Kisah-Kisah Cinta yang Luput dalam Statistik Kematian COVID-19

Fahri Salam
10 menit
Covid
Makam Eddy Wibowo, suami D’andra, tampak terawat dengan hiasan bunga di pemakaman khusus Covid-19 Macanda, Gowa, Sulawesi Selatan. (Project M/Iqbal Lubis)

D’ANDRA MENDUGA Eddy Wibowo terpapar COVID-19 saat melayat jenazah kawannya. Sebab, dua hari setelahnya, badan suaminya mulai demam, dan batuk-batuk. Keduanya kemudian memilih berpisah kamar, mengisolasi diri. Mengonsumsi vitamin dan obat demam.

Hari berikutnya, kondisi tubuh Eddy semakin lemas. “Saya mau ke rumah sakit,” katanya mengetuk pintu kepada D’andra.

Sementara suaminya pergi seorang diri, menembus malam dengan mobil yang dipesan via daring, D’andra menenangkan pikirannya yang kalut dan terus-menerus berdoa agar semua berjalan baik.

Malam itu Eddy kembali ke rumah usai menjalani tes polymerase chain reaction (PCR). Dua hari kemudian ia dikabarkan hasil tesnya positif COVID-19. Pasangan ini lantas memilih menyewa rumah kontrakan kosong di depan rumah mereka, memisahkan dengan keluarga. D’andra rutin mengantar makanan untuk Eddy, terkadang pesan via kurir aplikasi daring. Terpisah jalan dan rumah, D’andra memantau kondisi Eddy melalui telepon.

Lima hari setelahnya, Eddy sesak napas. Saturasi oksigennya dari pantauan oksimeter semakin lemah. Eddy memutuskan menuju Rumah Sakit Siloam di pesisir Pantai Losari. Eddy membuka pintu mobil dan melesat menjauhi istrinya. D’andra melihat suaminya dari depan pagar rumahnya. “Itu terakhir kali saya melihat dia secara nyata.”

Segalanya berlalu begitu cepat dalam tiga hari kemudian. Minggu subuh, 1 Agustus 2021, D’andra diminta seorang dokter agar datang ke rumah sakit. Ia tahu, meski ini terlalu cepat baginya, apa yang dia hadapi. Ia hanya menghela napas panjang.

“Besoknya dia meninggal, tanpa menggunakan ventilator. Rasanya sebagian diri saya hilang,” kata D’andra, 43 tahun, yang menikah dengan Eddy pada 2007 dan dikaruniai dua anak, usia 9 dan 8 tahun, laki-laki dan perempuan.

MEREKA MENYEBUT TPU Macanda sebagai “pekuburan kesedihan”. Pekuburan ini dipilih pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sebagai pemakaman khusus COVID-19. Nama Macanda sesuai nama jalan, terletak di Kabupaten Gowa.

Ketika kematian selama pandemi begitu akrab, para petugas penguburan pernah menguburkan enam jenazah dalam sehari.

“Awal-awal COVID-19, pemakaman dijaga dengan ketat. Tidak ada orang yang bisa masuk. Dan pengantar jenazah hanya sampai di depan pagar,” kata Rijal, koordinator tim Satgas COVID-19 dalam area pemakaman.

“Kalau mau mengumpulkan air mata keluarga, sejak awal kematian ini, mungkin bisa satu baskom. Sedih sekali.”

“Tapi semua orang belum tahu pasti bagaimana mengendalikan penyakit ini. Jadi kami mengikuti aturan saja.”

Covid
D’andra duduk di sisi makam suaminya, Eddy Wibowo, di pemakaman khusus Covid-19 di Macanda, Gowa, Sulawesi Selatan. Hampir setiap hari dia mengunjungi makam Eddy. (Project M/Iqbal Lubis)

Di Macanda, data kematian COVID-19 yang tercatat adalah 1.338 pusara, dikenali lewat tahun 2020 dan 2021. Pusara-pusara itu berjejer dengan penamaan blok huruf dan nomor kematian. Tak jauh dari gerbang pemakaman, tempat pekerja kuburan mengaso, beberapa nisan memperlihatkan usia mendiang. Salah satunya bayi berusia lima hari, yang meninggal pada Maret 2021.

Awal tahun 2022, seiring status pandemi di Indonesia menurun, pemakaman ini tak pernah sepi dikunjungi peziarah, sepanjang pagi hingga malam. Pada satu hari, ketika saya mendatanginya pada April lalu, ada rombongan keluarga membawa piala kecil bersepuh emas, meletakkannya di sebuah pusara, bersama-sama memanjatkan doa.

Di pemakaman itu, saya berjumpa dengan Sahabuddin, yang sedang memutar lantunan Al-Qur’an dari YouTube lewat ponselnya di dekat pusara istrinya. “Setiap hari, bila saya nda ke sini, saya seperti nda bisa fokus berkegiatan,” kata kakek 68 tahun ini, seraya memegang lap mengusap-usap debu menempel di ubin pusara.

Sahabuddin menemui Saerah, yang meninggal pada 3 Januari 2021. “Dia orang baik. Baik sekali,” ujar pensiunan pegawai Pertamina ini.

Mereka bertemu di lapangan Karebosi Makassar ketika anak-anak sekolah masih sering olahraga bersama di tempat itu. Saat itu usianya 21 tahun, sementara Saerah 17 tahun. “Saya lihat dia. Dan saya jatuh cinta,” katanya. Pernikahan mereka dikarunai empat anak. Dua laki-laki, dua perempuan.

Saerah menderita diabetes dan batu ginjal. Pada 2019, untuk kelima kali, Saerah menjalani operasi besar dan wajib menyuntikkan insulin sebelum makan.

Setahun berlalu, pandemi COVID-19 menghantam dunia. Persediaan obat insulin, yang disiapkan perusahaan Pertamina untuk pensiunan pegawainya, dipindahkan ke Rumah Sakit Awal Bros. Saerah, karena sudah lansia, takut mengunjungi rumah sakit. Terpaksa, ia harus menunda pemakaian insulin secara berkala, hanya minum obat dari apotek.

Pada Desember 2020, bekas operasi di bagian punggungnya terasa sakit. Kadar gulanya meningkat. Mau tidak mau, ia dibawa ke rumah sakit. Dari situ ia menjalani perawatan di ruang isolasi, lantas perawatan intensif COVID-19. Ketika Sahabuddin dan anaknya masih dalam perjalanan di dalam mobil, dokter memberitahu mereka bahwa Saerah telah meninggal dunia.

“Saya sedih sekali. Kalau ingin menyesali itu … karena ibu tidak meninggal di pangkuan anak-anaknya atau di pangkuan saya. Tidak ada yang temani. Tidak ada yang lihat. Itu saja rasa penyesalan saya.”

“Kenapa saya tiap hari ke sini? Karena rasa cinta saya.”

“Ini sudah satu tahun, rasanya memang beda sekali. Puluhan tahun bersama ibu, lalu pisah begini… Bagaimana saya mau bilangnya?”

Mereka yang Dilupakan: Kisah Keluarga-Keluarga Pasien Covid-19 yang Kematiannya Dihilangkan Pemerintah

‘Saya harus bilang apa kalau kehilangan pasangan?’

Kematian orang terkasih karena COVID-19 juga telah mengubah kebiasaan Masnun Basri, setelah istrinya, Andi Ratnawaty, meninggal pada 4 Agustus 2021. Setiap hari, setelah menunaikan salat subuh, ia memacu kendaraannya menuju TPU Macanda.

Paling telat ia sudah duduk di samping pusara istrinya pukul 5.30. “Saya diam tafakur dan merenung mengingat kebersamaan bersama istri,” kata kakek 65 tahun ini.

Selama 38 tahun usia pernikahan mereka, Masnun berkata adalah “masa yang sangat membahagiakan.”

“Sebelum tidur, kami selalu membahas apa saja. Dia selalu beri nasihat bagaimana menghadapi masalah. Dia orang sabar dan sangat baik.”

“Kenapa saya selalu datang melihat kuburan karena memang ini komitmen dan prinsip saya. Harus hidup semati dan hanya ajal yang memisahkan.”

“Kalau dia sudah meninggal, saya masih hidup. Saya harus terus ingat dia. Ingat terus. Terus-menerus. Sampai ajal saya juga datang.”

“Memang ajal urusannya Tuhan. Tapi perasaan dan rasa cinta itu, kan, punya manusia.”

Masnun telah mengganti nisan istrinya berupa batu hitam, menyerupai lembaran buku yang terbuka. Nisan sebelumnya pelat ubin dari batu alam, yang dibawanya pulang ke rumah. Di halaman rumahnya, ia membuat replika kuburan sang istri. “Kalau pagi, saya pulang dari kuburan aslinya. Sampai di rumah, saya selalu duduk melihat kuburan kecil di rumah. Itu bikin saya sedikit tenang.”

Masnun menempelkan spanduk ungkapan sayangnya di ruang tamu. Untuk 100 hari kematian, 200 hari kematian, 300 hari kematian… Spanduk itu menampilkan puisi ‘Bukan Tangis Ajal Melainkan Tangisan Proses’. “Saya harus bilang apa kalau kehilangan pasangan? Susah sekali mengungkapkannya.”

Pada satu malam Ramadan tahun ini, seusai salat Tarawih, Masnun mengabarkan kepada saya tengah bersantai di kamarnya. Kamar yang sepi, katanya. Biasanya ia akan saling bertukar kisah dengan istrinya.

“Kalau saya ingat semua itu … mata saya berkunang-kunang dan bisa sesak napas.”

Pasangan ini memiliki tiga anak; dua anak sudah menikah. Anak bungsunya, laki-laki, masih bujangan, menemaninya di rumah. “Istriku meninggal. Kami tidak bisa masak. Jadi kami beli makanan jadi.”

“Makan yang enak-enak terus. Dan itu bikin saya jadi gemuk. Sekarang saya selalu menyediakan minyak angin kalau pusing.”

Covid
Hampir setiap hari Masnun Basri memandangi spanduk pada dinding rumah bertuliskan puisi dan kata-kata kenangan untuk istrinya, Andi Ratnawaty. (Project M/Iqbal Lubis)

‘Saya rawat seperti ini agar terlihat seperti taman. Biar enak dipandang’

Eddy Wibowo meninggal sekitar pukul 23.00. D’andra bergegas ke rumah sakit. Ia meminta peti mati diganti dengan peti cokelat yang lebih bagus. Baginya itu penghormatan terakhir untuk suaminya.

Jenazah Eddy dikuburkan menjelang 03.00 dini hari. Iringan ambulans menuju pemakaman COVID-19 di Macanda. Diselimuti pekat malam, penerangan hanya dari lampu sorot, D’andra bersama dua orang keluarganya memasuki halaman pemakaman. Liang pekuburan telah selesai digali ekskavator.

Beberapa petugas pemakaman, memakai hazmat putih, mengangkat peti jenazah suaminya. Peti itu terbungkus plastik bening, masing-masing di ujung peti telah diikat erat. Ketika peti berada di dasar liang, D’andra mendekat dan memanjatkan doa. Sebuah proses pemakaman yang cepat. Tak ada ritual yang khidmat. Tak ada prosesi membuang tanah ke atas makam.

Pada nisan itu, tertulis: Eddy Wibowo, lahir 12-8-1969, wafat 2-8-2021. “Sepuluh hari sebelum hari ulang tahunnya. Dia orang baik dan sabar sekali,” kata D’andra.

Yang Tertinggal, yang Tersayang: Kisah Anak-Anak yang Jadi Yatim dan Piatu Karena Covid-19

Sejak kehilangan suaminya, D’andra berusaha mendatangi pusara. Setiap hari, pagi antara 08.00-10.00 dan sore antara 16.00-18.00, D’andra berkata tak pernah sekalipun luput mengunjungi suaminya. Menyiram tanaman. Merapikan beberapa lampu taman di sekitar pusara. Mengganti dan menata bunga di atas pusara.

Jika hujan dan panas, ia menggunakan payung. Dia duduk memandangi pusara suaminya, berbicara dalam hati dan mendoakan. Ia juga memutar video memancing melalui ponsel, karena Eddy sangat menyukai kegiatan itu. “Kadang-kadang saya bilang, saya nda mau mi ke kuburanmu. Tapi saya datang lagi. Datang lagi.”

“Bagaimana ya menjelaskannya? Saya tidak tahu … Tapi saya akan datang terus kalau saya masih sehat.”

Ia mengisahkan pertemuan dengan suaminya, “Tahun 2001, ketika sedang tak memiliki kegiatan, saya membuka-buka list buku telepon. Nama Eddy dalam daftar itu.”

“Mungkin saya lagi kurang kerjaan atau apalah waktu itu—atau bahasa sekarangnya gabut, saya menelepon dia.”

Ia mengenal Eddy dari lingkaran kampus. Mereka kuliah di Universitas Hasanuddin. D’andra berkata bukanlah tipe orang yang suka bergaul, temannya sedikit.

Tak mengira, Eddy menerima panggilan teleponnya. Mereka bicara beberapa saat dan janjian bertemu di sekitar Jalan Latimojong, rumah keluarga D’andra. Seorang laki-laki turun dari taksi. D’andra melihatnya dengan ragu. Eddy pun melihatnya dengan ragu. Mereka tak saling sapa.

Saat itu Eddy bekerja sebagai auditor internal. Pekerjaan itu kerap mengharuskan Eddy ke luar kota. Sepekan berlalu usai pertemuan itu, D’andra tak mendengar kabar apa pun dari Eddy. Ah, pikir dia, tak ada yang perlu diharapkan dari rasa iseng.

Tapi, tiba-tiba, pada satu malam sekitar pukul 19.00, kakak lelakinya memanggilnya, “Ada cowok mencarimu.”

D’andra seketika hampir ingin melompat setelah melihat Eddy. “Itu suatu hal luar biasa, ada cowok yang cari saya. Biasanya hanya teman SMA dan jarang sekali,” katanya.

Eddy mengajaknya jalan-jalan. “Sejak itu, kami membangun hubungan serius. Dia membuat saya nyaman dan selalu menepati janji. Itu membuat saya senang.”

D’andra menyebut suaminya sebagai seorang sahabat yang membantunya lepas dari suasana duka. Tahun 2001 adalah tahun yang berat. Ia kehilangan ibunya, yang menderita sakit lambung akut selama puluhan tahun Sementara ayahnya meninggal saat dia berusia 7 tahun.

“Selama ini, jika saya berpikir, kematian itu sesuatu sangat menakutkan. Maksud saya, karena saya masih ingin terus bersama dia,” ujarnya.

Covid
Setiap kali mengunjungi makam suaminya, Eddy Wibowo, D’andra memutar video YouTube, konten memancing yang jadi kegemaran Eddy. (Project M/Iqbal Lubis)

Pada satu siang itu, sambil memutar gagang payung, di bawah terik matahari, D’andra mencari-cari kehidupan yang hilang, tapi kehidupan itu harus jalan terus. Ada kerut di sudut matanya yang sembab. Ia mengedipkan matanya berkali-kali.

“Waktu kehilangan ibuku, rasanya juga sakit sekali. Tapi kehilangan pasangan jauh lebih sakit. Di Kristen, saat menikah, kami menyebut diri sebagai dua menjadi satu. Sekarang bagaimana? Saya sendiri. Hanya setengah.”

Di dekat pusara Eddy, para pekerja sedang merenovasi sebuah makam. Kali ini ubinnya diganti dan lebih ditinggikan. Makam itu sudah empat kali dipugar; makam seorang lelaki, seorang suami. “Kemarin warna nisannya abu-abu, omah minta diganti warna putih,” kata pekerja menyampaikan permintaan sang istri dari kuburan itu.

Di antara nisan lain menuju pusara Eddy, setapak jalan kini dikeraskan, terbuat dari tatakan semen. D’andra yang memintanya agar dibuatkan seperti itu. Alasannya, agar tak becek saat hujan.

Di pusara Eddy, di depan nisan salib itu, ia juga meletakkan bunga plastik, patung burung, lampu tenaga surya agar bisa menerangi kuburan saat malam.

“Saya rawat seperti ini agar terlihat seperti taman. Biar enak dipandang,” katanya.


Artikel ini adalah serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan #PandemiCOVID19 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
10 menit