayarkan,” ucap Ismail diikuti tawa.
Ia melanjutkan, “Sebenarnya, selama ada gudang tembakau, saya tidak akan lepas dari tanam tembakau. Tapi kalau tahun depan yang membeli cuma satu perusahaan, saya istirahat dulu.”
Meski tahun ini babak belur, Ismail merasa masih cukup beruntung karena bisa menutup kerugian dari hasil panen jagung. Penanaman jagung ini merupakan program dari pemerintah provinsi sehingga seluruh biaya modal hingga tenaga kerja ditanggung.
Menangkap Peluang
Tidak semua petani semujur Ismail, yang mendapat pupuk sampai tenaga kerjanya dari program bantuan pemerintah daerah. Edi Syarif, petani tembakau di Desa Mojosari, Kecamatan Sumbersuko, Kabupaten Lumajang harus menanggung semua sendiri.
Uang hasil panen tembakaunya, sekitar Rp7 juta, juga belum dilunasi oleh pabrik. Pada saat yang sama, ia harus mengurus ladang jagungnya. Padahal harga pupuk sedang sangat tinggi.
Suatu siang ketika kami bertemu, ia baru pulang dari mencari pupuk. Selain harganya mahal, pupuk juga langka. Syarif belum mendapatkan pupuk untuk lahan jagungnya. Berbeda dengan Ismail, Syarif sama sekali tak mendapatkan jatah pupuk subsidi.
“Sejak pertama, saya tidak pernah dapat subsidi. Semuanya sendiri,” katanya seraya melanjutkan, “saya terdaftar (untuk mendapatkan pupuk bersubsidi), tetapi sekarang susah. Padahal saya juga punya kartu tani.”
Petani tembakau di desa yang sama, Sri Maryati, memilih tidak menyetor seluruh hasil panennya ke perusahaan, karena harga yang dipatok pabrik menurut ia, tidak cukup layak. Meski begitu, karena masih harus menjalin relasi dengan pabrik, Maryati setor secukupnya.
“Saya itu tidak pernah fanatik sekali ke pabrik, meskipun saya bermitra ke pabrik. Prinsip saya seperti ini, saya tetap bermitra ke pabrik, tapi jangan sampai saya meninggalkan utang atau menimbulkan kerugian ke pabrik,” kata Maryati yang mulai bertanam tembakau sejak 2008.
Relasi dengan perusahaan masih ia butuhkan untuk keperluan meminjam modal seperti bibit ataupun alat pertanian lain. Yang penting, bagi Maryati, utang ke pabrik sudah terbayar dari hasil setor panennya. Setelah itu, sisa tembakaunya akan ia olah sendiri menjadi ‘tembakau lokalan’, untuk kemudian dijual ke pengecer.
Maryati mengaku sudah berterus terang soal ini ke perusahaan. “Tapi saya benar-benar izin, ke manajer dan ke PPLnya (Penyuluh Pertanian Lapangan). Saya bilang, saya tidak setor lagi, ya. Saya jelaskan, saya butuh uang,” tutur ibu tunggal dua anak ini.
“Kalau yang ke pabrik harganya jauh sama yang dibuat lokalan. Di pabrik, top grade itu Rp38.000. Tapi untuk mencapai top grade itu susah sekali,” terangnya.
“Jadi yang disetor ke pabrik itu paling cuma mentok di Rp35.000,” lanjut Maryati.
Pendapatan dari tembakau lokalannya bisa jauh lebih tinggi dua kali lipat. Terlebih jika tembakau itu disimpan untuk waktu yang lama. “Apalagi kalau disimpan satu tahun, harganya dari Rp40.000 bisa sampai Rp90.000.”
Menjual ‘tembakau lokalan’ menjadi cara Maryati menyiasati hasil yang tak seberapa dari penjualan ke pabrik. Tembakau lokalan biasanya digunakan untuk rokok linting dhewe (tingwe, melinting sendiri). Di Lumajang, pasar rokok linting dhewe ini mulai bergolak. Maryati menangkap peluang tersebut.
Bertani tembakau, bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan harian melainkan juga investasi bagi Maryati. Mata perempuan 42 tahun itu berkaca-kaca ketika mengungkapkan, hasil penjualan ‘tembakau lokalan’ yang dihargai lebih tinggi itu membuatnya bisa menabung.
Ia menyimpan uang itu untuk anak sulungnya.
“Aku pengin, anakku tidak bekerja lagi di pabrik (pabrik kayu),” tutur Maryati diikuti jeda agak lama.
“Ini kan uangnya masih ada, aku tabung untuk beli pickup-nya dia, untuk bisnis degan, atau sayuran. Saya nggak ingin anak saya sampai tua di pabrik, kasihan waktunya,” sambung Yati, panggilan akrabnya.
Tahun depan pun Yati menimbang-nimbang untuk tidak lagi setor ke pabrik, sama sekali. Ia berencana fokus mengolah daun tembakaunya untuk produk lokalan. Itu artinya, daun tembakaunya akan dibeli langsung oleh pedagang untuk diecer.
“Insyaallah tahun depan lokalan murni. Saya kan sudah punya nama dan pelanggan. Suatu saat kalau saya tinggalkan ke Yusuf (anak sulung Maryati) kan, ‘Ini lho le bisa bertani tembakau’,” tuturnya.
Maryati juga berangan-angan, pemerintah daerah bisa membikin sebuah koperasi untuk petani tembakau agar ia dan kawan-kawannya tak lagi kesulitan saat membutuhkan modal, tak harus lari ke bank, atau ketika uang panen tembakau tak bisa diandalkan.
Ia mengenang, sempat rehat menanam tembakau sampai tiga tahunan. Maryati trauma setelah mengalami gagal panen pada 2010. “Perjuangannya cukup berat. Aku pinjam bank, untuk modal Rp40 juta, nggak bisa mengembalikan sama sekali,” cerita Maryati.
Namun nilai keuntungan dari tembakau yang mampu dua hingga tiga kali lipat dibanding tanaman pangan, kata Maryati, membuatnya kembali menanam tembakau. Ia memulai lagi, hingga sekarang.
Upaya Maryati itu merupakan bagian dari caranya menyiasati pasar tembakau yang jauh dari kendali petani.
Dua Tingkat Kerentanan
Berbagai kesaksian dari narasumber menggambarkan tata niaga tembakau Indonesia belum berpihak pada petani. Posisi grader sebagai penentu kualitas—yang berpengaruh pada harga—sangat berkuasa. Petani tembakau kerap dirugikan karena ketiadaan standar yang bisa dijadikan patokan.
Selain harga tembakau sudah ditentukan pihak lain, kajian singkat dari Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) dan Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA) menemukan, petani tembakau masih dibebani bermacam pungutan.
Misalnya, setiap 1 keranjang tembakau dipotong 20 persen oleh tengkulak untuk sampel ke industri rokok, potongan dari grader sebanyak 2 kilogram per keranjang yang peruntukannya tidak jelas, pajak penjualan tembakau yang dibebankan ke petani dan transportasi mengantar tembakau ke industri rokok yang juga ditanggung petani.
Studi mengenai “Analisis Ekonomi Usaha Tani Tembakau di Indonesia” menemukan, pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak dibandingkan pendapatan petani non-tembakau. Peneliti yang juga Asisten Profesor Departemen Ekonomi dan Bisnis di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Gumilang Aryo Sahadewo memaparkan ketidakpastian itu disebabkan faktor cuaca yang tidak dapat diprediksi dan penentuan harga tembakau yang ditentukan pasar.
“Kualitas tembakau itu tidak sepenuhnya bisa menjelaskan kenapa harga naik atau turun. Struktur pasar itu sebetulnya dikuasai oleh entitas yang bisa membeli tembakau sedemikian rupa sehingga tembakau petani dibeli tidak setinggi harga yang diharapkan,” jelas Gumilang.
Riset yang mengambil lokasi petani tembakau di Jawa Timur, Jawa Tengah dan, Nusa Tenggara Barat ini membandingkan kondisi perekonomian petani tembakau dan petani non-tembakau (yang sudah beralih tanam).
Studi yang dilakukan dengan mewawancarai lebih 2.500 petani dalam tiga gelombang ini, menurut Gumilang, berangkat dari narasi industri tembakau yang menyatakan kebijakan pengendalian tembakau berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja di sektor ini, termasuk petani tembakau.
“Padahal semua narasi tersebut belum banyak didukung bukti ilmiah terkait penghidupan petani tembakau dan dinamika dari kehidupan petani tembakau antar-waktu,” kata Gumilang saat memaparkan hasil studinya (2/12/21), secara daring.
Bahkan Gumilang menuturkan, tingkat kemiskinan petani tembakau tergolong tinggi.
“Dalam catatan kami, paling tidak dari yang kami kumpulkan, persentase petani tembakau yang tergolong miskin itu masih luar biasa tinggi. Pendapatannya cukup besar, tetapi biaya yang harus mereka tanggung baik biaya yang keluar dari kantong maupun biaya kehilangan kesempatan ekonomi, sangat tinggi,” terang ia tanpa memerinci angka.
Meski begitu, studi juga mendapati beberapa alasan mengapa petani masih tetap bertanam tembakau. Yang paling tinggi adalah karena persepsi keuntungan dari usaha tani tembakau. Baru kemudian, karena sudah terbiasa menanam tembakau, karena cuaca yang relatif cocok, dan adanya pasar untuk menjual tembakau.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta, justru melihat keputusan petani memilih tembakau sebagai tanaman budidaya adalah cara bertahan yang paling mungkin, karena komoditas ini menjanjikan hasil yang tinggi.
“Ini soal survival. Spekulasi yang dilakukan, walaupun mereka tahu akan menanggung kerugian, ini satu-satunya jalan dan politik harapan,” jelas Abe, sapaan AB Widyanta.
Tembakau, menurut Abe, termasuk tanaman yang menyediakan peluang bagi petani untuk menuai pendapatan besar. Petani juga mengerti bahwa memilih tembakau artinya membawa mereka masuk ke dalam pertaruhan yang sangat berisiko.
“Tetapi itu harus mereka ambil. Kalau tidak, pinjaman atau utang yang dilakukan untuk menanam tanaman pangan sebelumnya, tidak akan tertutup,” sambungnya.
Abe menggambarkan kehidupan petani tembakau kini terjepit. Kerentanan petani tembakau bukan hanya karena tidak mendapatkan perlindungan pemerintah, tetapi juga digencet oleh industri rokok.
Negara menurut Abe, hanya menjadikan petani tembakau sebagai sapi perahan lewat cukai rokok. Sedangkan problem petani tembakau tak serius dipikirkan dan diselesaikan. Bukan saja tidak bersungguh-sungguh melindungi dan memberdayakan petani tembakau, pemerintah juga abai terhadap masalah tata niaga tembakau.
“Mau mendapat madunya, tetapi tidak mau mendapat pulutnya,” Abe mengibaratkan.
Pengabaian oleh negara, menurut Abe, mau tak mau menyeret petani tembakau mendekat ke lingkar industri rokok. Saat bicara korporasi maka kepentingan utama adalah soal keuntungan, bukan lagi kehidupan petani.
“Ketika negara tidak merekognisi, korporasi yang hadir. Pabrik rokok lah yang kemudian melakukan pendekatan terhadap petani. Itu yang membuat kerentanan bukan lagi hadir karena mis-rekognisi atau tidak ada rekognisi dari negara. Bahkan di dalam piramida korporasi, dia (petani tembakau) juga adalah yang terpuruk,” Abe merinci.
“Jadi petani berada dalam level dua kaki kerentanan,” lanjutnya.
Abe mengibaratkan posisi petani tembakau terhimpit di antara dua kekuatan besar yang sedang bertarung. “Pelanduk mati di tengah-tengah, gajah bertarung dengan harimau ini,” ucapnya menganalogikan.
“Petani tidak pernah tahu detail bagaimana relasi kuasa berkaitan dengan ekonomi politik pangan, maupun juga ekonomi politik pertembakauan ini,” kata Abe.
Mardi, Ismail, Syarief, Maryati, Sojo, juga petani tembakau lainnya barangkali tak ambil pusing soal bagaimana relasi kuasa yang dijelaskan Abe tadi mengepung mereka. Yang ada di kepala adalah bagaimana mereka bisa melanjutkan kegiatan bertanam.
Setelah merasa ditinggalkan, mereka mencari jalan sendiri-sendiri, secara mandiri, untuk tetap melanjutkan hidup.
Saya teringat percakapan dengan Mardi di balai-balai bambu, di gudang tembakaunya yang sudah tak terpakai, yang kami gunakan untuk nongkrong sore itu.
“Kalau saya cerita begini, apakah yang di Jakarta itu akan mendengar?” ucap Mardi saat kami membahas keluhan petani yang pontang-panting menghadapi kelangkaan pupuk. Maklum, Mardi juga Ketua Gabungan Kelompok Tani di kecamatannya sejak 1997.
“Yang di Jakarta itu nggak butuh pupuk,” tiba-tiba suara Sri Maryati menyahut obrolan kami.
Di Ngawi, Sojo seperti kehabisan kata-kata saat ditanya apa yang diharapkan petani tembakau.
“Kadang-kadang begini, saking mentoknya, saking terbentur tembok, bisa cerita begini ini sudah plong. Nggak dapat solusi juga nggak papa,” ungkapnya sambil memberi jeda di setiap kata yang diucapkan. “Tapi juga, semakin sakit rasanya membuka memori yang sebenarnya pilu,” tutup Sojo.***
Tulisan ini merupakan tulisan ketiga dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu. Serial ini didukung oleh dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Dana hibah tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.