GRUP WHATSAPP GEMPAR. Foto seorang pria yang setengah badannya dimakan buaya beredar. Si pria, warga Desa Sepaku, sedang mengumpulkan umpan untuk memancing ketika tiba-tiba buaya keluar, menyambar dan menyeret tubuhnya ke tengah sungai, lalu beberapa buaya lain turut menyantap tubuh pria tersebut.
Pria bernasib nahas tersebut masih berkerabat dengan Yati Dahlia, penari Ronggeng berumur 29 tahun dari Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kecamatan Sepaku dipilih pemerintahan Joko Widodo sebagai lokasi Ibu Kota Negara.
Dahlia masih dalam suasana duka atas kematian saudaranya itu ketika secara mendadak mendapatkan panggilan menari untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi esok harinya.
Istri si pria adalah sepupu Dahlia. “Kasihan. Anaknya ada tiga, masih kecil-kecil.”
Dahlia saat itu baru saja pulang melayat dari rumah keluarga yang berduka di Pemaluan. Ia berencana membatalkan kegiatan latihan tari bersama anak-anak didiknya. Tetapi, ketika ia sampai di rumahnya di Sepaku 4, sudah ada sejumlah polisi di rumahnya. Mereka meminta Dahlia dan anak-anak didiknya tampil keesokan hari. Saat itu pukul 16.00.
“Besok anak-anak sudah harus siap,” kata mereka.
Ia segera mengajak anak-anak latihan tari. Pukul 21.00, ia baru selesai latihan, lalu membawa para penari menginap di rumahnya. Pukul 5 pagi keesokannya, mereka langsung bersiap-siap, lalu berangkat.
Sore hari itu, saya berjanji bertemu Dahlia setelah dua rencana sebelumnya batal karena kesibukannya sebagai penari, guru tari, dan ibu dari empat anak.
Seiring gegap gempitanya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, hari-hari Dahlia makin sibuk. Sanggar tarinya kerap dipanggil untuk menyambut tamu pejabat yang berdatangan mengunjungi Titik Nol IKN. Permintaan-permintaan itu serba dadakan. Kadang, ia hanya diberi seminggu, bahkan sehari, untuk mempersiapkan para penari.
Tari ronggeng khas Suku Balik biasa dimainkan oleh para perempuan. Tarian dibuka dengan gerakan memberikan salam kepada para penonton. Mereka menari sambil bernyanyi, kadang sambil berbalas pantun. Alat musik gambus mengiringi tarian.
Dahlia sering sekali berpesan kepada anak-anak didiknya untuk memperhatikan gerak tubuh mereka. Penari perlu bergerak secara luwes, halus, dan tak terburu-buru.
“Jangan seperti orang berlari,” katanya.
Dahlia adalah perempuan Suku Balik, suku asli (indigenous people) di kawasan IKN. Ia mendirikan sanggar seni tari tradisi bernama Uwat Bolum dari uangnya sendiri pada 2014. Tidak ada dukungan finansial dari pemerintah daerah maupun lembaga adat. “Jadi baju-baju yang kami punya itu adalah baju-baju saya tahun 2003, sampai sekarang masih kita pakai.”
Sebelumnya, sanggar tari yang jadi tempatnya berlatih dari kelas 5 SD sampai ia berumur 11 tahun tutup. Lalu ia berpikir, “Jika begini terus, anak cucu saya akan tidak kenal tradisi kami, maka saya coba bangun sanggar tari sendiri.”
Menggugat Undang-Undang IKN
Sekalipun sejak 2019 kehadiran proyek IKN di Sepaku telah mengantarkan kesempatan Dahlia dan sanggar tarinya diundang menari untuk menyambut para pejabat, akan tetapi proyek itu menghadirkan keresahan-keresahan baru baginya.
Dahlia adalah salah satu warga yang mengajukan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara ke Mahkamah Konstitusi. Pembahasan UU IKN dikebut supercepat, tak lebih dari dua bulan. Bila dikurangi dari masa reses DPR, UU ini hanya dibahas 17 hari, disahkan para elite politik di Jakarta pada Januari 2022. Namun, MK menolak gugatan tersebut.
Untuk sebuah rencana maha penting yang bakal mengubah masa depan warga dan negara Indonesia, UU IKN sangat minim partisipasi masyarakat. Selain itu, para pengugat seperti Dahlia khawatir tempat tinggalnya akan digusur oleh proyek IKN. Jarak rumahnya dan rumah delapan puluh tiga keluarga lain hanya 6 km dari Titik Nol IKN. Dahlia menolak dipindahkan atau direlokasi, sebab bila kejadian seperti itu, ia harus memulai kehidupan baru.
Dahlia khawatir sejarah dan identitas Suka Balik bakal semakin tercerabut imbas perubahan besar-besaran yang sudah mulai terjadi karena proyek IKN. Ruang hidup Suku Balik hilang. Masyarakat semakin dipinggirkan.
Menurutnya, bila orang rantau kehilangan lahan lalu mendapatkan ganti rugi, akan mudah kembali ke tanah asalnya. Tetapi, bagi Suku Balik yang memang tanah kelahirannya di Penajam Paser Utara, mereka mau pindah ke mana?
Ibu kota yang baru dan megah juga akan mencari tenaga kerja orang-orang berijazah. Sementara, Suku Balik selama ini mengalami ketimpangan akses pendidikan, seperti dirinya. Tanpa ada peningkatan kualitas dan kesetaraan pendidikan bagi Suku Balik, ia khawatir, pembangunan IKN hanya akan semakin memperlebar ketimpangan.
Dahlia hanya lulusan SMP. Sejak usia 16 tahun, ia sudah bekerja. Memilih mencari uang daripada meneruskan sekolah. Ia ingin mandiri secara finansial dan tak ingin bergantung terus-menerus dengan orangtuanya.
Awalnya, ia bekerja sebagai buruh harian di PT ITCI Hutani Manunggal (IHM) untuk mengisi waktu libur ketika di SMK. Ia bertekad tidak meminta lagi uang jajan dari orangtua.
Karena Dahlia masih di bawah umur, ia meminjam KTP kawannya untuk melamar kerja. Ia berlatih setiap hari agar bisa lancar memalsukan tanda tangan kawannya. Dari pekerjaannya itu, ia mendapatkan upah Rp29.500/hari.
“Padahal sama bapak tidak boleh kerja, hanya disuruh fokus sekolah,” kenangnya.
Tapi ia telanjur suka bekerja karena tidak perlu minta uang kepada orangtua. Maka ia memilih memanfaatkan libur puasa dengan bekerja, yang akhirnya berlanjut sampai tidak kembali ke sekolah.
Pekerjaan terakhir Dahlia sebelum menikah adalah menjadi juru masak di sebuah perusahaan minyak selama enam bulan dengan gaji Rp2 juta/bulan.
Korban Spekulan Tanah IKN
Waktu menunjukkan pukul 16.00 ketika saya tiba di lokasi pemotretan. Lokasi itu lahan bekas milik ayahnya, yang sekarang berpindah tangan ke orang lain ulah para makelar tanah.
Ayahnya, Medan, memiliki tanah yang siap dibagi-bagikan kepada enam anaknya. Seperti masyarakat adat umumnya, Medan hanya memiliki surat yang dibuat pada 2020 berupa segel tapi tidak tercatat di Badan Pertanahan Nasional.
Ketika kabar pembangunan IKN semakin menyebar, harga-harga tanah di kawasan Sepaku naik. Tanpa sepengetahuan Medan, seorang kenalan membuat sertifikat atas tanahnya pada 2021, termasuk sebidang tanah yang semula akan diwariskan kepada Dahlia. Tanah itu dijual oleh spekulan kepada seseorang di Balikpapan.
Ketika sang pembeli datang meninjau tanah, ia secara tidak sengaja berpapasan dengan Medan. Perundingan status tanah tersebut pelik dan melelahkan, memakan waktu hingga satu tahun.
Dahlia saat itu dalam kondisi hamil besar. Bidan yang memeriksanya berkata Dahlia mengandung anak kembar.
“Saat saya tahu lahan ini dibuatkan sertifikat oleh orang tanpa persetujuan kami, saya nekat berjuang sejak sebelum hamil sampai sudah melahirkan anak kembar ini. Saya terus berjuang sampai kaki saya bengkak, supaya tanah kami ini tidak terjual.”
Dahlia geram. Ia sempat melaporkan pihak yang membuat sertifikat tanahnya ke otoritas berwenang. Tapi, tak ada kabar selanjutnya sampai sekarang.
Akhirnya, jalan keluar yang mereka sepakati, tanah sertifikat dibagi dua antara pembeli dan Medan. Pahitnya, Medan harus membayar Rp450 juta untuk tanahnya sendiri. Status tanahnya kini masih belum jelas karena Dahlia kesulitan menghubungi penjual untuk mengurus proses sertifikasi lebih lanjut.
Kini, Dahlia mesti membagi waktu antara memperjuangkan tanah keluarganya dari cengkeraman makelar tanah IKN, mengelola sanggar tari, dan mengajar tari di sebuah SD negeri, serta mengurus anak-anaknya.
Imbas dari persoalan tanah itu, Dahlia harus memindahkan bangunan rumahnya. Rangka bangunan rumahnya mesti dipindahkan ke tanah sebelah. Dahlia sibuk mencari kayu dan atap untuk rumah baru tersebut.
Tidak mudah melakukan semua itu seorang diri. Meski begitu, ia belajar bagaimana lingkungan yang suportif dapat membawanya ke titik ini.
Untuk mengurus anak-anaknya, Dahlia dibantu kakak perempuannya, ibunya, dan suaminya. Ia baru saja melahirkan sepasang bayi kembar bernama Naura dan Naira. Naura yang rewel biasa diurus kakaknya. Sementara Naira yang anteng dan sudah bisa tengkurap biasa diurus neneknya.
Dua anak perempuan lain yang lebih tua sudah bisa mengurus diri mereka sendiri. Anak tertua sekolah di pesantren, sementara anak kedua biasa ikut menjaga Naura dan Naira di rumah.
Suami Dahlia, Ananda Daniel Tuatara, biasa dipanggil Edi, selalu berada di sampingnya. Meski Edi sehari-hari bekerja sebagai buruh sawit, ia selalu meluangkan waktu mengantar jemput Dahlia ke sanggar, menemani istrinya mengawasi pembangunan rumah, hingga menemani anak-anak didik Dahlia dan membelikan mereka camilan.
Ini adalah pernikahan kedua Dahlia. Ia sempat menikah muda pada usia 19 tahun dan mengalami hubungan tidak sehat. Mantan suaminya membenci Dahlia jika aktif bekerja dan menari. Ia menuduh Dahlia selingkuh, mengamuk, lalu mengancam akan bunuh diri. Pengalaman itu sempat membuat Dahlia trauma.
Dahlia belajar dari pengalaman itu untuk memperjuangkan dirinya sendiri. Ia mesti berdaya terlebih dahulu sebelum mencari pendamping hidup. Pengalaman itu ia jadikan pelajaran untuk anak-anaknya juga.
Ia mengajarkan anak-anaknya hidup mandiri, termasuk kepada anak-anak didiknya, “Jangan menikah muda. Perjalanan masih panjang. Kejar dulu cita-cita kalian.”
Kini, di tengah proyek IKN yang segalanya berjalan serba cepat dan buru-buru, Dahlia fokus pada perjuangannya mempertahankan tanah keluarga, sanggar tarinya, dan memberikan hidup yang layak bagi anak-anaknya.
Dahlia tidak sendiri dalam memperjuangkan itu. Orangtua, saudara, dan suaminya ikut berada di sisinya.
Setidaknya, jika mereka tak bisa menikmati hasil perjuangan itu, mereka bisa memastikan hidup anak-anak mereka tidak kekurangan.
“Walaupun nanti Tuhan yang menentukan, tapi saya berjuang untuk anak-anak saya. Agar mereka tidak perlu mengamen. Agar mereka punya tempat tinggal,” tegas Dahlia.*
Cerita foto ini adalah bagian dari serial liputan #IbuKotaBaruUntukSiapa, kolaborasi Project Multatuli dan Trend Asia