Bak Mengunyah Simalakama dalam Labirin: Sekelumit Kisah Buruh Perkebunan Sawit di Sumatera Utara

Mawa Kresna
24 menit
Seorang buruh memanen kelapa sawit di perkebunan PT. Daya Labuhan Indah. (Project M/Andri Ginting)

Mereka mengabdi pada perusahaan kelapa sawit yang menghasilkan triliunan rupiah per tahun. Dari tangan-tangan mereka, kita mampu menggigit gorengan renyah dan menikmati sepotong cokelat. Sudah semestinya mereka hidup layak. Tapi, bagaimana kehidupan mereka?


PUKUL TUJUH PAGI di Labuhanbatu, Sumatera Utara. Ratusan buruh pemanen perkebunan sawit PT Daya Labuhan Indah (DLI) berkumpul di lapangan sepakbola depan kantor utama perusahaan. Mereka mogok kerja memprotes kebijakan perusahaan yang disebut mereka “semena-mena dan tiba-tiba”. Ada kecemasan dan kemarahan di raut muka mereka.

“Tanpa berunding dengan serikat, tanpa sosialisasi, mereka membuat perubahan sendiri,” sorak Mehdi, seorang buruh DLI. “Kita harus kasih pelajaran ke perusahaan dengan aksi.”

Mogok kerja adalah puncak kesumat para buruh pemanen, setelah upaya audiensi dengan perusahaan menemui kebuntuan beberapa hari sebelumnya.

Perusahaan kukuh menerapkan sistem penghitungan berat janjang rata-rata (BJR) yang baru. Sistem yang baru ini dianggap memperberat kerja buruh pemanen, sehingga mereka mustahil memenuhi target harian (basis) dan semakin jauh dari kemungkinan mendapatkan premi produksi.

Infografik sistem penghitungan berat janjang rata-rata yang lama dan baru PT Daya Labuhan Indah. (Project M/Z. Arief)

Sistem BJR baru hanya menghitung janjang atau tandan buah segar kelapa sawit berdasarkan tahun tanam. Sedangkan ada kondisi restan atau tandan buah tidak terangkut ke pabrik kelapa sawit dan tertinggal semalaman di tempat pengumpulan hasil (TPH) atau loading ramp. Sehingga bobot buah mengalami penyusutan. Ini kerap terjadi saat musim puncak buah.

“Kalau tertinggal, dia susut. Kami akan lebih banyak lagi cari buah, mencukupi basis lagi,” ujar Mehdi. Artinya, akan ada banyak tenaga dan waktu yang mereka harus keluarkan.

Sistem BJR lama paling masuk akal bagi buruh. BJR lama menggunakan penghitungan adaptif dengan menyesuaikan bobot tandan buah sawit teraktual. Sekalipun terjadi kondisi restan, buruh tetap berpotensi memenuhi target harian. Tinggal timbang saja bobot teraktual dan sesuaikan dengan target yang telah ditentukan.

“Kami tanya, ‘Kenapa ada aturan baru?’. Perusahaan jawab, ‘Kebijakan itu haknya perusahaan.’ Alasannya, perusahaan bisa merugi. Tapi, kami hitung-hitung, jelas kami yang dirugikan,” kata Mehdi.

Pihak perusahaan belum merespons orasi buruh meski matahari sudah terpancang di atas kepala. Menjelang jam makan siang, perusahaan mengeluarkan surat pemanggilan kerja. Memaksa buruh kembali ke areal kerja (ancak). Buruh bergeming. Perusahaan meminta perwakilan buruh berbicara di dalam kantor.

Sembari menunggu hasil, Oto, buruh pemanen yang lain, mengoordinasikan buruh yang tetap di lapangan. Jaga-jaga dari potensi massa kesusupan provokator. “Kumpul bareng di sini, jangan mencar-mencar. Kita tunggu jawaban orang itu,” kata Oto di DLI, kepada massa buruh yang semua laki-laki.

Setelah beberapa saat berunding, perwakilan buruh keluar kantor dengan wajah lara. Lantaran perusahaan menolak tuntutan mereka.

“Nggak berhasil juga soal BJR itu. Gagal,” kata Mehdi.

Massa buruh kecewa. Sejurus kemudian mereka membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing, melintasi jalan berbatu nan berdebu dikelilingi pepohonan sawit setinggi 3-5 meter. Ini jalan yang sama dengan rute pengangkut buah sawit.

Saat malam, jalanan gelap gulita, hanya ada terang bulan atau lampu kendaraan sebagai penerangan. Membuat pohon-pohon sawit tampak seperti raksasa berbaris.

Pabrik kelapa sawit PT Daya Labuhan Indah di Labuhan Batu, Sumatera Utara. (Project M/Andri Ginting)

Beberapa buruh tinggal di perkampungan di luar perkebunan. Hanya sedikit, biasanya buruh perantau, yang tinggal di blok perumahan perusahaan di dalam perkebunan. Tiap blok berisi belasan rumah berukuran sekitar 12 x 7 meter persegi, dengan jarak satu kilometer antarblok, berselang-seling dengan ancak.

Selama buruh berstatus pekerja perusahaan, mereka berhak menempati rumah. Kalau sudah tidak bekerja, mesti pindah. Lokasinya pun jauh dari perkampungan warga. Untuk keluar-masuk, mereka mesti melewati pos dijaga sekuriti. Semacam dunia semi-tertutup.

Seminggu pasca-aksi di lapangan, perusahaan mengeluarkan surat untuk semua buruh yang mogok kerja. Mehdi dan Oto kaget membaca isi surat, tertulis: “Tidak mentaati perintah yang layak dari atasannya dan menentang penugasan yang wajar.”

Perusahaan menganggap mereka melanggar perjanjian kerja bersama dan layak mendapatkan surat peringatan I.

Meski berupa peringatan, penetapan SP I mengurangi bonus tahunan buruh sebesar 25 persen dan menghanguskan uang beasiswa untuk anak buruh yang berprestasi. Bagai jatuh tertimpa janjangan, buruh-buruh menanggung beban dobel.

“Karena awak dapat SP, anak awak dapat imbasnya,” Oto ngedumel.

Bukan Salah Bapak

Pukul enam pagi, Oto dan Iya, istrinya, sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Oto memasang atap terpal untuk dapur sementara di belakang rumah. Iya mengulek ragam bumbu di dapur mereka yang mungil. Mereka menjadi tuan rumah acara wiridan bulanan, yang dihadiri belasan buruh sawit sore nanti.

Oto dan Iya menempati rumah perusahaan sejak pertama kali bekerja untuk DLI. Rumah mereka dikelilingi ancak. Di bagian belakang rumah, berjejer pohon sawit setinggi 3 meter. Iya berkontribusi merawat mereka.

Iya bekerja di DLI sejak 2000. Awalnya, sebagai buruh harian lepas. Ketika serikat buruh mendesak perusahaan meningkatkan status kepegawaian pada 2015, Iya menjadi pegawai tetap dua tahun kemudian.

Pagi itu, Iya memasak ikan kembung dan telur rebus yang semua dicabai. Mereka lesehan di ruang tamu, yang kecil tapi serbaguna; kadang menjadi kamar darurat jika ada tamu menginap, bisa untuk pengajian, atau menjadi garasi menyimpan sepeda motor. Duduk mereka hati-hati di lantai plesteran sebab banyak yang gompal.

Deretan rumah yang ditempati para buruh PT. Daya Labuhan Indah berada di dalam area perkebunan. (Project M/Andri Ginting)

Oto dan Iya punya dua anak lanang. Si sulung sudah menikah dan tinggal beda rumah. Tersisa si bontot, Sutan, yang masih tinggal bersama mereka. Bocah itu cerdas dan gemar main voli. Semasa SMA, nilainya kerap di atas rata-rata delapan dan juara tiga besar. Karena itu, ia selalu mendapat beasiswa dari perusahaan.

DLI mempunyai kebijakan bantuan uang anak berprestasi; untuk anak di tingkat SD akan mendapat Rp500 ribu, SMP Rp750 ribu, dan SMA Rp1 juta, yang diberikan setiap semester.

Tahun terakhir Sutan di SMA, perusahaan membatalkan beasiswanya lantaran Oto kena SP 1, setelah mogok kerja menuntut perbaikan hak. Sampai sekarang, Oto dan Iya masih tidak habis pikir dengan kebijakan perusahaan yang mereka anggap tidak logis tersebut.

“Kenapa, ya? Anaknya yang berprestasi. Karena bapaknya kena SP, jadi nggak dapat beasiswa,” kata Iya, meratapi nasib Sutan yang pagi itu masih bergoler di kasur.

“Pokoknya di sini siapa saja yang dapat SP, dampaknya ke anak berprestasi. Tidak dapat beasiswa. Batal. Anak itu berarti tergantung nasib orangtuanya,” timpal Oto.

“Salah anak ini apa?” Iya masih heran.

“Mau komplain cemana lagi? Orang pimpinan yang tertinggi yang umumkan. Mau nggak mau diterima lah.”

Oto dan Iya beruntung sebab Sutan mengerti situasinya. Ia tetap giat belajar hingga lulus dengan nilai di atas rata-rata. Namun bagi beberapa buruh lain, yang mengalami pembatalan beasiswa, mesti bergejolak dengan anak-anak mereka. Mereka kelimpungan menjelaskan.

Ako, buruh pemanen yang juga mogok kerja, mengalami gejolak tersebut. Ia punya dua anak berprestasi. Si sulung adalah murid SMA yang kerap juara satu. Si bontot adalah murid SD yang selalu juara tiga besar. Ako kewalahan menghadapi keluhan dua anak itu.

“Bapak pun! Maka baik-baik lah kerja!” kata si sulung suatu waktu.

Ako terdiam. Ucapan sulung meremukkan hatinya. Pelan-pelan ia berusaha menjelaskan, “Itu [aksi] untuk kebaikan karyawan. Aku di-SP karena demonstrasi, bukan karena kesalahan bapak juga. Tahun depan lah dapat lagi.”

“Bagus-bagus lah kerja, Pak. Tengok lah kawanku dapat, aku nggak dapat,” giliran si bontot mengeluh.

Entah anak-anak memahami penjelasan Ako atau tidak. Ia hanya berharap mereka tidak patah arang dan tetap berprestasi. Kabar baiknya, tahun depan, setelah sanksi SP 1 surut, dua anak Ako tetap menjadi juara kelas. “Tahun semalam juga dapat. Awak lagi urus berkas tahun ini.”

Seorang anak buruh PT. Daya Labuhan Indah sedang belajar. Beasiswa sejumlah anak berprestasi dicabut oleh perusahaan karena orangtua mereka memperoleh surat peringatan setelah melakukan unjuk rasa menuntut kesejahteraan buruh. (Project M/Andri Ginting)

Namun, tidak semua orangtua seperti Ako cukup menjelaskan situasinya dan berharap anak-anak mengerti. Mehdi mesti berpura-pura masih mendapatkan uang beasiswa pada anaknya yang paling kecil, bocah kelas tiga SD yang selalu mendapat peringkat pertama di kelas.

Si anak sering melihat Mehdi dan orangtua kawan-kawannya mengurus berkas pengajuan beasiswa. Ketika Mehdi kena SP 1, si anak merasa janggal; bapaknya tidak mengurus berkas meski ia kembali juara kelas.

“Ayolah, Pak, diantar berkas itu. Aku, kan, berprestasi, aku ranking satu,” si anak memelas.

“Bapak sedang urus, tenang saja,” jawab Mehdi, tak sanggup hatinya menjelaskan kebenaran.

Mehdi dan istri terpaksa mengutak-atik uang belanja bulanan. Mereka comot Rp500 ribu dan perlihatkan kepada si bontot seolah itu uang bantuan perusahaan. Semester selanjutnya, si anak kembali juara kelas dan menagih lagi.

“Rp500 ribu, kan, bisa beli baju sekolahku. Ayolah, Pak, diantar.”

Apes, uang belanja bulanan tak bersisa. Mehdi terpaksa berutang kepada buruh lain. “Ini lah, Nak, uang anak berprestasi sudah keluar,” kata Mehdi. Sambil lalu ia membatin, “Cukup kami yang tahu.”

Penyakit Kasat Mata

Buruh pemanen tidak terbiasa sarapan karena jam kerjanya mepet. Mereka wajib mengikuti apel pagi pukul 6.00 dan mesti mengelilingi ancak pukul 7.00. Jika telat lima kali dalam sebulan, perusahaan akan memberikan SP 1. Sekitar pukul 8.00 atau 10.00, mereka baru sarapan bersama di ancak.

“Yang nggak bawa bekal bisa ikut makan. Satu sendok satu sendok bisa kenyang lah,” kata Oto, terkekeh-kekeh.

Sementara memanen sungguh menguras energi. Para pemanen bekerja selama 7 jam per hari dengan target (BJR) harian 1 ton. Mereka mesti memanen tandan buah segar seberat 20-25 kg di ancak seluas 2,5 ha.

Kalau sedang trek atau kondisi tidak musim buah, perusahaan melebarkan areal kerja 5-6 ha untuk mendapatkan basis. Mereka bekerja menggunakan alat bernama dodos, galah besi berukuran 2-3 meter dengan ujung pahat, dan egrek, galah sepanjang 3-15 meter dengan ujung arit. Setiap alat berberat 5-7 kg. Salah posisi memegang atau mengayun, mereka bisa keseleo.

Seorang buruh memanen kelapa sawit di perkebunan PT Daya Labuhan Indah. (Project M/Andri Ginting)

Perusahaan juga mengharuskan pemanen untuk membersihkan pelepah sawit, mengutip butir buah (berondolan) dan mengangkut janjangan ke tempat pengumpulan hasil atau loading ramp menggunakan gerobak sorong.

Mereka harus menempuh jarak sekitar 100 meter menuju loading ramp, menyeberangi parit melalui jembatan beton selebar folio. Kadang hujan turun dan menggenangi ancak setinggi dengkul mereka, membuat laju gerobak jadi lambat dan kerja mereka kian berat.

“Dianjurkan tidak bekerja saat hujan. Tapi karena target tadi, daripada perusahaan marahi kami, sambil hujan dikerjai juga untuk basis,” kata Mehdi.

Manalagi perusahaan menerapkan penambahan activity rate dan penalti bagi pemanen. Kerja mereka menjadi lebih lambat penuh kehati-hatian. Penalti akan berdampak pada premi atau bahkan mendapatkan surat peringatan.

“Ketika ancak dilebarkan, basis tidak ada, di situ lah perusahaan cari kesalahan kami. Awak pun kena SP karena meninggalkan buah,” ujar Markus, salah satu buruh DLI.

“Kalau ada pelanggaran, dia nggak punya premi, dia kena SP. Kalau ada premi, premi yang dipotong perusahaan,” kata Mehdi.

“Sudah tidak standar manusia kerja lah,” celetuk Oto.

Infografik aturan penalti bagi buruh pemanen dan pemuat PT Daya Labuhan Indah yang berlaku 1 Juli 2022. (Project M/Z. Arief)

Adapun, pekerjaan mengutip berondolan adalah momok paling melelahkan bagi pemanen.

Mereka mesti menyisir alang-alang untuk menemukan butir demi butir tanpa sarung tangan. Banyak pelepah sawit yang sudah membusuk berserakan di ancak, duri-duri masih cukup tajam bisa menusuk pemanen. Sementara, insentif yang dijanjikan perusahaan untuk setiap berondolan terkutip tidak seberapa, hanya Rp200/kg.

Buruh pemanen tua seperti Oto dan Markus sudah merasa tidak sanggup menjadi pemanen. Tubuh mereka sudah teklok; kaki mudah cidera dan pinggang sering sakit.

“Setiap hari selalu ngilu-ngilu. Asal jam 10 pagi sudah terasa sendi-sendi ini, digerakin sakit. Awak sudah nggak sanggup manen,” keluh Oto.

“Makan saja bisa jatuh, kerja ini pun gimana?” imbuh Markus.

Perusahaan menyediakan fasilitas layanan kesehatan berupa klinik di lingkungan perkebunan. Setiap kali mereka izin berobat, pihak perusahaan menyuruh mereka absen ceklok. Mereka menolak. Mereka sakit dan butuh istirahat.

“Kalau ceklok, artinya masuk kerja, nanti pulang ceklok lagi. Awak nggak mau. Berobat pun nggak enak, awak ditahan di klinik sampai jam 2 siang,” kata Oto.

“Di klinik pun ditanya saja keluhan apa, dikasih pil, namanya awak nggak tahu, sejenis obat penenang denyut. Kadang awak buang, nggak ada fungsinya,” kata Markus.

Perusahaan lebih mudah memberikan izin istirahat apabila buruh mengalami sakit yang kasat mata, seperti luka kena parang atau tertusuk duri. “Kalau sakit dalam, jarang percaya, ya, kerja ringan,” kata Oto.

Seorang buruh memunguti berondolan kelapa sawit tanpa sarung tangan di perkebunan PT Daya Labuhan Indah. (Project M/Andri Ginting)

Mehdi pernah tertusuk duri pelepah pohon sawit saat mengoyak buah dengan dodos. Pelepah sawit ikut patah dan menjalari galah seperti memburunya. Spontan, ia tangkis dengan tangan kosong. Mehdi bergegas ke klinik perusahaan; karena kondisi tangannya parah, ia dirujuk ke rumah sakit besar.

“Kalau dibiarin, busuk tanganku. Besoknya aku istirahat.”

Sejak itu, ia merasa perusahaan perlu memberikan sarung tangan untuk meminimalisir kecelakaan kerja pemanen. Perusahaan hanya memberikan alat pelindung diri berupa helm dan bot gratis. Kalau barang sudah rusak, buruh berhak mengajukan lagi. Setiap buruh meminta alat pelindung baru, ketersediaan barangnya tidak ada, kadang buruh harus menunggu dua bulan. Ada yang membeli dengan uang sendiri karena takut kena penalti.

“Kami maunya pergi kerja sehat, pulang kerja juga sehat,” kata Mehdi. Tidak jarang mereka merasai sakit sembari bekerja.

Keterbatasan fisik membuat pemanen tua sulit memenuhi basis apalagi premi produksi.

Markus sudah mengajukan pensiun muda karena tak pernah memenuhi basis. Sampai sekarang, perusahaan belum menyetujui, meski Markus sudah memenuhi persyaratan dalam perjanjian kerja bersama: sudah bekerja lebih dari 20 tahun.

Oto meminta pindah ke divisi perawatan aset perusahaan, yang beban kerjanya ringan, tapi perusahaan belum merespons.

“Tapi misal aku dipindahkan job ke bagian perawatan, ya tidak masalah. Jangan dipanen lagi, sudah nyerah, daripada awak bermasalah terus,” kata Markus.

“Seharusnya orang kayak kami ini sudah digantikan, jangan diproduksi lagi,” imbuh Oto. “Cari yang muda-muda yang tenaganya banyak. Kami yang tua cuma dapat 40 janjang, sementara basis 105 janjan. Kan, rugi perusahaan. Kami sakit-sakitan pula.”

Seorang buruh PT Daya Labuhan Indah menunjukkan tangan yang tidak dilindungi sarung tangan pengaman untuk bekerja. (Project M/Andri Ginting)

Nyaris Tanpa Sisa

Gaji pokok buruh sawit di PT DLI sebesar Rp3.284.500 per bulan, dengan hitungan Rp131.380 per hari kerja. Penggajian mereka mengikuti upah minimum sektoral, yang kemudian dihapus pemerintah Indonesia melalui ketentuan dalam PP 35/2021 (turunan UU Cipta Kerja).

Sekarang, semua penggajian mengacu upah minimum provinsi/kabupaten kota.

Perusahaan memberikan beberapa tunjangan lain seperti tunjangan hari raya, tunjangan uang beras (natura) sebesar Rp9.200/kg. Tunjangan uang beras dihitung dengan perincian kelipatan, yakni jatah pekerja 15 kg/bulan, istri pekerja 9 kg/bulan, dan anak ke 1-3 masing-masing 7,5 kg/bulan.

Perusahaan juga memberikan uang listrik Rp45 ribu/bulan. Ada juga bonus tahunan dengan besaran minimal satu kali gaji. Sedangkan buruh pemanen dan buruh pengangkut bisa mendapatkan uang tambahan dari premi produksi, dengan catatan mereka harus melampaui basis.

Namun, sejak pandemi COVID-19, para buruh hanya mengandalkan gaji pokok. Perusahaan mengubah status natura sebagai bantuan, bukan lagi tunjangan tetap. Natura juga sempat tidak cair pada pertengahan 2020. Buruh kala itu menggugat perusahaan, tapi putusan Mahkamah Agung memenangkan perusahaan.

Bonus tahunan yang dijanjikan juga kerap kurang dari besaran gaji sebulan. Para buruh harus menanggung nominal premi yang kecil. Perusahaan menetapkan Rp30 untuk satu kilogram janjangan; artinya, untuk 1.000 kg tandan buah segar yang buruh panen, dihargai Rp30 ribu.

Buah kelapa sawit hasil panen diletakkan dalam gerobak sebelum diangkut ke pabrik kelapa sawit PT. Daya Labuhan Indah. (Project M/Andri Ginting)

Keluarga buruh harus berjuang menyambung napas dari bulan ke bulan. Keluarga Iya dan Oto punya penghasilan dari gaji pokok sebesar Rp6.569.000. Sementara perkiraan pengeluaran bulanan keluarga ini Rp5.620.000. Rinciannya:

– Biaya makan

Makan tiga kali sehari dengan nasi dan lauk  berganti-ganti. Telur, sayur sawi, terong, sayur bayam, mi instan, ikan kembung, ikan teri, ikan asin, dan ayam. Harga beras Rp500 ribu untuk 40 kg/bulan. Total biaya lauk sekitar Rp1 juta.

– Bensin

Membeli Pertalite dari warung dekat rumah, karena SPBU Pertamina berjarak 8 km dan sering antre. Harga Pertalite di warung Rp14 ribu/liter untuk pemakaian 2 hari. Punya 2 sepeda motor. Total sekitar Rp420 ribu.

Publik utilitas: biaya token listrik sekitar Rp200 ribu/bulan.

– Utang: angsuran Bank Mandiri Rp2.700.000.

– Lain-lain: biaya pulsa dan paket internet dan kebutuhan lain Rp800 ribu/bulan.

Uang tersisa: untuk kondangan, servis motor, servis mesin air, dan kebutuhan mendadak lain sebesar Rp949 ribu.

“Kadang satu bulan pun gaji kurang untuk bayar utang. Kalau kurang, ya utang lagi. Nyimpan pun nggak bisa,” kata Oto.

“Mumet juga,” keluh Iya. “Pokoknya jangan sampai ada utang banyak-banyak di kedai lah. Ada uang sikit, belanja. Kalau utang di kedai semua, bayarnya gimana?”

Keluarga Mehdi bahkan mengalami defisit tiap bulan. Ia perkirakan sebulan bisa habis “hampir Rp7 juta.”

Ita, istri Mehdi, yang juga bekerja di PT DLI, sampai tersuntuk menghadapi kenyataan, “Cemana menyiasati, dikira-kira lah.”

Namun, setelah mereka merinci biaya pengeluaran per bulan, totalnya lebih dari perkiraan tadi. Gaji pokok mereka Rp6.569.000, sedangkan pengeluaran Rp8.870.000. Defisitnya Rp2.301.000 setiap bulan. Rinciannya:

– Biaya makan

Mereka berempat makan tiga kali sehari dengan nasi dan lauk pauk berganti-ganti. Mi instan, ikan asin, daging ayam, sayur daun ubi, kol, bayam, dan terong. Biaya makan satu orang sekitar Rp15 ribu/makan. Harga beras Rp520 ribu untuk 40 kg. Total biaya makan sebulan Rp5.400.000.

– Bensin

Membeli Pertalite dari warung dekat rumah seharga Rp14 ribu/liter. Mereka punya dua motor. Setiap hari mengisi 0,5 liter per motor. Perkiraan total biaya sebulan Rp420 ribu.

– Publik utilitas: biaya pemakaian token listrik sebesar Rp250 ribu per bulan.

– Pulsa internet: biaya internet untuk orangtua Rp75 ribu/bulan. Biaya internet untuk anak-anak Rp75 ribu/bulan.

– Utang: angsuran Bank Mandiri sebesar Rp1.950.000.

Lain-lain

Uang jajan anak: kakak Rp10 ribu/hari (karena jarak sekolah jauh dan tidak menggunakan fasilitas bus sekolah dari perusahaan); adik Rp5 ribu/hari (karena jarak sekolahnya dekat dari rumah dan menggunakan bus sekolah dari perusahaan). Uang sabun mandi, sabun cuci, dan kebutuhan rumah tangga lain sebesar Rp250 ribu/bulan.

“Bahan pokok naik terus, bagaimana mau menabung? Pas-pasan. Kalau pun ada sisa gaji, untuk anak jajan atau cadangan satu bulan ke depan lah,” kata Ita.

“Kadang kita ngutang untuk biaya makan,” timpal Mehdi.

Seorang istri buruh PT Daya Labuhan Indah menyiapkan makanan untuk keluarganya di rumah yang disediakan oleh perusahaan. (Project M/Andri Ginting)

Keluarga Iya-Oto dan keluarga Ita-Mehdi sama-sama punya utang di Bank Mandiri. Perusahaan pakai bank yang sama, maka setiap gaji bulanan masuk ke rekening buruh, langsung terpotong angsurannya. Keputusan berani lagi nekat yang secara sadar mereka ambil, demi mendongkrak taraf hidup.

“Awak pinjam bank untuk investasi sapi dan beli sepeda motor untuk kerja,” kata Mehdi.

Ia berutang di bank sebesar Rp94 juta dari pengajuan Rp100 juta, dengan tenor 8 tahun, sekarang sudah masuk tahun kelima. Ia berharap sapi akan beranak dan segera punya peternakan di kampung. Namun, sapi Mehdi malah mati; ada yang terkena penyakit dan ada pula yang masuk parit.

“Lari angan-angan awak. Plan gagal lah.”

Oto mengambil utang bank Rp130 juta dengan tenor 10 tahun, saat ini sudah berjalan 6 tahun.

Ia bilang hampir seluruh buruh di DLI mengambil pinjaman ke Bank Mandiri. Rata-rata untuk membuka usaha, meski ada yang hanya untuk mencukupi kebutuhan harian. “Awak butuh untuk beli ladang sawit,” kata Oto.

Kehidupan buruh perkebunan sawit bak di dalam labirin: salah menentukan langkah akan terjebak dan kembali ke titik mula. Satu kebijakan perusahaan mampu memengaruhi kebijakan lainnya. Umur yang kian menua dan tenaga yang semakin payah membuat para buruh tak yakin beralih pekerjaan.

Hal konkret bagi mereka cuma bekerja sekeras mungkin demi premi atau lempeng saja bekerja menghindari penalti, sampai pensiun tiba dan perusahaan membayar pesangon mereka dengan benar.

“Awak tamatan rendah, cuma bisa kerja di perkebunan sawit. Karena di kebun tanpa tamatan, bisa diterima. Yang penting mau kerja keras,” kata Mehdi.

“Kalau awak sebenarnya sudah nggak sanggup lagi, dipaksa-paksakan sampai pensiun umur lah, tujuh tahun lagi,” timpal Oto.

Si Raksasa

PT Daya Labuhan Indah adalah perusahaan perkebunan sawit dan pengolah minyak mentah (crude palm oil/CPO). Pengendali saham utama DLI adalah PT Sentratama Niaga Indonesia (SNI), yang menjadi induk bagi PT Wilmar Cahaya Indonesia dan PT Perkebunan Milano, perusahaan perkebun sawit lain di Labuhanbatu.

SNI menginduk pada dua perusahaan asal Singapura yakni, Larnia Pte Ltd., dan Wilmar International Ltd.

Wilmar International memiliki banyak anak perusahaan yang beroperasi di negara-negara Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Mereka masuk dalam daftar perusahaan besar versi majalah bisnis: Forbes Global 2000: The World’s Biggest Public Companies untuk peringkat 362 dan Fortune Global 500 untuk peringkat 192.

Bisnis mereka menghasilkan banyak produk, dari hulu ke hilir, antara lain: pakan ternak, produk kelapa sawit dan laurat yang tidak dapat dimakan, komoditas pertanian, oleokimia, minyak gas, biodiesel, minyak nabati, beras, tepung terigu, mi, saus, bumbu, margarin, gula, cokelat, dan protein nabati. Mereka mengklaim sebagai produsen minyak goreng terbesar untuk pasar di negara Asia dan Afrika.

Mayoritas minyak sawit yang mereka olah dan produksi berasal dari Malaysia dan Indonesia. Beberapa didistribusikan ke kilang di negara Eropa dan Amerika untuk disempurnakan. Mereka punya 13 kilang dan 34 pabrik kelapa sawit dan 140 lebih pabrik manufaktur, tersebar di 10 lokasi di Indonesia. Perkebunan mereka adalah terbesar ketiga di Indonesia dengan luasan 200.868 ha, berada di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Asap hitam membumbung dari cerobong asap pabrik kelapa sawit PT. Daya Labuhan Indah di Labuhan Batu. (Project M/Andri Ginting)

PT Wilmar Cahaya Indonesia mengoperasikan kilang di Cikarang dan Pontianak. Mereka menerima pasokan, salah satunya dari PT DLI dan Milano. Kilang minyak (refinery) di Cikarang mampu menghasilkan 650 metrik ton (mt) per hari; total produksi mencapai 223.658 mt pada 2021. Di Pontianak, 215 mt per hari; dalam setahun, mampu menghasilkan 47.481 mt pada 2021.

Mereka meraup Rp227,04 miliar dari penjualan ekspor dan Rp5,13 triliun dari penjualan domestik selama 2021. Penjualan bersih sebesar Rp5,35 miliar untuk tahun yang sama, naik sebesar Rp1,72 miliar dari tahun 2020. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya kuantitas penjualan dan peningkatan harga jual pada 2021.

“Peningkatan angka penjualan tersebut selaras dengan peningkatan Laba Usaha Perusahaan yang mengalami kenaikan sebesar Rp19 miliar atau sebesar 9,5% dari sebesar Rp208 miliar pada 2020 menjadi Rp227 miliar pada 2021,” tulis Presiden Direktur PT Wilmar Cahaya Indonesia, Erry Tjuatja, dalam laporan tahunan perusahaan 2021.

PT Wilmar Cahaya Indonesia menutup tahun 2021 dengan membukukan laba bersih sebesar Rp187 miliar, lebih tinggi dari tahun sebelumnya Rp181,8 miliar.

Selama pandemi COVID-19, Wilmar Indonesia memberikan bantuan dana, sembako, dan pembangunan infrastruktur untuk masyarakat terdampak. Mereka membagikan 27.784 liter minyak goreng atau setara Rp300 juta pada 2020.

Saat Kota Medan menerapkan PPKM Level 4, Wilmar memberikan bantuan 20 ton beras dan 10 ribu liter minyak goreng, diterima langsung oleh Wali Kota Medan, Bobby Nasution. PT DLI dan PT Perkebunan Milano sebagai representatif Wilmar Sumatera Utara turut memberikan bantuan sembako menjelang hari raya Idulfitri untuk masyarakat di dua kecamatan.

Para buruh Wilmar di PT DLI hanya tersenyum tanpa memungkiri mereka bekerja untuk perusahaan besar. Mereka juga tidak mempermasalahkan perusahaan membantu masyarakat yang membutuhkan. Akan tetapi, “Ya, kalau mau pekerjanya dibantu juga lah,” kata Oto.

“Nama saja Wilmar Plantations urutan keberapa di dunia. Kaya, kan. Tapi urusan bonus, kami malu sama perusahaan se-Indonesia.”

Project Multatuli berupaya menghubungi pihak Wilmar Indonesia melalui Head of Human Capital, Erlina Panitri, via pesan singkat pada 23 Februari 2023 dan surat resmi permohonan wawancara pada 25 Februari 2023. Mereka menolak untuk diwawancarai. “Kami sedang fokus untuk internal. Sehingga wawancara dengan pihak luar belum bisa kami penuhi,” kata Erlina Panitri.

Terjebak di Ancak

Pukul sebelas malam di Labuhanbatu, hawa masih saja beringsang. Sudah tidak turun hujan dalam beberapa hari terakhir. Oto punya kipas angin sebesar roda sepeda balap yang ia biarkan mati, lantaran ia lebih memilih berkaos kutang. Markus yang baru pulang dari lapo sedang mampir dan duduk dekat pintu, mengharapkan angin lewat.

Oto dan Markus mengobrol banyak hal, lebih sering mengeluh soal nasib. Tak peduli seberapa sering kawanan nyamuk berpatroli sedari tadi. Momen begini adalah barang mewah bagi buruh yang bekerja enam hari dalam seminggu.

“Nyamuk ini kalau wangi mana berani dia hinggap. Bagusan pakai sampo,” ujar Oto.

“Awak semprot-semprot dia, nggak mempan. Semprot terus, nanti gemuk dia,” timpal Markus, membanyol.

Konon nyamuk di perkebunan kelapa sawit tidak mempan dengan obat anti-nyamuk oles. Oto punya dua cara mengusir nyamuk, satu cara yang lazim dan satu lagi agak ganjil. Cara lazim, ia menggunakan obat nyamuk bakar yang bulat-hijau dan diletakkan di sudut-sudut ruangan. Kalau tidak mempan juga, ia mandi dan membalur tubuhnya dengan sampo seperti orang bersabun; itu terdengar ganjil tapi ia yakin bisa ampuh usir nyamuk.

Tanaman kelapa sawit di perkebunan PT. Daya Labuhan Indah.(Project M/Andri Ginting)

Perkebunan sawit DLI dan blok perumahan buruh berada di atas bekas lahan gambut. Air bak mandi berwarna seperti jelantah, berbau kayu lapuk, dan licin di kulit. Perusahaan menyediakan depot air bersih di depan pabrik kelapa sawit.

Seminggu sekali, Oto dan Markus berkendara dengan sepeda motor sejauh 2 km untuk mengambil 35 liter air dari depot. Air itu hanya untuk kebutuhan minum dan memasak. Kadang depot air tak mencukupi kebutuhan seluruh buruh, kadang rusak dan proses perbaikan memakan waktu tiga hari. Jika begitu, mereka berharap hujan turun mengisi polytank yang disediakan perusahaaan di setiap rumah.

Untuk kebutuhan mandi, para buruh mengandalkan air tanah atau polytank. Oto dan Markus terpaksa memasang mesin air dengan uang pribadi, biar mendapatkan kualitas air tanah lebih baik. Rerata modal mengebor Rp700 ribu, untuk mesin air dan paralon sesuai kebutuhan.

Markus cuma menanam dua paralon sepanjang 12 meter, sementara paralon di rumah Oto sepanjang 18 meter. Itu juga belum mampu membuat jernih air di bak mandi rumah mereka; masih berwarna cokelat keemasan.

Sejauh ini, mereka masih merasa aman-aman saja mandi pakai air gambut. Belum ada pengaruhnya di tubuh, kecuali Oto yang kadang merasa geli melihat air pekat begitu.

“Katanya baru-baru ini, perusahaan ada lowongan untuk anak karyawan, tapi lowongannya untuk kerja berat,” ujar Markus.

“Bagian pemuat (loader),” timpal Oto. “Sementara anak baru lulus kerja keras gitu, terkejut lah.”

“Anak awak yang pertama, nggak mau kuliah, maunya kerja,” kata Markus. Ia punya dua anak, si sulung baru tamat SMA dan si bontot masih kelas sebelas.

“Kalau bisa kerja di sini, kerja di sini, jangan jauh-jauh.”

Walau mereka belum merasa sejahtera sebagai buruh perkebunan sawit, mereka tak berkeberatan jika anak-anak mereka bekerja di PT DLI.

Anak sulung Oto bekerja di DLI. Ia juga berharap anak bontotnya, Sutan, bekerja di sana, ketimbang menjadi pemuat yang punya bobot dan tanggung jawab seperti pemanen. Menurut kabar yang mereka terima, setiap karyawan baru mesti melewati masa percobaan tiga hari, tanpa upah, dan beban kerja setara pekerja tetap.

Oto masih berharap DLI mampu memberikan kesejahteraan untuk buruh-buruhnya, termasuk kelak jika Sutan bekerja di sana.

“Selama masih ada serikat, kan, ada yang melindungi, mengawasi, mantau perusahaan,” kata Oto.

Seorang buruh beraktivitas di perkebunan PT. Daya Labuhan Indah. (Project M/Andri Ginting)

* * *

‘Awak Mau Jadi Pengusaha Sawit’

Keseharian Sutan di rumah mulai datar dan sepi. Dulu masih ada lusinan teman-teman seusianya, yang bisa ia ajak bermain sepakbola atau voli. Sejak mereka tamat SMA, masing-masing punya kesibukan. Lima kawan karib Sutan kuliah, ada yang ke Medan, Padang, dan Aceh. Ia sendiri memutuskan untuk tak lanjut kuliah karena pertimbangan biaya.

“Takut menyusahkan orangtua. Dari kecil awak banyak kenang jasa dia, melihat orangtua kerja kasihan, panas-panasan, hujan, apalagi pemanen. Banyak kali biayaku nanti, mending awak nyari kerja,” kata Sutan.

Sutan menggemari olahraga voli. Posturnya jangkung dan kurus. Kalau berbicara halus sekali. Ia sering ikut turnamen voli antar kampung. Sekali bermain Sutan dibayar Rp100 ribu plus uang bensin. Beberapa waktu lalu, ia apes, setelah jatuh dari sepeda motor saat melintasi jalan yang licin karena hujan malam-malam, hidung dan telinganya luka. Ia terpaksa berjeda dari bermain voli. Pada masa itu, kawannya, sesama pemain voli, menawarkan Sutan pekerjaan.

“Kau sudah kerja belum?”

“Belum.”

“Ikut saya kerja yuk.”

“Kerja apa?”

“Harian.”

Sutan bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan kelapa sawit di luar PT DLI. Tugasnya kadang menyemprot, kadang mencari wawung atau kumbang tanduk, serangga yang bisa mematikan tanaman sawit. Ia bekerja dari pukul 7.00 hingga 12.00. Gaji Sutan Rp90 ribu/hari kerja.

Sebagian dari gaji itu ia pakai untuk keperluan pribadi dan diberikan kepada orangtuanya, Iya dan Oto. Sisanya, ia tabung untuk mengejar impian.

“Awak mau jadi orang sukses, mau jadi pengusaha sawit. Kayak orang di sini. Pengusaha sawit. Enak dilihat orang,” ujar Sutan.


Semua nama buruh dalam naskah ini telah disamarkan atas permintaan mereka, demi faktor keamanan yang bersangkutan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
24 menit