Tidak berlebihan untuk menyebut laut adalah rumah kedua bagi para nelayan. Dari tradisi hingga naluri, para nelayan mengenali, mengambil manfaat, sekaligus menjaga laut dengan arif. Namun, eksploitasi sumber daya alam yang tak bertanggung jawab mencerai-beraikan rumah mereka. Teknologi tak selalu bisa jadi solusi.
SUDAH BEBERAPA HARI, Tatang tidak melaut dan memilih untuk memperbaiki kapalnya yang sedang rusak.
Musim memang sedang buruk. Selain kapalnya yang tidak tangguh melawan ombak, hasil tangkapan juga tidak seberapa.
Lelaki berusia 50 tahun asal Kelurahan Panjunan, Kota Cirebon, itu biasanya akan pergi melaut dengan jarak kurang dari 10 mil dari garis pantai.
“Kalau sedang bagus, tangkapannya lumayan. Tapi biasanya ikan kecil; ikan kembung, bandeng. Kalau dijual bisa dapat untung Rp100 ribu sampai Rp200 ribu,” kata Tatang, saat ditemui di Kampung Nelayan Panjunan, pertengahan Agustus.
Para nelayan di Cirebon biasanya menyebut bulan Agustus dengan musim kumbang, musim yang membuat pendapatan mereka berkurang. Ada juga yang menyebut Agustus sebagai musim timuran, karena membuat cuaca tak menentu.
Selama periode yang juga dikenal dengan angin muson timur ini, nelayan lebih sering bermain dengan instingnya. Ketika firasatnya mengatakan, ‘mereka akan mendapatkan ikan hari ini,’ mereka tak ragu untuk berangkat melaut.
Jika firasat mengatakan sebaliknya, mereka akan memilih untuk tidak berangkat dan mengerjakan apa pun yang bisa mereka kerjakan selama membuat dapur tetap mengepul.
Pagi dini hari itu, ia mengajak kami mengunjungi dermaga untuk melihat aktivitas nelayan.
Kami menepi di dermaga Kelurahan Panjunan. Jam sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB. Menurut Tatang, di musim-musim baik, para nelayan berangkat melaut pada malam atau dini hari. Tapi tidak hari itu. Puluhan perahu kayu masih berjajar di tepi sungai.
Samar-samar terdengar suara mesin perahu berderu memecahkan keheningan. Sebuah perahu kecil dengan tiga orang di atasnya berjalan pelan menyusuri sungai menuju lautan.
Mereka bukan penangkap ikan, melainkan para pemburu limbah besi. Kapal-kapal itu berlayar untuk mencari besi rongsokan dari kapal-kapal tongkang.
“Nggak ada yang berangkat hari ini, lagi nggak ada ikan,” kata Ahmad, seorang nelayan lain, merespons rasa penasaran kami.
Ahmad merupakan salah satu nelayan yang biasa menangkap ikan dengan kapal mesin satu. Sama seperti Tatang, hari itu, ia memilih untuk menjadi kuli bangunan ketimbang harus membuang solar tetapi pulang dengan tangan kosong.
Di tengah kesibukannya, lelaki berusia 60 tahun itu bersedia mengantarkan kami melihat aktivitas lain di perairan Cirebon.
Kapal-Kapal Tongkang Pengangkut Batubara
Ahmad melangkah cepat. Ia dengan sigap menarik tali pada mesin perahunya. Kapal kami segera berangkat.
Ahmad berdiri di bagian belakang perahu, tangannya mengendalikan kemudi dari batang kayu. Sementara untuk melajukan perahu, ia mengaitkan seutas tali pada ibu jari kaki kanannya. Setiap Ahmad ingin mempercepat perahunya, ia hanya perlu sedikit mengangkat ibu jarinya.
Puluhan tahun melaut membuat Ahmad layak mendapat gelar sarjana laut. Tanpa memedulikan angin yang cukup kencang dan gelombang yang mengempas badan perahu sederhananya, ia tetap berdiri santai. Badannya berayun ke kiri dan ke kanan, mengikuti gerakan gelombang.
Deru mesin yang sangat keras membuat tak seorang pun mau mengeluarkan tenaga lebih untuk berbicara, begitu juga Ahmad. Ia terbiasa berjam-jam sendiri di atas perahunya. Hanya pemantik dan rokok yang menjadi teman setianya selama berada di lautan.
Perahu melaju sekitar 20 menit sebelum kakek empat cucu itu memelankan laju perahu. Ombak memukul-mukul badan perahu tanpa ampun, membuatnya bergerak liar ke kiri dan ke kanan. Namun, lagi-lagi Ahmad tangguh, dengan sabar ia menunggu kami mengambil gambar dari jarak dekat.
Jarak antara kapal tongkang dengan lokasi yang biasa dijadikan titik tangkapan para nelayan tradisional tak sampai 15 menit menggunakan perahu. Pagi itu, tampak tiga kapal tongkang yang bergerak, mengangkut batubara untuk bongkar muat di Pelabuhan Cirebon.
Aktivitas itu, yang menurut para warga nelayan, mengganggu terumbu karang hingga ikan-ikan mulai menjauh dari sekitar kapal tongkang. Belum lagi kemungkinan limbah batubara yang berjatuhan dari kapal.
Megaproyek Listrik
Tahun 2012, pemerintah meresmikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon. Kala itu, proyek dibangun untuk unit 1 dengan kapasitas 1 x 660 megawatt.
PLTU 1 Cirebon ditargetkan bisa menambah pasokan listrik Jawa-Bali 5.500 GWh per tahun atau setara setrum untuk sekitar 5,5 juta rumah tangga. Nilai megaproyek pertama yang ditenderkan secara internasional setelah krisis keuangan 1998 itu mencapai 850 juta dolar AS atau sekitar Rp8,5 triliun, bila mengikuti kurs tahun 2012.
PLTU dikelola konsorsium Indika Energy Tbk dan perusahaan investasi asal Jepang, Marubeni Corporation, dan dua perusahaan energi Korea Selatan, Korea Midland Power Company dan Samtan Co Ltd.
Dalam waktu dekat, kabarnya PLTU unit 2 juga akan segera beroperasi.
Namun, target elektrifikasi pemerintah membawa dampak lain yang harus ditanggung warga di Waruduwur.
Lokasi ‘Cirebon Power’ itu berada sekitar 10 meter dari Kampung Waruduwur. Jarak keduanya hanya dipisahkan sungai yang menjadi tempat nelayan memarkirkan kapal-kapal kayu mereka.
Para nelayan mencatat, sejak kehadiran aktivitas pembangkit listrik bertenaga batubara itu, hasil tangkapan rajungan mereka berkurang. Bahkan, kualitasnya ikut menurun. Tak jarang, nelayan mendapatkan rajungan yang sudah mati. Sejumlah nelayan setempat menduga air laut tercemar limbah batubara.
Bila sudah begini, mau tak mau nelayan harus berlayar lebih jauh, yang dengan kata lain, ongkos bahan bakar mereka juga bertambah.
Dari hasil perhitungan kasar para nelayan di Waruduwur, untuk jarak tempuh kurang dari 10 mil dari garis pantai, mereka membutuhkan 10 liter solar atau setara Rp55 ribu (per Agustus 2022). Jumlah bahan bakar itu cukup untuk perjalanan pulang pergi.
“Misal dapat 1,5 kg rajungan, (dijual) dapet uang Rp100 ribu, dipakai buat beli sembako sama solar aja udah habis,” kata Alika, salah seorang warga nelayan yang namanya kami samarkan.
Dulu, para nelayan bisa berhari-hari di tengah laut karena hasil yang menjanjikan. Dengan berlayar sekitar 10 mil atau selama satu jam, mereka bisa mendapat hingga puluhan ekor rajungan.
Namun, sejak kehadiran PLTU, dari jarak itu nelayan hanya mampu menjaring sekitar enam ekor rajungan saja. Mereka pun sudah enggan berada di tengah lautan selama berhari-hari dan memilih untuk langsung kembali seketika muncul sang mentari.
Berharap Teknologi Jadi Solusi
Sekitar empat tahun silam, Kementerian Kelautan dan Perikanan meluncurkan aplikasi Laut Nusantara yang menjadi hasil kolaborasi antara Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) dan Badan Riset SDM Kelautan bersama penyedia layanan telekomunikasi swasta, XL Axiata.
Mengutip dari situs resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan, aplikasi yang diklaim telah diunduh lebih dari 60 ribu pengguna ini dapat membantu para nelayan merencanakan penangkapan ikan dengan lebih baik. Mulai dari menentukan lokasi penangkapan ikan terdekat, estimasi kebutuhan bahan bakar, hingga estimasi harga jual.
Dengan kecanggihan teknologinya, aplikasi ini juga diklaim dapat mendeteksi keberadaan ikan tuna sirip kuning, tuna sirip biru, dan albacore (tuna daging putih) yang ketiganya memiliki nilai ekonomi tinggi dan primadona di pasar dunia.
Fitur yang satu ini disebut-sebut bekerja dengan cara mendeteksi lokasi daerah tangkapan ikan berdasarkan kesesuaian kondisi laut, yang menurut berbagai penelitian sebagai area tempat ikan berkumpul. Dasar penentuan lokasi berdasarkan kriteria front suhu dan tingginya kesuburan perairan.
Front suhu adalah daerah pertemuan antara massa air hangat dan dingin. Sedangkan kesuburan perairan yang tinggi berasosiasi dengan tersedia makanan ikan, berupa plankton, yang melimpah. Kedua kriteria tersebut dianalisis menggunakan data citra satelit.
Syarat penggunaan aplikasi ini mutlak: harus memiliki telepon pintar dengan sistem operasi Android. Syarat ini yang sulit dipenuhi para nelayan seperti Tatang.
Selain itu, merujuk data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kota Cirebon tahun 2020, di perairan Cirebon juga hampir tidak pernah ditemukan ikan tuna. Kampung Waruduwur misalnya, lebih terkenal karena hasil tangkap rajungannya.
“Saya nggak tau aplikasi itu, saya nggak pakai hp juga,” kata Tatang.
Kakek dua cucu itu punya alasan mendasar. Ia menganggap telepon pintar terlalu rumit. Sementara, menggunakan firasat untuk melaut lebih murah dan mudah. Ia lebih memilih menggunakan cara-cara tradisional seperti membaca kondisi cuaca, angin, dan gelombang.
Lagipula, baginya, ada hal lain di luar faktor cuaca dan angin yang membuat hasil tangkapan ikan di perairan Cirebon menjadi sepi.
UU Cipta Kerja Menambah Sakit Kepala
Hak nelayan untuk mendapat wilayah tangkap adil hingga saat ini masih sebatas angan yang tak jelas juntrungannya.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan negara telah mengeluarkan empat regulasi terkait perikanan, tapi tak ada satu pun yang dengan tegas memberikan perlindungan bagi wilayah tangkap nelayan-nelayan tradisional seperti Tatang, Ahmad, dan Alika.
“Di Indonesia itu, bicara tentang laut ada empat regulasi yang terpisah dan ini sangat menyulitkan karena sangat sektoral. Sekarang tiba-tiba ada UU Cipta Kerja yang ini jadi masalah baru karena isinya investasi semua,” kata Parid.
Belum lagi masalah kategori nelayan yang masuk dalam regulasi adalah mereka yang memiliki kapal 0 hingga 10 gross ton (GT). Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kapal? Padahal menurut Parid, definisi nelayan itu adalah semua orang yang terlibat dalam pengelolaan hasil laut, dimulai dari pra-produksi hingga pasca-produksi.
“Sementara dalam regulasi yang ada sekarang, pemerintah mengeluarkan regulasi dengan pendekatan multistakeholder,” kata Parid, seraya melanjutkan, “Seolah nelayan kecil dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku besar, termasuk PLTU, kapal-kapal besar, sektor swasta, dan lainnya.”
Keempat regulasi itu adalah UU Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Wilayah Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Bagi Parid, kehadiran aplikasi hanya menambah masalah baru di tengah-tengah kesempitan para nelayan. Ia mendorong pemerintah untuk menjalankan mandat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 untuk kemakmuran para nelayan, ketimbang memaksa mereka menyisihkan uang makan demi membeli kuota telepon pintar.
Pakai Aplikasi di Tengah Laut?
Problematika penggunaan aplikasi Laut Nusantara itu bukan cuma persoalan kemampuan adaptasi teknologi seperti yang dialami Tatang dan juga nelayan seusianya.
Nelayan-nelayan muda di Cirebon mengaku juga tidak menggunakan aplikasi itu karena ketidakjelasan fungsinya.
Akhmad Kusnanto alias Kus salah satunya. Nelayan rajungan asal Desa Pabean Udik, Blok Song, Indramayu ini lebih memilih untuk menggunakan alat serupa GPS, fishfinder. Meski alat ini juga tidak mampu membaca jenis ikan yang ada di laut tetapi ia lebih percaya diri dengan menggunakan fishfinder, dengan segala macam kekurangan dan kelebihannya.
Ada cukup banyak model fishfinder di pasaran. Harganya beragam, mulai dari yang jutaan hingga puluhan juta. Tentu saja semakin mahal, alat tersebut semakin canggih. Namun, tetap saja, wilayah tangkapnya akan semakin jauh. Para nelayan yang menggunakan kapal berkisar 5 gross ton (GT) perlu mengeluarkan solar lebih banyak.
“Cara kerjanya abu-abu, misal kita ke salah satu titik tangkap dan mendapat hasil yang lumayan, dan kita tandai titik tangkap itu dengan alat ini,” kata lelaki kelahiran 27 tahun lalu itu.
Alat-alat canggih itu juga biasanya ditemukan di kapal-kapal besar dengan ukuran di atas 10 GT. Kapal-kapal ini biasanya dimiliki oleh perusahaan swasta dengan wilayah tangkap yang memungkinkan untuk melaut hingga perbatasan Australia.
“Yang jadi masalah, ketika titik tangkap yang sudah kami tandai ini terdengar oleh para ABK kapal besar, mereka akan mendatangi lokasi dan mengambil ikan, rajungan dengan jumlah yang lebih banyak,” kata Kus melanjutkan.
* * *
Kus sebetulnya pernah mencoba mengunduh aplikasi Laut Nusantara. Tapi, menurutnya aplikasi tersebut gagal terbuka dan ponselnya malah mati dalam sekejap.
Ia juga mengaku heran dengan klaim yang menyebutkan bahwa aplikasi yang disediakan tersebut dapat menentukan titik lokasi beberapa jenis ikan yang memiliki nilai jual tinggi.
“Masa? Kita pakai handphone di perahu, dan aplikasinya bisa melihat jenis ikan di laut? Logikanya di mana?” kata Kus.
Kus tak mau ambil pusing. Lagi pula, keputusannya membeli ponsel pintar seharga Rp2 jutaan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan ketika melaut: mendengarkan musik atau memainkan gim.
Artikel ini adalah bagian dari serial #NegaraAplikasi yang didukung oleh Kawan M.