Peringatan: Esai foto ini memuat gambar-gambar bagian tubuh jenazah yang mungkin mengganggu kenyamanan Anda.
Bagi masyarakat Hindu Bali, pandemi COVID-19 bukan hanya memorak-porandakan kehidupan sosial dan perekonomian. Bagi mereka, pandemi turut mengekang bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
AGUSTUS, dua tahun silam, ritual adat Ngaben harus terhenti demi membatasi kerumunan dalam upaya pencegahan penyebaran virus.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bersama Majelis Desa Adat (MDA) Bali, keluarga yang berduka hanya diizinkan melakukan makingsan. Bagi mereka yang berpulang karena COVID-19, maka pihak keluarga harus merelakan jenazah dikremasi.
Masyarakat di luar Bali mungkin sukar menemukan perbedaan antara Ngaben dan kremasi, karena sama-sama membakar jenazah. Namun, bagi umat Hindu Bali, Ngaben lebih dari itu.
Ngaben berangkat dari landasan Panca Sraddha, lima keyakinan yang tak boleh terlepas selama jantung masih berdetak. Kelimanya adalah percaya dengan kehadiran Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa; percaya dengan Atman (roh yang menghidupi manusia); percaya dengan Karmaphala (hukum sebab-akibat); percaya dengan Samsara (reinkarnasi); dan percaya dengan Moksa (tujuan tertinggi, tempat bersatunya Brahman dan Atman).
Ngaben punya ragam sebutan, mulai dari Ngapiin, Ngabuin, hingga Beya. Salah satu sulinggih, pendeta tertinggi umat Hindu Nusantara, Ida Bhagawan Agra Sagening, mengatakan Ngaben berasal dari kata Ngabein, yang menurut Caru Tedunsawa mengandung makna mengantarkan.
Ngaben menjadi prosesi sakral yang bertujuan menugaskan sang api mempercepat proses penghancuran Panca Mahabhuta agar sang Atman dapat mencapai Moksa, atau tujuan akhir setelah kehidupan duniawi.
Prosesi itu turut melekatkan kehidupan masyarakat di Bali dalam mempertahankan gotong royong yang memudar di era modern. Sementara, kremasi dipandang meringkas rangkaian adat istiadat dan ritual kebersamaan tersebut.
Kendati demikian, kremasi bukan baru datang saat pandemi. Ida Bhagawan Agra Sagening mengatakan perintah kremasi sudah ada sejak 200 tahun silam. Kala itu, kremasi menjadi solusi Kerajaan Bali bagi jenazah yang ‘bermasalah’, seperti tidak diketahui asal-usul identitasnya atau yang tidak memiliki keluarga di Bali.
Kremasi dan krematorium pun menjadi stigma yang sulit diterima sebagian masyarakat Hindu Bali. Mereka khawatir kremasi akan merusak tatanan sosial di desa adat, memudarnya gotong royong, dan menentang pelaksanaan kremasi yang tidak sesuai dengan dewasa (hari baik).
“Rangkaian upacara Ngaben saat kremasi jenazah umat Hindu Nusantara tidak ada bedanya dengan upacara Ngaben pada umumnya, hanya persiapan dan waktu pelaksanaan upacaranya yang berbeda. Apanya yang dikhawatirkan?” kata Ida Bhagawan Agra Sagening, Rabu (23/2/2022).
Ni Wayan Inda Mahatalyana (22), salah satu masyarakat Desa Adat Dalung, Kuta Utara, Badung, Bali, bercerita tentang bagaimana sebagian masyarakat Bali begitu enggan menerima kehadiran krematorium di tengah-tengah mereka.
“Aku sering banget dengar tentang (stigma) itu. Apalagi di daerah pedesaan yang orang-orangnya masih kurang update tentang perkembangan zaman,” katanya, Senin (18/7/2022).
Pada Agustus 2021, satu tahun pasca-pelarangan Ngaben, masyarakat Desa Adat Denpasar menggelar protes pembangunan krematorium di Setra Bugbugan. Situasi serupa juga terjadi di Desa Adat Kerobokan.
“Ketika krematorium ingin dibangun di suatu desa adat, masyarakat langsung protes. Mereka berkata, ‘Kremasi itu merusak adat istiadat di desa‘. Enggak cuma itu aja, mereka juga berpikiran kalau kremasi meringkas suatu adat,” kata Inda.
Ketua Yayasan Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi, salah satu krematorium di Desa Bebalang, Kabupaten Bangli, berargumentasi atas fenomena penolakan kremasi yang terjadi.
“Di luar COVID-19, kremasi di krematorium tidak akan menggantikan posisi pelaksanaan Ngaben. Kremasi di krematorium hanyalah sebagai solusi bila Setra Adat (kuburan adat) tidak dapat melaksanakan Ngaben karena masa kala gotongan dan semut sedulur.” kata I Nyoman Karsana, Jumat (8/4/2022).
Namun, Inda berpendapat lain. Ia menjelaskan, upacara Ngaben membutuhkan kerja sama dari banyak pihak, mulai dari keluarga inti, keluarga besar, hingga masyarakat lingkungan banjar (setingkat rukun warga).
Setelah upacara Ngaben selesai, biasanya pihak keluarga juga akan berbagi makanan dengan warga.
Sementara pada kremasi, semua urusan akan disiapkan krematorium. Belum lagi anggapan yang mengatakan kremasi mempersingkat atau mengurangi banten (sarana upacara).
Dengan kremasi, keluarga dan banjar hanya tinggal terima jadi dan tanpa ritual berbagi. Meski, di sisi lain, Inda mengakui opsi ini kerap menjadi solusi bagi mereka yang tidak ingin repot dan memiliki keterbatasan dana.
Tetapi, menolak kremasi semata-mata untuk menjaga adat agar senantiasa lestari.
“Anak-anak sekarang kalau ditanya tentang Ngaben jawabannya selalu nggak lengkap, banyak yang nggak tahu bagaimana prosesi Ngaben secara keseluruhan. Aku pun begitu. Kalau nenekku nggak dilaksanakan Ngaben, aku nggak bakal tau kalo ternyata prosesnya seribet itu,” kata Inda, mengakui perspektif remaja Bali terkait Ngaben saat ini.
Kembali pada Panca Sraddha, umat Hindu Nusantara meyakini bahwa perbuatan hari ini akan menghasilkan karma pada masa depan. Keyakinan ini yang membuat tiap-tiap insan Hindu Nusantara terus berupaya mencapai Moksa dengan bahagia.
Cerita foto ini adalah serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan #PandemiCOVID19