Setelah Program Kartu Papua Sehat untuk Orang Asli Papua Berhenti pasca-Perubahan UU Otsus

Fahri Salam
23 menit
Warga mengantre di loket pendaftaran RSUD Paniai. (Project M/Asrida Elisabeth)
  • Kontributor Project Multatuli mendatangi sejumlah rumah sakit di Papua untuk merekam perubahan pelayanan kesehatan setelah KPS berhenti.
  • Tidak perlu rujukan dan tidak harus pegang NIK atau KK, orang Papua bisa mudah mengakses layanan kesehatan pakai KPS.
  • Kini semua rumah sakit menganjurkan agar orang Papua segera mengurus atau punya BPJS Kesehatan (JKN-KIS).
  • Kabupaten Biak membuat program Biak Sehat, yang mirip KPS, menanggung biaya-biaya lain yang tidak dikover BPJS, bersumber dari dana otonomi khusus.

Laporan ini adalah kolaborasi liputan dengan Jubi.id.


“Namanya urusan kesehatan, kalau pemerintah ada tawarkan program-program gratis, saya biasa langsung urus. Saya jaga jangan sampe sa pu anak-anak sakit pas trada uang. Nanti susah,” ujar Irene Fatagur, ibu dua anak berumur 32 tahun, di Kampung Yamara, Distrik Manem, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.

Irene adalah pemegang Kartu Papua Sehat (KPS). Kala itu tahun 2015, petugas Puskesmas setempat memberitahu ada kartu khusus orang asli Papua (OAP). Dengan kartu itu, seluruh biaya pengobatan bagi OAP digratiskan. Hanya dengan selembar surat rekomendasi dari kepala kampung, Irene mendapatkan kartu itu dari petugas Puskesmas.

Pada saat yang sama, Irene sudah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Irene merupakan penerima bantuan iuran atau disebut BPJS PBI. Mereka menerima jaminan tanpa harus membayar iuran. Peserta BPJS PBI adalah warga yang dikategorikan miskin oleh Dinas Sosial.

Pada Agustus 2016 saat melahirkan anak keduanya lewat operasi caesar di RSUD Abepura, Kota Jayapura, Irene memakai KPS. Pilihan tidak memakai KIS saat itu karena ia tidak mengikuti proses rujukan berjenjang. Tanpa melalui Puskesmas, Irena langsung ke RSUD Kwaingga. Dari situ ia dirujuk ke RSUD Abepura.

“Karena saya punya KIS dan KPS, petugas bilang pakai KPS saja,” katanya.

Hanya saat itu Irene menggunakan KPS. Jelang 2021 masa berakhirnya Otonomi Khusus Papua. Publik Papua ramai membincangkan berlanjut atau tidaknya kebijakan Otsus. Kabar berhentinya beberapa program yang dibiayai dana Otsus pun terdengar.

“Dari situ kitong tahu KPS mulai tidak berlaku.”

Mengantisipasi hal itu, Irene mengaktifkan kembali kartu BPJS Kesehatan. Awalnya ia tidak tahu BPJS milik keluarganya itu sudah mati. Saat mengurus tetangganya berobat ke RSUD Kwaingga, petugas memberitahu kartunya sudah tak bisa digunakan. Mereka sama-sama mendapatkan kartu itu dari Puskesmas. Irene pun mengurus surat rekomendasi dari kepala kampung dan Dinas Sosial, lalu memperbaharui KIS di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Keerom.

Seperti Irene, Meri Apyaka, 30 tahun, memiliki KPS dan KIS. Medio Februari 2023, Meri mengalami patah tulang karena jatuh saat bercekcok dengan suaminya. Meri, warga Kampung Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, dilarikan keluarga ke RSUD Ramela Koya Barat. Dari sana, Meri dirujuk ke RS Dian Harapan Jayapura. Saat itulah petugas memberitahunya bahwa KPS sudah tidak berlaku dan kartu BPJS yang dimilikinya sudah mati. Meri harus membayar biaya pendaftaran, jasa dokter, foto rontgen, hingga obat.

Kitong bayar hampir sejuta.”

Sebelumnya, Meri dan keluarganya selalu menggunakan KPS di rumah sakit rujukan. Mereka selalu mendapatkan pelayanan gratis. Dokter bedah RS Dian Harapan pun menyarankannya untuk segera mengaktifkan kembali BPJS. Tanpa kartu BPJS, ia harus membiayai sendiri operasinya lebih dari Rp20 juta. Saat itu Meri lebih mengobati tangannya ke tukang urut, tidak melanjutkan pengobatan ke rumah sakit.

Di RSUD Dok II Jayapura, Mama Etina Munikma, 45 tahun, sedang mengurus persiapan kemoterapi. Beberapa bulan sebelumnya ia menjalani operasi kanker payudara, tapi kembali infeksi. Mama Etina adalah peserta BPJS penerima upah. Suaminya seorang guru dan berstatus pegawai negeri sipil. Saat operasi kanker payudara, Mama Etina menggunakan BPJS. Ada biaya lain yang tetap ditanggungnya.

“Saya hanya bayar tes antigen dan hasil operasinya bawa ke laboratorium yang harus bayar Rp3,6 juta.”

Mama Etina tidak banyak tahu tentang KPS. Ia bercerita, dulu setiap berobat di klinik, ia selalu ditanya apakah punya jaminan lain seperti KPS.

Kini, setelah melalui proses operasi dan berlanjut kemoterapi, Mama Etina berkata belum menanyakan ke pihak rumah sakit, apakah akan ada biaya yang harus dibayar atas layanan kemoterapi yang akan dijalaninya.

“Ini yang saya bingung. Saya belum pastikan lagi.”

Kartu Papua Sehat

Dengan nama mirip program pemerintah Indonesia, Kartu Papua Sehat mulai berlaku pada 1 Januari 2014. Itu tahun yang sama pemerintah Indonesia memulai program JKN-KIS. Program KPS dimulai pada masa pemerintahan Lukas Enembe dan Klemen Tinal. KPS diklaim sebagai penyempurnaan dari program Jaminan Kesehatan Papua (Jamkespa) periode sebelumnya.

Pengguna KPS adalah orang asli Papua yang belum maupun sudah menjadi peserta JKN. Bagi peserta yang sudah terdaftar sebagai peserta JKN, KPS digunakan membiayai komponen yang tidak ditanggung dalam JKN. KPS juga dipakai untuk menjamin warga Papua yang belum memiliki data kependudukan. Program ini ditetapkan melalui Peraturan Gubernur No. 6 Tahun 2014 mengenai Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Papua.

Program KPS dibiayai dari dana Otsus, yang besarannya 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Dari dana ini, pemerintah provinsi menetapkan penggunaannya untuk membiayai program bersama lintas kabupaten/kota. Sisanya dibagi 20% untuk Provinsi Papua dan 80% untuk kabupaten/kota se-Provinsi Papua.

Program bersama lintas kabupaten/kota itu di antaranya Program Strategis Pembangunan Ekonomi dan Kelembagaan Kampung, Gerakan Bangkit, Mandiri Sejahtera, Perumahan Rakyat, Pendidikan, termasuk KPS.

Pada 2017, misalnya, dari total dana Otsus Rp5,6 triliun, sebanyak Rp300 miliar digunakan untuk membiayai KPS.

Dana KPS dipakai di antaranya untuk penyediaan obat-obatan; alat atau bahan habis pakai; alat medis habis pakai; makanan; biaya administrasi; biaya operasional; jasa atau insentif pelayanan; dan penyediaan alat kedokteran minimal untuk 5 rumah sakit regional. Biaya operasional tersebut termasuk pembelian peti mati jika pasien yang dirujuk meninggal dunia.

Dana KPS ditransfer ke rumah sakit daerah provinsi, rumah sakit kabupaten dan kota serta rumah sakit mitra. Besar anggaran ditetapkan berdasarkan jumlah pasien pengguna KPS yang dilayani. Dana KPS juga diberikan kepada klinik keagamaan dan maskapai penerbangan.

Bukti fisik KPS berupa selembar kartu dari kertas glossy dengan bagian depan berisi tulisan Kartu Papua Sehat, Jaminan Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Papua. Di situ ada gambar wajah Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Klemen Tinal, juga Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Aloysius Giay.

Kartu Papua Sehat (KPS) milik seorang warga di Kabupaten Biak. (Project M/Asrida Elisabeth)

Data yang seharusnya ada di situ adalah nama, tempat dan tanggal lahir serta alamat pasien, nomor KPS, nomor kartu JKN, nomor KTP, dan nomor KK. Dalam beberapa kartu yang kami amati, data yang terisi hanya nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan nomor KPS tanpa data lain. Ada yang diisi menggunakan tulisan tangan, ada pula ketikan komputer. Kartu dicetak, lalu data pengguna dicatat di atasnya. Pada 2017, Dinas Kesehatan Provinsi Papua mengeklaim sudah membagi sekitar 1,7 Juta KPS kepada penduduk Papua.

Direktur I Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP), Tahi Butar-Butar, berkata penerbitan kartu untuk melancarkan proses pelayanan di tingkat layanan, terutama di rumah sakit.

“Kartu itu menjadi jaminan ketika pasien datang ke rumah sakit, tidak perlu lagi harus minta KTP atau minta surat keterangan dari RT bahwa orang ini tidak mampu,” ujarnya. UP2KP adalah lembaga nonstruktural bentukan Lukas Enembe yang bekerja mengawal pelayanan medis di Papua.

Meski aturan menyebutkan pentingnya surat rujukan dari layanan dasar dan menunjukkan KPS untuk mengakses rumah sakit mitra, pada praktiknya, rumah sakit tetap melayani pasien tanpa rujukan dan tanpa bukti fisik KPS sebagaimana terjadi di RSUD Biak.

Terletak di pusat Kota Biak, RSUD Biak menjadi pusat rujukan regional untuk wilayah adat Saireri, di antaranya Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Yapen, dan Waropen. Selain empat wilayah itu, pasien yang berobat di rumah sakit ini juga datang dari Kabupaten Nabire, Jayawijaya (Wamena), Mamberamo Raya, hingga Yahukimo.

Direktur RSUD Biak, dr. Ricardo Ricard Mayor, berkata pasien dari Wamena ke RSUD Biak karena tersedia penerbangan murah Wamena-Biak menggunakan pesawat Hercules milik TNI. Dari  Mamberamo Tengah ke Biak terdapat transportasi laut reguler; sedangkan dari Yahukimo umumnya pelajar dan mahasiswa yang menempuh pendidikan di Biak.

“Paling banyak itu dari pantai utara Yapen. Masyarakat mereka datang ke Biak tanpa mengakses RSUD Serui karena lebih mudah ke Biak. Sambil berdagang, mereka langsung bisa berobat ke rumah sakit. Itu kita langsung layani. Itu dalam skema KPS. Jadi memang cukup banyak,” terang dr. Ricardo, yang menambahkan rata-rata masyarakat tidak membawa surat rujukan atau kartu jaminan kesehatan.

“Kita jamin saja. Susah kalau kita tanyakan mana kamu pu Kartu Papua Sehat dan lain-lain. Kan tidak ada. Nah, kita bisa lihat dari wajahnya, namanya, marganya, ya sudah ini orang asli Papua, kita layani.”

Di RSUD Biak,  jumlah rata-rata pasien yang dilayani dan dijaminkan melalui KPS sebelum pandemi Covid-19 mencapai 33.000/tahun. Ini termasuk masyarakat non-Papua kurang mampu, yang menurut aturan bisa diakomodasi sebesar 4-5% lewat program KPS.

Penerima manfaat orang asli Papua dari KPS, sejak 2014 sampai 2018, jumlahnya fluktuatif, berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Pada 2014 sebanyak 1.471.896 orang; 2015 ada 1.053.020 orang; 2016 ada 1.381.391 orang; 2017 ada 552.335 orang, dan 2018 sebanyak 971.050 orang.

Berhenti pasca-Perubahan UU Otsus

Pada 19 Juli 2021, pemerintah Indonesia menetapkan UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Salah satu perubahannya, pemerintah pusat mentransfer langsung dana Otsus ke kabupaten/kota. Akibatnya, pemerintah provinsi tidak bisa lagi membiayai beberapa program strategis bersama lintas kabupaten/kota, salah satunya KPS. Sebelumnya, pembagian dana Otsus merupakan wewenang pemerintah provinsi.

Kesan tidak ada koordinasi antara pusat dan daerah terkait perubahan ini sangat kuat. Beberapa program strategi di tingkat provinsi masih berjalan, tapi secara mendadak pendanaannya dihentikan tanpa ada persiapan strategi pengganti.

Untuk KPS, meski pembiayaannya dihentikan, peraturan gubernur yang mengatur tentang program ini masih berlaku. Sehingga, pada 2023, dana KPS hanya disalurkan ke RS Dian Harapan dan tiga klinik milik gereja di Sentani, Jayapura, dan Keerom.

“Ketika penganggaran Otsus dari pemerintah pusat akan ditransfer ke kabupaten/kota, tidak tersedia anggaran bersama di provinsi yang selama ini dipotong sebagian untuk KPS,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Robby Kayame.

Dengan demikian, rumah sakit rujukan tidak lagi memiliki anggaran dari KPS.

Di beberapa rumah sakit yang kami amati seperti RSUD Abepura, RSUD Dok II Jayapura, RSUD Paniai, dan RSUD Biak, hampir semua warga yang datang berobat menggunakan KIS. Imbauan agar masyarakat mendaftarkan diri sebagai peserta JKN-KIS juga tampak di ruang registrasi pasien dan UGD. Warga tanpa jaminan maupun kartu kependudukan langsung diarahkan untuk mengurus kepesertaan JKN-KIS.

Dampaknya, berhentinya layanan KPS membawa perubahan pada rumah sakit.

Dalam skema KPS, RS Dok II menjadi rumah sakit rujukan provinsi. Namun, tidak sedikit juga masyarakat langsung berobat tanpa mekanisme rujukan berjenjang bermodal KPS.

“Dulu masyarakat bisa seleluasa mungkin mendapatkan pelayanan itu. Tapi banyak juga masyarakat yang mulai beralih. Sudah sadar diri bahwa memang BPJS satu-satunya. Lebih banyak yang sudah punya BPJS. Yang dulu batuk pilek langsung ke RSUD Dok II, sekarang sudah tidak,” kata Kayame.

Kebijakan penghentian KPS, menurut Kayame, tidak berpengaruh signifikan terhadap pasien yang mendapat rujukan medis dan harus ditangani di RSUD Dok II.

RS Dok II pernah mendapat dana KPS antara Rp30-60 miliar/tahun. Dana itu dipakai untuk membeli obat, bahan habis pakai, baju pasien, PMI, peti Jenazah, formalin, layanan rujukan ke Makassar dan ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, transportasi pasien dan keluarga pasien KPS.

Pengalaman berbeda dirasakan rumah sakit rujukan regional. Beberapa RSUD rujukan regional mengaku kesulitan terutama ketika melayani pasien dari kabupaten lain yang datang tanpa surat rujukan, kartu jaminan, maupun kartu identitas.

RSUD Abepura melayani masyarakat Kota Jayapura, juga Kab. Jayapura, Keerom hingga Sarmi. Terletak di pusat kota, masyarakat dari berbagai daerah lain di Papua mengakses rumah sakit ini.

“Jadi memang ada ketakutan dari OAP untuk berobat ke rumah sakit sejak tidak ada KPS. Ketakutan mereka jangan sampai setelah mendapat penanganan medis, maka akan dituntut untuk membayar biaya rumah sakit. Apalagi mereka tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga. Kalau dulu masih ada KPS, tidak ada masalah, yang penting ko orang Papua tidak perlu takut. Kalau sekarang tidak bisa,” cerita dr. Veronika Pekey, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD Abepura.

Seorang pria menunggu keluarganya yang dirawat di UGD RSUD Jayapura. (Project M/Asrida Elisabeth)

Di beberapa wilayah yang kami kunjungi, beberapa rumah sakit sudah menyediakan jalur koordinasi lintas dinas dan lembaga untuk membantu warga tanpa NIK agar segera terdaftar sebagai peserta BPJS.

Dinas-dinas itu di antaranya Dinas Kesehatan, Dukcapil, Dinas Sosial, BPJS, dan rumah Sakit. Sayangnya, koordinasi ini hanya internal kabupaten. Koordinasi lintas dinas dan lembaga ini penting karena pasien yang dirawat paling lambat tiga hari sudah harus memiliki jaminan. Jika tidak, mereka akan terhitung sebagai pasien swasta dan harus membayar biaya perawatan. Padahal, banyak masyarakat yang berobat lintas kabupaten karena berbagai kondisi, seperti yang terjadi di RSUD Paniai di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Direktur RSUD Paniai, dr. Agus, berkata RSUD Paniai melayani pasien dari empat kabupaten. Ada sekitar 40% warga Paniai. Sisanya, 30% warga Deiyai, 20% warga Dogiyai, dan 10% warga Intan Jaya. Untuk warga Paniai yang belum terdaftar sebagai peserta JKN-KIS, selama ada kartu keluarga, mereka langsung didaftarkan lewat Jamkesda (BPJS PBI-APBD). Namun, ini tak bisa dilakukan untuk pasien dari Deiyai, Dogiyai dan Intan Jaya. Sebelumnya, pasien-pasien ini dijamin menggunakan KPS.

“Tetapi kami tidak tolak,” ujar dr. Agus. “Tetap kami layani seperti biasa karena kemanusiaan.”

Seperti RSUD Paniai, RSUD Biak juga masih memberikan layanan kepada OAP yang dulu dijaminkan lewat KPS.

Direktur RSUD Biak, dr. Ricardo Ricard Mayor, berkata RSUD Biak masih memberikan pelayanan yang dulu dijaminkan lewat KPS, seperti menyediakan peti jenazah dan menyediakan makanan bagi masyarakat miskin.

“Ini yang susah sekali memang, sehingga kami harus tetap lakukan. Bagi kami, ini tetap harus kami lakukan karena selain ini pelayanan rumah sakit modern, ini juga full pelayanan kemanusiaan. Kita harus jaga itu,” terang dr. Ricardo.

Mendorong Semua OAP Punya JKN-KIS

Dengan berhentinya KPS, masing-masing kabupaten mendorong warganya jadi peserta JKN-KIS. Di semua rumah sakit umum daerah yang kami kunjungi, terdapat imbauan bagi warga untuk segera mendaftarkan kepesertaan JKN dan kemudahan-kemudahan yang didapat dari kepesertaan itu.

Orpa Imsiren, 52 tahun, sedang merawat anak perempuannya Abigail Wadbaro, 11 tahun, yang mengalami sakit paru-paru. Saat kami mengunjunginya di RSUD Biak pada medio Mei 2023, Abigail sudah dirawat kurang lebih 11 hari. Dulu Orpa menggunakan KPS tapi kini menggunakan BPJS.

Umumnya, pasien mengakui ada layanan kesehatan gratis tapi mengeluhkan mahalnya obat yang harus mereka beli di luar rumah sakit. Tapi, di RSUD Biak, obat-obat yang harus dibeli pasien di luar rumah sakit diberi penggantinya oleh rumah sakit.

Di rumah sakit yang sama, Willem Imsiren, 46 tahun, sudah seminggu menemani istrinya, Maria Ofyas yang dirawat karena jatuh di kebun. Imsiren, guru honorer dan pelayan jemaat di Kampung Dofyo Wafor, Biak Utara, sudah memakai kartu BPJS sejak 2018. Ia berkata tidak mengalami kendala saat menggunakan BPJS. Ketika datang berobat, ia hanya tunjukkan kartu dan selanjutnya dilayani. Tak ada biaya yang dikeluarkan.

“Kalaupun ada hanya untuk konsumsi penjaga saja. Makan pagi, siang, sore. Sedangkan biaya pengobatan selama menggunakan BPJS tidak ada,” katanya.

Ine Radongkir dari Kampung Maneru, Biak Utara, sedang menemani suaminya yang mengalami sakit ginjal dan harus menjalani cuci darah.

“Untuk berobat, kami tidak bayar karena kami punya kartu BPJS. Yang kami keluarkan hanya ongkos kami pulang-pergi untuk berobat. Itu saja.”

Populasi Kabupaten Biak sebanyak 152.132 jiwa. Kabupaten ini mendapatkan penghargaan Universal Health Coverage (UHC) dari Kementerian Kesehatan karena 98% warganya terdaftar sebagai peserta BPJS.

Kabid Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Biak, Yubelina Marandof, berkata bahwa meski mendapatkan penghargaan ini, ia menaksir masih banyak warga Biak yang belum terkover layanan kesehatan.

Itu dampak dari Keputusan Menteri Sosial No. 92/HUK/2021 tentang penetapan penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan tahun 2021. Aturan baru ini menghapus 9 juta warga miskin sebagai peserta JKN. Ada sekitar 12.000 warga Biak terhapus dari daftar peserta BPJS PBI.

“Jadi jumlah 98% terdaftar peserta BPJS itu di atas kertas. Saya bilang di atas kertas karena konsekuensi dari SK Kemensos berapa tahun terakhir itu menguranginya. Jadi kami butuh waktu untuk mengaktifkan,” katanya.

Ditemani keluarganya, seorang perempuan mendapat penanganan di ruang UGD RSUD Abepura. (Project M/Asrida Elisabeth)

Dari 12.000 peserta yang dinonaktifkan itu, Dinkes Biak membaginya per distrik sesuai Puskesmas. Petugas Puskesmas memverifikasi kembali. Data yang berhasil diverifikasi dikirim ke Dukcapil lalu ke Dinsos untuk diverifikasi kembali. Data yang sudah valid lalu dikirim ke Kementerian Sosial untuk diaktifkan lagi sebagai peserta BPJS PBI.

Dari keseluruhan peserta BPJS PBI di Biak, hampir 80%-90% iurannya dibayar APBN. Sisanya dari APBD. Adapun syarat kepesertaan PBI APBN adalah harus terdaftar dalam Data Keluarga Tidak Mampu di Kemensos. Proses untuk masuk sebagai peserta PBI APBN cukup panjang. Karena itu, untuk kasus-kasus urgen, di mana pasien harus berobat tanpa kartu jaminan, mereka didaftarkan sebagai peserta BPJS PBI yang iurannya dibayar dari APBD.

Untuk memperlancar pengurusan kepesertaan BPJS di Kabupaten Biak, tersedia grup koordinasi terdiri dari Dukcapil, Dinas Sosial, Dinas kesehatan, dan rumah sakit. Pada saat ada pasien masuk rumah sakit dan tidak memiliki JKN, saat itu juga ia harus datang ke Dinas Kesehatan untuk mengurus kepesertaan BPJS PBI APBD. Syaratnya, ia harus memiliki kartu keluarga. Proses pengurusannya hanya sehari.

“Ketika tidak ada kartu keluarga pun, langsung kami komunikasi dengan Dukcapil, diterbitkanlah kartu keluarga, kemudian kami keluarkan rekomendasi, langsung diterbitkanlah nomor KIS di BPJS,” ujar Yubelina.

Adapun dana BPJS PBI APBD diperoleh dari bagi pajak rokok. Ia memungkinkan daerah memperoleh 37,7% pajak rokok untuk kabupaten yang dipakai sebagai iuran JKN, sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.07/2018 tentang tata cara pemotongan pajak rokok sebagai kontribusi dukungan program jaminan kesehatan.

“Itu yang kami lakukan di Biak saat ini. Kami berani menanggung 7.000 peserta karena ada dana ini.”

Seperti Kabupaten Biak, Kabupaten Paniai juga menjadi salah satu kabupaten yang memanfaatkan bagi hasil pajak rokok untuk membiayai BPJS APBD.

“Dari 2022-2023, kami mendapatkan Rp2,7 miliar untuk membayar peserta baru yang tidak dikover PBI APBN. Karena kami tidak punya KPS, jadi dibantulah oleh Jamkesda,” ujar Direktur RSUD Paniai, dr. Agus.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Robby Kayame, berkata bahwa mengantisipasi tidak adanya anggaran KPS, dua tahun terakhir ini Dinkes Provinsi Papua bekerjasama dengan BPJS, Dukcapil, dan Dinas Sosial mengupayakan agar seluruh warga Papua memiliki nomor induk kependudukan (NIK) yang menjadi syarat kepesertaan BPJS PBI.

Menurutnya, kepesertaan BPJS di hampir semua kabupaten di Papua sudah di atas 98% sehingga pemerintah provinsi dan beberapa kabupaten mendapat penghargaan Universal Health Coverage (UHC). Terkecuali Kabupaten Waropen dan Supiori, seluruh kabupaten di Papua sudah masuk kategori UHC non cut off alias pelayanan tanpa menunggu. Tak perlu mengantongi kartu BPJS, cukup memberitahu NIK kepada petugas, masyarakat sudah bisa dijamin karena otomatis terdaftar peserta BPJS.

“Sekarang tugas kita semua memberikan sosialisasi ke masyarakat Papua untuk memiliki KTP.  Minimal NIK-nya tahu. Ketika tahu dan perlu, namanya muncul,” ujar Kayame.

Masih Perlukan Jaminan seperti Kartu Papua Sehat?

Di tengah upaya mendorong semua warga Papua menjadi peserta JKN, keinginan untuk tetap melanjutkan program KPS atau sejenisnya datang dari pemerintah daerah dan pusat layanan.

Ada kebutuhan pasien di luar yang bisa dijaminkan BPJS, jaminan BPJS tidak mencukupi kebutuhan perawatan, hingga masih rendah perekaman e-KTP yang menjadi syarat kepesertaan BPJS.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Robby Kayame, menyatakan program seperti ini tetap penting sebagai komplementer dari BPJS.

“Masyarakat Papua berbeda dengan masyarakat dari luar. Kalau pergi berobat, Mama juga ikut, anak juga ikut, Bapa juga ikut. Dalam rujukan itu, kelebihan-kelebihan itu ditanggung KPS, termasuk transportasi, pesawat, peti mati,” terang Kayame.

Beberapa item yang tidak dibiayai BPJS seperti korban KDRT, kecelakaan, pertikaian antar-kelompok juga bisa dibiayai dari KPS. KPS bahkan membiayai klinik-klinik milik gereja di pedalaman.

Mulai 2023, RS Dok II Jayapura sudah tidak mendapatkan dana KPS. Untuk membiayai kebutuhan pasien di luar jaminan BPJS, rumah sakit ini melakukan kesepakatan dengan pemerintah kabupaten/kota. Sejauh ini, yang sudah berkomitmen adalah Kota Jayapura dan Kabupaten Mappi. Pasien dari kedua wilayah ini tetap dilayani dan selanjutnya pembiayaannya diklaim ke pemerintah dua wilayah itu.

“Itu tergantung kasus pasien. Misalkan pasien meninggal, mulai dari formalin, mobil jenazah, peti, itu tidak ditanggung BPJS. KPS yang tanggung,” kata Kayame.

Direktur RSUD Paniai, dr. Agus, berkata program seperti KPS masih diperlukan. Selain membiayai penduduk dua kabupaten lain di Pegunungan Tengah Papua yang datang berobat tanpa membawa kartu jaminan serta kebutuhan rujukan yang tidak ditanggung BPJS, dana KPS digunakan untuk membiayai program-program RSUD Paniai yang selama ini sudah didanai dari KPS.

“Masih butuh tidak? Sangat butuh. Untuk tadi mem-backup obat, peralatan habis pakai, makanan pasien, paket persalinan. Kalau ibu-ibu hamil supaya mereka datang melahirkan di rumah sakit itu, kami kasi paket persalinan. Kemudian untuk kebersihan, rujukan, jasa medis pelayanan kesehatan, nakesnya.”

Masalah lain dari JKN adalah rumah sakit tidak bisa mengklaim seluruh kebutuhan pengobatan. Kadang kebutuhan perawatan pasien melebihi standar BPJS.

Untuk kasus malaria, misalnya, pasien harus jalani perawatan lebih dari protap yang ditetapkan BPJS, yakni 3-5 hari. Saat waktu sesuai berobat habis, sementara pasien belum benar-benar sembuh, maka sisa kebutuhan menjadi tanggung jawab rumah sakit. Misalnya ini terjadi di RSUD Abepura, yang kini seluruh sumber klaim pembiayaannya lewat BPJS.

“Ini sering kami sampaikan ke setiap dokter apabila ada pasien yang masuk dengan kasus malaria, berarti penyakit penyerta lainnya seperti liver, usus, ginjal juga disebutkan, sehingga bisa ada dasarnya ketika dilakukan klaim ke BPJS,” terang Kabid pelayanan Medik RSUD Abepura, dr. Veronika Pekey. “Urusan mau dibayar atau tidak itu urusan nanti.”

Hal sama disampaikan Direktur RSUD Biak, dr. Ricardo Ricard Mayor. Menurutnya, KPS tetap diperlukan karena yang dijaminkan oleh kedua jaminan sosial ini berbeda. BPJS menjamin sesuai diagnosis, berapapun lamanya pasien harus dirawat. Misalnya untuk malaria hanya mengkover Rp2,3 juta, TBC Rp4,8 juta, jantung Rp7,5 juta. Dari kondisi ini, menurutnya, kelebihan biaya yang tidak bisa ditanggung JKN itulah yang dibiayai KPS.

“Waktu KPS masih berjalan, skema itu dicurigai. Pemerintah di Jakarta curiga. Katanya, bisa pendobelan. Apa yang dobel? Mereka anggap kita, rumah sakit-rumah sakit, seperti maling. Sudah dibayar oleh JKN, masak masih dibayar KPS lagi? Padahal tidak begitu,” kata dr. Ricardo.

Seorang perempuan mendengarkan penjelasan petugas RSUD Biak tentang obat untuk suaminya. (Project M/Asrida Elisabeth)

Sementara itu, Ketua Komisi Kesehatan DPR Papua, Kamasan Jack Komboy, berkata KPS perlu karena orang asli Papua tidak perlu membawa NIK atau e-KTP. Orang Papua, siapa pun dia, sudah dianggarkan lewat dana Otsus untuk memperoleh fasilitas atau jaminan kesehatan secara gratis.

Data menggambarkan, per 23 Juni 2022, populasi orang Papua (Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah) yang melakukan perekaman e-KTP berjumlah 1.499.170 jiwa (45%) dari total wajib e-KTP 4.313.086 jiwa.

Sebagai contoh, Mamberamo Raya adalah kabupaten di Provinsi Papua dengan capaian terendah kepemilikan e-KTP, yakni 12.437 jiwa (46,33%) dari total wajib e-KTP sebanyak 26.846 jiwa; berikutnya Kabupaten Yapen dengan 51,963 (68,13%) dari total wajib e-KTP berjumlah 76,267 jiwa.

Meski tampak penting, sayangnya, belum ada evaluasi yang memadai atas implementasi KPS. Temuan BPK terkait program ini antara lain pemerintah belum melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan dana Otsus pada distribusi kartu dan program KPS. Secara keseluruhan, pengelolaan dana Otsus Papua belum transparan dan akuntabel sehingga sulit dievaluasi.

Tahi Butar-butar dari Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP) berkata bahwa secara umum, program KPS sangat baik karena mengacu semangat UU Otsus. Menurutnya, fungsi pengawasan seharusnya dilakukan Dinas Kesehatan karena laporan penggunaan dana KPS masuk ke dinas tersebut. Rumah sakit diminta membuat klaim terlebih dulu, baru dibayar untuk mengantisipasi penyalahgunaan penggunaan.

“Di situlah fungsi UP2KP mengingatkan Dinas Kesehatan untuk melakukan verifikasi semua lampiran dan laporan pemanfaatan dana di rumah sakit,” katanya.

Meski demikian, menurutnya, ada beberapa kelemahan KPS, di antaranya memastikan dana benar-benar digunakan di rumah sakit atau layanan lain yang mendapatkan dana KPS. Masyarakat juga termanjakan dengan prosedur langsung ke rumah sakit tanpa melalui layanan dasar seperti Puskesmas. Kekurangan lain adalah warga Papua yang mampu tapi tetap mengakses KPS, padahal KPS dikhususkan untuk warga Papua miskin.

“Semua layanan harus berintegrasi dengan BPJS, boleh saja. Tapi, harus ada perlakuan khusus,” tambahnya.

Sejak 2002, dana Otsus Papua dan Papua Barat mencapai Rp138,65 triliun. Tetapi, ia belum memberikan dampak signifikan pada kesehatan dan pendidikan orang asli Papua. Umur harapan hidup di Papua sepanjang 10 tahun terakhir masih jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lain. Dampak pembangunan kesehatan bagi OAP lebih rendah 4,23% dibandingkan non-Papua.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Armand Suparman, berkata pentingnya merumuskan konsep besar pemanfaatan dana Otsus, mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga pengawasan.

“Cara mudah melihatnya, apakah ada peningkatan kualitas kesehatan dari masyarakat di Papua? Kalau sudah ada gelontoran dana sebesar itu, tapi kita masih ada persoalan stunting, yang mengemuka beberapa tahun ini di Papua, itu yang disayangkan,” katanya.

Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Aaron Rumainum, tidak menampik sejumlah kritik terhadap program KPS. Rumainum berkata transfer dana segar memang berpotensi untuk dipertanggungjawabkan secara asal-asalan. Kurangnya monitoring bisa berdampak pada kemungkinan klaim dobel dari KPS maupun BPJS.

Rumainum menilai kendali biaya dan mutu dalam sistem BPJS jauh lebih baik. Karenanya, upaya yang sudah dilakukan untuk mendaftarkan semua warga miskin di Papua ke dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional ini merupakan kemajuan.

“Dulu Kartu Papua Sehat, kan, hanya kartu-kartu. Kita tetap tidak bisa menyaingi BPJS yang terlalu kuat asuransinya. Apalagi sekarang BPJS tidak pakai kartu karena pakai NIK,” ujarnya.

Untuk menjawab persoalan kesehatan di Papua, menurutnya, kegiatan yang perlu lebih banyak dilakukan adalah promotif-preventif. Berbasis tingkat pelayanan dasar seperti Puskesmas, kegiatan ini penting demi menjawab tantangan besar terkait sikap masyarakat Papua atas masalah kesehatan.

Menurutnya, warga Papua dominan ke rumah sakit saat kondisinya sudah parah sehingga sulit ditolong dan berlanjut pada kematian. Selain itu, pencegahan penyakit seperti imunisasi harus disosialisasi lebih luas. Dan kegiatan promotif-preventif ini tak cuma dilakukan petugas kesehatan, tapi perlu pelibatan adat, gereja, hingga pemuda, menurut Rumainum.

“Konsep sakit, jatuh sampai tergeletak, tidak mengenal konsep pencegahan. Ngapain saya disuntik? Saya sakit, baru saya disuntik. Tidak mengenal pencegahan penyakit. Dia tahunya suntik sembuhkan penyakit, bukan cegah penyakit,” kata Rumainum.

Belajar dari Program Biak Sehat

Meski KPS terhenti, dana Otsus untuk kesehatan sebenarnya masih ada. Karena itu, program jaminan kesehatan untuk orang asli Papua sangat mungkin bisa dilaksanakan. Namun, yang terpenting adalah memastikan program ini transparan dan akuntabel serta sesuai kebutuhan orang Papua.

Setelah KPS berhenti, di Kabupaten Biak, pemerintah menerbitkan program Biak Sehat. Ia muncul dari keluhan atas pembiayaan pelayanan kesehatan yang tidak bisa ditanggung BPJS. Saat ini Biak Sehat berfokus ke rujukan, membantu membiayai rujukan ke luar Biak maupun ke luar Papua.

Namun, Biak Sehat hanya membiayai peserta yang merupakan peserta JKN BPJS PBI. Dengan demikian, yang menjadi penerima manfaat hanya yang terdaftar sebagai masyarakat miskin.

“Kami mencoba mendorong semua warga Biak untuk memiliki JKN-KIS. Dengan demikian, kami tidak membiayai jasa dokter, obat dan lain-lain karena bisa diklaim oleh JKN. Kami membiayai yang tidak dibiayai saja,” ujar Kabid Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Biak, Yubelina Marandof.

Adapun besar biayanya dibuat sesuai standar satuan harga, baik transportasi, akomodasi hingga konsumsi. Dinas Kesehatan berperan sebagai pengelola dana. Dengan rekomendasi dari rumah sakit, keluarga pasien bisa mengakses dana Biak Sehat di Dinas Kesehatan Kabupaten Biak. Dana pun ditransfer langsung ke rekening masyarakat pengguna untuk menjamin transparansi.

“Kami hanya pengelolanya saja, dananya kami atur sedemikian rupa, jadi masuk di bank, langsung ditransfer ke rekening masyarakat,” terang Yubelina.

Pembiayaan program Biak Sehat bersumber dari dana Otsus, yang dianggarkan sekitar Rp2 miliar untuk tahun 2023.

Dalam kondisi tertentu, program Biak Sehat bisa membiayai peserta non-BPJS PBI, misalnya karena sulit mengurus data kependudukan dalam waktu cepat.

“Perbedaan KPS dan Biak Sehat itu, KPS bisa membiayai yang tidak memiliki kartu dan semua pembiayaannya dibebankan KPS. Dan itu berat,” ujar Yubelina. “Sehingga kami mencoba mengurangi pembiayaan itu dengan mencoba mendorong masyarakat kita memiliki kartu BPJS sehingga meringankan beban pemerintah daerah.”

Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Aaron Rumainum, mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah Kabupaten Biak.

Menurutnya, untuk menjawab jaminan kesehatan masyarakat miskin di Papua, yang paling pertama adalah warga harus mengantongi NIK; kedua, harus terdaftar di BPJS; ketiga, tersedianya program seperti KPS untuk menjamin biaya-biaya yang tidak ditanggung BPJS.

Status Universal Health Coverage non cut off (daftar langsung aktif), yang berlaku di hampir semua kabupaten, seharusnya mempermudah masyarakat mendapatkan akses jaminan kesehatan, menurut Rumainum.

Namun, katanya, sosialisasi tentang NIK sebagai jaminan kesehatan perlu diperluas karena banyak orang Papua punya NIK tapi tidak tahu kalau dia ditanggung BPJS. Meski demikian, BPJS tidak bisa menjawab seluruh persoalan jaminan kesehatan di Papua. Karena itu, menurutnya, program seperti KPS tetap penting demi menyokong BPJS.

“Karena ingat, dalam amanat UU Otsus Papua dan PP 106 (pelaksanaan Otsus Papua), setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.”

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
23 menit