“Duduk dulu mas, santai dulu, sebentar saya kelarin kerjaan dulu. Saya pesankan kopi ya,” ujar Gugun.
Tanpa basa-basi saya langsung mengiyakan tawaran tersebut. Dengan sigap ia berjalan ke warung di sebelah rumahnya dan kembali dengan secangkir kopi panas tanpa gula yang langsung disuguhkan kepada saya.
“Sebentar ya mas, saya kelarin kerjaan bentar,” ujar Gugun.
Saat saya datang, Gugun Muhammad memang tampak sibuk. Ditemani sebuah laptop, sebungkus rokok dan kopi, ia asyik berunding dengan rekan di sebelahnya sembari sesekali mencatat. Tak berselang lama, Gugun memberi isyarat bahwa pekerjaannya telah usai dan ia siap diwawancara.
Gugun merupakan community organizer dari Urban Poor Consortium, yang tinggal di tepian muara di daerah Kampung Tongkol, jalan Tongkol, Ancol, Jakarta Utara. Ia juga merupakan pegiat dan pendamping warga yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Saat ini ada 3 entitas yang dinaungi oleh JRMK, yaitu warga perkampungan, pedagang kaki lima, dan tukang becak.
Bersama JRMK, Gugun turut aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hunian layak bagi warga yang mendiami permukiman informal di Jakarta. Guna mewujudkan itu, JRMK menghadirkan gagasan baru berupa koperasi perumahan. Rencananya, koperasi tersebut akan menjadi pemegang hak atas tanah, sekaligus pemegang hak mengelola kawasan perkampungan.
Ide tentang koperasi muncul di tengah maraknya penggusuran pemukiman warga pada 2015-2017. Kondisi tersebut, membuat JRMK melakukan kontrak politik yang akhirnya disepakati oleh calon gubernur DKI saat itu, Anies Baswedan. Salah satu tuntutan yang paling kuat adalah legalisasi atas tanah dan hunian yang mereka tinggali.
“Kami sepakat tidak hanya menuntut adanya sertifikat tanah, tetapi fokus pada upaya menyelamatkan kampung,” jelas Gugun, Jumat (3/6/2022).
Untuk menyelamatkan kampung, warga bersepakat untuk tidak menjual tanah secara bebas. Mereka berpendapat sistem kepemilikan sertifikat tanah per individu justru memperbesar potensi warga kehilangan tanah.
“Memang legal, tetapi tidak menyelamatkan kampung.”
“Kalau misal satu-satu dapat sertifikat, harganya naik, lalu dijual dan dibeli perusahaan jadi repot nanti.”
Kekhawatiran warga bukan tanpa alasan. Pengambilalihan tanah warga oleh perusahaan pernah terjadi di kampung Lengkong. Menurut Gugun, pertama-tama, perusahaan membayar mafia tanah untuk membuat sertifikat bagi warga. Setelah statusnya jelas, perusahaan menghembuskan isu adanya penggusuran dan warga diiming-imingi kompensasi tinggi. Akhirnya, sebagian warga setuju menjual tanah ke perusahaan. Atas pertimbangan tersebut, JRMK sepakat untuk memakai sistem kepemilikan bersama dengan koperasi.
Jalan panjang kepemilikan tanah kolektif
Kunci dari mempertahankan kampung kota adalah kepemilikan tanah bersama, bukan individu per individu. Sayangnya, aturan koperasi justru jadi penghambat, sehingga JRMK mesti bolak-balik negosiasi dengan BPN.
Walaupun disetujui oleh gubernur, pemerintah di level bawah enggan memberikan izin dengan alasan koperasi tidak bisa memegang hak atas tanah. Penolakan tersebut didasari pada PP nomor 38 tahun 1963. Dalam aturan tersebut dikatakan, hanya koperasi pertanian yang boleh memegang hak atas tanah.
Tidak menyerah, Gugun dan kawan-kawannya menyodorkan bantahan yang didasarkan pada Perpres nomor 86 tahun 2018 tentang reforma agraria. Aturan itu menyebutkan bahwa hasil redistribusi non-pertanian diberikan sertifikat hak milik tanah. Perpres tersebut secara langsung menguatkan posisi koperasi perumahan JRMK sebagai subjek yang penerima redistribusi tanah, hasil dari reforma agraria.
“Kami mendebat dengan aturan yang lebih baru. Dengan itu pejabat Kanwil Badan Pertanahan Nasional membolehkan karena gubernur dan wakil menteri sudah setuju akan ngasih sertifikat tanah ke koperasi.”
“Itu ada buktinya, berupa hasil rapat terbatas gubernur dan wakil menteri. Itu kita tempel di mading kampung,” jelas Gugun.
Tak berselang lama, kantor Wilayah BPN akhirnya membolehkan koperasi JRMK memegang hak atas tanah, dengan syarat AD ART koperasi mencantumkan keterangan unit usaha properti.
“Kami harus ubah lagi AD ART ke notaris dan keluar duit sendiri karena pemda cuma mau bantu bayar pas pendaftaran.”
Setelah AD ART resmi diubah, BPN kembali mempersoalkan status koperasi JRMK. Lagi-lagi BPN menolak memberi izin dengan alasan organisasi tersebut bukanlah koperasi pertanian.
Setelah melakukan proses diskusi dan riset, warga yang tergabung di JRMK kembali melakukan bantahan ke BPN. Para warga menemukan fakta bahwa PP Nomor 38 tahun 1963 hanya berlaku untuk tanah reguler atau tanah biasa yang dibeli oleh koperasi. Adapun tanah koperasi JRMK tidak termasuk dalam cakupan PP tersebut, karena merupakan pemberian dari negara.
“Sampai saat ini belum ada putusan lagi. Kontrak politik kami dengan gubernur jelas, hak tanah di koperasi, bukan individu. BPN di tingkat kanwil ini yang malah mempersulit prosesnya.”
Warga menduga aparatur pemerintah di level bawah sengaja mempersulit proses perizinan koperasi. Dugaan itu muncul karena melihat proses Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di beberapa kampung yang dipersulit oleh aparat desa dan BPN. Program PTSL diperuntukkan bagi warga yang memiliki tanah (non-sengketa) untuk mendaftarkan tanahnya dan memperoleh sertifikat hak milik (SHM) secara gratis.
Anehnya, menurut penuturan Gugun, saat PTSL digelar di salah satu kampung Jakarta Utara, bukan SHM yang diperoleh, melainkan hanya sertifikat hak guna bangunan (HGB). Memanfaatkan ketidaktahuan warga, aparat pemerintah mengatakan bahwa HGB dapat langsung diubah ke SHM sehari setelah diterbitkan. Mendengar itu, warga pemegang HGB berbondong-bondong kantor BPN untuk mengubah sertifikatnya menjadi SHM. Sayangnya, proses tersebut tidak lagi gratis, warga dipaksa mengeluarkan dana yang cukup besar.
“Nah ini dibuat celah, jadi HGB gratis, tetapi kalau mengajukan SHM besoknya, sudah harus biaya sendiri, berbayar 10-30 juta per orang,” ujar Gugun. “BPN sempat menyarankan agar jangan atas nama koperasi, tetapi nama semua warga ditulis di sertifikat. Nah itu repot karena tiap ada yang pindah pasti ubah sertifikat dan pasti ada biaya lagi.”
Sistem koperasi membuat kepemilikan tanah dipegang oleh koperasi, sementara warga sebagai anggota koperasi memegang HGB. Jika seorang warga anggota koperasi ingin pindah ke tempat lain, maka ia bisa menjual HGB melalui koperasi.
AD ART koperasi di JRMK membolehkan anggota yang ingin pindah hunian untuk menjual HGB ke sesama anggota atau ke koperasi. HGB tersebut boleh ditawarkan ke orang di luar anggota koperasi dengan syarat seluruh proses penjualan harus melalui koperasi dan disetujui 75 persen dari keseluruhan anggota koperasi.
“Karena harus kita cek, jangan sampai orang luar ini udah punya rumah banyak atau juragan kos-kosan misalnya. Kalau dia tidak punya rumah dan memang layak, dia nanti jadi anggota koperasi dulu untuk beli HGB itu.”
Sembari menunggu keputusan gubernur untuk menetapkan koperasi sebagai pemegang hak atas tanah, JRMK menyiapkan AD ART koperasi yang digodok selama 6 bulan bersama anggota JRMK di tiap kampung.
Secara umum dalam keanggotaan JRMK terdapat dua jenis pemukiman warga, yaitu kampung tapak dan kampung susun. Pengelolaan koperasi perumahan di dua pemukiman tersebut relatif sama, dan yang membedakan adalah jumlah objek yang dikelola. Kampung tapak mengelola tanah dan rumah, sedangkan kampung susun mengelola tanah, gedung, dan ditambah unit hunian.
Pada kampung susun JRMK telah menjalin kerja sama dan perjanjian dengan pemerintah provinsi, untuk mengelola keseluruhan kampung. Mulai dari tanah, unit, dan gedung beserta kawasannya.
JRMK mengusulkan perjanjian berupa kerja sama pemanfaatan, dan koperasi memperoleh HGB. Untuk bangunan atau gedung, pemerintah diharapkan berkenan untuk menghibahkan ke koperasi, sedangkan tiap unitnya diserahkan ke anggota koperasi beserta SHM. Kepemilikan unit tersebut memiliki jangka waktu yang sama HGB, yaitu sekitar 80 tahun bila mengikuti aturan yang berlaku.
“Ini kita targetkan Oktober tahun ini status hak tanahnya sudah jelas, di kampung susun harus sudah ada Perjanjian Kerja Sama. Kita usulkan untuk sewa hibah, jadi misal Perjanjian Kerja Sama itu 5 tahun, 2 tahun sewa, setelah itu diproses hibahnya. Untuk rumah tapak, kita targetkan redistribusi tanahnya Oktober 2022 ini,” jelas Gugun.
* * *
Sejak April 2022 lalu, semua kampung yang terdaftar di JRMK telah memiliki Koperasi. Saat ini ada 26 koperasi aktif, dengan basis anggota berdasarkan Kartu Keluarga, dan tercatat jumlah total anggota koperasi di JRMK adalah 3.952 KK per 3 April 2022 lalu. Dari jumlah tersebut, tinggal 4 koperasi yang belum berbadan hukum dan sedang dalam proses pengajuan ke pemerintah.
Selain hak tanah dan hunian, menurut Gugun, penting bagi koperasi untuk dapat mengelola kawasan perkampungan. Pengelolaan kawasan berarti juga peluang untuk menumbuhkan perekonomian warga melalui berbagai macam usaha. Sebagai warga kampung Tongkol, ia bermimpi dapat membuat wisata perahu yang dikelola langsung oleh koperasi.
“Mas lihat beton-beton berundak yang menjorok ke sungai itu? Itu untuk dermaga perahu, bisa untuk nongkrong juga,” ucapnya sembari menunjuk bantaran sungai yang terletak persis di depan rumahnya.
Gugun mengatakan, kondisi bantaran sungai yang telah tertata cukup rapi dan bersih dapat difungsikan sebagai jalur wisata baru menuju Kota Tua. Perahu-perahu itu dapat lalu-lalang mengantar wisatawan di daerah kota tua melalui sungai serta muara-muara di utara Jakarta. Namun, hak pengelola kawasan dapat terwujud ketika koperasi berhasil memperoleh hak atas tanah terlebih dahulu.
Selain membangun usaha kecil di kawasan perkampungan, koperasi juga berfungsi sebagai kontraktor atau penyedia jasa perbaikan rumah warga. Menurut penjelasan Gugun, praktik serupa telah diterapkan di kampung tapak Marlina di Jakarta Utara.
“Jika ada anggota yang membutuhkan perbaikan rumah, nah koperasi berfungsi sebagai kontraktornya. Dengan itu bila ada keuntungan, itu dapat dirasakan juga oleh anggota, kembali ke anggota.”
Koperasi Konsumen Kunir Pinangsia Sejahtera (K3PS)
Salah satu koperasi JRMK yang menjadi pengelola kampung susun terletak di Jalan Kunir RT 004/06 Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Lokasinya di dekat Kota Tua dan stasiun Jakarta Kota, mayoritas warganya berprofesi sebagai pedagang di kawasan wisata tersebut. Ide keberadaan koperasi muncul setelah pada 2015 kampung Kunir digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Para warga yang terdiri dari 77 keluarga dipaksa mengungsi dan menjauh dari tempat mereka mendulang nafkah.
Penggusuran tersebut cukup mengejutkan bagi warga, mengingat di Kunir memiliki perangkat administratif yang sah seperti RT dan RW. Bahkan kampung Kunir sempat memperoleh penghargaan dari wali kota sebagai wilayah yang menerapkan kebersihan dan penghijauan dengan baik.
“Kami ajukan penghargaan itu sebagai pembelaan agar tidak digusur, tetapi kata Ahok itu nggak bener, yang kasih penghargaan gila. Camat sempat bantu mempertahankan tetapi keputusan di atas tetap digusur,” kisah Koordinator Koperasi Konsumen Kunir Pinangsia Sejahtera (K3PS) Marsha Chairudin saat ditemui, Minggu (10/6/2022).
Setelah digusur, 33 keluarga memutuskan untuk bertahan. Mereka membangun tenda di bekas reruntuhan rumah dan sebagian memilih menyewa hunian di kampung sebelah. Salah satu alasan mereka bertahan adalah agar tetap bisa mencari nafkah di seputaran Kota Tua.
“Selain kampung kami yang diratakan, ternyata dagangan kami juga kena gusuran, diobrak-abrik.”
Memasuki 2017, warga Kunir bersama anggota JRMK yang tersebar di DKI Jakarta melakukan kontrak politik dengan Anies Baswedan. Kampung Kunir memiliki 3 tuntutan. Tuntutan tersebut berupa legalitas lahan, pembentukan kembali RTRW, dan pembangunan kembali hunian warga. Cagub menyetujui kontrak politik tersebut tanpa terkecuali.
Selain 3 tuntutan tersebut, warga Kunir bulat mengajukan koperasi sebagai pemegang hak atas tanah. Bagi warga, keberadaan koperasi mampu memperkuat posisi mereka secara legal. Dengan itu, penggusuran seperti yang terjadi pada 2015 dapat dicegah.
Akhirnya dibentuklah Koperasi Konsumen Kunir Pinangsia Sejahtera (K3PS) yang terdiri dari 33 keluarga sebagai anggota. K3PS dirancang untuk mengelola unit hunian (kampung susun) dan unit usaha yang terletak di area pemukiman warga.
Pada Maret 2022 pembangunan unit hunian berupa kampung susun Kunir dimulai. Unit kampung susun ditargetkan dapat selesai dibangun dalam kurun waktu 6 bulan. Jika sesuai jadwal, pada akhir 17 Oktober 2022 mendatang, unit hunian sudah dapat diresmikan.
“Kami sempat diminta pindah selama kampung susun dibangun. Kami tolak karena justru ingin awasi pembangunan secara langsung,” ujar Marsha.
Bangunan tersebut terdiri dari 4 lantai dan 33 unit hunian. Jumlah itu sesuai dengan jumlah keluarga anggota koperasi di Kunir. Adapun status bangunan dan lahan tersebut diberikan HGB atas nama koperasi.
Menurut Marsha, warga sebenarnya berharap negara dan pemerintah memberikan SHM kepada koperasi. Namun, proses tersebut dipandang akan membutuhkan waktu yang lama.
“Untuk sementara kami terima status ini dulu, yang lainnya nanti kami terus usahakan.”
Para anggota koperasi tidak dikenakan biaya sewa saat menempati rusun tersebut. K3PS hanya menerapkan adanya biaya perawatan yang direncanakan sebesar Rp350.000 untuk lantai dasar. Adapun untuk lantai di atasnya dikenakan biaya perawatan yang lebih murah. Tiap lantai memiliki selisih biaya sebesar Rp50.000. Sementara itu, untuk listrik dan air di tiap unitnya, dibebankan langsung kepada penghuni.
Marsha mengatakan, biaya perawatan tersebut masih dalam tahap perencanaan dan dapat berubah sesuai kesepakatan dengan anggota. Namun, penentuan jumlah biaya akan selalu disesuaikan dengan tingkat penghasilan anggota yang terkecil.
Menurutnya, biaya tersebut relatif terjangkau bagi warga. Bahkan lebih murah dibandingkan harga sewa hunian di kampung-kampung sekitar Kunir. Jika warga kesulitan membayar, koperasi akan memberikan bantuan berupa pinjaman lunak.
“Kalau di deket sini, sewa kamar kos sudah sejutaan,” ujar Marsha.
K3PS juga telah merencanakan pembagian unit hunian. Bagi anggota koperasi yang berstatus lansia, akan ditempatkan di lantai dasar. Hal itu diterapkan agar para lansia tidak perlu menaiki tangga untuk menuju hunian.
Sementara itu, pengelolaan unit hunian seluruhnya dilakukan oleh koperasi tanpa campur tangan pihak ketiga. Seluruh operasional seperti keamanan, perbaikan, kebersihan gedung, dikelola koperasi dengan mempekerjakan warga sekitar.
Selain hunian, tepat di sebelah kampung susun, di tanah yang memanjang sekitar 100 meter, koperasi berencana membangun unit usaha. Sebelumnya koperasi juga telah mengajukan penerbitan SHM untuk lahan bekas pemukiman warga yang telah digusur pada 2015 silam tersebut.
“Kami berharap dapat diterbitkan SHM melalui redistribusi lahan, bagian dari reforma agraria. Dengan itu, negara memberikan sejumlah lahan untuk warga negara dalam hal ini koperasi, jadi bukan diberikan ke individu,” jelas Marsha.
Sebagai wujud keseriusan, warga Kunir telah menyiapkan desain dan rencana anggaran biaya untuk pembangunan unit usaha. Dengan desain bangunan lebih terbuka, unit usaha tersebut direncanakan mampu menampung 22 kios. Sama seperti kampung susun, unit usaha seluruhnya dikelola oleh koperasi. Begitu juga dengan pendapatan dari penyewaan kios akan menjadi pemasukan bagi koperasi.
Hingga saat ini, sudah ada 10 anggota koperasi yang mendaftar sebagai pengguna kios. Selain anggota koperasi, warga sekitar yang memiliki KTP diperbolehkan menyewa unit-unit kios P3PS tersebut. Harga sewa kios masih dalam tahap penggodokan, tetapi pihak koperasi enggan menetapkan tarif yang terlalu mahal bagi warga.
“Tentu iurannya sesuai batas paling bahwa kemampuan warga. Karena warga sudah dibebani iuran wajib koperasi Rp20.000 ditambah uang perawatan hunian,” ucap Marsha.
P3PS menargetkan izin unit usaha dapat segera diterbitkan bebarengan dengan rampungnya pembangunan kampung susun. Bagi warga, keberadaan kios-kios tersebut juga sebagai penopang operasional dan perawatan kampung susun.
Namun menurut Marsha, pemerintah setempat seolah mempersulit izin pendirian unit usaha tersebut. Padahal, legalitas lahan termasuk dalam kontrak politik yang telah disepakati oleh gubernur Anies Baswedan.
“Mereka berdalih akan dibuat untuk keperluan lain, tapi tidak jelas. Nggak dibikin apa-apa dari dulu. Padahal ini untuk mata pencarian kami dan berada di lahan yang kami tempati puluhan .”
Selain selain iuran wajib dan penyewaan kios, saat ini P3PS telah memiliki beberapa unit usaha aktif. Dua diantaranya adalah penyediaan sembako untuk warga dan toilet umum. Pada lini usaha penyediaan bahan pokok , koperasi sengaja tidak mengambil banyak keuntungan. Selama ini pemasukan terbesar koperasi justru dari penyediaan jasa toilet umum, yaitu berkisar Rp1 juta tiap bulannya. Adapun pemasukan koperasi tiap bulan dapat menyentuh angkat Rp1,5 juta. Dari jumlah itu, sekitar Rp500.000 dipotong tiap bulannya untuk operasional koperasi.
Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri
Selain Kunir, salah satu kampung JRMK yang terbilang sukses menggerakkan koperasi adalah Akuarium. Kampung yang terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan tersebut juga sempat digusur pada 2016 silam.
Saat digusur, Akuarium didiami oleh 700 keluarga dengan total bangunan yang digusur berjumlah 234 unit. Pemukiman di Akuarium terbilang padat karena digunakan sebagai area kos para pekerja di pesisir Jakarta.
Tidak tinggal diam, warga Akuarium kompak menggugat penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI saat itu. Gugatan tersebut diperkuat dengan kontrak politik yang akhirnya JRMK sepakati dengan calon gubernur.
“Kami agak waspada waktu itu, karena sebelumnya sudah kontrak politik dengan Jokowi. Sempat ditepati, tetapi waktu Ahok kita digusur,” ujar ketua RT 12 Kampung Akuarium dan Pengawas Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri, Topas Juanda.
Topas mengatakan kontrak politik yang disepakati JRMK dengan gubernur DKI, menjadi momentum terbentuknya koperasi. Sembari mematangkan konsep koperasi, warga memutuskan untuk bertahan di bekas gusuran kampung Akuarium tanpa fasilitas yang memadai, termasuk listrik dan air bersih. Akhirnya koperasi berhasil terbentuk dan mulai beroperasi di kisaran tahun 2018-2019.
Sebelum kampung susun berdiri, koperasi berusaha mengelola pasokan bahan pokok bagi warga yang bertahan di shelter-shelter. Beras yang dipasok dari Jawa Tengah, saat itu disalurkan ke warga dengan harga terjangkau, di kisaran Rp10.000.
Selain urusan sembako, koperasi memiliki dua tuntutan utama ke Pemprov DKI, yaitu kembalikan kampung dan kembalikan warga di Akuarium. Akhirnya, pada akhir 2020, kampung susun Akuarium mulai dibangun menempati lahan seluas 10.834 meter persegi.
Dalam proses pembangunan tersebut, warga dilibatkan secara langsung. Desain gedung dan hunian merupakan hasil urun daya warga kampung. “Kami bikin beberapa kelompok, masing-masing memberikan gambar dan desain bangunan. Ada 9 desain. Kami diskusikan dengan ahli, lalu yang terpilih diajukan,” ucap Topas.
Menurutnya, sebelum pembangunan, perwakilan warga Akuarium juga melakukan survei ke beberapa rumah susun di kawasan Jakarta. Survei itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya kesalahan desain. Terutama terkait keamanan, akses, dan sanitasi gedung. Hasil survei tersebut juga turut dimasukkan ke dalam desain yang sudah disepakati oleh warga.
Setelah dibangun selama kurang lebih 8 bulan, sebagian gedung kampung susun telah berdiri dan dapat ditempati. Saat ini baru ada dua gedung yaitu blok B dan blok D dengan 107 unit hunian. Adapun 3 blok sisanya masih dalam proses pembangunan. Ditargetkan 5 gedung tersebut mampu menampung 241 unit hunian beserta fasilitas umum seperti kios, aula pertemuan, ruang serba guna, dan tempat ibadah.
“Ini ditargetkan selesai Agustus mendatang tetapi karena beberapa kendala, kemungkinan akan mundur dari target awal,” jelas Topas. “Kami juga akan usulkan aturan gubernur yang mengikat agar nanti ketika gubernur lengser, pekerjaan di sini dapat jaminan untuk segera selesai.”
Menurut penuturan Topas, saat ini lahan yang ditempati kampung susun Akuarium berstatus Hak Pakai Lahan (HPL). Adapun status untuk pengelolaan kampung susun sudah sepenuhnya dikelola oleh koperasi berdasarkan perjanjian dengan gubernur. Selain itu, warga berharap HGB juga dapat segera diterbitkan atas nama koperasi, sedangkan hak milik per unit dapat diberikan ke anggota koperasi.
Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri berencana menggratiskan biaya perawatan hunian bagi warga kampung susun dengan skema biaya perawatan ditanggung unit usaha yang dikelola oleh koperasi. Koperasi memiliki beberapa unit usaha, yaitu air galon isi ulang, penyewaan kios untuk warga yang ingin berjualan, laundry pakaian, dan penyewaan rumah singgah.
Saat ini tersedia 3 kios disewakan dengan harga sewa Rp600.000 per bulan. Selain itu, ada 4 hunian yang disediakan untuk rumah singgah bagi peneliti atau mahasiswa yang melakukan riset di pesisir Jakarta, dengan tarif Rp150.000 per malamnya.
Namun, karena gedung belum sepenuhnya selesai dibangun dan beberapa unit usaha masih belum maksimal, warga masih dikenakan dua jenis iuran. Pertama yaitu iuran perawatan gedung sebesar Rp100.000 tiap bulan. Iuran tersebut akan disimpan koperasi dan akan digunakan bila terjadi kerusakan dan perbaikan pada gedung atau hunian. Iuran kedua adalah biaya operasional sebesar Rp70.000. Iuran tersebut diperuntukkan bagi operasional gedung seperti listrik, teknisi, dan keamanan gedung.
Selain iuran tersebut, anggota koperasi juga harus membayar Rp20.000 sebagai iuran wajib bulanan. Urusan kebersihan warga memilih untuk kerja bakti. Tiap sudut gedung dijaga tetap bersih, salah satunya dengan melepas alas kaki saat masuk ke gedung.
“Kami ingin menunjukkan bahwa koperasi bisa mengelola pemukiman ini dengan baik.”
Sementara itu, ketua dan koordinator Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri, Yani, mengatakan, animo warga untuk bergiat dalam koperasi makin meningkat sejak 2019. Terutama di kalangan perempuan.
“Sejak 2019 iuran wajib relatif rutin dan warga disiplin untuk saling mengingatkan,” ujar Yani.
Selain unit usaha yang telah disebutkan sebelumnya, Yani berharap ke depan koperasi dapat mengelola lapangan olahraga dan kebun bersama. Dua fasilitas tersebut nantinya akan dibangun di kompleks kampung susun Akuarium secara bertahap.
Namun, menurut Yani, yang menjadi prioritas koperasi saat ini adalah pembangunan unit usaha berupa toko serba ada. Nantinya toko tersebut akan menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari warga Akuarium.
“Kalau koperasi ada usaha yang banyak diakses warga, otomatis hasilnya akan mampu untuk membiayai operasional gedung dan meringankan biaya hidup warga.”
Koperasi Marlina Maju Bersama
Tak hanya kampung susun, sistem koperasi perumahan JRMK juga diterapkan di kampung tapak. Salah satu yang dapat menjadi contoh adalah koperasi Marlina Maju Bersama.
Koordinator Kampung Marlina, Dwi Purnomo atau biasa dipanggil Aco mengatakan, koperasi yang kelola warga tersebut membawahi sekitar 8 RT. Wilayah cakupannya secara administratif terletak di kawasan Jalan Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Menurut Aco, di Marlina, fokus koperasi adalah menjadi kontraktor untuk renovasi dan perbaikan rumah warga. Selain itu, koperasi juga bertugas mengelola sejumlah dana donor yang diperuntukan bagi warga Marlina.
“Saat ini kami sedang melakukan perbaikan rumah warga dengan sistem pinjaman bergulir yang dikelola koperasi,” Ucap Aco, Minggu (5/6/2022).
Dalam waktu dekat perbaikan tersebut ditargetkan menyasar 23 rumah warga. Rumah warga dengan kerusakan paling banyak atau tidak layak huni, diprioritaskan untuk diperbaiki lebih awal. Adapun jumlah keseluruhan rumah anggota koperasi Marlina mencapai 202 unit. Sementara ini, baru 6 rumah yang telah rampung direnovasi dengan menghabiskan biaya sebesar Rp600 juta. Setelah itu, koperasi berencana merenovasi minimal 2 rumah tiap tahunnya.
Bantuan yang diberikan koperasi tidak berupa uang tunai, tetapi bahan bangunan dan material pendukungnya. Warga yang direnovasi rumahnya diwajibkan membuat rencana anggaran biaya (RAB). Dari total nilai RAB tersebut, pemilik rumah diminta untuk berkontribusi sebesar 10 persen sebagai tanda komitmen awal.
Terkait desain rumah, warga kampung Marlina selama ini dibantu oleh Rujak Center for Urban Studies, lembaga pusat studi untuk kajian-kajian yang berhubungan dengan masyarakat urban. Sementara itu untuk pekerjanya, pemilik rumah dapat melakukan penunjukkan secara mandiri.
Selain renovasi rumah, koperasi warga di Marlina juga mengelola beberapa unit usaha. Salah satunya adalah memasok bahan pokok seperti telur dan gas. “Kami juga jadi pemasok untuk 5 warung kelontong warga, tetapi saat ini belum maksimal,” ujarnya.
Selama ini menurut Aco, warga cukup rajin membayar iuran sebesar Rp10.000 per bulannya. Namun keikutsertaan warga dalam rapat dan kegiatan rutin koperasi masih minim. Walaupun begitu, program-program koperasi tetap berjalan berkat koordinasi pengurus di tiap RT.
Pengawas Koperasi Marlina Maju Bersama, Eni, menyebut, keberadaan koperasi berfungsi sebagai pengelola penataan kampung. Sebelumnya rumah Eni juga menjadi salah satu yang pertama direnovasi menggunakan dana pinjaman koperasi.
“Rumah saya dirombak total, dengan biaya total Rp125 juta. Dari nilai itu, sekitar Rp115 juta ditanggung oleh koperasi,” ucap Eni.
Ia tidak merasa keberatan dengan beban pinjaman yang ia terima dari koperasi. Pinjaman tersebut dapat Eni cicil selama 10 tahun ke depan.
Sebagai pengawas koperasi, Eni turut mengkoordinir warga untuk aktif berkoperasi. Saat ini, menurutnya, geliat koperasi didominasi oleh para perempuan.
Bersama beberapa anggota koperasi yang lain, Eni memproduksi berbagai jenis jamu. Jamu-jamu yang diracik diantaranya jahe instan, temulawak, kunyit asam, dan beras kencur. Minuman kesehatan tersebut juga dipasarkan ke koperasi-koperasi JRMK yang lain. Hasil dari usaha tersebut sebagian didedikasikan untuk kas koperasi.