CANDRA sejak awal memang belum rela tubuhnya disuntik vaksin Covid-19. Pekerja swasta di Kota Banda Aceh itu berada di zona abu-abu mengenai vaksin: mengaku tidak menolak, tapi belum bersedia vaksinasi.
Namun belakangan Candra justru kelabakan sendiri. Pada awal 2022, ia mendapatkan tawaran kerja yang membuatnya harus memiliki sertifikat vaksinasi. Ia lalu mencari cara mendapatkan sertifikat saja tanpa vaksinasi. “Daripada rezeki hilang, saya terpaksa membeli sertifikat vaksin,” kata Candra.
Dari obrolan teman ke teman, dia terhubung ke beberapa penjual sertifikat vaksinasi. Harga bervariasi: Rp300-800 ribu per lembar sertifikat atau setara sekali suntik. Candra memilih harga termurah.
Candra tidak pernah bertemu langsung dengan penjual. Mereka dihubungkan seseorang yang ia sebut agen. Penjual meminta foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan nomor telepon Candra melalui agen. Candra juga tidak perlu datang ke posko vaksinasi. “Semuanya diurus penjual,” tuturnya.
Begitu sertifikat jadi, pada hari yang sama agen menyuruhnya memeriksa apakah sertifikat vaksinasi sudah muncul di aplikasi Peduli Lindungi. Setelah itu Candra baru diminta transfer uang. “Saya minta nomor rekeningnya, tapi dia (agen) memberikan nomor rekening orang lain,” ujar Candra.
Berbeda dengan Candra yang membeli sertifikat vaksinasi untuk dosis pertama, Brian memperoleh sertifikat vaksinasi tanpa suntik untuk dosis kedua. Sebelumnya Brian telah disuntik vaksin dosis pertama karena memenuhi syarat administrasi wajib, meski menganggap masih belum butuh vaksinasi.
Brian mengaku “dipaksa” menerima suntik dosis pertama karena kepentingan pihak tertentu dalam mencapai target vaksinasi. Itu sebabnya ia menolak suntik untuk memperoleh sertifikat vaksinasi dosis kedua. “Kali ini entah jadi target atau enggak, tapi saya sudah (ada sertifikat) vaksin kedua tanpa suntik,” ujar pekerja lepas di Banda Aceh.
Dia terhubung dengan pembuat sertifikat vaksinasi tanpa suntik dari obrolan teman ke teman. Komunikasi lalu terjalin melalui WhatsApp, termasuk mengirim foto KTP. Prosesnya disebut selesai hari itu juga. “Dalam hitungan menit selesai,” tutur Brian. Dia mengetahui sertifikat sudah jadi dari pesan singkat yang masuk telepon selulernya.
Geri juga punya pengalaman serupa dengan Candra. Ia menebus sertifikat vaksinasi dosis kedua seharga Rp50 ribu. Dia tidak bertemu dan juga tidak mengenal pembuat sertifikat tersebut. Seorang kenalan membantu mengirim data milik Geri, seperti KTP dan nomor telepon. “Sebulan selesai,” kata Geri.
Sumber Project Multatuli yang pernah jadi penghubung antara pembuat dan pembeli sertifikat mengaku membayar Rp300 ribu setiap kali menyuruh input data agar sertifikat keluar. Sekali input bisa 1 hingga 3 orang. “Terserah berapa data yang kita kasih,” katanya.
Namun ia tidak menerima permintaan dari orang yang belum dikenal. “Khusus orang dekat saja,” tuturnya. Uang yang diterima dari pembeli sertifikat sebagian diberikan ke penginput data. “Mereka yang minta bantu rata-rata karena memang tidak mau vaksin, tapi dipaksa oleh instansi dan lainnya. Mereka mencari celah supaya tidak perlu suntik,” ujarnya.
Lonjakan Vaksinasi di Aceh
Sejak vaksinasi Covid-19 dilakukan pemerintah pusat, Aceh memang menjadi daerah yang terbelakang dalam hal pencapaian vaksinasi. Kala itu, sebagian besar warga Aceh menolak vaksinasi Covid-19 dengan berbagai alasan, beberapa di antaranya soal status halal dan hoaks yang menyeramkan.
Pada awal 2021 ketika vaksinasi perdana di Aceh diselenggarakan, satu-satunya vaksin yang mendapat legitimasi halal dari MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh hanya Sinovac.
Teungku Faisal Ali, Ketua MPU Aceh saat itu mengatakan vaksin Moderna belum ada kajian dari ulama, sementara Astrazeneca sudah ada kajian mengandung najis. Perihal kehalalan ini jadi salah satu faktor banyak masyarakat enggan melakukan vaksinasi.
Selain itu, hoaks seputar vaksin juga berpengaruh besar. Salah satu hoaks yang saat itu gempar di Aceh adalah soal kandungan vaksin yang di dalamnya terdapat cip yang bisa mengontrol manusia.
Di tengah hoaks dan perdebatan kehalalan vaksin, jumlah vaksinasi di Aceh mengalami lonjakan drastis pada Desember 2021 hingga Maret 2022. Periode itu bersamaan dengan saat Candra, Brian, dan Geri memperoleh sertifikat vaksinasi tanpa proses vaksinasi.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan vaksinasi dosis pertama di Aceh pada Oktober 2021 totalnya mencapai 235.364 orang dengan rata-rata harian 7.592 orang. Pada November capaian jumlah vaksinasi mencapai 336.056 orang dengan rata-rata harian 11.202 orang. Bila dilihat tidak terjadi lonjakan yang signifikan. Namun, pada Desember, melambung tinggi hingga mencapai 1.126.407 orang dengan rata-rata harian 36.336 orang, hampir tiga kali lipat dari bulan sebelumnya.
Hal serupa juga terjadi pada vaksinasi dosis kedua, lonjakan terjadi pada Desember 2021 hingga Maret 2022. Pada Oktober dan November 2021 jumlah capaian vaksinasi dosis kedua berturut mencapai 168.155 orang dan 181.703. Jumlah itu kemudian berlipat pada Desember 2021 dengan capaian 341.091 orang pada bulan tersebut. Angka itu terus melonjak hingga pada Maret 2022 mencapai 754.809 orang yang divaksinasi pada bulan tersebut.
Lonjakan terbesar terjadi pada 31 Desember 2021. Pada hari itu ada 97.096 orang yang melakukan vaksinasi dosis pertama. Pada tanggal yang sama, jumlah vaksinasi kedua mencapai 15.744 orang. Pada hari itulah Brian mendapatkan sertifikat vaksinasi tanpa proses penyuntikan vaksin.
Sebelum terjadi lonjakan vaksinasi di Aceh itu, pada 3 Desember 2021 Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri untuk membantu percepatan vaksinasi di berbagai daerah. Saat itulah polisi menggalakan sejumlah kegiatan vaksinasi massal. Tak terkecuali di Aceh.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh Iman Murahman mengatakan, pada November 2021 capaian vaksinasi dosis 1 di Aceh memang masih rendah, yakni baru di angka 40 persen. Karena itu pemerintah Aceh menargetkan pada Desember 2021 harus mencapai 70 persen.
Untuk mencapai target itu pemerintah provinsi bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota untuk menggenjot vaksinasi. Pemerintah membuka pos-pos vaksinasi di puskesmas di seluruh Aceh dan juga membuat pos di masing-masing desa.
Sementara itu Polda Aceh juga turut membantu membuka pos vaksinasi di Poliklinik. “Paling banyak memang atas bantuan dari TNI-Polri juga. Karena pada saat itu tim mereka ikut. Memang terutama bantuannya dari masing-masing Polsek, karena diberikan target oleh Polda Aceh,” kata Iman saat dihubungi Project Multatuli.
Di atas kertas percepatan vaksinasi itu terbukti sukses, per Januari 2022 target 70 persen tercapai. Namun di sisi lain, dalam proses percepatan itu terdapat praktik kecurangan, yakni jual beli sertifikat vaksinasi seperti pengakuan Candra, Brian, dan Geri.
Project Multatuli melihat tampilan sertifikat vaksin dosis pertama di akun Peduli Lindungi milik Candra. Di sana tertulis vaksinasi telah dilakukan pada Januari 2022 dengan dosis vaksin jenis Pfizer. Lokasi vaksinasi tertulis di salah satu klinik kepolisian resor di Aceh.
Dalam akun Peduli Lindungi milik Brian, vaksinasi dilakukan pada Desember 2021 di salah satu klinik kepolisian resor di Aceh. Brian bahkan mengaku mengenal orang yang membuatnya mendapat sertifikat vaksinasi keduanya meski tanpa suntikan vaksin. “Dia anggota [polisi].”
Tidak hanya itu, Project Multatuli juga mendapati salah seorang yang membeli sertifikat vaksinasi di salah satu kepolisian resor di Aceh mendapatkan jenis vaksin yang berbeda antara suntikan pertama dan kedua.
Vaksin pertama mendapatkan CoronaVac sementara vaksin kedua mendapatkan Novavax. Perbedaan penggunaan jenis vaksin ini janggal, sebab WHO sendiri belum merekomendasikan penggunaan vaksin yang berbeda untuk dosis pertama dan kedua. Selain itu, vaksin Novavax, juga belum ada fatwa halal dari MUI pusat ataupun MPU Aceh.
Project Multatuli menghubungi Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Winardy untuk mengonfirmasi soal temuan ini, namun ia menolak memberikan jawaban.
Rekayasa Vaksinasi dan Kejanggalan Data
Munculnya fraud pelaksanaan vaksinasi di Aceh pada periode Desember 2021 hingga Maret 2022 tidak hanya terjadi dengan jual beli sertifikat vaksinasi, namun juga terjadi dalam vaksinasi massal yang dilakukan untuk anak-anak di sekolah.
Salah seorang sumber Project Multatuli menyaksikan proses vaksinasi massal di sebuah sekolah dasar di Aceh Besar yang direkayasa. Dalam kegiatan vaksinasi yang diselenggarakan pada pertengahan Januari 2022 itu, ia melihat banyak siswa yang mendapatkan vaksinasi tanpa disuntik dengan vaksin dengan benar.
“Alat suntik dikeluarkan dari plastik dan diletakkan di bahu siswa, tapi jarumnya tidak masuk (menembus kulit),” kata sumber Project Multatuli.
Melihat kejanggalan tersebut, ia lantas mendokumentasikan kegiatan itu dengan kamera ponselnya, lalu menunjukkan video itu pada Project Multatuli. Dalam video tersebut terlihat kerumunan ratusan warga dan anak-anak sekolah mengantri vaksinasi.
Dalam salah satu frame, terlihat jelas vaksinator tidak menyedot dosis vaksin dari botol dan jarum suntik diletakkan saja sekadar mengenai tubuh siswa. Dalam video itu terlihat penyuntik bahkan tidak menekan pendorong dosis vaksin di alat suntik.
“Yang saya lihat banyak, tapi yang saya rekam hanya sekitar 3 atau 4 orang. Ada juga yang benar-benar disuntik,” ujarnya. “Biasanya (saat itu) banyak orang tua di Aceh menolak anaknya divaksinasi, tiba-tiba (hari itu) hampir semua wali siswa mengantar anaknya ke sekolah (untuk vaksinasi).”
Gelombang vaksinasi anak-anak di Aceh pun meningkat drastis pada bulan Januari 2022. Berdasarkan data Kemenkes, selama sebulan itu ada 192.089 anak-anak yang mendapatkan vaksinasi dosis pertama. Jumlah itu jauh dari pencapaiannya bulan-bulan sebelumnya, misalnya pada Oktober 2021 hanya ada 38 orang, November 164 orang, dan Desember 4.901 orang.
Pada Februari dan Maret 2022 mengalami sedikit penurunan, yakni masing-masing mencapai 169.066 orang dan 81.019. Namun untuk vaksinasi dosis kedua mengalami peningkatan drastis, dari Oktober hanya 8 orang, November 21 orang, Desember 101 orang, Januari 1.337 orang, tiba-tiba melonjak pada Februari bisa mencapai 46.714 orang dan Maret 157.846 orang.
Lonjakan vaksinasi di Aceh sepanjang Desember 2021 hingga Maret 2022 itu diduga menimbulkan fraud pencatatan data vaksinasi. Data Kemenkes per 23 Maret 22 menunjukkan vaksinasi di Aceh mencapai 6.571.963 untuk dosis I, II, dan III. Namun, tanggal yang sama, vaksin yang disuplai ke Aceh justru baru 6.003.909 dosis dengan rinci pemakaian 5.296.153 dosis dan stok di gudang 707.756 dosis.
Terkait selisih data tersebut, Iman menduga terjadi karena masalah pencatatan. Ia mengatakan pencatatan pelaporan vaksinasi kini menggunakan aplikasi SMILE (Sistem Monitoring Logistik Elektronik), sementara itu proses input dari Puskesmas sangat lambat.
“Aplikasi itu, kan, harus diinput, sementara input di Puskesmas juga sangat lambat sekali, sehingga pada saat pelaporannya lebih sedikit ketimbang hasil pencapaiannya. Jadi vaksinnya sudah dipakai, pelaporannya belum, itu banyak terjadi di kabupaten/kota. Kita juga terus verifikasi karena tenaganya nggak terlalu banyak di Puskesmas,” katanya.
Candra, Brian, dan Geri adalah bukan nama sebenarnya. Identitas narasumber dirahasiakan karena alasan keamanan.
Artikel ini adalah serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan #PandemiCOVID19.