Bintang, apa yang paling diingat dari bapak dan ibu?
“Kalau ibu, masakannya enak. Aku sukanya ayam serundeng..”
“Kalau bapak, main. Main bola, berenang.”
Setahun lalu, Bulan, Surya, dan Bintang, tiga kakak-beradik di Jawa Barat mendadak jadi yatim piatu. Ibu dan bapak mereka berturut-turut meninggal akibat COVID-19 dalam kurun waktu 24 jam. Bapaknya meninggal waktu magrib, ibunya menyusul magrib keesokan harinya.
Ketiganya memendam luka batin tetapi harus memaksa diri untuk tetap hidup dan bertumbuh. Kisah ketiganya bisa jadi juga dialami anak-anak lainnya yang kehilangan orangtua dan kerabat terdekat karena COVID-19.
Kalau kangen sama bapak dan ibu, biasanya ngapain?
“Nggak tahu. Kalau Mbak (Bulan), nangis,” jawab Bintang.
Bintang suka nangis juga kalau kangen?
“Nggak.”
Saya menemui tiga bersaudara itu di rumah mereka yang terletak di sudut jalan di sebuah komplek perumahan yang cukup padat di Purwakarta, Jawa Barat, pada akhir Juli. Rumah berlantai dua itu dilengkapi toko yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Sambil memainkan senapan plastik berpeluru busa dan karet, Bintang bercerita tentang mendiang ibu bapaknya, nyaris tanpa beban.
Bocah laki-laki berusia 10 tahun itu berceloteh dengan ringan, seolah duka telah sirna. Ia membongkar ingatannya saat COVID-19 mewabah di komplek rumahnya, juga mengisahkan bagaimana sakitnya ketika harus dites usap hingga dua kali.
Tangannya terus sibuk memasukkan peluru ke senapan dan menembakkannya ke papan sasaran. Sesekali ia berteriak riang ketika pelurunya membidik dengan tepat.
“Bapak itu kue ulang tahun,” kata Bintang tiba-tiba. Sontak saya mengarahkan pandangan penuh tanya ke Bulan yang duduk menemani kami.
“Kalau ada yang ulang tahun, bapak selalu bawa [kue]. Kan, memang dekatan. Kita ini Maret, April, Mei. Jadi pasti bawa terus, setiap pulang kerja. Atau kalau lagi nggak ada yang ulang tahun, pulangnya pasti bawa martabak, roti bakar,” kata Bulan menjelaskan.
* * *
Katanya, menangis adalah respons paling alami manusia saat berhadapan dengan kehilangan.
Bintang, menurut kakak-kakaknya, hanya pernah melalui fase itu satu kali, pada saat ia pertama kali mendapatkan kabar kepergian selamanya itu.
Namun, sejak itu Bintang kerap menunjukkan perilaku tak biasa. Ia menjadi mudah marah dan mengamuk, bahkan bisa menyerang orang di sekitarnya dengan tiba-tiba.
Suatu ketika, Bintang marah membabi buta sambil membawa senjata tajam hingga melukai kakak keduanya, Surya.
Bulan menyebutnya “kemasukan.”
Ketika sedang mengamuk, tatapan matanya kosong atau kadang terpejam seperti tidur, tetapi badannya bergerak menyerang orang-orang yang mendekatinya. Bintang juga sering mengalami demam dan sesak napas usai kejadian itu.
Apalagi gangguan perilaku itu kerap muncul pada momen-momen yang berkaitan dengan kedua orangtuanya. Bintang pertama kali mengamuk saat keluarga menggelar pengajian peringatan 40 hari kematian ibu dan bapaknya. Kejadian serupa terulang pada peringatan 100 hari. Terakhir, saat peringatan setahun kematian pada Juli 2022.
Di luar itu, Bintang juga pernah tantrum saat pengambilan gambar untuk keperluan liputan sebuah stasiun televisi asing yang hendak mengangkat kisah ketiganya.
“Waktu itu memang suasananya ramai, banyak yang nonton. Jadi kita harus duduk, terus kamera di sini. Dia (Bintang) nggak ini (nyaman). Akhirnya Bintang kambuh. Wartawannya dilempar bola. Sampai nggak selesai, ngga jadi tayang juga,” kata Bulan.
Tak banyak yang bisa dilakukan Bulan bila Bintang sedang “kambuh.” Biasanya, ia akan berlari meminta pertolongan tetangga yang akan menenangkan Bintang dengan doa-doa. Saat tersadar, Bintang seolah bangun dari tidurnya dan tidak ingat sedikitpun tentang kemarahannya.
Surya dan Duka dalam Diam
Pada satu malam, Surya memimpikan almarhumah ibu sedang memasak makanan kesukaannya. Masakan itu disajikan di hadapannya. Kemudian datang almarhum bapak yang baru pulang kerja dan meminta Surya memijat badannya.
Surya terbangun, menangis sesenggukan.
Surya, anak kedua berumur 17 tahun dari tiga bersaudara itu, ikut membantu Bulan mengurus rumah tangga semampunya. Ia menjaga toko, juga mengasuh Bintang.
Surya adalah penyandang disabilitas bisu dan tuli.
Bukan hanya karena saya tidak memahami bahasa isyarat, saat pertemuan hari itu, Surya memang memilih untuk tidak bercerita banyak tentang orangtuanya. Kami melanjutkan perbincangan melalui aplikasi percakapan. Surya sempat meminta maaf lamban merespons pesan karena sedang sibuk.
Seperti Bulan, Surya mengakui momen terberat setelah kematian orangtuanya adalah saat Ramadan dan Lebaran. Namun, Surya mengatakan kini sudah tidak terlalu bersedih.
“Kondisi saya sudah stabil. Nggak begitu terlalu sedih,” tulisnya.
Cerita tentang Surya lebih banyak saya dengar dari Bulan. Awalnya, adik laki-lakinya itu sering menangis meratapi kematian orangtuanya, terlebih pada malam hari. Namun, setelah itu, Bulan melihat Surya lebih sering bengong dan diam.
Tak jarang, Bulan melihat Surya curhat kepada temannya dengan menggunakan bahasa isyarat melalui panggilan video. Menurut Bulan, itu cara Surya melepaskan kesedihannya, selain bermain gim.
“Dia itu video call sama temannya, sesama tuna rungu, bisa sampai jam 12 malam. Kapan pun kalau pulang sekolah bisa video call-an lagi,” kata Bulan.
Terang Redup Hidup Bulan
Bulan tak selalu tampil kuat dan tegar. Mahasiswi perguruan tinggi swasta berusia 20 tahun itu berusaha menjalani hidup demi adik-adiknya. Ia harus membesarkan hati menerima takdir dan memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
“Enggak bisa sedih terus. Dunia tetap berputar, semuanya tetap berjalan. Kalau aku sedih terus, adik-adik juga pasti sedih terus,” kata Bulan.
Berbeda dengan Bintang, duka atas kepergian orangtua bisa terasa dari tutur percakapan Bulan. Suaranya kadang lirih, kadang tercekat, kala mengenang ibu dan bapaknya.
Bulan ada di sisi ibu dan bapaknya ketika keduanya dalam keadaan kritis. Ia bersikeras menemani keduanya di ruang isolasi di salah satu di rumah sakit di Purwakarta meski tahu rentan tertular virus yang sama.
Kala itu varian Delta tengah merebak. Bulan juga menyaksikan bagaimana riuhnya kabar kematian pasien terkonfirmasi COVID-19 di rumah sakit.
Bulan menemani sang bapak menjumpai ajalnya. Beberapa jam setelahnya, sang ibu menyusul. Almarhumah juga sempat minta dipeluk Bulan sebelum berpulang.
Bulan tak sempat berduka. Ia harus segera mengurus pemakaman dan membereskan surat-surat dan dokumen kematian. Selepasnya, ia harus mengurus adik-adik, mengelola toko peninggalan sang ibu, mengatur keuangan, mengurus rumah tangga, dan kuliah.
Ia melawan semua kesedihan. Baginya, air mata hanya akan memperlambat sederet urusan yang harus diselesaikannya.
Sampai ketika ia harus membawa Bintang ke ruang gawat darurat di rumah sakit yang sama tempat ibu dan bapaknya dirawat dan meninggal dunia.
“Bintang sempat sakit parah, dibawa ke UGD yang tempatnya sama. Suasananya kayak yang dulu. Jadi masih terasa banget traumanya, sampai aku merasa pusing dan mual. Kalau setiap dengar ambulans, suka agak takut,” kata Bulan.
“Dulu aku suka nonton film atau drakor yang [ceritanya tentang] kedokteran, gitu, sempat nggak bisa nonton sama sekali. Dicoba juga langsung terasa sesak.”
Sejak itu, Bulan semakin menyadari dukanya.
Tahun ini, kakak beradik itu untuk kali pertama menjalani Ramadan dan Lebaran tanpa orangtua. Pada momentum itu, Bulan merasakan kesedihan dan kerinduan yang memuncak.
“Pas momen Lebaran, aku sampai nggak buka sosmed karena biasanya banyak foto-foto keluarga kayak gitu. Nggak apa-apa sebetulnya, cuma itu aku nggak terlalu … supaya nggak ke-trigger. Off sosmed dua minggu,” katanya.
Lima Kali Konseling
Ibu dan bapak Bulan, Surya, dan Bintang adalah perantau. Ibu dari Ngawi, Jawa Timur, sedangkan bapak dari DKI Jakarta. Ini yang kemudian menjelaskan mengapa ketiganya tidak memiliki kerabat dekat di Purwakarta. Saudara terdekat mereka tinggal di Depok, sebagian besar lain tinggal di luar Jawa Barat.
Beruntung mereka tinggal di lingkungan yang mengayomi.
Dari mulai proses pengurusan dokumen kematian dibantu Pak Lurah, prosesi pemakaman yang dibantu rekan kerja sang bapak, Bu RT yang selalu siap menolong, hingga seorang tetangga yang dipanggil ‘Budhe’ juga kerap merawat Surya dan Bintang ketika sakit.
Kakak beradik ini juga mendapat bantuan sembako dan uang dari Pemerintah Kabupaten Purwakarta senilai Rp10 juta saat awal menjadi yatim piatu. Dinas Sosial Jawa Barat juga pernah memberikan bantuan senilai Rp400 ribu, sebanyak empat kali sepanjang setahun terakhir ini.
Sampai kini, bantuan keuangan masih mereka dapatkan dari lembaga zakat sebesar Rp1 juta per bulan.
Hal lain adalah terapi dan konseling.
Bulan mengatakan ia dan adik-adiknya sempat mendapatkan layanan trauma healing dari psikolog yang dikirim dari Pemkab Purwakarta. Layanan itu berlangsung sebanyak lima kali yang berlangsung sejak bulan Agustus hingga Desember 2021.
Layanan itu diakui Bulan banyak membantu meringankan dukanya.
“Di awal-awal cuma bisa diam, nggak bisa nangis. Pas ada psikolog, baru bisa nangis. Karena saking nggak nyangka [ibu dan bapak meninggal], jadi nggak bisa nangis. Makanya dipaksa nangis waktu psikolog ke sini. Langsung semuanya tumpah, nangis,” kata Bulan.
Layanan konseling untuk Bulan, Surya, dan Bintang, berlangsung terpisah dengan pakar yang berbeda pula.
Surya didampingi gurunya di sekolah luar biasa sebagai penerjemah bahasa isyarat. Begitu pula Bintang mendapat layanan konseling dari psikolog anak. Namun, sayangnya, menurut Bulan, terapi itu belum bisa mengatasi gangguan perilaku yang dialami Bintang.
Bulan menduga kendalanya ada pada kesulitan Bintang untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. Ia menyadari Bintang membutuhkan bantuan lebih dari seorang psikolog atau ustaz.
“Iya, Bintang butuh psikiater. Cuma takutnya, dia nggak mau cerita. Jadinya, justru memicu dia ngamuk lagi,” kata Bulan.
“Dia sama orang asing tergantung orangnya. Dia nggak ingat apa-apa kalau sudah kejadian marah-marah itu. Pernah juga, kalau lagi marah, langsung tidur. Terus bangun-bangun, ‘Kok adek tidur, sih.’ Dia nggak sadar sama sekali pas lagi emosi,” Bulan menambahkan.
Bom Waktu Gangguan Mental Anak
Pandemi COVID-19 dan kematian orangtua, salah satu atau keduanya, menimbulkan duka berlapis bagi anak-anak yang ditinggalkan.
Elvine Gunawan, pakar kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Limijati Bandung mengatakan, isu kehilangan menjadi konsep yang abstrak sehingga masih sulit dicerna dengan baik oleh anak-anak. Semakin muda usia anak, maka akan semakin sulit bagi mereka merespons dan mengekspresikan emosinya.
“Kemampuan dia itu cuma bisa melihat ibunya ada atau tidak. Jadi, kalau dikasih pemahaman tentang surga dan lain-lain, itu mungkin tidak masuk ke otak dia. Itu akan menjadi kendala pada anak untuk mendefinisikan kehilangan,” kata Elvine.
“Makanya, kenapa anak-anak itu kalau orangtuanya meninggal, jarang nangis, tapi tiba-tiba muncul gangguan perilaku setelahnya atau tiba-tiba jadi susah tidur. Karena memang kapasitas emosinya belum sampai sana.”
Ada gangguan mental yang muncul selama masa pandemi, prolonged grief disorder atau gangguan duka berkepanjangan, lanjut Elvine. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, gangguannya bisa mengarah ke depresi berat, terutama pada anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis.
“Karena momen attachment yang dibangun akan menyebabkan anak kehilangan objek cinta atau lost of love object. Makanya, pada anak-anak itu risiko depresinya menjadi lebih besar,” kata Elvine yang bergelar Spesialis Kedokteran Jiwa.
Elvine menduga, Bintang mengalami gangguan duka berkepanjangan yang meningkat menjadi depresi berat disertai histeria. Hal itu merujuk pada perilaku mengamuk dalam kondisi tidak sadar yang dalam bahasa awam disebut “kesurupan”.
“Yang menjadi menarik karena gangguan perilaku itu terjadi di momen dia mengingat kehilangan orangtuanya. Momen-momen peringatan kematian orangtuanya. Artinya, dia secara alam bawah sadar belum siap untuk menerima kehilangan ini semuanya,” kata Elvine.
Terkait Surya, Elvine berpendapat fokus utama terapi dan konseling adalah dengan melakukan asesmen pada kondisi psikologisnya.
“Bagaimana dia mengkomunikasikan emosinya. Apakah benar dia baik-baik saja atau karena diam saja? Padahal diamnya itu bisa jadi karena disabilitasnya, membuat dia sulit menyampaikan perasaannya. Apalagi orang-orang dengan disabilitas ini secara emosional cenderung lebih peka dan sensitif,” katanya.
Sementara untuk Bulan, walau di luar terlihat baik-baik saja, tapi Elvine mengingatkan bahwa ia berpotensi mengalami depresi terselubung.
“‘Kalau saya ambruk, adik saya sama siapa? Kalau saya tumbang, siapa yang akan melindungi adik-adik saya?’ Di usia remaja yang masanya dia mengeksplorasi, tetapi dipaksa menjadi dewasa, artinya ini karbitan. Pada saat ini, dia tidak punya ruang untuk menyadari dirinya sendiri baik-baik saja atau nggak,” sambung Elvine.
Kendati mengapresiasi layanan trauma healing dari pemerintah daerah, Elvine berpendapat upaya itu sebaiknya tidak hanya berlangsung selama tiga bulan. Terlebih pada kasus Bintang.
Menurutnya, proses post-traumatic stress disorder (PTSD) bisa berlangsung dalam hitungan bulan hingga tahun. Oleh karenanya, terapi dan konseling tidak bisa berlangsung singkat dan begitu saja. Para pemangku kebijakan juga pakar kesehatan jiwa yang ditunjuk perlu melakukan evaluasi pada tumbuh kembang anak-anak yang melalui pengalaman traumatis serupa.
Penting juga bagi pemerintah untuk mencarikan keluarga pengganti bagi anak-anak yang kehilangan pengasuhan karena COVID-19. Opsi keluarga pengganti bisa berasal dari saudara atau kerabat, program orangtua asuh, atau menitipkan ke panti asuhan yang memenuhi persyaratan.
“Kalau dari kecil dia sudah ada gangguan mental perilaku dan tidak diintervensi sejak dini, nanti masa remajanya menjadi bermasalah secara mental dan perilaku. Ini artinya cuma menunda saja bom waktu meledak,” katanya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), melalui sejumlah laporan media, mengatakan sebanyak 32.216 anak kehilangan orangtuanya, baik menjadi yatim, piatu, dan yatim piatu, per 25 Januari 2022.
Sementara Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat mendata sebanyak anak yatim piatu mendekati 6.000 anak. Jumlah tersebut tercatat hingga September 2021.
Project Multatuli telah berupaya mencari data detail dan termutakhir tentang jumlah anak yang kehilangan orangtua karena COVID-19 dari kementerian/lembaga terkait tetapi tidak menemukan jawaban.
Di sisi lain, Survei Litbang Kompas terhadap 514 responden dengan usia minimal 17 tahun yang berasal dari 34 provinsi pada rentang waktu 3-6 Agustus 2021, sebanyak 44,5% responden mengatakan khawatir anak-anak yang kehilangan pengasuhan orangtua akan terganggu perkembangan psikologis dan mental, sedangkan kekhawatiran pemenuhan kebutuhan sehari-hari 31,9% dan perkembangan pendidikan 18,1 persen.
Lambannya Pendataan
Rita Pranawati, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan sistem pendataan anak-anak yang kehilangan orangtuanya karena pandemi COVID-19 masih lambat. Akibatnya, upaya-upaya perlindungan dan layanan konsultasi psikologis belum komprehensif.
Untuk diketahui, Kementerian Sosial telah menggulirkan program asistensi rehabilitasi sosial (ATENSI) bagi anak-anak yatim piatu korban COVID-19 yang terdiri dari tujuh kegiatan, antara lain terapi, perawatan sosial dan atau pengasuhan anak.
“Kadang tidak ter-record oleh desa atau kelurahan karena itu dianggap hal biasa. Padahal kita harus memastikan pengasuhannya. Jangan sampai jadi eksploitasi ekonomi atau seksual,” kata Rita.
Dodo Suhendar, Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, mengatakan pemerintah daerah telah mengerahkan sejumlah layanan trauma healing hingga ke tingkat desa dan kelurahan melalui Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos). Ia mengatakan, saat ini setengah dari lima ribu desa/kelurahan di Jawa Barat telah memiliki Puskesos.
Hanya saja, setelah terapi dan konseling yang diterima Bulan, Surya, dan Bintang selama tiga bulan itu, mereka belum pernah menerima layanan serupa lagi. Dodo mengatakan kuncinya ada di tokoh masyarakat, dimulai dari RT hingga camat.
“Lembaga terdepan itu Puskesos. Kalau belum ada Puskesos, bikin di desa tersebut,” kata Dodo, seraya melanjutkan, “Ketika tingkat desa tidak bisa mengatasi, baru minta bantuan atau dirujuk ke tingkat kabupaten.”
Namun, bisakah Bulan, Surya, dan Bintang menunggu bantuan yang prosesnya panjang dan berjenjang, sementara kecemasan akan masa depan sudah mengusik?
“Masa depan saya sendiri dan adik-adik bagaimana,” ucapnya lirih, meski diakuinya masih terselip harapan ia dan kedua adiknya bisa selalu tabah dan ikhlas menerima keadaan.
Demi keamanan dan persetujuan dari pihak keluarga, ketiga nama kakak-beradik dalam artikel ini telah disamarkan.
Artikel ini adalah serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan #PandemiCOVID19.