Di Balik Bisnis Perdagangan Senjata Api di Papua

Jubi
Fahri Salam
29 menit
Ilustrasi perdagangan senjata api di Papua. (Project M/Nadiyah Suyatna)

Lika-liku tentara dan polisi Indonesia dan warga sipil berjualan senjata dengan pasukan bersenjata Papua. Bagaimana prosesnya, berapa keuntungannya? Mengapa pasar gelap senjata marak saat kekerasan meningkat di Tanah Papua?


PETUALANGAN ANGGOTA BRIMOB

Rabu siang, 21 Oktober 2020. Tepat pukul 11.30 waktu setempat, pesawat Wings Air nomor penerbangan IW 1608 dari Timika mendarat di Bandara Douw Aturure, Nabire. Salah satu penumpang yang turun adalah pria berusia 36 tahun bernama Muhammad Jabir Hayan. 

Jabir, yang bertubuh gempal, menenteng tas hitam berisi dua senapan serbu. Sepucuk M4 dan M16. Saat tiba di konter pemeriksaan, tas itu dibuka petugas bandara dan polisi. Isinya dipotret, tapi Jabir dilepas bersama barang bawaan tersebut.

Jabir bisa tampak percaya diri. Ia seorang polisi. Pangkatnya Bripka. Jabir adalah anggota Brimob Kelapa Dua, markas utama satuan tempur Polri di Depok, Jawa Barat, yang bertugas di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 

Meski begitu, Jabir tetap waspada. Bagaimanapun, perjalanan kali ini tidak biasa. Seluruh pos migrasi manusia diperketat karena pandemi COVID-19. 

Keluar dari pintu bandara, Jabir segera mencari penjemputnya, Didy Chandra, anggota Persatuan Olahraga Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Nabire. Mereka segera naik ke Mitsubishi Xpander putih meninggalkan bandara.

Sadar dalam perjalanan mereka dikuntit, Jabir mengontak Fuad Ari Setyadi, mantan Bintara Pembina Desa Komando Rayon Militer 1705-06/Moanemani yang dipecat karena desersi. Fuad adalah paman Didy Chandra.

Fuad bukanlah orang asing bagi Jabir. Mereka kenal sejak 2017. Mereka bertemu di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu Jabir diminta oleh seorang yang diduga tentara aktif untuk membawakan sepucuk M4. Jabir bisa lolos menyelundupkan senapan tersebut ke Nabire bermodalkan menunjukkan Kartu Tanda Anggota Polri. 

Karena transaksinya bukan lewat dirinya, Jabir tidak tahu harga senjata api tersebut ke tangan Fuad. Tapi, ia mendapatkan upah kurir, atau dalam bahasa mereka “fee terima kasih”, sebesar Rp10 juta. Hari itu juga Jabir kembali ke Jakarta.

Sejak itu Jabir rutin membawa berbagai jenis senjata api yang diminta Fuad Setyadi dan Didy Chandra. 

Jabir menumpang pesawat komersial seperti Garuda dan Batik Air dari Jakarta dengan penerbangan langsung ke Jayapura, atau transit ke Makassar lalu ke Timika, kemudian pindah pesawat menuju Nabire. Dan, dalam petualangannya yang berakhir dipenjara, Jabir melakukan perjalanan transit. 

Di dalam Xpander yang disetir Didy Chandra, masih dibuntuti sebuah mobil di belakang mereka, Fuad di ujung telepon menyarankan kepada Jabir bahwa rencana transaksi kali ini dibatalkan saja dan Jabir segera kembali ke Jakarta sambil membawa M4 dan M16.

Masalahnya, opsi perjalanan pulang terbatas di masa pandemi. Penerbangan komersial yang bisa membawa Jabir keluar dari Nabire baru ada lagi esok hari. Jabir memutuskan cari cara yang mungkin agak aman, dengan mengandalkan dirinya sebagai anggota Polri. Maka, ia minta Didy mengarahkan mobil ke Markas Kepolisian Resor Nabire. Setelah beberapa saat, dengan mobil Xpander yang sama, mereka keluar lalu berkeliling Nabire. 

Upaya mereka mengelabui para pengintai itu berakhir di Hotel Mahavira saat Jabir berencana bermalam. Wakil Kepala Polres Nabire Kompol Samuel Tatiratu, yang datang bersama para personel polisi, meminta Jabir dan Didy ikut ke Kantor Polres Nabire.

Jabir dan Didy serta Fuad Setyadi ditahan saat itu juga. Mereka didakwa memperdagangkan senjata api ilegal untuk kelompok bersenjata di Papua. Pada akhir Maret 2021, Pengadilan Negeri Nabire menghukum ketiganya 6 tahun penjara. 

Tim gabungan TNI-Polri Pos Nabire membekuk Jabir Hayan, pelaku penyelundupan senjata ilegal di wilayah Nabire pada 21 Oktober 2020, menemukan M16 dan M4 dan 2 magasin tanpa peluru. (Dokumentasi Kopasgat TNI AU)

Dalam berkas pengadilan terpisah mereka, terungkap detail umum peran ketiganya sebagai kurir maupun perantara serta pemesan dan penerima keuntungan dari transaksi penyelundupan senjata api ini.

Dalam sembilan kali petualangan Jabir antara 2017-2020, setidaknya ia menjual 14 pucuk senjata api yang selalu disanggupinya atas pesanan Fuad dan Didy. Selain beberapa kali membawa senapan serbu M4 dan M16, transaksi mereka berupa pistol kaliber 22, kaliber .380, Glock, dan sejumlah magasin. Total transaksinya sekitar Rp1,3 miliar.

Di Nabire, beragam senjata api itu kemudian disalurkan Fuad dan Didy ke politisi lokal dan anggota DPRD bahkan tokoh agama setempat. Di Jakarta, pemasok senjata yang dikontak Jabir meliputi terduga tentara aktif dan warga sipil yang punya lisensi dan akses kepemilikan senjata api. 

Meski nama-nama pemasok senjata itu disebut terang dalam berkas persidangan yang menjerat Jabir, tapi mereka tidak diproses hukum; dalam bahasa polisi disebut “DPO”—daftar pencarian orang. 

Proses pengadilan berhenti kepada Jabir, Fuad, dan Didy, selain ke beberapa orang yang menerima senjata itu dari tangan Fuad dan Didy di Papua. 

Artinya, kasus ini berhenti pada peran”‘middleman” alias perantara. Orang-orang di Jakarta, kalaupun bukan disebut jaringan, yang diminta Jabir menyediakan senjata api, tidak diproses secara serius oleh aparat penegak hukum. 

Padahal Jabir, dalam petualangannya menyelundupkan senjata ke Papua, telah dikenal sebagai seorang kontak “yang berhasil meyakinkan pembeli di Papua” berkat reputasinya yang bisa bekerja dengan tepat waktu dan cepat.  

Seorang narasumber kami di Papua, yang mengenal secara dekat petualangan Jabir, berkata: “Dia dianggap orang pusat. Dia yang bawa senjata dengan aman masuk Papua.” 

PEMBERONTAK

Egianus Kogaya mengokang dan mengarahkan senapan SS2 produksi PT Pindad ke pilot Philip Max Mehrtens. Melayangkan telunjuk kanan di depan kamera yang merekamnya, sementara tangan kiri memegang grip dan moncong senjata api hanya beberapa senti terarah ke kepala sang pilot, Egianus berkata: 

“Kalau negara Indonesia tidak mengakui [kemerdekaan Papua], saya akan tembak pilot ini. Saya kasih waktu hanya dua bulan.”

Video itu beredar pada akhir Mei 2023 dan jadi salah satu kemunculan Egianus yang sangat jarang. Terlebih setelah kelompoknya membakar pesawat Susi Air, maskapai milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, di Distrik Paro, Nduga, pada 7 Februari 2023. Peristiwa ini sekaligus jadi operasi penyanderaan sang pilot berkebangsaan Selandia Baru itu.

Sejak itu pasukan gabungan TNI-Polri gencar memburu Egianus dan kelompoknya, sekaligus sebagai operasi penyelamatan sandera. Namun, tiap terjadi kontak senjata, baku tembak itu meninggalkan kematian bagi sejumlah prajurit TNI. Selain itu, menciptakan ketakutan bagi warga sipil. Ujungnya, menambah jumlah pengungsi internal di Papua. Kampung-kampung di Papua yang jadi wilayah operasi militer menjadi kosong.

Dan, sampai pengujung 2023, artinya lebih dari 10 bulan lamanya, pilot Mehrtens pun masih disandera kelompok Egianus. 

Menurut Satgas Operasi Damai Cartenz Papua, Egianus memimpin kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sejak 2017. Sejumlah penembakan di Nduga, atau yang terjadi di Pegunungan Tengah Papua, dikaitkan dengan kelompoknya.

Peristiwa yang bikin geger adalah aksi penyergapan dan pembunuhan terhadap para pekerja PT Istaka Karya, BUMN kontraktor Jalan Trans Papua, di Distrik Yigi, Nduga, pada awal Desember 2018. Setidaknya 19 pekerja tewas dieksekusi oleh kelompok Egianus.

Egianus Kogoya adalah Komandan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Ndugama Darakma TPNPB. Sejarah masa lalunya masih simpang-siur. Ada yang mengisahkan Egianus adalah putra salah satu pimpinan OPM bernama Silas Kogoya, yang terbunuh dalam Operasi Mapenduma pada 1996. 

Operasi militer Indonesia itu, yang tak sepenuhnya berjalan mulus dan penuh intrik demi karier personal perwira, adalah upaya pembebasan sandera para peneliti lingkungan, beberapa di antaranya dari luar negeri, yang melakukan studi lapangan di Taman Nasional Lorentz pada November 1995-Januari 1996. Penyanderaan itu dilakukan kelompok OPM Kelly Kwalik.

Seorang narasumber kami di Wamena berkata, “perjuangan Egianus adalah perlawanan lanjutan atas cita-cita orangtuanya.” 

“Egi itu melanjutkan perjuangan bapaknya,” katanya, menambahkan bahwa Wamena, pusat ekonomi dan politik Pegunungan Tengah Papua, pernah jadi tempat sekolah Egianus. 

Disebut-sebut pula kelompok Egianus adalah proliferasi dari eks sayap militer Kelly Kwalik.

Kwalik, yang dipanggil rakyat Papua dengan sematan “Tuan Jenderal Kelly Kwalik”, adalah seorang anak suku Amungme, komunitas adat yang paling menderita karena operasi penambangan emas dan tembaga PT Freeport. Kelahiran 1955, Kwalik adalah seorang guru yang angkat senjata pada 1976; ia tewas ditembak Tim Densus 88 di sebuah rumah di Jalan Freeport Lama, Timika, pada 16 Desember 2009. 

Diperkirakan umur Egianus saat ini belum genap 30 tahun. Artinya, saat aksi pertamanya tercatat Kepolisian Indonesia terjadi pada 2017, usianya sekitar 21 tahun. Usia yang hampir sama saat Kwalik angkat senjata.

Dalam rekaman video ancaman Egianus kepada pilot Max Mehrtens, terlihat ia dikelilingi para pengikutnya, mengerubungi sang pilot yang duduk menekuk lutut di atas rumput dengan topi rimba menutupi kepalanya, memayungi pandangan matanya yang pasrah. 

Para pengikutnya, yang berdiri melingkari Mehrtens, memegang senapan laras panjang, semuanya mengarahkan ke sang pilot. Sedikitnya mereka memegang 17 senjata api. Dari modelnya, terlihat senapan mesin FN Minimi, AK-47, SS1 buatan Pindad, juga ada senjata dilengkapi pelontar granat. Di barisan belakang mereka ada yang memanggul senjata tradisional seperti panah. 

Di akhir video, Egianus berteriak “Papua”, lalu para pengikutnya pun menyambut “Merdeka!”—sebanyak tiga kali. Video berdurasi 0:48 detik ini adalah sebuah pernyataan. 

Philip Max Mehrtens, pilot Susi Air warga negara Selandia Baru, dalam penyanderaan kelompok TNPB Egianus Kogoya sejak 7 Februari 2023. Egianus menuntut pemerintah Indonesia bersedia berunding dengan gerakan pembebasan Bangsa Papua. (Dokumentasi TNPPB)

Dalam satu pengakuannya pada 2020, Egianus buang suara bahwa pihaknya membeli senjata dan amunisi dari TNI-Polri. “Kami beli karena kami butuh. Dan mereka jual karena mereka [TNI-Polri] mau dapat makan dari mana kalau tidak jual amunisi dan senjata?” katanya.

Prosesnya, pasukannya akan mengontak anggota TNI-Polri yang bertugas di lapangan, lalu si anak buah akan meneruskan ke atasan. Setelah itu ada transaksi.

“Anggota yang di dalam [atasan] itu yang jual, anak buahnya yang kirim [senjata atau amunisi],” kata Egianus. 

Meski begitu, tidak sepenuhnya kelompok Egianus mendapatkan senapan lewat transaksi ilegal seperti itu. 

Pada 18 Juni 2022, kelompok Egianus merampas Steyr AUG, senapan runduk (sniper) yang biasa digunakan satuan polisi khusus seperti tim Gegana Brimob. Senapan tipe ini sangat langka di Tanah Papua, konon setiap batalion Brimob hanya memiliki satu atau dua pucuk. Memiliki teleskop untuk membidik target dari jarak jauh hingga 500 m, berat kosong senapan ini 3,6 kg dengan kecepatan peluru 992 meter/menit, berisi 30-42 butir peluru di bagian magasin.

Kronologi peristiwanya menerbitkan kejanggalan. Seorang Komandan Kompi Brimob Yon D Wamena bernama AKP Rustam ditelepon seorang warga bernama Alex Matuan. Rustam diminta menembak sapi milik Matuan di daerah Napua, Wamena. Rustam mengajak anak buahnya, Bripda Diego Rumaropen, dengan membawa Steyr AUG dan AK-101.

Setelah sapi berhasil ditembak, Rustam menitipkan Styer ke Rumaropen, dengan alasan ingin mengecek sapi yang ditembaknya di bawah bukit. Saat Rumaropen sendirian itu, dua orang tak dikenal membacoknya. Rumaropen meninggal seketika. Steyr AUG dan AK-101 itu dibawa kabur oleh para perampas dan kini dikuasai kelompok Egianus Kogoya. 

Buntutnya, AKP Rustam dipecat. Upacara pemberhentiannya secara tidak hormat digelar di Markas Polda Papua pada Juli 2023.

 

PEREDARAN SENJATA API & AMUNISI

Kami mewawancarai sedikitnya tiga narasumber yang pernah terlibat peredaran senjata api di Tanah Papua. Salah seorang di antaranya pernah berupaya memasok amunisi ke kelompok Egianus Kogoya.

Ia bercerita membeli ratusan butir peluru dari seorang kenalannya yang pernah jadi prajurit TNI. Ia juga pernah mencoba mencari senjata api dan amunisi di Papua Nugini berbekal informasi bahwa di sana lebih gampang mendapatkannya. 

“Makanya saya ke sana. Tetapi, nyatanya susah. Di Papua Nugini agak susah dapat amunisi dan senjata. Lebih mudah di Indonesia,” ujarnya.

“Polisi atau tentara Indonesia yang jual, sama saja, yang penting ada uang,” tambahnya.

Narasumber lain yang mengenalkan diri sebagai perantara bercerita bahwa salah satu anggota kelompok bersenjata pernah menitipkan uang kepadanya untuk dibelikan senjata yang ditawarkan seorang mantan prajurit TNI. 

“Pasokan senjata [itu katanya] dibawa dari luar Papua,” ujarnya, menambahkan ia tak tahu sumber dana pembelian senjata yang didapatkan TPNPB itu.

Seorang narasumber lain, yang divonis bersalah memperdagangkan amunisi, berkata ia dituduh berbisnis jual-beli senjata api dengan seorang prajurit TNI. Ia memang mengenal tapi mengelak pernah berbisnis senjata dengan prajurit tersebut. Keduanya sama-sama divonis bersalah dan dihukum penjara. 

Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) pernah merilis laporan investigasi berbasis berkas-berkas pengadilan dan rujukan pemberitaan selama 11 tahun terakhir (2011-2021) mengenai perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua. Dirilis dan didiskusikan pada Juli 2022, AIDP merinci kasus-kasus yang pernah terungkap mengenai bisnis gelap ini. 

Di antaranya kasus yang terjadi di Timika. Seorang anggota Kodim 1710/Mimika bernama Desmisla Arista Tefbana, yang punya jaringan kontak ke anggota TNI AD setingkat pratu dan prada, juga kontak ke petugas keamanan bandara, terlibat transaksi 2 pistol dan 2 senjata rakitan. Juga 2 magasin, 6 amunisi, ribuan butir peluru, dan senjata api.

Ia juga setidaknya melakukan tiga kali transaksi amunisi. Pada Juni 2018, 150 butir; Agustus 2018, 100 butir; Januari 2019, 100 butir. 

Tefbana diadili pengadilan militer dengan 4 berkas: penjara 4 tahun; penjara seumur hidup dan dipecat; penjara 3 tahun dan dipecat; dan penjara 4 tahun.

Ada juga kasus terjadi di Nabire, juga melibatkan desertir prajurit TNI bernama Durri Jayyid. Selain punya kontak dengan anggota TNI AD Denzipur 12 Nabire, Jayyid punya jaringan kontak ke warga sipil. 

Transaksi yang dilakukannya berupa amunisi 310 butir, 50 butir, dan 125 butir. Ia divonis 5 tahun penjara.

Selain itu kasus yang melibatkan lebih dari empat warga sipil di Nabire dan Manokwari. Mereka menyelundupkan 12 pucuk senjata api plus amunisi dari Filipina via jalur Sangihe Talaud. Mereka divonis antara 1,5 tahun hingga 4 tahun penjara.

Kasus lain disidangkan di PN Wamena. Dua bersaudara, Yulian dan Kapol Uropmabin, anak buah Lamek Taplo, panglima TPNPB wilayah Pegunungan Bintang, terlibat dalam penyelundupan senjata api jalur Bougainville, kawasan otonom Papua Nugini. 

Mereka membawa 2 pucuk M16, senapan otomatis ringan FN FAL, sepucuk M2, dan sepucuk pelontar granat GLM 40 mm. Keduanya divonis 3 tahun 10 bulan penjara.

AIDP menyebut sejumlah wilayah telah jadi tempat perdagangan senjata api dan amunisi di Papua. Mereka adalah Biak, Jayapura, Manokwari, Merauke, Nabire, Nduga, Pegunungan Bintang, Serui, Sorong, Timika, dan Wamena.

Khusus Nabire disebut “titik temu” transaksi utama. Nabire adalah sentral mobilisasi antar-kabupaten di kawasan pegunungan. Jalur kelompok TPNPB yang bergerak dari Intan Jaya ke Tembagapura, Intan Jaya ke Paniai, dari Puncak ke Paniai; semuanya lewat Nabire. 

“Itu karena permintaan senjata api dan amunisi yang tinggi di sekitar wilayah pegunungan, bertemu dengan banyaknya jaringan dan jalur yang tersedia, ditambah lagi fasilitasi pengaman di bandara dan pelabuhan yang tidak memadai,” tulis laporan AIDP.

Laporan ini menyimpulkan sepanjang 2011-2021, ada 51 orang yang dipidana karena terlibat perdagangan senjata di Papua. Mereka terdiri 31 warga sipil, 14 prajurit TNI, dan 6 anggota Polri. 

Pengungkapan kasus-kasus ini menyita barang bukti berupa 52 pucuk senjata api, 9.605 butir peluru, dan uang senilai Rp7.244.990.000.

Data yang diolah AIDP berdasarkan putusan pengadilan terhadap 16 kasus. “Ke-16 kasus itu yang kami kutip untuk jadikan data pelaku yang diputus pengadilan. Tapi, ada sebagian yang tidak teridentifikasi di pengadilan,” kata Direktur AIDP, Anum Latifah Siregar. 

Tim peneliti AIDP meyakini perdagangan senjata api dan amunisi di Tanah Papua merupakan “fenomena gunung es”. Kasus-kasus sebenarnya diduga kuat melebihi kasus yang dapat diungkap oleh aparat penegak hukum Indonesia, tulis laporan itu.

Argumentasinya, pertama, dalam beberapa kasus, pelaku mengaku telah berulang kali melakukan transaksi dengan melibatkan penyedia senjata api dan amunisi lebih dari satu orang. 

Kedua, jaringan transaksi yang ada sangat beragam, dari anggota TNI-Polri hingga masyarakat sipil di banyak tempat. 

Ketiga, jalur transaksi sangat beragam dan terjadi di banyak tempat. 

Jalur darat, yakni lewat hutan, jalan tikus, atau jalur pinggir kota, biasanya diandalkan TPNPB. Jalur laut atau sungai melewati pelabuhan kecil cenderung dipakai TPNPB, sementara pelabuhan besar cenderung digunakan anggota TNI-Polri dan masyarakat sipil. Adapun jalur udara adalah penerbangan komersial yang biasanya dilakukan anggota TNI-Polri. 

Keempat, peristiwa kontak tembak, penyerangan atau penyergapan terhadap aparat TNI dan Polri makin sering terjadi di banyak tempat dengan durasi cukup lama dan berulang kali. “Artinya, senjata api dan amunisi yang beredar masih sangat banyak,” tulis laporan AIDP. 

Kelima, proses hukum atas kasus yang terungkap hanya mengadili pelaku di lapangan, sementara penyedia utama senjata api dan pemberi dana tidak diproses.

“Penyedia dan sumber dana ini bisa saja terus melakukan aksinya dengan mengubah strategi, misalnya membangun jaringan dan jalur baru,” lanjut laporan itu.

Maka, kesimpulan AIDP, tim peneliti menduga hanya sekitar 30%-50% kasus-kasus perdagangan senjata api dan amunisi yang dapat diungkap oleh aparat penegak hukum. 

“Artinya juga, hanya sekitar 30%-50% barang bukti berupa senjata api dan amunisi dan nilai transaksi yang terungkap,” tegas AIDP.

 

PERPUTARAN UANG

Pertanyaannya: dari mana sumber dana buat membeli senjata dan amunisi ini? 

Anum Siregar berkata pihak yang membeli senjata api atau amunisi ilegal di Papua memakai berbagai macam sumber pendanaan. Sumber pendanaan itu termasuk Dana Desa, keuntungan hasil tambang, dan uang yang beredar dalam proses pemilihan pejabat publik, khususnya pemilihan kepala daerah (Pilkada).

“(Saat Pilkada), walaupun dana itu diberikan bukan dengan tujuan untuk membeli senjata api, tetapi uang dengan jumlah yang banyak itu digunakan untuk membeli senjata api,” kata Siregar.

Seorang narasumber bercerita kepada kami bahwa ia mendapatkan uang pembelian senjata api atau amunisi, yang biasanya bernilai ratusan juta rupiah, dari sejumlah kepala kampung yang dipaksanya menyisihkan Dana Desa. 

Ada kepala kampung yang langsung menyerahkan sejumlah uang, tapi tidak sedikit pula yang enggan, untuk membeli senjata api.

Ia mengakui sejumlah kepala kampung harus dibujuk terus-menerus agar mau menyisihkan Dana Desa untuk membeli senjata api atau amunisi bagi TPNPB, meski tak selalu berhasil.

“Ada satu [pengurus] desa yang meminta dikembalikan uangnya dan saya kembalikan, transfer kembali. Saya juga sempat ditipu sama oknum anggota TNI, katanya ada senapan laras panjang dihargai Rp80 juta. Pas dibawa, memang dalam keadaan dibungkus rapi, lalu saya bayar. Pas dibuka ternyata hanya senapan angin biasa,” katanya. 

Salah satu kasus yang terungkap adalah penangkapan Ratius Murib alias Neson Murib di Bandara Mulia, Kabupaten Puncak, pada 15 Juni 2021. Barang buktinya adalah buku catatan transfer uang dari pemerintah daerah kepada kelompok Lekagak Telenggen, komandan TPNPB wilayah Puncak. Ada juga transfer dari anggota parlemen daerah, yang kemudian dibantah. Total dana yang ditranfer ke Murib, menurut penyidik, mencapai Rp1,39 miliar. 

Murib keburu ditangkap sebelum mendapatkan senjata. Meski begitu, pengungkapan ini hanya berhenti pada Murib. 

Narasumber kami di Papua bercerita mengenai nilai transaksi dari pasar gelap yang pernah dilakukannya. 

“Beda harga untuk amunisi,” katanya. “Ada yang Rp150 ribu/butir, ada yang Rp100 ribu/butir. Saya tidak kenal pelurunya, hanya beli, untuk senjata mana saya tidak tahu.” 

“Amunisi yang dibeli untuk yang laras panjang ratusan butir, sedangkan peluru pistol puluhan butir. Pistol kosongan dibeli dengan harga Rp30 juta,” tambahnya.

Penelitian AIDP menerangkan gambaran perputaran uang dari bisnis perdagangan senjata di Papua.

Untuk amunisi, rata-rata dijual Rp100 ribu-Rp150 ribu/butir, atau Rp5 juta-Rp7,5 juta/magasin yang berisi 50 butir. Tapi, jika pembeli membutuhkan cepat, amunisi bisa dijual Rp250 ribu-Rp500 ribu/butir. 

Sebagai perbandingan, di lapangan latihan tembak Perbakin, amunisi hanya dijual seharga Rp10 ribu/butir.

Sementara sepucuk senjata laras panjang M16 dihargai Rp90 juta dari tangan pertama, di perantara sekitar Rp170 juta, tetapi pembeli bisa mengeluarkan Rp300 juta-Rp.330 juta.

Senjata laras panjang M4 dihargai Rp95 juta dari tangan pertama, di perantara Rp150 juta-Rp180 juta, tapi pembeli bisa merogoh kocek Rp200 juta- Rp300 juta.

Senjata laras pendek di pasar gelap Papua dihargai Rp15 juta dari tangan pertama, di perantara Rp30 juta, sementara pembeli menyiapkan dana hingga Rp80 juta-Rp100 juta.

“Kita bisa melihat angka itu begitu fantastis,” ujar Anum Siregar. “Jadi, harga senjata api berlipat, di antara Rp90 juta dan Rp300 juta. Jaringan atau perantaranya lebih dari satu orang sehingga yang mendapatkan banyak keuntungan itu adalah jaringan yang cukup panjang.”

Frits Ramandey, Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, berkata: “Siapa saja bisa menjadi perantara, meskipun yang dijerat hukuman biasanya orang yang secara langsung melakukan transaksi tersebut.”

Itu terjadi dalam kasus seorang terdakwa yang diadili di PN Nabire. Barang buktinya adalah selembar kertas memuat catatan pembeli sudah menyetor Rp2,2 miliar, tapi senjata tak kunjung didapatkan sehingga minta uang dikembalikan. Si terdakwa dipidana 4 tahun penjara.

Namun, tak sepenuhnya bisnis gelap ini bermotif ekonomi. Ada pula motif penguasaan sumber daya alam, ujar Siregar. 

“Ada indikasi bahwa konflik terus terjadi di suatu tempat digunakan untuk menggeser masyarakat setempat untuk menguasai sumber daya alam [di wilayah itu]. Kami mendapatkan dari beberapa informasi dari lapangan dan narasumber menjelaskan sangat detail indikasi [motif penguasaan SDA] itu,” katanya. 

 

ESKALASI KEKERASAN

Pada Agustus 2019, pemerintah Indonesia menghadapi gelombang protes anti-rasisme di Tanah Papua, buntut dari ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Pembiaran atas kejahatan rasisme itu merembet jadi aksi meluas di 23 kota di Papua, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri sepanjang 19 Agustus sampai 30 September 2019. 

Pemerintahan Joko Widodo merespons aksi-aksi yang menyulut pembakaran dan pembunuhan, perusakan fasilitas publik dan sentimen ketakutan antara pendatang dan orang asli Papua (OAP) itu dengan pembubaran paksa, penangkapan, penembakan, dan pengerahan aparat keamanan. 

Pemerintah Indonesia juga menerapkan internet throttling alias pelambatan koneksi internet di kota-kota penting di Papua, salah satunya di Jayapura. Pemadaman internet itu digugat oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pengadilan memutuskan Presiden Jokowi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika terbukti bersalah.

Gelombang aksi anti-rasisme itu populer dinamakan #PapuanLivesMatter. Meski berlangsung pendek, ini adalah protes rakyat Papua terbesar dan terluas yang dihadapi Jokowi di provinsi yang menyumbang lebih dari 90% suara kepada dirinya pada Pemilihan Presiden 2019, hanya empat bulan sebelumnya. 

Personel Satgas Pengamanan Perbatasan Yonif Raider 300/Brajawijaya dari Kodam III/Siliwangi (Jawa Barat) saat melakukan patroli di Pos KM 76 di wilayah hutan Distrik Mannem. Keerom, perbatasan Papua-PNG. (Dok. Dinas Penerangan TNI AD)

Pemerintahannya juga merespons dengan pemekaran baru atau dikenal ‘daerah otonomi baru’. Diyakini sebagai “politik pecah belah” selain demi meredam tuntutan dialog yang lebih jujur antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia, puluhan utusan orang Papua, yang sudah disaring dan dipilih lewat operasi intelijen, diterima Jokowi di Istana Negara pada 10 September 2019. 

Dari pertemuan itulah makin santer usulan pemekaran. Kini, selain ada Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura dan Papua Barat (Manokwari), provinsi baru pun bertambah menjadi Papua Tengah (Nabire), Papua Pegunungan (Wamena), Papua Selatan (Merauke), dan Papua Barat Daya (Sorong). 

Peluang politik rakyat Papua, yang muncul dari aksi massa dan protes jalanan pada tahun itu, berakhir dengan skenario yang diputuskan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. 

Itu mengingatkan pada pengulangan sejarah yang sama saat kebebasan politik rakyat Papua pernah berlangsung sangat dinamis dan terbuka setelah Soeharto lengser, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berlangsung singkat, hanya 21 bulan, antara Oktober 1999-Juli 2001. Musim kebebasan rakyat Papua waktu itu berakhir brutal: Theys Eluay, pemimpin karismatik yang saat itu jadi pemersatu berbagai lapisan kepentingan di Papua, tewas diculik dan dibunuh oleh prajurit Kopassus pada 10 November 2001.

Ilustrasi protes anti-rasisme terhadap orang asli Papua. (Project M/Azka Maula)

Kendati protes #PapuanLivesMatter cepat dipadamkan dengan represi, tapi ia juga menghangatkan kembali pembahasan mengenai empat akar masalah Papua, sebuah riset yang dikerjakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (sekarang berubah nama Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) pada 2009. 

Keempat akar persoalan itu adalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia pada 1960-an; kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia; marjinalisasi dan diskriminasi orang Papua di tanah sendiri; dan kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan perekonomian orang asli Papua.

Sayangnya, mengedepankan dialog yang jujur ini cuma terjadi di forum-forum diskusi dan pembicaraan di media sosial. Di lapangan, yang terjadi adalah sebaliknya: pengiriman tentara secara berkala ke Papua dalam operasi yang tak pernah secara terbuka disebut pemerintah Indonesia sebagai “operasi militer.”

Pemerintahan Jokowi memakai istilah “operasi penegakan hukum” di Papua—tujuannya untuk menangkap “kriminal”—yang seharusnya, bila mengikuti prosedur hukum yang berlaku di Indonesia, dilakukan dengan peran lebih besar di pundak Polri. 

Namun, operasi ini melibatkan lebih banyak prajurit TNI dari kesatuan-kesatuan tempur teritorial di seluruh Indonesia. Mudahnya, pemerintahan Jokowi memakai istilah “pasukan gabungan TNI-Polri” yang dikirim ke Papua. 

Makanya, perlawanan dari kelompok-kelompok bersenjata TPNPB seperti Egianus Kogoya diinvalidasi sebagai ‘Kelompok Kriminal Bersenjata’, ‘Kelompok Kekerasan Bersenjata’, ‘Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata’—tergantung siapa narasumber resmi yang berbicara dan tergantung sebutan manasuka dari media massa yang terkonsentrasi di Jakarta.

Operasi ini juga beberapa kali mengganti nama satgas, tapi tidak ada ukuran yang jelas proses penyelesaian konflik Papua seperti apa selain lewat senjata. Para pengamat menyebutnya sebagai “operasi abu-abu” atau operasi tidak jelas. 

Meski tak ada angka pasti berapa jumlah tentara yang dikirim ke Papua, diperkirakan saat ini ada 30 ribu-35 ribu tentara yang ditugaskan di Tanah Papua. Angka moderat ini berdasarkan pemantauan dari berbagai pemberitaan.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta maupun di Papua menilai operasi keamanan di Papua yang serba tidak jelas ini, sejak peristiwa pembunuhan terhadap para pekerja Istaka Karya oleh kelompok Egianus Kogoya pada Desember 2018, menambah komplikasi sendiri dan krisis kemanusiaan. 

“Apapun alasannya, operasi militer selain perang, dengan mengerahkan pasukan TNI, harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI,” kata Anum Siregar dari AIDP. 

Dan, seharusnya ada evaluasi. “Apakah operasi yang terjadi di Papua sekarang ini berhasil atau tidak, apakah berimplikasi positif ataukah negatif? Harus ada evaluasi,” ujarnya.

Karena minim pengawasan dari legislator, minim pula evaluasi yang dilakukan secara resmi dan bisa diakses oleh publik atas kebijakan “operasi penegakan hukum” di Papua. 

Yang terjadi adalah konflik bersenjata. Sepanjang 2023 saja, menurut catatan AIDP, terjadi 56 aksi kekerasan dan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB. 

Kejadian itu menewaskan 44 warga sipil, 22 anggota TNI, 10 anggota TPNPB, dan 5 anggota Polri. Selain itu, menyebabkan korban luka 37 warga sipil, 22 anggota Polri, 5 anggota TPNPB, dan 4 anggota TNI.

“Korban kekerasan ini kami himpun dari berbagai media dan sumber,” terang Latifah Alhamid dari Divisi Keadilan AIDP kepada Jubi.

Pada 2022, terjadi 53 kasus kekerasan maupun konflik bersenjata; angka ini menurun dari tahun 2021 yang mencapai 63 kasus, berdasarkan pemantauan AIDP.

Alhamid menjelaskan berbagai konflik kekerasan itu mengakibatkan ruang publik makin sempit karena jadi zona konflik. “Konflik bersenjata tidak saja terjadi di pos-pos tapi juga di pasar, di jalan utama dan tempat fasilitas layanan publik dalam durasi cukup lama. Beberapa peristiwa bahkan mengorban rakyat sipil dalam jumlah besar atau dengan cara yang sadis dan tidak manusiawi,” katanya kepada Jubi.

Komplikasi lainnya dari eskalasi kekerasan adalah krisis kemanusiaan: naiknya jumlah pengungsi internal Papua. 

Saat ini sedikitnya ada enam kantong pengungsian yang menyebar di Tanah Papua. Warga pengungsi mengosongkan kampung-kampung halaman mereka yang jadi zona konflik bersenjata. Mereka berasal dari Intan Jaya, Maybrat, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, dan Yahukimo. Jumlahnya antara 59.000 hingga 60.000 pengungsi. Di kantong-kantong pengungsian ini sedikitnya 575 pengungsi meninggal dunia.

Eskalasi kekerasan di Papua diakui Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto. “Aksi kekerasan di Papua di masa Pak Jokowi malah cenderung meningkat,” katanya memaparkan hasil kajian lembaga itu bersama wartawan di Jakarta pada Februari 2023.

Widjajanto juga mengakui aksi kekerasan di Papua tidak ada korelasi dengan indikator ekonomi dan sosial. “Dana Otonomi Khusus dengan aksi kekerasan, data menunjukkan tidak ada korelasi. Dengan tingkat kemiskinan, tidak ada korelasi. Dengan pengangguran terbuka, tidak ada korelasi,” tambahnya. 

Dengan kata lain, pendekatan keamanan atau sekuritisasi di Papua sudah saatnya dan seharusnya dievaluasi pemerintah Indonesia.

Theo Hesegem, aktivis hak asasi manusia Papua yang tinggal di Wamena, mengatakan evaluasi itu harus dilakukan secara total. “Operasi penegakan hukum saat ini tidak berhasil, justru semacam operasi militer dan kemudian banyak masyarakat sipil yang menjadi korban.” 

Raga Kogoya (tengah) adalah koordinator pengungsi di kampung Sekom, distrik Muliama, Kota Wamena. Sepanjang hidupnya, ia telah lebih dari empat kali mengalami hidup sebagai pengungsi (Project Multatuli/Reno Surya)

Profesor Riset pada Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Cahyo Pamungkas, menerangkan selain kekerasan bersenjata meningkat, yang terasa dari kebijakan pemerintahan Jokowi di Papua adalah masifnya pembangunan infrastruktur dan masifnya perampasan lahan dan eksploitasi sumber daya alam lewat konsesi-konsesi pertambangan dan perkebunan sawit dan proyek food estate

Riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, organisasi sipil yang berfokus pada pendampingan masyarakat adat Papua, menerangkan sejak 1982 pemerintah Indonesia menetapkan secara sepihak 41 juta hektare tanah di Papua sebagai kawasan hutan negara. 

Status hutan negara itu jadi dasar pemerintah menerbitkan berbagai izin dan proyek pembangunan ekonomi bisnis ekstraktif di tanah dan hutan Papua, yang kenyataannya tanah itu bukanlah tanah kosong, yang dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat adat orang asli Papua (OAP), tulis Pusaka.

Sejak 1988 hingga diterbitkan moratorium alias penangguhan pada 2011, pemerintah telah menerbitkan izin usaha pembalakan hasil hutan kayu di Tanah Papua kepada 86 perusahaan dengan luas 11,2 juta ha.

Mengampanyekan ‘Papua Bukan Tanah Kosong’, Pusaka menjelaskan pemerintah Indonesia pada 2022 telah mengkonversi kawasan hutan untuk usaha perkebunan di Papua kepada 51 perusahaan dengan luas 1,2 juta ha. 

Dari angka itu, seluas 136.232 ha kawasan hutan telah dibabat dan lenyap untuk perkebunan sawit dan kebun kayu. Luas ini setara dua kali lipat luas Provinsi DKI Jakarta.

Dari konsesi yang sedang berjalan ini, kawasan hutan tersisa di areal konsesi masih 1,9 juta ha, “yang harus diselamatkan dan dikembalikan kepada masyarakat adat Papua,” tulis Pusaka dalam kajian singkat yang terbit awal Desember 2023.

Pusaka juga mengkritisi proyek lumbung pangan Jokowi di Papua pada 2020 yang melibatkan militer, dalam hal ini Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto, yang akan menggunakan lebih dari 2,6 juta ha lahan dan hutan, tersebar di beberapa kabupaten di Tanah Papua. 

“Berdasarkan penilaian kepentingan dan tujuan proyek yang berbeda, penggunaan lahan skala luas, jenis komoditas yang berbeda, manajemen pengelolaan dan kelembagaan, minimnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat setempat dan lingkungan, maka diperkirakan akan ada pertentangan dan ketegangan antara pengelola proyek dan masyarakat adat Papua,” menurut Pusaka pada 2022. 

Maka, proyek food estate Papua akan mengulangi buku pelajaran perampasan lahan dan konflik agraria sebagaimana terjadi pada proyek nasional Merauke integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. 

Medco sudah membongkar cukup luas kawasan hutan yang menurut peta pemerintah Indonesia tergolong hutan “primer”. Sebagian besar area hutan ini masih lestari, belum terganggu oleh aktivitas manusia. (Sumber: The Gecko Project/Albertus Vembriyanto)

Mengonsolidasikan koalisi partai-partai penguasa hingga nyaris 75% di parlemen, Presiden Jokowi dan DPR sepenuhnya mulus mengegolkan berbagai legislasi ugal-ugalan seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019, revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (2020), UU sapu jagat perburuhan (2020), dan UU Ibu Kota Negara (2022). 

Meski terjadi protes massa besar-besaran, seperti demonstrasi kaum buruh maupun gerakan ‘Reformasi Dikorupsi,’ sejumlah produk UU bermasalah itu tetap disahkan tanpa melibatkan konsultasi publik secara jujur. 

Hal sama terjadi saat UU ‘daerah otonomi baru’ disahkan pada 2022. Lembaga kultural orang asli Papua, Majelis Rakyat Papua, menentangnya dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, tapi gugatannya ditolak. Penolakan disuarakan juga oleh orang asli Papua lewat gelombang protes di berbagai kota penting di Tanah Papua, yang diadang kekuatan 1.000 personel gabungan TNI-Polri. 

Tren sentralisasi kebijakan itu berpadupadan dengan penangkapan Lukas Enembe, politisi gaek dari pegunungan yang berkarier sejak 2001, menjabat gubernur Papua sejak 2013, yang dikenal tidak akur dengan berbagai keputusan pemerintah pusat. Enembe ditangkap KPK pada awal 2023 dengan dakwaan menerima suap dan korupsi puluhan miliar. Pada akhir 2023, hukumannya diperberat dari 8 tahun menjadi 10 tahun penjara. (Enembe, yang sakit-sakitan selama persidangan, meninggal di RSPAD Jakarta pada 26 Desember 2023.) 

Menurut Cahyo Pamungkas, tren sentralisasi kebijakan mengenai Papua yang diputuskan terpusat di Jakarta menambah komplikasi lain di tengah eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata di Tanah Papua. Saat ini di Papua terjadi kekosongan pemerintahan sipil. 

Cahyo berkata kepada Jubi bahwa perlindungan terhadap orang asli Papua (OAP) di daerah konflik terbilang sangat kurang. “Pemerintah tidak segera merespons dan menangani, lebih ke pembiaran bahkan mengabaikan.”

Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ia mengkhawatirkan potensi kekerasan di Papua semakin meningkat di tengah agenda Pemilu dan Pilkada 2024.

Dalam riset AIDP, bisnis perdagangan senjata api di Papua tak cuma bermotif mencari laba. Ada pusaran yang lebih dalam dari apa yang disebut bisnis dari suatu konflik, yakni motif untuk menaikkan jenjang karier aparat keamanan.

Pasar gelap senjata ini telah berlangsung lama dan meluas di Papua. Ini adalah rahasia umum. Tahu sama tahu. Para pelaku di lapangan memang ditangkap, tapi minim kasus yang menjerat sampai ke jaringan pemasok senjata di Jakarta dan penyedia dana di Papua, seperti kasus anggota Brimob Kelapa Dua Bripka M. Jabir Hayan. Bila kasus ini melibatkan anggota tentara atau polisi, proses penyelidikannya pun amat jarang menguji tanggung jawab atasan. 

Dengan begitu, pengungkapan kasus perdagangan senjata ilegal di Papua diduga bukanlah suatu operasi kerja yang sistemik. Rantai perdagangan itu tetap terjaga, untuk tidak menyebut dipelihara, sehingga pengungkapannya pun menjadi peluang melambungkan karier pribadi seorang aparat keamanan.

Itu ditambah pula rendahnya kesejahteraan prajurit di daerah penugasan. Misalkan, dalam sehari biaya konsumsi serdadu ditaksir Rp150 ribu, tapi yang diterima hanya Rp50 ribu. Di sisi lain, ada pasar gelap senjata api dan amunisi tersedia di depan mata mereka. Ini diperparah dengan budaya korupsi pemerintahan Indonesia.

Makanya, Egianus Kogoya pernah berkata: Mereka [anggota TNI-Polri] mau dapat makan dari mana kalau tidak jual amunisi dan senjata?”

Seorang tahanan amunisi di Nabire pun pernah berujar: “Mengungkapkan pemilik senjata sama halnya mengungkap borok aparat lebih dalam.” 

Sekalipun begitu, dari sisi orang Papua, peredaran senjata api dan amunisi di tangan kelompok-kelompok bersenjata Papua punya irisan dengan hasrat menentukan nasib sendiri sebagai bangsa, suatu motif ideologi yang jadi barang panas bagi pemerintah Indonesia. Di sisi lain, ada beragam faksi di dalam gerakan pembebasan Bangsa Papua, yang mengutamakan jalur diplomasi maupun jalan angkat senjata, yang tak selalu akur. 

Dalam kasus terbaru yang terungkap pada awal Januari 2023, misalnya, seorang pilot bernama Anton Gobay ditangkap kepolisian Filipina karena kedapatan membeli sejumlah senjata api di negara tersebut. Ia mengaku sebagai pengikut komando Damianus Magai Yogi, kelompok yang bermarkas di Totiyo, Paniai, Papua Tengah.

“Saya mengorbankan segalanya untuk Papua Barat,” katanya dalam cuplikan video yang diterima Jubi.

Salah seorang narasumber kami, yang ditangkap kepolisian Indonesia dengan tuduhan membeli senjata dan peluru, berkata bahwa “kalau penangkapan soal amunisi dan senjata itu masuk ke masalah ideologi, masalah hak sebagai orang Papua.” 

Ia menambahkan, “Invasi aparat gabungan TNI-Polri di Papua membuat peredaran amunisi dan senjata banyak di Papua. Jadi coba mulai saat ini stop, minta kepada pemerintah Indonesia untuk penarikan kembali pasukan non organik, duduk dialog dan negosiasi untuk selesaikan masalah Papua.”

Sementara pemerintahan Jokowi masih terus pakai pendekatan militer, sebaliknya kelompok-kelompok bersenjata Papua pun menanggapinya secara serius. Meski jumlah kekuatan mereka timpang, tapi sangat mungkin dalam beberapa kesempatan saling baku tembak itu mereka memakai senapan perang yang sama.

Saat ini persenjataan yang pernah teridentifikasi digunakan TPNPB adalah AK-47, AK-74, AK-101, Steyr AUG, M4, M16, pelontar granat hasil rampasan dari pos TNI-Polri, serta SS1-VI dan SS1-V2 produksi PT Pindad, selain kelompok-kelompok TPNPB diuntungkan karena menguasai medan. 

Dalam siklus yang mengesampingkan peran kelompok-kelompok sipil di Papua yang mendorong dialog dan perdamaian, satu-satunya tujuan dari pendekatan militer adalah pembunuhan dan kematian.

Bak pelanduk mati di tengah-tengah siklus kekerasan itu nasib pilot Philip Max Mehrtens masih terkatung-katung sejak Februari 2023. Dan hingga tiba Natal tahun ini, belum ada upaya serius dari pemerintah pusat melibatkan tokoh agama dan tokoh adat di Nduga, zona konflik yang dikuasai kelompok Egianus Kogoya, untuk membebaskan sang sandera. 

“Kami berharap upaya pembebasan pilot tidak menimbulkan tragedi memilukan bagi masyarakat sipil dan juga pilot itu sendiri,” kata Anum Siregar dari AIDP kepada Jubi.

Dalam lima tahun terakhir, nasib terombang-ambing yang lebih lama dialami para pengungsi internal Papua

Seorang pengungsi Nduga bernama Mama Jubiana, yang menempuh jalan kaki 80 km bersama ribuan pengungsi lain ke Wamena pada 2018, terus-menerus meminta kepastian. 

“Pikiran saya selalu ingin pulang kampung. Di sini kesepian. Pikiran saya ke harta benda, peliharaan, kebun. Saya selalu ingat itu. Setiap malam saya tidur, saya selalu terbawa mimpi ke sana,” ujarnya dalam film Sa Pu Nama Pengungsi produksi Jubi (2023)

Ema, pengungsi Maybrat di Sorong, yang meninggalkan rumah sejak 5 September 2021, berkata: “Kami harus pulang supaya kami bisa mengatur keluarga dengan baik untuk menata masa depan kami.”

“Kalau anak su besar, nanti bisa cerita ke dia kalau dia lahir di hutan. Memang dia jalan hidupnya seperti begini. Jadi dia bisa tahu dia su punya jalan cerita waktu mamanya melahirkan dia [saat perjalanan mengungsi].”


Laporan ini adalah kolaborasi Project Multatuli dan Jubi.  Baca laporan kami yang lain:

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Jubi
Fahri Salam
29 menit